Laman

Selasa, 24 Mei 2011

Paradoks Tenaga Kerja Indonesia


Salah satu faktor dominan yang berpengaruh terhadap timbulnya masalah tenaga kerja Indonesia yang keluar negeri adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi merupakan akar masalah yang menyebabkan terjadinya masalah membludaknya angkatan kerja di negara kita dan negara-negara berkembang lainnya. Ibarat pohon, krisis ekonomi ini diumpamakan sebagai akar yang mempengaruhi kekokohan dari pohon tersebut dan masalah diatas diibaratkan sebagai buahnya. Semakin dalam dan semakin luas akar ini masuk kedalam tanah semakin kokoh jugalah pohon tersebut berdiri dan semakin lebat pula buah yang dihasilkan yaitu pengangguran.
Semakin dalam dan luas krisis ekonomi menjalar dalam suatu bangsa, semakin "kuatlah" masalah pengangguran dan kelaparan ada dalam bangsa tersebut. Saat krisis ekonomi merajalela dalam suatu bangsa, maka yang terjadi adalah pengangguran yang tak terkendali. Pada bulan Agustus 2009, Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia mencapai 7,84 persen dan sekitar 27,76 persen atau 29,11 juta penduduk Indonesia bekerja sebagai buruh (BPS, 2009).
Pengangguran mengakibatkan seseorang tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan uang. Padahal seseorang perlu mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ketika dalam masyarakat masih banyak pengangguran dan pemerintah tidak sanggup memberikan pekerjaan bagi mereka, para pengangguran tersebut dengan pendapatan yang tidak memadai besar kemungkinan tidak akan memusingkan pikiran mereka dengan masalah gizi yang harus mereka penuhi.
Pengangguran dan kelaparan inilah yang menjadi factor paling urgen yang mempengaruhi terjadinya arus migrasi suaka kerja, mulai dari perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) hingga perpindahan penduduk dari suatu Negara ke Negara lain (emigrasi). Hal ini entah terpaksa atau tidak harus dilakukan untuk mencari suaka kerja yang lebih menjanjikan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Para TKI itulah salah satu contoh paling konkret yang mengadopsi hokum ekonomi tersebut.
Kalau kita mau jujur mau jadi apa kelak TKI tersebut selain jadi budak atau kuli? Ini baru dalam satu sector saja dalam hal ini kedaulatan ekonomi Negara yang terdiskreditkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang populis dan substansial. Ironisnya, kebanyakan dari TKI yang memcari penghidupan di luar negeri sangat miskin kemampuan dan keterampilan. Akhirnya lebih banyak cerita miris dari pahlawan devisa ini yang merupakan penyumbang devisa terbesar ke dua setelah sector migas daripada pemuliaan atas jeri payah mereka. Ingat bahwa penduduk kita yang masih hidup dibawah garis kemiskinan sekitar 34,96 juta atau sekitar 15,42 persen (BPS Maret 2009).
Tragis memang. Padahal, sumbangan devisa dari mereka cukup tinggi. Per Januari-Maret 2004 mencapai US$ 425.208.154 atau Rp 3,836 triliun. Ambil contoh TKI dari Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data Bank BNI cabang Mataram, pada periode Januari-Juni 2003, remittance dari para TKI tercatat Rp 218,75 miliar. Padahal, APBD daerah itu saja hanya Rp 139,75 miliar. Di Jawa Timur, sumbangan devisa TKI-nya mencapai Rp 1,3 triliun pada 2001, sedangkan APBD-nya Rp 2,464 triliun.
Tapi,semua itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi terhadap puluhan ribu TKI ilegal di Malaysia yang tenggat amnestinya bakal habis pada 14 Februari ini. Kini kehidupan mereka begitu mencekam, takut dikejar-kejar, ditangkap, dicambuk, dan dipenjara untuk kemudian dideportasi ke Indonesia.
Jumlah TKI yang menanggung nasib seperti itu cukup besar di Malaysia. Dari sekitar 1,2 juta orang tenaga kerja ilegal di sana, sekitar 60% atau 720 ribu orang di antaranya berasal dari Indonesia. TKI ini kebanyakan memilih cara ilegal karena lebih menguntungkan ketimbang cara legal.
Hitung-hitungannya begini: dengan mengeluarkan duit sekitar Rp 7 juta-9 juta untuk biaya keberangkatan, seorang TKI legal umumnya hanya mendapat gaji sekitar RM 25 atau Rp 60 ribu per hari. Mereka tak bisa menikmati gaji penuh karena dipotong oleh majikan dengan alasan untuk mengganti biaya mendatangkan TKI. Sementara, TKI ilegal—dengan modal berangkat yang lebih sedikit—justru bisa mendapatkan RM 50 per hari. Mereka pun sudah bisa mengirimkan uang setelah dua bulan bekerja dengan jumlah sekitar Rp 2 juta-Rp 4 juta per bulan. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja akhirnya banyak yang memilih menempuh jalur ilegal. Banyak pula TKI legal yang kemudian menjadi ilegal karena dokumennya sudah kedaluwarsa.

Maka, dibutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah Indonesia untuk menun-taskan akar persoalan ini. Hal tersebut dimulai dari peningkatan kualitas sumber daya manusia. Balai-balai pendidikan dan latihan kerja perlu diperbanyak dan diberdayakan sehingga bisa memenuhi skill yang diinginkan negara tujuan. Calon TKI juga harus memiliki pengetahuan mengenai negara tujuan.
Selanjutnya, juga diperlukan sistem pelayanan satu atap dalam pengurusan dokumen TKI, karena birokrasi yang terlalu panjang menyebabkan biaya tinggi. Di wilayah inilah tumbuh subur percaloan. Belakangan, Pemerintah Indonesia memang tengah menyiapkan sistem pelayanan terpadu bagi TKI di 14 lokasi di Indonesia. Namun ini hanya untuk sementara, bukan permanen, dan lebih terarah sebagai reaksi atas kasus pemulangan puluhan ribu TKI ilegal.
Peraturan perundangan seputar buruh migran, seperti UU No. 39/2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, juga perlu ditinjau kembali. Dalam UU ini, posisi pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas, dan sekaligus pelaksana, menggambarkan multi-interest sehingga tidak bisa obyektif dalam menangani suatu masalah. Perlindungan hukum terhadap TKI di luar negeri melalui kerja sama bilateral, seperti antara RI dan Arab Saudi, juga belum menjadi perhatian utama. Sangat banyak hal yang harus dibenahi pemerintah dalam mengurus masalah TKI. Tapi semua ini memang sebanding dengan sebutan pahlawan devisa atau duta bangsa bagi mereka.
Pertanyaan selanjutnya mau jadi apa bangsa ini nanti? Apakah bangsa ini hanya akan menghasilkan generasi yang bodoh, tidak mampu bersaing dan hanya akan menjadi budak bagi bangsa lain?. Apakah kita harus berbangga diri ketika kita sebanyak-banyaknya mengekspor TKI ke negara-negara tetangga sebagai pembantu?
TKI, mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa negara. Mungkin bagi kita itu memang benar tetapi bagaimana mereka menanggapinya? Apakah mereka secara tulus menerima gelar tersebut? Apakah siksaan yang dialami oleh sekian banyak TKI kita mereka anggap sebagai resiko yang harus ditanggung sebagai seorang pahlawan? Tidak, mereka hanyalah warga negara Indonesia yang tidak diterima di negaranya sendiri. Tidak ada yang mau memberikan penghidupan bagi mereka di sini, dinegaranya sendiri.
Mereka menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing. Tentu saja hal ini dipengaruhi salah satunya oleh tingkat pendidikan yang mereka terima sejak masih berada dalam bangku sekolah dasar alih-alih tidak mengnyam pendidikan sama sekali. Status pendidikan yang mereka terima semenjak masa sekolah dasar menentukan masa depan mereka saat ini. Jadi nyatalah kiranya bahwa bangsa ini banyak menghasilkan generasi yang hilang (lost generation). Generasi yang hanya akan menjadi budak bagi bangsa lain.
Untuk itu kita harus segera berbenah diri. Pemerintah sudah selayaknya segera memutar otak untuk memecahkan masalah ini. Jangan sampai bangsa ini dihina dan dilecehkan karena kebodohan kita. Jangan sampai bangsa ini dicap sebagai bangsa budak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar