Laman

Jumat, 30 Desember 2011

Memimpikan hadirnya Muazin Hukum dan Politik

Andaikata suhu politik bisa diukur dengan alat ukur suhu materi (termometer), maka intensitas kenaikan suhu panas dalam termometer tersebut mungkin sudah mencapai 100̊ C (titik didih).
Perubahan dalam bentuk kenaikan intensitas suhu politik tentunya tidaklah lahir dari ruang yang kosong, sebab setiap perubahan (baik kenaikan atau penurunan) politik selalu dipengaruhi oleh faktor internal (suprastruktur ) dan eksternal (infrastruktur) dari sistem politik itu sendiri.
Perubahan suhu politik yang mengalami kenaikan derajat panas beberapa waktu terakhir ini sangat dipengaruhi oleh reshuffle kabinet, korupsi pejabat publik baik pusat maupun daerah, UU BPJS, pemilukada di beberapa wilayah, krisis libya, dll disatu sisi dan konflik papua, terorisme, peringatan hari pahlawan, hari anti korupsi dan hari HAM dan lain-lain disisi yang lain.
Dilihat dari kaca mata banalitas suatu wacana, isu farasit yang menghinggapi suprastruktur politik maupun infrastruktur politik diatas memang bukan lagi merupakan wacana dan isu yang seksi untuk didisputasikan, karena sudah terlalu sering telinga kita mendengar dan mata kita menyaksikan khususnya ketika suhu dan iklim perpolitikan dalam pemerintahan sedang mencapai klimaksnya. Apalagi mengingat isu tersebut sudah populer di tengah rutinitas hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dewasa ini. Sehingga bukan merupakan hal yang lumpah lagi, ketika isu-isu tersebut silih berganti tukar posisi dalam disputasi wacana dan laku perpolitikan kita hari ini. 
Jika kemudian isu yang satu mendapatkan kembali titik ordinatnya di tengah ketidakefektifan tata kelola pemerintahan, maka besok atau lusa bisa jadi isu yang lama akan menjadi baru kembali setelah dipoleh dengan wacana media. Apalagi jika isu tersebut mengenai korupsi, maka kemungkinan besar seluruh rakyat Indonesia pasti sudah mafhum akan persoalan kecuali bagi mereka yang kurang waras akalnya atau sudah almarhum. Isu yang satu ini sudah menjadi konsumsi pokok masyarakat kita. Bahkan kadangkala masyarakat kita sudah cerdas dalam mengklasifikasikan mana yang namanya korupsi dan mana yang namanya pencuri. Mereka bahkan sudah bisa mengidentifikasi bahwa korupsi memang sangat identik dengan pejabat publik, sedangkan pencuri identik dengan mayarakat yang lapar karena nasinya dicuri oleh para koruptor diatas. Salah satu parasit mematikannya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang melilit hampir semua kementerian. 
Terkuaknya kasus dugaan korupsi yang menghujani beberapa kementerian, aparat penegak hukum hingga kepala daerah merupakan serpihan kecil dari bangunan besar yang mengkonstruksi intensitas suhu politik kita yang semakin memanas. Bukannya mau stereotif, tetapi boleh jadi hampir semua lembaga negara (eksekutif, legislatif maupun yudikatif) juga punya potensi untuk terjebak kedalam kubangan lumpur yang sama alih-alih sudah terjerembab hanya saja belum diketahui atau diciduk oleh KPK.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa dinamika politik senantiasa mengalami pasang surut suhu wacana dan laku. Hanya saja jika yang terjadi justru timpang tindih atau berat sebelah, dimana suhu politiknya selalu memanas atau hanya menunjukkan ciri-ciri gelombang pasang. Langkah politik yang dilakukan dan dikembangkan pun turut menjadikan isu-isu tersebut semakin populer, sampai-sampai kita menangkap adanya persekongkolan untuk melanggengkan isu tersebut agar jualan politik senantiasa terpampang dalam kios politiknya. 
Bayangkan saja, jika isu-isu yang disebutkan di atas sudah menemui ajalnya, maka politikus kita akan kebingungan dalam mencari dan menawarkan jualan politik baru. Tujuan untuk memberantas atau menyelesaikan isu tersebut, jelas terdeteksi hanya omong kososng belaka. Sebab, kita tidak pernah melihat dan merasakan keseriusan pejabat publik kita dalam menyelesaikan perkara-perkara yang menyangkut kemaslahatan bangsa dan negara. Beda ceritanya jika yang dibahas adalah RUU PEMILU, maka semua politisi akan berjamaah mengkampanyekan idealisme mereka bahwa seolah-olah semua dilakukan agar kedaulatan berada kembali ditangan rakyat. Padahal niatan terselubungnya adalah bagaimana kekuasaan bisa dibagi secara proporsional bagi mereka saja.
Langkah politik yang selama ini ditempuh untuk menyejukkan suhu politik hanya sebatas ritual simbolis politik yang mengiming-imingkan kemaslahatan, tetapi yang menjadi persoalan adalah kemaslahatan siapa?.
Politik Muadzin
Dibalik disputasi mengenai tidak pernah tuntasnya isu-isu politik diatas diposkan kedalam kuburan realitas di atas, entah dalam kadarnya yang ilmah maupun dalam kadarnya yang alami, kredo hadirnya para “Muadzin Politik” ternyata tidak hanya berdiam dalam lokus potensial wacana dan laku politik, tetapi telah menemukan pijakan aktualnya. Hadirnya para muadzin politik merupakan penanda sekaligus petanda bahwa di tengah memanasknya tarik ulur kepentingan politik partial antar aktor politik dalam percaturan politik, mutlak dan niscaya membutuhkan para penyeru, pendakwah, dan pengusung nilai ideal politik praktis sebagai poros tengah baru.
Muadzin politik merupakan politik identitas aktor politik non-parlemen yang senantiasa memberikan seruan moral, analisis etika, artikulasi kebijakan imparsial, estetika pengambilan keputusan yang tepat, serta pembelaan terhadap konstitusi yang mapan. Biasanya muadzin politik diawaki para pengamat lintas keilmuan, pakar, akademisi, guru besar, ulama, mahasiswa, serta organisasi kemasyarakatan lainnya. 

Merekalah yang setiap momentum senantiasa memberikan seruan moral, analisis etika, artikulasi kebijakan imparsial, estetika pengambilan keputusan dan kebijakan yang tepat serta pembelaan terhadap konstitusi yang mapan kepada para politikus suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam melakonkan skenario dan manufer politiknya khususnya dalam mengartikulasikan kepentingan politik masing-masing. 
Mereka hadir sebagai gerakan identitas politik poros tengah baru yang mengusung nilai dengan mesin politik wacana dan analisis keilmuan. Mereka hadir sebagai gerakan ektra-parlemen, bergandengan dengan gerakan mahasiswa dan LSM untuk menegaskan identitas politik praktis yang tidak boleh mengesampingkan dan mendiskreditkan nilai moral dan etika. Sehingga dalam situasi dan kondisi politik yang kehilangan orientasi nilai tersebut, Para muadzin politik merupakan oposisi paling nyata dalam struktur politik. Merakalah yang senantiasa menekankan pentingnya etika dan estetika pengambilan keputusan suprastruktur politik, meskipun terkadang hanya dijadikan parodi lawakan politik oleh para penentu kebijakan tertinggi dalam pemerintahan.
Dibalik argumentasi yang serba optimis di atas, ada sebuah titik ordinat yang bisa menegasikan format politk muadzin tersebut. Sehingga muadzin politik yang semula bermakna tunggal, bisa bermetamorfosa menjadi makna yang ambigu. Disatu sisi, ia bisa menjadi harapan, tetapi disisi yang lain bisa menjadi ratapan.
Ia menjadi harapan, karena merupakan entitas politik yang memahami betul dasar, cara, tujuan serta implikasi dari setiap kebijakan dan keputusan yang diambil oleh para aktor politik di lembaga tinggi negara yang lain. Dan bisa menjadi ratapan, ketika terisolir dan berhenti pada romantisme gagasan dan wacana ideal.
Akan menjadi ratapan manakala muadzin politik yang disebutkan di atas melupakan bahwa politik bukanlah seperti kalkulasi matematis yang bersifat definitif, dan politik juga bukanlah sekedar urusan nilai ideal yang membumbung dilangit ketujuh tetapi juga nilai faktual yang membumi.
Akan menjadi ratapan, ketika entitas politik tersebut, melupakan bahwa politik bukan hanya urusan retorika podium tetapi lebih kepada aktualisasi dalam domain pemberdayaan kedaulatan rakyat.
Akan menjadi harapan, ketika muadzin politik tersebut bukan hanya bisa menyeru dan berda’wah melalui retorika pengeras suara atau karena sorotan dan bidikan kamera elektronik media massa menghujaninya, tetapi juga bisa menyeru dan mengartikulasikan kebijakan politik melalui tindak karya pemberdayaan masyarakat melalui advokasi dan monitoring setiap kegundahan hidup dan kehidupan masyarakat. Muadzin yang baik adalah menyeru dengan cara mengkolaborasikan kemampuan akal dan vokalnya dengan kemampuan tangannya. Artinya retorika podium harus disinergikan dengan laku politik pemberdayaan masyarakat.
Dalam rancang bangun perpolitikan Indonesia, aktor politik praktis di suprastruktur (lembaga tinggi negara) kadang kala pada awalnya merupakan para muadzin, hanya saja, setelah menduduki kursi jabatan dan kekuasaan, kadang kala, bahkan sering kali mereka menanggalkan identitasnya dan beralih profesi menjadi makmum politik.
Akan menjadi ironis, jika godaan dan hasutan jabatan, uang dan kekuasaan justru merontokkan citra dan identitas mereka. Sehingga wacana dan laku politik yang mereka artikulasikan dan aktualkan justru mengikuti dan sepenuhnya takliq buta terhadap keputusan dan kebijakan kepentingan politik partai politik dan elitenya.

Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian hari, kita dapatkan politisi termasuk dari partai yang berbasis agama sekalipun, justru hanya menjadi stempel kebijakan dan keputusan politik yang dibuat oleh penguasa baik dari Senayan maupun dari Istana. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah, jangankan mewadahi dan mengakomodir kepentingan politik keadilan lintas klan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan agama, menjadi wadah dan mengakomodir gagasan dan pemikirannya sendiri saja masih berada dalam domain sengketa kepentingan pribadi dan golongannya. Jangankan menjadi Imam dalam ranah politik, menjadi makmum saja masih kehilangan orientasi.
Sesungguhnya, tatanan politik bisa menemui titik pijak idealnya, bisa melaju berdasarkan rel nilai etis dan estetisnya, dan bisa menjadi acuan dan motor penggerak sampainya kepada cita-cita berbangsa dan bernegaranya, itu sangat tergantung oleh hadir atau tidaknya sosok Muadzin politik yang bukan hanya bisa menyeru dengan ucapan tetapi juga menyeru dengan perbuatan.

Hadir atau tidaknya sosok Muadzin dalam politik sangat didukung oleh sistem pemerintahan yang solid, pemikiran yang terbuka, kritis, cerdas dan jiwa kepemimpinan yang kuat khususnya dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Dan hadirnya sosok muadzin politik yang baik akan memancing adrenalin politik pejabat tinggi negara khususnya Presiden untuk memposisikan diri sebagai imamnya. Sebab biasanya, muadzin selalu hadir terlebih dahulu dibanding imam. Seketika itu muadzin telah selesai menyeru para makmum untuk beribadah, maka seketika itu imam siap-siap memimpin ibadah. 

Perlu ditegaskan, bahwa Seorang Muadzin dan Imam politik, mengharuskan dirinya memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan yang melebihi kualitas dan kapasitas rata-rata dari entitas politik lainnya.
“Politik tanpa Muadzin dan Imam ibarat agama tanpa tauhid”.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Perang Dunia Ke 3

Hiruk pikuk hidup dan kehidupan manusia entah sebagai individu maupun masyarakat atau sebagai suku, ras, bangsa, negara dan agama sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah luput dari yang namanya perang. Entah dikaji melalui pendekatan kekerasan maupun non kekerasan. Dan entah dikaji dalam domain sejarah klasik (pra sejarah dan sejarah) maupun sejarah postmodernisme (hari ini dan masa depan).
Hal ini lebih disebabkan karena manusia senantiasa memiliki kepentingan yang sebagian besar sering kali dan selalu berbenturan satu sama lain.
Di jaman neo-hibrida postmodernisme seperti sekarang ini, perang memang merupakan sebuah wacana yang sangat kental dengan nuansa propokatif linguistik yang tentunya berimplikasi pada pikiran, mental dan spiritual masing-masing. Apalagi wacana perang sudah jauh-jauh hari tertanam dalam mainset sebagian besar manusia sebagai sesuatu yang bersifat destruktif. Sehingga tidak salah jika kemudian banyak kalangan yang sangat alergi dan ilfil terhadapnya.
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dilain pihak sering kali dijadikan pembenaran sikap dan laku manusia (individu dan masyarakat) untuk merubah (mendekonstruksi dan merekonstruksi) peradaban sesuai dengan ideologi dan cita-cita masing-masing.
Dalam percaturan politik global misalnya, perang sering kali dijadikan azhimat politik bagi negara adidaya (Blok Barat dan Blok Timur) untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi peradaban kebangsaan, kenegaraan dan hubungan internasional. Perang dunia I, II dan dingin, merupakan fakta sejarah yang mengamini realitas tersebut. Dan sering kali pula dijadikan seruan moral, inteleqtual dan spiritual bagi negara dunia ketiga serta kelompok fundamentalis (kiri, tengah maupun kanan) untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi peradaban yang diciptakan oleh negara adidaya yang mereka anggap sebagai peradaban yang edan dan murtad.
Jika ditinjau dari kontur dan tekstur konstalasi kausalitasnya, maka perang yang dikumandangkan dan diikhtiarkan dua kelompok diatas memiliki modus dan motif yang serupa tapi tidak sama, meski intensitas dan frekwensi perangnya berbeda. Dari segi modus, kedua kelomppok diatas sama-sama melakukan perang melalui pendekatan kekerasan maupun non kekerasan. Sedangkan dari segi motif, keduanya mengamini perang dengan motif kekuasaan (mempertahankan dan merebut) yang digarap dalam domain politik, ekonomi, budaya, agama maupun ideologi.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah jika kemudian perang senantiasa masih dan akan terus bersemayam dalam etalase perbendaharaan hidup dan kehidupan manusia dimasa sekarang maupun masa depan, maka bagaimana kontur dan teksturnya? Dan sejauh mana perkembangannya?
Disatu sisi, dalam hal untuk memdeteksi perang yang terjadi dimasa sekarang, tentu kita hanya bisa menguraikan serpihan demi serpihan aksidennya dengan hukum kausalitas untuk kemudian memantiq modus dan motifnya. Sehingga wacana bahwa jaman sekarang masih dalam keadaan perang menemui titik sentral realitasnya. Sedangkan disisi yang lain, dalam hal mendeteksi dan memprediksi perang yang akan terjadi dimasa depan, tentu kita juga hanya bisa menguraikannya melalui pendekatan konsteks metamorfosa perang yang terjadi dimasa sekarang.
Perang dunia lanjutan (ketiga)
Telah disinggung dibagian awal tulisan ini bahwa perang masih tetap eksis sampai dijaman sekarang dan kemungkinan besar dimasa depan. Hal ini disebabkan karena manusia senantiasa memiliki kepentingan (hasrat menguasai) yang sebagian besar sering kali dan selalu berbenturan satu sama lain, kecuali mungkin dunia sudah kiamat, inipun bagi mazhab pemikiran materialisme mekanik maupun materialisme dialektik masih diragukan alih-alih ditolak. Sehingga termonologi perang dunia yang hanya berhenti pada icon perang dunia II dan dingin kemungkinan besar akan bermetamorfosa kearah perang selanjutnya, bukan hanya dijaman sekarang tetapi kemungkinan besar terjadi dimasa depan, meski intensitas dan frekwensi perangnya yang berbeda.
Sebagaimana perang tidak bisa dipisahkan dari perebutan kekuasaan dengan segala variannya dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari orientasi kekuasaan, maka ideologi pun tidak bisa dipisahkan dari pandangan dunia. Artinya kekuasaan sangat menentukan bentuk dan model perang, orientasi kekuasaan sangat menentukan apakah modus dan motif perang dalam berebut kuasa berpretensi dekstruktif ataukah konstruktif, tersentral pada kebenciaan ataukah kecintaan kemanusiaan dan peradabannya, dikomandoi oleh kredo yang bebas nilai ataukah sarat nilai serta diikrarkan demi kepentingan kemaslahatan ataukah kemudharatan dan pandangan dunia sangat menentukan apakah ideologi yang dijadikan azhimat politik perang tersebut bercokol pada wilayah nilai ketauhidan dan kemanusiaan atauakah kematerian dan kebendaan. Sehingga meskipun perang terjadi lebih karena untuk menggoalkan kepentingan dengan perebutan kekuasaan, tetapi sebenarnya inti dari perang adalah sebuah pertarungan pandangan dunia dan orientasi kekuasaan.
Perang dunia ke-3 yang dimaksud disini bukanlah analisis wacana yang pernah dikhittahkan oleh Samuel Huntington mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat, tetapi lebih merupakan sekuelisasi terminologi perang dunia I dan II plus perang dingin yang pernah terjadi dimasa lalu. Dimana kontennya bersumber atas analisis kedua entitas di atas (orientasi kekuasaan dan pandangan dunia. .
Berangkat dari sebuah deskripsi sejarah perang dunia yang pernah terjadi di abad ke 19 yang lalu dan deskripsi sebab, implikasi, bobot dan muatan perangnya, terdeteksi bahwa perang dunia I, II, dan dingin hanyalah perang yang bermotif ideologi yang terkonsentrasi pada domain Ekosop (ekonomi, sosial dan politik) dan tentunya masih dalam spiral perebutan kekuasaan. Bukan persoalan pertarungan ideologi yang sesungguhnya apalagi pertarungan pandangan dunia dan bukan pula mengenai orientasi kekuasaan. Sebab pandangan dunia bagi aktor yang berperang pada saat itu sama-sama mengusung materialisme sebagai pandangan dunianya. Sehingga orientasi kekuasaan dalam perangnya pun tentu karena tuntutan entitas material dan kebendaan.
Berdasarkan hal diataslah, maka kemudian kita mendeteksi bahwa perang yang terjadi sekarang ini lebih terkonsentrasi pada pandangan dunia.
Perang pandangan dunia
Tidak dapat dipungkiri dan dinafikan bahwa tidak satupun aktivitas hidup dan kehidupan manusia tanpa pengaruh kepentingan dan kekuasaan. Mulai dari kelahiran manusia hingga kematiannyapun tak luput dari tendensi dan atensi kepentingan dan kekuasaan yang tentunya berdasarkan kadar dan intensitas fase ruang dan waktu hidup dan kehidupannya. Mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal yang memiliki skala dan frekuwensi yang besar tidak luput dari dominasi politik. Sebab sebab kepentingan dan kekuasaan adalah cara manusia (individu, masyarakat, bangsa, negara, dan umat) untuk memenuhi naluri dan fitrawinya. Kepentingan tersebutpun tentunya berpariasi mulai dari tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Dalam kepentinganpun pasti ada motif nilai yang diusung, motif kekuasaan serta motif pemberdayaan sumberdaya (SDM dan SDA)
Mengingat perang merupakan desain metode dan tata kelola hidup dan kehidupan manusia dalam mencipta peradabannya yang bercorak dekonstruksi dan rekonstruksi dan bermodus kekerasan maupun non kekerasan, maka pandangan dunia merupakan neukleus dan episentum yang sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya peradaban manusia tersebut dikonstruksi melalui perang.
Jika pandangan dunianya berasal dari oase mazhab materialisme, maka peradaban dan tata dunia yang terciptapun pastilah sarat dengan aksesoris materialis. Masyarakat, negara, ekonomi, kekuasaan, sosial, pendidikan, agama, budaya dan Tuhan sekalipun tentunya akan dimaknai dengan barometer materialis. Akhirnya entitas-entitas yang disebutkan tersebut tentunya hanya dijadikan komoditas politik yang bersifat materialistik. Sehingga jangan heran ketika agama dijadikan azhimat politik kekuasaan, aksesoris serta legitimasi kesalehan. Jadi jangan heran jika Agama menjadi entitas komersialisasi kepentingan politik, karena memang sudah menjadi sesuatu yang lumrah dalam hidup dan kehidupan manusia.
Bukan hanya agama yang menjadi entitas politik materilis tersebut. Pendidikanpun tidak luput dari garapan pandangan dunia tersebut. Sudah menjadi budaya pendidikan kita sehari-hari, jika lembaga pendidikan entah yang didirikan oleh negara maupun swasta tidak lain hanya dijadikan pabrik ijazah dan pencetak tenaga kerja. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah usia didik yang punya kemampuan potensial baik terpaksa harus mengurunkan niatnya untuk mengenyam pendidikan didalam lembaga pendidikan karena tidak punya materi. Sehingga anekdot inteleqtual eko prasetyo tentang “orang miskin dilarang sekolah “ layak kita amini. Standar orang berpendidikan atau tidak, dapat dideteksi dari tingkat pekerjaan dan penghasilan yang dia dapatkan, dan tergantung strata sosial, politik, ekonomi, dan agama dimasyarakat.
Dalam domain ekonomi dan budaya nampaknya tidak perlu panjang lebar untuk diuraikan, sebab sebagai masyarakat kita tentunya sudah hapal luar kepala bagaimana sistem ekonomi kapitalisme (neo-liberalisme) dan budaya western menghancurkan kemapanan nilai kemanusiaan. Dalam domain budaya, disatu sisi, putra dan putri bangsa, mulai dari usia 12 tahun keatas sudah gengsi keluar rumah jika memakai pakaian tertutup, tidak gaul jika masih virgin, tidak kren jika tidak mengkonsumsi narkoba, tidak afdal jika tidak pakai BB, tidak metropolis jika tidak nongkrong di Mall, malu memakai pakaian tradisional, malu berbahasa daerah dan tidak cerdas jika tidak berdialek menggunakan bahasa Inggris dan Amerika. sementara disisi yang lain, ibarat cacing kepanasan ketika Negara tetangga Malaysia mencaplok wilayah, tarian adat, bahasa daerah dan mengeksploitasi TKI.
Ekonomi neo-liberalisme yang diadopsi semakin hari semakin menunjukkan wajah beringasnya. Mengeksploitasi SDA tanpa peduli lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, mendiskreditkan zona ekonomi rumahan masyarakat, menggadaikan perusahan sentral milik negara kepada swasta, menghancurkan harapan hidup buruh industri, menjadikan seks, pengangguran dan kemiskinan sebagai komuditas komersialisasi pariwisata dan masih banyak lagi kerusakan kemanusiaan yang ditorehkannya.
Pandangan dunia materialis dalam domain penyelenggaraan politik, khususnya menyangkut masalah tata kelola pemerintahan dan kekuasaan senantiasa akan diwarnai oleh kebijakan dan keputusan politik yang berorientasi materi. Memperoleh kekuasaan dengan materi, menggunakan kekuasaan dengan materi, mempertahankan kekuasaan dengan materi dan mempertanggungjawabkan kekuasaanpun pada tarap materialis pula. Sehingga peradaban yang tercipta kemudian adalah peradaban primitif-biologi yang hanya mementingkan urusan perut, seks dan fashion.
Pandangan dunia politik yang bermazhab materialisme juga meniscayakan menciptakan paradaban politik yang Atheistik. Segala aktivitas politik yang dijalankan dan dilakonkan hanyalah kemauan dan keinginan subyektifitas manusia, sehingga Tuhan ditenggelamkan dalam kubangan persepsi dan pengetahuan, perkataan dan tindakan politik.
Berdasarkan hal diatas, maka jika tata dunia hari terdeteksi dan terindikasi menerapkan teori dan praktis perang yang orientasinya hanya dititik beratkan pada hal-hal bersifat material, maka negara, bangsa, kelompok pemberontakan dan lain-lain, pastilah mengadopsi pandangan dunia materialisme pula dan peradaban yang diciptakannya kemungkinan besar peradaban Atheistik, meski dalam tataran simbolisme mengaku mengadosi dan mendeklarasikan teori dan praktis politik yang menjunjungtinggi nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi mazhab pemikiran pandangan dunia non-material (ketauhidan) dari berbagai klan keagamaan untuk mendeklarasikan perang melawan pandangan dunia yang dianggap bejat dan murtad tersebut. Sehingga cukup bijak untuk mengatakan bahwa peperangan sesungguhnya diabad ini bukanlah perang yang dikumandangkan melalui pendekatan kekerasan bersenjata oleh kelompok-kelompok pengusung nilai keagamaan atau humanisme, melainkan peperangan dalam dunia pemikiran yang terkonsentrasi pada pandangan dunia antara pandangan dunia materialisme dan non-materialisme (ketauhidan), yang teraktual melalui pertarungan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan pendidikan hari ini.
Tetapi perlu diingat bahwa perang pandangan dunia tidak hanya terjadi antara dua entitas pandangan dunia diatas, tetapi juga perang ditubuh pandangan dunia masing-masing. Sebab baik pandangan dunia materialisme maupun pandangan dunia non-materialisme (ketauhidan) dititik kulminasinya sedang melakukan peperangan melawan hawa nafsu masing-masing. Sehingga kadangkala pandangan dunia ketauhidan memakai jubah materialisme dan pandangan dunia materialisme memakai jubah ketahidan meski dalam tataran sksesoris simbolis.
Bagi orang Islam entah dalam keadaan sadar maupun tidak, pesan perang tersebut jauh-jauh hari sudah pernah disampaikan oleh nabi besar utusan tuhan Muhammad SAW pasca perang Badar, bahwa “peperangan yang lebih besar bukanlah perang badar, melainkan perang melawan hawa nafsu”. Inilah perang yang tidak pernah lapuk dimakan usia ruang dan waktu dunia baik masa lalu, sekarang dan yang akan datang (masa depan) yang bisa menjadi penutup segala perang alias Perang Dunia Ke-4.
Oleh: Subiran
Pemerhati Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Kekuatan Politik Adidaya Indonesia

Jika dalam dunia Internasional, kekuatan politik adidaya sangat identik dengan Amerika serikat dan sekutunya, maka dalam kancah perpolitikan Indonesia, kekuatan politik adidaya tersebut sangat identik dengan Pusat (Jakarta) secara khusus dan Jawa (kekuatan politik) secara umum.
Fenomena kekuatan politik adidaya tersebut sebenarnya telah terlihat dalam politik Indonesia, bukan hanya belakangan ini, tetapi sesungguhnya telah terjadi sejak era pra pergerakan kemerdekaan Indonesia. Betapa tidak mulai dari tokoh, pemikiran, simbol, hingga strategi, tehnik dan taktik pergerakan kebangsaan dan kenegaraan, Jakarta secara khusus dan Jawa secara umum adalah entitas politik yang sangat dominan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Sehingga tidak heran jika kemudian, Indonesia selalu di identikkan dengan Jakarta atau Jawa.
Fenomena kekuatan politik adidaya ini disatu sisi memang mengandung maksud yang positif khususnya ketika kita membicarakan teori integrasi dalam ilmu politik. Bahwa harus ada kekuatan dominan atau sentral yang dijadikan rujukan untuk mengelola sumber daya politik periperi, sehingga disintegrasi bisa diminimalisir. Tetapi disisi yang lain fenomena lahirnya kekuatan politik adidaya khususnya di era neo hibrida post modernisme seperti sekarang ini justru akan melahirkan perasaan xenophobia bagi sebagian wilayah lain di Indonesia, apalagi jika wilayah tersebut masih jauh terbelakang dari segi ekonomi, pendidikan, dan politik dibanding dengan pusat. Hal inilah yang kadangkala menyulut api pemberontakan sebagai bentuk pengingkaran politik atas kekuatan politik adidaya tersebut. Dan ini pula yang telah menggerogoti tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia dari berbagai lintas klan pemikiran di daerah yang tergolong periferi, khususnya setelah terlihat banyaknya kegagalan, keragu-raguan dan kelemahan yang dilakukan baik oleh tokoh, pemikiran, maupun strategi, tehnik dan taktik pusat (jakarta dan jawa) dalam menyelesaikan berbagai problem hidup dan kehidupan kebangsaan dan kenegraaan.
Parahnya kekuatan politik adidaya tersebut membuat para tokoh (pengamat, praktisi, politisi, ulama, dll) , pemikiran dan tindakannya justru semakin mengamini perasaan akan kehebatan kekuatan tersebut. Sehingga perasan tersebut akhirnya menjelma menjadi arogansi, kesombongan dan keangkuhan, yang telah menyelinap dalam elemen-elemen kekuatan masyarakat Jakarta secara khusus dan Jawa secara umum. Perasaan ini bertambah kuat, mengingat hampir semua pimpinan lembaga suprasrtuktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dipegang oleh orang Jawa. Akhirnya meski sudah diketahui, tetapi kita sebagai masyarakat Indonesia, senantiasa bertanya-tanya tentang apa sebenarnya yang sedang mendominasi atmosfir politik Indonesia.
Jawa adalah sumber dan penjaga institusi Demokrasi di Indonesia.
Jakarta dan Jawa di masa transisi politik demokrasi sekarang ini tengah menikmati keadidayaan yang bahkan belum pernah dirasakan oleh emperium terbesar dikawasan nusantara sekalipun pada permulan sejarah (majapahit). Dengan Jumlah penduduk yang sangat besar serta tersebar ke seluruh wilayah Indonesia yang tentunya sangat sinergi dengan sistem politik demokrasi (suara terbanyak), maka kemungkinan besar kekuatan politik kekuasaan mulai dari domain eksekutif, legislatif dan yudikatif masih tetap menjadi nama permanen bagi kekuatan politik Jawa.
Selain itu, Jawa bisa menguasai sistem politik kekuasaan Indonesia dengan kucuran akumulasi modal politik, sosial, budaya dan ekonomi yang jauh lebih besar. Sehingga kadang kala kebudayaan Jawa juga menjadi standar wacana dan laku bagi manusia Indonesia di seluruh pelosok Indonesia.
Politik polaritas Jawa sebagai kekuatan politik (bukan sebagai suku bangsa) dijaman sekarang mengalami metamorfosa yang sangat cepat dibanding dengan jaman sebelumnya. Di jaman dulu (pra kemerdekaan dan kemerdekaan), meski para tokoh dan pemikirannya sangat berorientasi Java-sentris tetapi tujuan mereka sangat egaliter dalam hal ini mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia dari sabang sampai merauke. Ironisnya dijaman sekarang hal tersebut tidak terjadi, justru politik popularitas kekuatan politik adidaya tersebut benar-benar telanjang yang sangat identik dengan arogansi dan keangkuhan. Ketimpangan pembangunan ekosopop (ekonomi, sosial, politik dan pendidikan) adalah realisasi dari keangkuhan tersebut. Sehingga tidak salah jika kemudian banyak kalangan yang berpendapat bahwa Jakarta dan daerah sekitarnya saja yang selalu dijadikan titik sentral pembangunan, sedangkan daerah lain hanyalah penyuplai pembangunan melalui kekayaan alam daerahnya.
Anehnya logika arogansi dan pandangan sebelah mata terhadap daerah khususnya mengenai pembangunan ini, serta akibat lanjutannya (separatisme dan lain-lain) justru menjadi justifikasi bagi pemerintah pusat untuk menjauhkan keterlibatannya dalam pembangunan dengan mengorbitkan investor asing untuk menggarap sumber daya alam daerah agar peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah bisa mengalami peningkatan. Hal inilah yang dijadikan sebagai jawaban atas ketimpangan yang ada. Bahkan ada upaya dari pemerintah pusat untuk berusaha melakukan penyelarasan dan penyeragaman pola kesejahteraan dan gaya hidup antara pusat dan daerah. Bahwa daerah harus meningkatkan gaya, taraf hidup dan kesejahteraannya agar mencapai gaya, taraf hidup dan kesejahteraan pusat. Akhirnya tidak heran jika kemudian orang-orang daerah terkesan tengah memainkan peranan sebagai pembantu rumah.
Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul adalah Apakah daerah-daerah lain di luar Jawa benar-benar telah mengetahui politik cengkraman kekuatan yang dijalankan oleh pusat dan Jawa untuk mencengkram konsep kebangsaan dan kenegaraan? Dan apakah pusat dan Jawa sebagai kekuatan politik benar-benar sadar tentang apa yang telah mereka lakuakan?.
Mengenai pertanyaan pertama, jika kemudian mereka tidak mengetahuinya, maka bagaimana bisa muncul gerakan pemberontakan di daerah. Dan mengenai pertanyaan kedua, jika kemudian mereka sadar dalam melakukan tarian politik kekuatan adidaya, maka bukankah model hubungan entitas politik yang dibangun berdasarkan cengkraman satu kekuatan tidak akan berumur panjang.
Pertanyaan dan Jawaban diatas memang merupakan penolakan realitas, tetapi penolakan yang dimaksud penulis lebih mirip pernyataan filsuf dan orang bijak ketimbang pernyataan para politisi. Proposisi pertanyaan dan jawaban menyandarkan penolakan kepada masa depan dan logika sejarah. Artinya, ini merupakan pernyataan yang mengindikasikan bahwa daerah tidak akan melakukan tindakan apapun untuk menghentikan politik polarisasi ini.
Dengan demikian jelas, bahwa pusat telah memasuki dunia dengan titik tolak keIndonesiaan baru. Indikasi-indikasi titik tolak ini terlihat dengan jelas dan sangat cepat, khususnya setelah keberhasilan politik kekuasaan dilembaga suprastruktur politik dan kepatuhan daerah dinusantara kepadanya serta tidak adanya perlawanan apapun yang layak disebutkan. Hal yang membuat pusat semakin serius untuk mencengkram daerah dan menanam investasi untuk kekuatan politik sebagaimana yang ditunjukkan pada maraknya fenomena terorisme dan separatisme.
Hanya saja, politik polaritas yang arogan ini akan mengundang permusuhan terselubung dan akan mengorganisir permusuhan tersebut untuk melawannya. Disamping akan mengubah relasi antar entitas politik yang semakin dingin, kelak daerah akan memukulnya dengan pukulan yang lebih dahsyat.
Logika kekuatan otot akan memicu pihak lain merasa dendam serta kebencian dan permusuhan yang sesungguhnya. Jika tidak ada ruang untuk mengartikulasikan perasaan ini, yaitu perasaan menjadi pemikiran, kemudian aksi, maka hasilnya pasti akan negatif, bahkan sangat destruktif. Jika tidak ada pembenahan politik secara total, maka bisa jadi Pusat akan jatuh dari ketinggiannya, sementara tidak akan ada siapapun yang akan mengasihaninya.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

INDONESIA+ASEAN: Hati-Hati dengan politik negara maju!!!

Meski terkesan kurang seksi untuk diketengahkan di tengah gelombang panasnya suhu politik dunia internasional dewasa ini, di tengah maraknya korupsi yang dilakukan secara berjamaah oleh para penguasa di setiap bangsa dan negara dunia, di tengah kepusingan dan kegelisahan para pengamat politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain dalam menganalisis, memetakan dan mengidentifikasi kausa prima dari berbagai problem kebangsaan dan kenegaraan di dunia, ditengah keapatisan dan keilfilan politik kaum inteleqtual, serta ditengah desah nafas penderitaan masyarakat negera dunia ketiga, tulisan ini mencoba untuk mengurai benang kusut kausa prima tersebut dengan seruan moral dan inteleqtual untuk kembali mengurai secara implisit geneologi teori dan praktek politik negara maju yang dikomandoi oleh Amerika Serikat terhadap negara dunia ketiga pada umumnya dan Indonesia+ASEAN khususnya, yang nantinya bisa menjadi titik tolak analisis dekonstruksi dan rekonstruksi politik tersebut. Sehingga kita mampu memetakan dan menentukan wacana, sikap dan respon terhadap ideologi tersebut.
Bung karno pernah berkata bahwa: “Masalah bangsa Asia harus diselesaikan oleh Bangsa Asia dan dengan cara-cara Asia. Asian Problems to be solved by themselves in Asian ways”.(Bung Karno, Konferensi Maphilindo di Manila 1963).
Pernyataan Bung Karno di atas lebih untuk menegaskan bahwa imperialisme negara barat (maju) terhadap negara berkembang seperti ASIA tidak akan pernah berhenti. Sehingga apapun yang dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang patut untuk diwaspadai, apalagi turut memberikan kontribusi pada negara maju dalam mengurusi persoalan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti ASEAN.
Sejak Indonesia mampu menghadapi krisis di tahun 2008-2009, negara-negara barat begitu mengagumi perkembangan ekonomi Indonesia yang sangat pesat, sehingga tidak jarang mereka mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi jembatan perekonomian Asia.
Perkembangan Indonesia saat ini membuat negara-negara barat baik Amerika maupun Uni Eropa semakin yakin untuk meningkatkan investasinya ke Indonesia. Mengingat Indonesia terkenal dimata dunia ineternasional sebagai negara yang berhasil dalam bidang ekonomi dan kaya sumber daya alam.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diiringi iklim demokrasi yang baik serta berjalannya penegakan hukum dan keamanan pun menjadi argumentasi retorik untuk menghujani Indonesia dengan pujian bertubi-tubi, seolah Indonesia adalah negara adidaya di Asean. Atas perkembangan inilah, negara-negara maju di barat memiliki niatan untuk meningkatkan komitmen kerja samanya dengan Indonesia di bidang perekonomian. Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian marak tren kunjungan kenegaraan ke Indonesia hanya untuk memberikan sematan tanda kemapanan perekonomian, ditambah lagi, belum genap setahun Indonesia menjadi pemimpin negara kawasan ASEAN, sudah banyak pernyataan yang bernada memuji keberhasilan Indonesia dalam memimpin negara kawasan tersebut.
Bukankah fenomena seperti ini mengafirmasi adanya politik U di balik politik B.
Politik Ada Udang dibalik Batu.
Meski terkesan stereotif, kita patut untuk mencurigai wacana dan laku politik negara maju khususnya AS dan sekutunya beberapa dekade terakhir ini terhadap ASIA secara Umum dan ASEAN+INDONESIA secara khusus, mengingat AS dan JERMAN sedang getol-getolnya mendekati wilayah ASEAN+INDONESIA dalam persoalan politik dan ekonomi. Hal ini dideteksi ketika presiden AS Barack obama turut hadir dan berpartisipasi secara penuh dalam forum KKT ASEAN yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Bali.
Politik U dibalik B yang paling patut untuk diwaspadai negara berkembang seperti Indonesia adalah interpretasi negara maju dalam menjalankan teori politik Harold laswell tentang “ politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”.
Proposisi “Siapa mendapatkan apa” telah mereka tegaskan maknanya menjadi “siapa yang memiliki kapital (ekonomi, sosial, politik ilmu pengetahuan dan teknologi), maka dialah yang berhak mendapatkan apa saja yang diinginkan meski harus menghalalkan segala cara. Fenomena maraknya negara maju mendekati negara berkembang dalam persoalan ekonomi dan politik merupakan salah satu dari cara bagaimana mendapatkan dan menguasai sumber daya yang dimiliki negara berkembang. Sehingga tidak jarang kita mendengar pujian hangat bernada persahabatan menghujani negara berkembang seperti kawasan ASEAN+INDONESIA. Yang pada akhirnya membuat negara berkembang menjadi mabuk kepayang atas pujian tersebut yang pada tahap selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk perjanjian kerja sama ekonomi dan politik. 
Politik yang seperti ini ibarat mengikuti logika politik orang dewasa terhadap anak kecil. Bahwa sudah menjadi hal lumrah jika orang dewasa menginginkan sesuatu dari anak kecil, maka hal yang paling sering dilakukan adalah memuji dan mengiming-imingkan imbalan kepada anak kecil tersebut agar melakukan dan menuruti kemauan orang dewasa. Hal inilah yang dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang dalam hal kepentingan sumber daya.
Proposisi selanjutnya “kapan dan bagaimana” mereka tegaskan maknanya menjadi “kapan saja dan bagaimana saja” politik harus dijalankan dengan kebutuhan kekuasaan, prestice, dan sumber daya. Artinya politik negara maju memiliki pretensi untuk mengaktualkan kepentingannya di negara berkembang dengan tidak ada batasan waktu, tempat dan cara. Sehingga yang terjadi kemudian adalah lahir kembalinya konsep elitisme politik. Dimana negara maju menjadi tuan bagi negara berkembang dalam kancah percaturan politik global. Logika tuan terhadap budak adalah despotik dan eksploitatif. Artinya selama waktu dan tempat masih menyediakan sumber daya, maka cara eksploitatif akan dan mutlak mengikuti arahan waktu dan tempat tersebut. Ibarat seorang majikan yang setiap waktu dan tempat akan selalu menjadikan budaknya menjalankan kepentingannya.
Sikap dan sifat eliteisme dalam domain politik internasional seperti inilah yang telah mendorong negara maju yang dikomandoi oleh Amereka Serikat merasa diri memiliki status ekosob (ekonomi, sosial dan politik) yang lebih tinggi daripada manusia-manusia dinegara lain khususnya Negara dunia ketiga. Sehingga bisa dan layak melakukan apa saja, termasuk menjadikan Negara dunia ketiga sebagai sapi perah.
Elitisme politik AS telah membangkitkan kembali budaya pagan dalam sistem feodal dan yang lebih ekstrimnya lagi adalah memungkinkan terpeliharanya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sejak dahulu menjadi parasit mematikan yang para pendahulu mereka mati-matian untuk membumi hanguskannya. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat neo-hibrida postmodernisme yang diusungnya sendiri. Yang tentunya disisi lain dalam kapasitas politik Negara berkembang yang masih dalam tahap konsolidasi dan transisi pasca revolusi, tentu akan mengalami kepunahan sikap dan sifat demokratis untuk membendung kekuatan politik yang begitu mencengkram tersebut.
Dinamika percaturan politik global dewasa ini jelas dan tegas memperlihatkan kepada kita sebagai masyarakat Negara dunia ketiga bahwa kecenderungan elitisme politik yang dipraktekkan oleh AS begitu tercermin kuat dalam setiap kebijakan luar negerinya. Ekspansi dan agresi baik dengan atau tanpa militer terhadap Negara dunia ketiga adalah salah satu dari sekian banyak watak dan perangai politik yang sangat sarat penjajahan yang orientasinya jelas berkaitan dengan sumber daya dan hegemoni ideologi.
Indonesia+ASEAN telah menjadi target dari politik yangh diuraikan diatas. Hal yang perlu menjadi atensi kita bersama adalah terkait persoalan penempatan pangkalan militer AS di Darwin Australia serta masalah Papua yang sampai hari ini belum juga menemui titik terang. Ada indikasi bahwa politik yang dipakai oleh AS adalah Politik mengamankan zona ekonomi pasifik selatan yang pintu gerbangnya adalah Papua dan berandanya adalah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dari tangan raksasa ekonomi Asia (China). Itulah sebabnya mengapa AS sangat khawatir dan ingin terlibat langsung untuk berkontribusi dalam pertemuan KTT Asean yang diselenggaran di Bali beberapa waktu yang lalu.
Hal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak konsepsi politik elitisme yang dicoba untuk dipraktekkan AS ditengah resesi ekonomi dunia yang melanda Zona Eropa dan Amerika dilain pihak serta menguatnya ekonomi Asia timur dan tenggara dipihak lain.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu, harus ada penegasan bahwa masyarakat dunia, harus menolak setiap tindak-tanduk ideologi eksploitatif politik yang merupakan sumber dari kepincangan, ketimpangan dan penyimpangan ekonomi dan politik yang ada dalam masyarakat dunia dewasa ini.
Harus ada penegasan dari Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia bahwa Hukum baku kebangsaan dan kenegaraan didunia adalah “penjajahan dengan segala tekstur dan konturnya diatas dunia harus dihapuskan”. Rakyat dan politikus dinegara-negara dunia ketiga harus meluruskan saf pemikiran, ucapan dan tindakan bahwa dalam konteks sistem politik demokrasi, negara dunia ketiga merupakan pemilik sah Re-publiknya masing-masing, dalam arti bahwa mereka merupakan elemen nukleus dari bangsa dan negara, sedangkan negara maju tidak lebih sebagai aksesoris relasi antar peradaban. 
Jika negara maju menginginkan atau membutuhkan sumber daya, maka mereka harus rela menjadi pelayan. Sebab entitas politik yang membutuhkan harus tunduk dan patuh terhadap pemberi kebutuhan. Karena mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut negaranya jelas difasilitasi oleh sumber daya dari negara berkembang. Artinya, guna menerjemahkan keinginan, kepentingan, kebutuhan dan cita-cita masyarakatnya, negara maju harus bersikap kooperatif kepada negara berkembang. Dengan demikian, negara maju harus mengerti bahwa posisinya yang tidak memiliki sumber daya alam, tidak lebih dari seorang pelayan atau budak sedangkan negara dunia ketiga adalah pemilik sah kedaulatan kebangsaan dan kenegaraannya alis majikan.
Dengan dasar inilah, maka negara maju tidak diperbolehkan menganggap diri sebagai elite dari negara berkembang, sebab hal tersebut merupakan penyimpangan gender politik. Sebaliknya negara berkembang juga tidak diperbolehkan menyerakhan kepemilikan kedaulatan kebangsaan dan kenegaraan dengan mengamini kredo elitisme tersebut, sebab sikap dan sifat seperti itu seruang dan sebangun dengan penyimpangan gender (jenis kelamin) politik.
Dibalik deskripsi di atas, kita tidak akan mungkin bisa menentukan sikap termasuk penegasan dan penjelasan tentang implikasi politik yang diadopsi dan dijalankan oleh negara maju seperti Amerika Serikat terhadap negara berkembang seperti ASEAN+INDONESIA, jika tidak ada landasan pengetahuan kita, tentang kausa prima lahir dan berkembangnya ideologi politik yang mendasari politik negara adidaya tersebut.

Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Rabu, 02 November 2011

BUDAK-BUDAK PASAL

Busuk, kotor, penipu, penjilat, tikus berdasi, pencuri, dan masih banyak istilah lain yang segunung dan sedanau dengannya (silakan cari sendiri), merupakan sebagian kecil dari beberapa term yang begitu populer di kalangan masyarakat, ketika menghubungkan sikap dan perilaku penegak hukum kita sebagai komando lapangan proses penegakan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengingat sikap dan perilaku koruptif ekspansif, eksploitatif, subversif dan masif yang diperagakan oleh para penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) dewasa ini, mungkin hanya mereka yang berada dalam posisi sebangun dan seruang dengan perilaku koruptif tersebutlah yang jarang (kalaupun ia, hanyalah retorika sempalan) atau mungkin tidak pernah mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan yang bernada hujatan dan kecaman terhadap para penguasa yang telah menjarah kedaulatan rakyat tersebut.
Pertanyaan yang kemudian lahir adalah “Atas dasar apa mereka bersikap dan berperilaku seperti itu?, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab lahir, tumbuh dan berkembangnya sikap dan perilaku seperti itu?, dan apakah ada manusia Indonesia yang tidak pernah terjerembab dalam sikap dan perilaku seperti itu?”. Pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh setiap individu, sebelum terlalu jauh mengklaim, menghujat,menghakimi, menghukumi dan menyalahkan indivudu yang lain.
Pertanyaan inilah yang membuat penulis tidak mau terlalu terburu-buru beromantisme dengan pernyataan yang bernada hujatan dan kecaman kepada mereka (penguasa) yang melakukan tindak pidana korupsi, sebab penulis merasa tidak ada jaminan bahwa manusia seperti saya, kamu, dia, kalian dan mereka tidak pernah tersentuh yang namanya perilaku korup. Meski sikap dan perilaku tersebut berbeda dalam tingkatan skala dan kadarnya, namanya korupsi tetap saja korupsi. Hanya saja, cukup ironis memang, jika kemudian kita mengkoparasikan sikap dan perilaku koruptif yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan sikap dan perilaku koruftif yang dilakukan oleh para penegak hukum kita. Mereka yang seharusnya menjadi oase keadilan justru mengering dan menanduskan keadilan tersebut.
Apakah sama korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para penguasa khususnya penegak hukum sama dan serupa dengan perilaku KKN yang diperagakan oleh penjual sayur dan tukang ojek yang mencari sesuap nasi untuk anak istrinya?. Dalil yang selama ini menjadi apologi entah itu mereka (penguasa) maupun kita sebagai rakyat adalah “tidak ada manusia yang luput dari kekhilafan, dosa dan salah” . Sebuah pembenaran yang sangat miskin pemahaman tentang nilai fitrawi manusia. Apakah sama penguasa misalnya Menteri, hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang keluar rumah dan lupa mengancing resleting celananya, dengan penjual sayur yang kepasar kemudian lupa mengancing resleting celananya?.
Analogi sederhana dalam proposisi diatas memaksa akal kita untuk membenarkan pernyataan yang bernada hujatan dan kecaman kepada mereka (penguasa, khususnya penegak hukum) yangmemang selama ini telah menjadikan hukum dan lembaga penegak hukum sebatas laboratorium akumulasi citra dan popularitas untuk melepaskan dahaga hasrat untuk dimuliakan dan diagungkan melalui tumpukan material.
Geneologi sikap dan perilaku Korup.
Apakah setiap manusia Indonesia yang dilahirkan kedunia ini memang dalam keadaan dan membawa bibit sikap dan perilaku yang korup?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka ada baiknya kita melakukan pendefinisian awal menganai sikap dan perilaku korup tersebut, dalam rangka mengurangi prasangka atau penilaian subyektif?
Korupsi secara implisit adalah sikap dan perilaku, dimana individu atau kelompok mengambil hak yang bukan menjadi haknya, entah itu dalam hal yang bersifat material maupun non material. Dan menurut kaca mata akal manusia awam, korupsi kadangkala disinonimkan dengan pencuri.
Berdasarkan definisi sederhana di atas, maka sikap dan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme ternyata usianya seiring dan sejalan dengan usia sejarah peradaban manusia.
Mereka (para penegak hukum) yang selama ini mendapatkan pernyataan yang bernada hujatan, pada mulanya sama seperti aku, kamu, dia, kita, kalian dan mereka. Kita semua lahir dari rahim seorang ibu, meski secara esensial ibu kita berbeda, tetapi tidak bisa dinafikan bahwa secara substansial tidaklah berbeda.
Apakah ada seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan seorang anak dengan harapan, agar kelak anaknya menjadi pencuri, penipu, penjilat, tikus berdasi, murtad, tidak bermoral dan lain-lain?, apakah mereka tidak punya harapan kepada anak mereka, agar kelak menjadi manusia yang berbakti kepada “Rahim” (manifestasi sifat Ar-Rahman Dan Ar-Rahimnya Tuhan/ pengasih dan penyayang) yang telah memberikan wujud kepada mereka?, apakah memang aku, kamu dan kalian merasa berbeda secara fitrawi ketika dilahirkan ke dunia (asal kata dhani dalam bahasa arab yang artinya hina dan rendah)?
T I D A K,.,.,.,.,!. Tidak satupun bayi manusia yang lahir kedunia ini dengan nafsu ingin menguasai, menyakiti, berkhianat, berpretensi serta cenderung kepada atensi meniduri fitrawi kemanusiaannya. Mereka (para penegak hukum) juga mula-mula dilahirkan dan dibesarkan sebagai anak yang pastinya diajarkan kebajikan, keadilan dan kebenaran.
Sejarah setiap manusia selalu sama, dalam hal ini lahir dan besar bukan dibawah ayunan kasih sang raja rimba, tetapi ibu yang melimpahinya kasih dan sayang. Tidak ada ibu yang mengajari anak-anaknya, jika kelak menjadi jaksa, hakim, pengacara dan polisi, maka biasakanlah dengan kegiatan suap menyuap, korupsi, kolusi dan nepotisme serta berkawan dengan mafia. Mereka, kalian, kita dan aku dalam cotetan tinta sejarah asuhan manusia, di besarkan dengan oase petuah moral dan etika yang sama (kejujuran, kebenaran, beranian, dan tanggung jawab).
Memang sebuah ironi ketika mereka dewasa, kekuatan didikan moral tersebut dikalahkan oleh kenyataan paradoksal. Lingkungan pekerjaan dari berbagai klan profesi menyuguhkan realitas yang jauh berbeda, dibingkai oleh sistem yang korup dan mungkar. Begitu sedemikian hingga, kemudian membuat penegak hukum kita, dibesarkan tidak hanya oleh didikan ibunya, tetapi juga oleh lingkungan korup dimana karirnya berkembang. Lingkungan itu telah lama memelihara bisa beracun dari birokrasi kawanan ular. Ditambah lagi budaya atasan selalu benar dengan segala firmannya turut menjadi kredo yang tidak bisa dibantah dalam teori birokrasi, sehingga anekdot tentang “ saya yan paling lama disini, maka saya yang lebih tahu, mau naik pangkat, ikuti dan turuti perintah saya” mendapatkan legitimasinya.
Tapi jangan terburu-buru untuk mengatakan bahwa hanya lingkunganlah yang memberikan kontribusi akut terhadap lahirnya budak-budak pasal tersebut. Kepribadian (mental dan spritual) para penegak hukum itu sendiri juga turut andil dalam mengafirmasi dan membentuk perangai korup yang eksploitatif tersebut (Kana minal kafirin). Kepribadian tempe-tahu yang terlalu gampang menyerah dan mengalah pada arsenal kepribadian intel (indomie-telur) yang serba pragmatis, lebih mengutamakan prestise, jabatan dan kuasa ketimbang harga diri dan prinsip. 
Suatu kepribadian gigantik material yang tidak akan pernah puas dengan apa yang ada, sebab pandangan dunia material selalu disesaki oleh rutinitas hasrat kepemilikan dan penguasaan berlebih-lebihan. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab obyek material memang selalu berubah-ubah (tidak kekal), sehingga setiap runag dan waktu tertentu selalu muncul materi baru yang lebih, untuk menggantikan yang lama, ditambah lagi manusianya yang tidak pernah puas dengan materi yang ada (hari ini korupsi motor dinas, besok korupsi mobil dinas).
Lahirnya Budak-Budak Pasal
Aib penegak hukum tumbuh dan berkembang bukan karena pengkhianatan, karena biasanya orang yang berkhianat dulunya baik atau jahat, sehingga perkembangan waktu selanjutnya menjadi tidak baik atau jahat, tetapi lebih karena mereka sejak dibangku sekolah dan kuliahh telah terbiasa mengalah dengan teori dan pengajaran yang koruptif dari guru dan dosennya, sedangkan guru dan dosennya telah terbiasa menerima dan mengalah terhadp sistem pendidikan yang korup.
Dosen dengan antusiasnya memberikan materi ajaran dengan proposisi yang seolah menjadi sebuah aksioma dalam sivitas akademik ilmu hukum. Proposisi yang sudah lumrah kita dengar adalah bahwa “semua orang itu, kedudukannya sama di hadapan hukum, dan seorang tidak bisa dinyatakan bersalah, sebelum diputuskan oleh pengadilan”. Dua proposisi yang menggantung keadilan setinggi-tingginya agar tidak tersentuh oleh kaum mustadafin, dan proposisi yang menempelkan keadilan dijepitan penguasa dan kaum berpunya.
Sesungguhnya interpretasi dari dua proposisi diataslah yang merupakan kausa lahirnya Budak-budak pasal.
Proposisi pertama menegaskan bahwa semua orang entah itu koruptor (pencuri uang rakyat), pencuri ayam, pembunuh aktivis, dan pembunuh majikan penyiksa, semua sama kedudukannya dihadapan hukum yagni sama-sama pencuri dan sama-sama pembunuh. Artinya bahwa antara koruptor dan pencuri ayam, serta antara pembunuh aktifis dan pembunuh majikan penyiksa, sama-sama dikenakan pasal HUHP yang sama dan kadang kala yang lebih memprihatinkan lagi bahwa ternyata pasal-pasal tersebut bisa diracing leh jaksa, hakim, dan pengacara, sehingga tuntutan yang dibebankan kepada para tersangka dan terdakwa bisa jadi berubah 180*, dimana koruptor dituntut dan divonis 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun penjara sedangkan pencuri ayam dituntut dan divonis 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun penjara. Adil bukan? Ya,.,kan,.kedudukannya sama dihadapan hukum.
Proposisi kedua menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dinyatakan salah (koruptot dan pencuri ayam), sebelum diputuskan oleh pengadilan. Artinya bahwa sebelum diputuskan jangan dulu dinyatakan sebagai koruptor dan pencuri ayam. Sebelum diputuskan harus jelas dan lengkap dulu bukti hukumnya. Dengan logika yang seperti ini, maka pencuri ayam akan lebih gampang untuk dituntut dan divonis, karena barang buktinya sangat jelas (pencuri dan barang curian, yang dicuri, serta saksi pencurian). Nah bagaimana dengan para koruptor?. Jelas butuh waktu lama untuk menemukan bukti hukum yang memperkuat dakwaan, terlebih lagi jika bukti hukum tersebut telah dibumihanguskan. Belum lagi kongkalikong antara terpidana, jaksa, pengacara dan hakim dalam menemukan dan menjabarkan barang bukti yang didapat. Jadi penulis kira, cukup jelas dan tegas apa yang disampaikan oleh Clarence Darrow bahwa “keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di dalam ruang sidang, tetapi keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu”.
Hukum bagi para budak pasal adalah ketentuan yang sudah baku dan tidak bisa lagi ditawar meski dengan alasan keadilan dan nilai kemanusiaan. Tentu hal tersebut berbeda atau tidak berlaku bagi para pelaku kkejahatan HAM berat, dan korupsi, mungkin dan pasti bisa ditawar tergantung kepentingan siapa dan berapa “V”nya. Sebab mereka tahu betul siapa yang tersangkut perkara ini dan mereka yakin bahwa untuk menghadapi perkara ini tidak hanya membutuhkan pengetahuan. Akhirnya mau tidak mau dan suka tidak suka, kompromi merupakan cara yang paling bijak. Kompromi adalah watak umum yang ditanam di dalam keyakinan mereka, kalau keberanian, idealisme, kenekatan dan terobosan hanyalah perbuatan bunuh diri.
Jadi jangan heran, jika kemudian hukum tidak lagi menajdi lokomotif pertarungan gagasan dan moral keadilan, karena memang keadilan telah lama mengalami alienasi dan kehilangan spirit malakutnya (cita-cita dan impian).
Hukum dirangkai secara hierarki dalam urutan “pasal” dan dibingkai oleh prosedur yang kebal terhadap kritik. Asas pembuktian dan asas praduga tak bersalah selalu menjadi legitimasi ampuh untuk menyembunyikan kejahatan kawanan (korupsi, kolusi dan nepotisme), sehingga posisi tersangka, terdakwa, saksi dan korban amat gampang untuk dipertukarkan.
Para budak pasal tentunya sangat bahagia dengan posisi, situasi dan kondisi seperti ini. Sebab rekening gendut miliaran rupiah telah menjadi cita-cita besar dan terhebat mereka. Jadi jangan harap hukum dan keadilan menjalin cinta dengan mesra, dimana hukum sebagai pecinta telah menyelingkuhi sang kekasihnya (keadilan).
Bom perubahan dalam dunia hukum, hanya bisa meledak jika konsep dan konten teori dan praktis “Keadilan Ilahi”, menjadi mesin utama penggerak ledakan. Sebab keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan budaya hanya bisa bersemayam sebagaimana mestinya, jika dan hanya jika dilandasi oleh pengetahuan, keyakinan dan keimanan manusia terhadap keadilan ilahi.

Oleh: Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa FISIP UMJ)

Papua (Ironisme Daerah Kaya Raya)

Papua merupakan salah satu daerah Indonesia yang memiliki andil yang sangat determinan dalam menentukan pasokan besar-kecilnya devisa negara di sektor pertambangan. Hal ini bukanlah sesuatu yang tanpa alasan rasional, mengingat sumber devisa terbesar di republik ini berasal dari sektor migas dan pertambangan.
Papua yang sejak pemerintahan Soeharto telah kedatangan tamu dari perusahaan multi nasional (PT. Freport) berdasarkan legitimasi UU penanaman modal asing, telah menjadi daerah paling produktif di sektor pertambangan yang menghasilkan devisa negara yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya dibanding dengan daerah lain di kepulauan nusantara. Sehingga tidak salah jika kemudian negeri Papua dipuja-puja hasil perut buminya, karena aset kekayaannya memang luar biasa: tanah yang subur, kaya mineral, minyak bumi, tembaga, emas, besi, dan batu bara, hutan tropis yang lebat, iklim yang stabil, dan relief alam yang indah.
Sejak negeri tersebut di masuki oleh perusahaan asing (PT Freeport Indonesia) beberapa puluh tahun yang lalu, hasil perut bumi kawasan amazon Indonesia tersebut telah memberikan ratusan juta hingga miliaran dolar AS per tahun kepada perusahaan maupun Negara. Berton-ton emas yang dikeluarkan dari dalam tanahnya telah memberikan Indonesia kebanggaan sekaligus keistimewaan tersendiri baik ditinjau dari segi sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
Namun siapa akan menyangka bahwa bangsa sekaya tersebut ternyata punya berbagai penyakit ekosob (ekonomi, sosial, politik) yang sudah memasuki stadium akhir dengan maraknya berbagai konflik vertikal dan horizontal disatu sisi dan ketimpangan ekosob yang berimplikasi pada stigma, pola dan gaya hidup yang saling menegasikan disisi yang lain.
Daerah yang kaya raya SDA tersebut ternyata menyisakan kemiskinan kearifan SDM dalam mengurai segala sendi hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi pengaruh eksternal (pemerintah pusat dan dunia internasional) turut pula memberikan legitimasi dalam mereduksi nilai kearifan lokal Papua tersebut. Dua pengaruh inilah yang paling kental mempengaruhi paradigma berpikir stereotif diantara sesama warga pribumi untuk saling membantai, paling berpengaruh dalam mengobarkan api konflik laten yang bersifat horizontal, dan paling berkontribusi dalam melanggengkan ketimpangan ekosob (ekonomi, sosial dan politik) di bumi kepulauan Cendrawasi tersebut. Dua pengaruh ini pula yang kemudian secara konstan dan paralel mentransformasikan frustasi ekosob yang tadinya masih bersifat potensial (bisa dicegah) menemukan ruang dan waktu aktualitasnya secara membabibuta.
Wilayah yang diperjuangakan dengan susah payah melalui tragedi berdarah pembebasan Irian Barat dijaman Orede baru tersebut kini jatuh miskin oleh kerusakan dan krisis multidimensional yang meliputi sendi-sendi dasar kehidupan dan interaksi sosial: krisis otoritas, kepemimpinan, kepercayaan, krisis moralitas, dan seterusnya. Wilayah yang selain dimiskinkan oleh korforasi dan pemerintah pusat juga dimiskinkan oleh para penguasa setempat yang ironisnya ternyata adalah putra-putri pribumi bangsa sendiri.
Bukakankah sebuah keanehan yang menggelitik, ketika sebuah daerah yang telah banyak memberikan kekayaan devisa terhadap negara (pusat), justru disebut dan dikategorikan sebagai wilayah yang paling miskin dan tertinggal dibanding daerah lain di bumi pertiwi nusantara ini?. Dan bukankah sebuah pengkhianatan dan penghinaan terhadap saudara sebangsa sendiri ketika hampir sebagian penduduk negara Indonesia mengamini klaim tersebut?. Anehnya liputan dan wacana yang didapatkan dari media massa, selalu saja menempatkan Papua sebagai daerah yang diidentikkan dan disinonimkan dengan peradaban dunia klasik yang serba tertinggal. Ironisnya, catatan dan pengamatan yang dilakukan berbagai kalangan pengamat ekonomi, sosial dan politik justru membenarkan bahwa Papua tidak lebih sebagai daerah yang tertinggal dalam semua lini hidup dan kehidupan karena ketidakberdayaan sektor pendidikan oleh penduduknya. Bukankah wacana dan laku tersebut adalah sebuah kenaifan dan miskin solidaritas kebangsaan dan kenegaraan yang mendeklarasikan diri bersatu?
Mengapa miskin, tertinggal dan rawan konflik?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penyaksian kita melalui media massa telah menyuguhkan stigma untuk membenarkan bahwa peradaban Papua memang serba miskin dan tertinggal. Busung lapar dimana-mana, penduduk yang masih belum mengakomodasi kebutuhan sandang, pangan dan papan masih merajalela, anak usia didik yang belum mengenyam pendidikan masih menempati gudang kemiskinan ilmu, dan masih banyak ketertinggalan lainnya yang senantiasa menjadi komoditas totonan bagi hampir seantero pendududu Indonesia yang disuguhkan oleh media massa.
Ironis memang, bahwa fenomena yang menimpa Papua tersebut di atas justru tidak sebanding dan proporsi dengan besaran sumbangsih devisa negara yang telah diberikannya selama puluhan tahun. Porsi APBN yang menggunung hasil sumbangsihnya ternyata tidak lebih dari sekedar upeti daerah yang disumbangkan kepada pusat.
Setiap manusia Indonesia yang sehat dan baliq akalnya, tidak akan pernah menolak dan keberatan untuk memberikan pengakuan bahwa Papua yang merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam disatu sisi, dan akan merasa sakit hati dan empati dengan kondisi obyektif yang mereka alami dan rasakan, dimana kemiskinan dan ketertinggalan adalah kawan sekaligus lawan hidup dan kehidupan mereka sehari-hari. Manusia Indonesia yang menganggap Papua sebagai bagian dari hidup dan kehidupannya niscaya akan menganggap bahwa fenomena ini adalah sebuah aksiden kegilaan para penentu kebijakan tertinggi di republik ini.
Hanya manusia Indonesia yang bermental penjajah saja yang akan mengamini analisis para pengamat lintas keilmuan (ekosop) selama ini yang menganggap bahwa Papua miskin dan tertinggal karena SDM yang miskin ilmu penegtahuan?. Jikapun kenyataannya demikian, bukankah hal tersebut adalah kewajiban negara untuk memberikan akses tersebut?
Tidak perlu menjadi pakar atau pengamat ekosop (ekonomi, sosial dan politik) untuk menjustifikasi dan memeteraikan bahwa rakyat Papua Miskin dan Tertinggal bukan karena persoalan ketidakberdayaan Sumber daya manusia karena pedidikan, apalagi dengan alasan karena kemalasan. Mereka tertinggal lebih karena daya dan sumber daya ekonomi, politik, pendidikan dan sosialnya tidak diberikan oleh negara. Kesempatan pendidikan yang sangat minim dan ruang ekonomi yang sangat sempit disatu sisi, serta eksploitasi besar-besaran terhadap alam dan manusia Papua dalam domain komoditas politik penguasa merupakan salah satu dari sekian banyak alasan yang bisa dikemukakan atas ketertinggalan, konflik dan kemiskinan yang mereka ratapi.
Dan tidak perlu menjadi seorang akademisi dan politikus handal untuk membenarkan bahwa negaralah (pemerintah pusat dan daerah) yang paling bertanggungjawab atas fenomena ketimpangan kemanusiaan di atas, mengingat tidak pernah selesainya urusan mereka dengan masalah korupsi dan nepotisme. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh negara selama ini terhadap Papua sangat dikriminatif dan represif. Jikapun beberapa tahun yang lalu telah digulirkan UU utonomi khusus buat Papua, tidak lebih sebagai apologi politik untuk mengelabui pandangan dunia internasional dan nasional.
Jika kita ingin mengurai geneologi terkait persolan Papua, maka wacana pemerataan pembangunan tidak bisa dinafikan.
Kompresi (penekanan) peradaban yang didesain pemerintah pusat kepada Papua yang cenderung didiskreditkan, telah melahirkan begitu banyak kesalahan fungsi dan kerusakan dalam strata masyarakat di kepulauan cendrawasi tersebut. Kesalahan fungsi inilah yang melahirkan begitu tingginya tingkat frustrasi yang kemudian mengaktual dalam konflik di hampir semua wilayahnya mulai dari distrik sampai wali kota, baik untuk urusan perut maupun urusan kekuasaan kepala daerah. Pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah Papua telah lupa bahwa disatu sisi, tiap kali pembangunan fisik di agendakan dalam rancang bangun program kerja kabinet pemerintah, mereka tidak pernah mengetengahkan desain pemerataan pembangunan yang lebih komprehensip agar ketimpangan dan kecemburuan ekosob bisa diminimalisir. Sementara disisi yang lain, pembangunan pola relasi kebangsaan yang meliputi pembangunan suprastruktur masyarakat dalam menerima kemajuan peradaban yang ada, justru semakin hari semakin tenggelam begitu saja dalam etalase hasrat penyakit kawanan penguasa (KKN) kita.
Developmentalisme yang dijalankan oleh pemerintahan pusat baik jaman orde Orde Baru, reformasi maupun post-reformasi ternyata hanya menghasilkan nasionalisme untuk pragmatisme kapital (ekonomi, sosial dan politik) yang mengakibatkan adanya ketimpangan antar kelas sosial yang sangat jauh.
Tragedi konflik pemboikotan dan pemogokan massal yang dilakukakan oleh para karyawan PT. Freefort dengan pihak manajemen, penembakan oknum yang tidak dikenal terhadap Politisi, bentrok antara warga terkait pemilu kepala daerah kabapaten Puncak Jaya beberapa waktu lalu, serta teriakan suara pembebasan OPM yang melenting sampai hari ini yang kita dengar dan saksikan di media massa, bisa jadi adalah sebuah tuntutan dan tekanan terhadap penentu kebijakan tertinggi dengan landasan teori di atas.
Sentimen agama, suku dan antar golongan yang tumbuh dan mengaktual menjadi konflik berdarah dan kenaifan para pemimpin agama, pemerintahan, dan tokoh masyarakat, menyebabkan cerita untuk melawan rezim yang membodohi berubah menjadi sebuah perang suci untuk membela identitas dan kearifan lokal.
Jika sampai hari ini, pemerintah pusat dan daerah Papua, masih juga mempertahankan egosentris hasrat kekuasaan dan jabatan yang berlebih-lebihan, maka warna politik Papua saat ini dan yang akan datang akan selalu diwarna konflik vertikal dan horizontal. Jika pemerintah sama sekali tidak tersentuh hati dan akalnya oleh kebenaran dan keadilan, dan masih saja asyik bermain di atas kepentingan partai untuk melegalkan pengeksploitasian terhadap Alam dan manusia Papua, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti, warga Papua bisa menjadi lautan darah tanpa jeda.
Kemiskinan, konflik dan ketertinggalan rakyat Papua bisa saja teratasi jika hal tersebut diatas dilawan dalam dua pendekatan. Pertama, melawan kemiskinan dan ketertinggalan dengan memberikan akses terhadap pendidiakan yang berkeadilan, akses terhadap kesempatan kerja, akses terhadap layanan publik dan akses terhadap informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Kedua, Melawan kemiskinan dengan menerapkan pemberdayaan ekonomi yang menguntungkan rakyat. Hal inipun tidak akan terpenuhi jika political will dari penguasa masih dalam lokus setengah hati.
Masalah yang terus menghujani Papua, tidak akan pernah menemui titik pemecahan komprehensip, jika pemerintah pusat dan daerah masih juga membangun persekongkolan politik untuk menjadikan Alam dan manusia Papua sebagai komuditas politik untuk menerjemahkan kepentingan politik mereka dalam rangka menumpuk rupiah dan jabatan.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Jumat, 22 Juli 2011

Ketika Politisi Menjadi Selebritis

Merupakan suatu hal yang wajar jika kemudian seluruh lapisan masyarakat, beberapa dekade ini, menyebut politisi atau politikus sebagai warga negara dan profesi yang paling patut bersyukur dan bahagia akhir-akhir ini.
Proposisi diatas bukanlah pepesan kosong yang kering makna, apalagi beberapa minggu terakhir ini, Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat), yang juga merupakan salah satu politisi senayan, menjadi pusat perhatian masyarakat luas lewat pemberitaan media massa. Lewat kasus dugaan suap terhadap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, politisi yang terkenal kalem tesebut ternyata melarikan diri keluar negeri. Yang lebih menghebohkan lagi ketika beliau membombardir partainya sendiri dengan wacana partai korup. Hal tersebut tidak hanya merontokkan citra partai berkuasa pengusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, sebab siapa sangka kasus tersebut juga memfaksionalisasi kader partai untuk gontok-gontokan wacana.
Melalui Black Barry, Nazarudin menari dan menyanyi khas strategi manufer politik politisi teraniaya. Hal tersebut dilakukan terkesan untuk mengancam rekan se-institusinya agar tidak menjadikannya seorang diri sebagai korban politik. Wacana-wacana yang dilemparkannya mampu mempengaruhi media massa untuk menjadikannya pusat pemberitaan. 
Terlepas dari semua problem yang ada entah itu bersifat pribadi, keluarga, pekerjaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan bernegara, Nazarudin telah hadir bak sebagai malaikat penghibur bagi negeri yang haus akan sosok pahlawan politik di tengah kondisi perpolitikan yang edan ini.
Sejenak untuk berpikir secara kontemplatif, akal akan senantiasa memberikan pengarahan bahwa negara ini telah mengidap sindrom krisis Figur dan Tokoh yang akut. Setali tiga uang, fenomena diatas suka tidak suka telah melahirkan implikasi sosial dan politik yang serius.
Ada beberapa hal yang saat ini patut untuk menjadi sorotan publik dan harus segera mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah khususnya Institusi yang selama ini mengalami krisis kepercayaan publik. 
Pertama, stigma pencitraan yang melekat kuat pada pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah adalah aktor pencitraan. Walaupun memang, pada awalnya pencitraan mempunyai artian dan konteks yang positif, yaitu sebuah upaya untuk menerjemahkan komitmen,etiket yang baik, dan kompetensi dalam melaksanakan kinerja pemerintahan yang berorientasi kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, orientasi tersebut pada perjalanan selanjutnya melenceng jauh dari rel dan dianggap telah mengantarkan pencitraan pemerintah ke dalam jurang kebangkrutan strategi, tehnik dan taktik.
Stigma ini semakin kuat, karena pemerintah terutama pada dekade terakhir ini banyak mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan yang kurang mendapat simpati dari rakyat bahkan kadang kala mendapatkan hujatan yang serius. 
Memang tidak fair mensimplifikasikan infra struktur politik seperti partai politik dan politisinya sedemikian besar hanya dengan orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaan mengingat jumlah anggota yang sangat banyak. Akan tetapi, hal ini cukup bisa dipahami karena di sanalah “sebagian sangat kecil” dari anggota-anggota itu melakukan “peranan yang sangat besar” dalam menentukan arah gerak institusi ini dengan policy yang ada di tangan mereka. Karena itu, institusi pemerintah tidak boleh menolak mentah-mentah kalau dikatakan sebagai aktor utama pencitraan dan seharusnya tetap melakukan refleksi dari gugatan-gugatan yang dialamatkan kepadanya.
Kedua, mesin politik pemerintah dalam hal ini partai Demokrat pada masa-masa awalnya sejak menjadi kontestan politik kekuasaan tahun 2004 adalah benar-benar sebuah organisasi yang mempunyai semangat besar dalam memperjuangkan perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat luas, sehingga pada masa lalu stigma yang terbangun di masyarakat cukup positif bahkan tidak jarang terdengar bahwa partai Demokrat merupakan alternatif pertama dan utama saluran komunikasi politik bagi masyarakat, khususnya kaum pecinta demokrasi sebagai sistem politik. Akan tetapi, kekuasaan telah berhasil menggoda parpol ini dan membuat orientasi kerakyatannya menjadi semakin menipis dan bahkan menghilang. Partai yang berlambang bintang bersegi tiga tersebut beserta sekutu dari parpol lainnya, hanya sibuk mengurusi persoalan-persoalan pencitraan elite dan parpol serta melupakan hubungan simbiosisnya dengan rakyat. Jarang sekali kubu partai pemenang pemilu memperlihatkan kepeduliannya dalam upaya memberdayakan masyarakat.
Ketiga, format rekruitmen anggota partai politik mengalami stagnasi yang sangat serius. Dari dulu hingga sekarang format rekruitmen tidak ada perubahan signifikan. Pada masa awal eksistensinya, format rektuitmen mungkin adalah yang the best of the best. Akan tetapi ketika perubahan yang terjadi selama sekian puluh tahun terjadi sedemikian gencar, institusi politik ini, nampak tergagap-gagap karena sudah jauh ketinggalan dengan pola-pola rekruitmen yang digunakan oleh institusi lain seperti pegawai negeri pemerintah yang sudah mengambil spesialisasi dan mengelolanya secara lebih profesional. Apabila disejajarkan dengan institusi pemerintahan yang lain seperti dinas pemerintah mulai dari perikanan,penerbangan, perhubungan hingga dinas pemerintahan dalam negeri. Partai politik terkesan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi realitas sosial yang terjadi sekarang ini. Yang lebih memprihatinkan lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa rekruitmen yang dilakukan syarat dengan KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Dari pada sibuk dengan pencitraan yang terkesani elitis dan institusional sebaiknya institusi politik ini segera berbenah diri dengan merubah budaya rekruitmen anggota dengan mencari pola baru yang lebih humanis dan dibutuhkan untuk menjalankan amanah kedaulatan rakyat sebagaimana mestinya.
Keempat, lembaga infrastruktur politik (parpol) ini tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat. Masyarakat awam sekalipun yang kurang paham tentang institusi politik dan hanya mengetahui sedikit melalui argumentasi polemik (kata orang banyak) berharap banyak bahwa institusi ini akan berbenah diri terutama berkaitan dengan spesialisasi tugas dan fungsinya. Sudah banyak kekecewaan yang mereka dapatkan ketika berhubungan langsung dengan institusi ini.
Kelima, institusi ini kehilangan cirinya sebagai institusi penampung, penyalur, pelindung dan pengayom kepentingan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh budaya yang mengarah kepada rekruitmen anggota dan kinerja yang secara lambat tapi pasti selalu mengalami degradasi yang cukup drastis. Mereka hanya disibukkan dengan rutinitas pencitraan atau bahkan lebih parah lagi disibukkan oleh konflik internal antar elit yang kontraproduktif dan hanya buang-buang energi saja. Di tambah lagi, institusi ini terlalu bangga dengan kiprah dan perjuangannya melalui retorika podium, seolah mereka telah menghipnotis masyarakat dengan menggumbar janji-janji palsu.
Keenam, Institusi ini kering Moralitas-spiritual. Partai politik memang adalah sebuah institusi yang tidak pernah mendoktrin anggotanya untuk memahami agama secara konprehensif. Tetapi bukankah setiap lembaga negara senantiasa berpedoman kepada pancasila dimana sila pertama, kedua, dan kelima serta UUD 1945 pasal 29 cukup untuk menegaskan dasar setiap kebijakan dan tindakan yang seyogiyanya dilakukan. Bukankah Ini adalah sesuatu yang positif. Keringnya moralitas spiritualitas para politikus, merupakan indikasi bahwa ada yang salah dalam proses bimbingan dan peneguhan nilai keagamaan. Inilah yang menyebabkan institusi agung ini tidak begitu baik dimata masyarakat. Partai politik dan elitenya juga nampaknya kurang berminat lagi untuk mengurusi anggotanya yang bermasalah dalam tataran moral spiritual untuk memahami agama dengan arif dan bijak sehingga mereka kemudian lebih mementingkan simbolitas kegagahan dan kekuatan fisik.
Hal yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja yang membuat institusi politik khususnya partai politik dan elitenya pantas dikritik. Masih banyak yang lain yang tidak mungkin ditulis dalam ruang yang terbatas ini.
Di tengah krisis kepercayaan publik dan degradasi yang sedemikian parah terjadi, tinggal beberapa hal yang dapat diandalkan dan diharapkan mampu mengembalikan vitalistasnya institusi ini yang kemudian harus benar-benar dijaga agar tidak semakin tenggelam oleh hujatan dan gugatan publik.
Pertama, perteguh nilai moral-spiritual. Artinya bahwa Partai politik dan elitenya harus selalu menunjukkan pemihakannya terhadap kebenaran. Pada saat-saat tertentu, kadang institusi ini dihadapkan pada beberapa pilihan yang harus dipilih salah satu. Dengan menggunakan hukum-hukum berpikir yang benar dalam ilmu logika maka ketika ada dua hal atau sesuatu yang berbeda, maka hanya ada tiga kemungkinan jawabannya, yaitu semuanya salah, ataukah salah satunya benar dan salah satunya salah. Di sinilah institusi politik ini dituntut untuk melakukan ijtihad dan melakukan pembelaan dengan berpedoman kepada khittah awal tujuan dari lembaga tersebut dan lebih kepada nilai kemanusiaan dan keadilan dimana pembelaan itu haruslah selalu diarahkan pada kebenaran.
Kedua, mesin politik ini tidak dibenarkan berafiliasi secara institusional kepada kepentingan individu atau golongan tertentu saja, sebab meski lembaga ini adalah lembaga politis tetapi jabatan sebagai politisi bukanlah jabatan kaum munafik. Partai politik bukan underbow dari kelompok tertentu atau organisasi masyarakat tertentu, sehingga segala hal entah itu kebijakan maupun pelakaksanaan kebijakan yang akan ditempuh oleh institusi dan elitenya bukanlah tindakan penerjemahan kepentingan dari kelompok kepentingan atau ormas tertentu bahkan tidak pula untuk kepentingan elit apalagi untuk kepentingan pejabat institusi.
Ketiga, instutisi politik ini harus melakukan reformasi internal dengan sungguh-sungguh. Pada tataran rekruitmen anggota, institusi harus mampu keluar dari main streem pola rekruitmen yang selama ini syarat dengan KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Stigma yang terbangun di masyarakat bahwa untuk masuk jadi anggota partai politik maka harus bersiap-siap merogoh kecek minimal miliaran juta hingga triliunan juta, harus di-reduksi sehingga melahirkan efek domino yang tidak tanggung-tanggung. Disatu pihak, masyarakat yang punya kompetensi menjadi politisi harus mengurunkan niatnya karena persoalan biaya. Apabila memang masyarakat tersebut punya tekat yang kuat untuk masuk parpol, maka sawah ladang bahkan rumah sekalipun siap untuk digadaikan, bahkan tidak jarang ada yang menjual rumah kediamannya. Hal inilah yang menyebabkan paradigma berpikir yang terbangun kemudian setelah menjadi anggota adalah bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dipakai. Maka tidak heran jika kemudian ada politisi yang diketemukan dilapangan, menghalalkan segala cara untuk memanipulasi kejahatan demi seikat rupiah. Dipihak lain masyarakat yang memang punya modal banyak meskipun kurang memiliki kompetensi, melenggang begitu saja untuk diterima tanpa tedeng aling-aling, sehingga lahirlah karakter politisi yang berpikir fragmatis dalam menjalankan peran dan fungsinya, sebab mereka berpikir bahwa di dunia ini yang berkuasa adalah uang dan jabatan, maka yang harus dibela dan dilindungi adalah yang memiliki kedua modal tersebut.
Terlepas dari semua hal diatas, seluruh lapisan masyarakat patut mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Nazarudin, sebab selain telah menjadi idola baru dalam kanca dunia hiburan tanah air bagi masyarakat, dia juga sedikit lagi menjadi pahlawan di tenggah krisis kepercayaan publik terhadap partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat dalam menciptakan keadilan dan kesahteraan umum.
Semoga seluruh lapisan masyarakat khususnya partai politik dan elitenya senantiasa melakukan pembenahan diri secara total. Bahwa melakukan sesuatu yang baik, berguna dan bermanfaat apalagi mengayomi masyarakat bisa mndongkrak popularitas dan menaikkan citra individu dan institusi tersebut. Semoga kedepan citra yang kemudian terbangun dari pihak politisi adalah bukan karena kontroversi, tetapi lebih karena kinerja yang baik dan profesional serta selalu berorientasi kepada kemaslahan masayarakat.
Oleh : Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)