Laman

Selasa, 24 Mei 2011

KEKERASAN DI TENGAH HUKUM VS PENEGAK HUKUM


KEKERASAN DI TENGAH HUKUM VS PENEGAK HUKUM
Agama penyumbang tertinggi kekerasan
Sudah merupakan fakta sejarah, bahwa peradaban manusia senantiasa disesaki oleh rutinitas kekerasan yang datang dengan tipe dan intensitas yang berbeda-beda. Hal itu tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (geografis-biologis) dan kultural (agama,budaya,paham,keyakinan, dan ideologi). Begitu pula halnya dengan perdamaian datang dan pergi sesuai dengan syarat pembentukannya masing-masing. Apakah kekerasan dan perdamaian merupakan syarat mutlak lahirnya peradaban manusia? Atau apakah kekerasan dan perdamaian adalah kebijakan dan kebijaksanaan birokrasi langit dalam memanaje kehidupan manusia?. Pertanyaan tersebut diatas hanya merupakan sebagian kecil dari sekian banyak pertanyaan yang senantiasa membayangi alam pikir dan khayal umat manusia sepanjang percaturan sejarahnya.
Kekerasan dan kejahatan menurut Reinhold Niebuhr terbentuk dari dua dimensi yang senantiasa mewarnai konflik kemanusiaan. Pertama berhubungan dengan tendensi keyakinan bahwa pandangan seseorang atau kelompok adalah kebenaran sejati. Kedua berhubungan dengan penonjolan pribadi atau kelompok yang satu diatas pribadi atau kelompok yang lain. Berdasarkan analisis Reinhold Niebuhr diatas, sudah umum terjadi jika kemudian dimensi yang pertama memberikan kontribusi yang signifikan atau penyubang kekerasan tertinggi alih-alih dikatakan sudah mencapai titik klimaksnya. Betapa tidak sejak jaman dahulu ketika manusia masih mengadopsi kesadaran mistis ala paulo priere (dalih kekuasaan dewa,tuhan atau segala sesuatu yang memiliki kekuatan gaib lainnya) turut melahirkan dan melegalisasi feodalisme dimana ada segelintir orang dari kalangan minoritas (keturunan bangsawan,pemilik tanah,dan punya modal banyak serta status soal yang tinggi) yang menghalalkan dan melegalkan eksploitasi terhadap yang lain dari kalangan mayoritas (rakyat jelata atau kuli dari tuan tanah). Ironisnya kondisi demikian sama-sama dibenarkan oleh kedua belah pihak sebagai sesuatu sebagaimana adanya dan sebagaimana mestinya. Semua merupakan nasib yang harus diterima dengan bijaksana dan tidak ada ruang untuk mempertanyakan apalagi membangkan darinya.
Berkaca dari kondisi diatas, mungkin sah-sah saja jika kemudian kita membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh Ali bin abi thalib (keluarga sekaligus sahabat nabi besar Muhammad saw) bahwa “penindasan terjadi karena adanya kerja sama yang baik dan sadar antara sipenindas dan yang ditindas”. Maka tidaklah mengherankan atau hal yang wajar-wajar saja jika kemudian manusia kelas tiga (mayoritas) mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi (penganiayaan,pembunuhan, pemerkosaan dan perbudakan) dari dan oleh manusia kelas satu (minoritas) yang memiliki sumber kekuasaan kultural (agama,budaya,dan darah) dan sumber kekuasaan material (tanah,harta,jabatan,wakil tuhan, titisan dewa dan lain-lain). Adalah sebuah pembohongan dan penipuan realitas jika kemudian ada pernyataan yang mengatakan bahwa motif dan modus kekerasan jaman milenium sekarang jauh berbeda dari sebelumnya. Sungguh akan arif dan bijaksana kalau yang dinyatakan adalah motif dan modus kekerasan yang terjadi entah itu jaman dahulu dengan jaman sekarang ada kemiripan. Perbedaaan diantara keduanya justru terletak pada tipe dan intensitas kekerasannya. Kalau  Jaman dahulu tipe kekerasan lebih mengarah ke-hal yang bersifat kultural dimana dimensinya bisa terwujud kepada personal berupa kekerasan fisik (perampokan,pembunuhan dan pemerkosaan) dan kekerasan fsikologis (paternalistik,ancaman personal dan pembunuhan karakter)  maupun kelompok atau institusional berupa kekerasan fisik (perampokan,pembunuhan dan pemerkosaan) dan kekerasan fsikologis (paternalistik,ancaman kelompok dan pembunuhan karakter). Sedangkan pada jaman sekarang tipe kekerasan lebih mengarah ke-hal yang bersifat struktural dimana dimensinya bisa terwujud kepada personal berupa kekerasan fisik (perampokan,pembunuhan dan pemerkosaan) dan kekerasan fsikologis (paternalistik,ancaman personal dan pembunuhan karakter)  maupun kelompok atau institusional berupa kekerasan fisik (kerusuhan,terorisme, perang dan genosida) dan bisa berupa kekerasan fsikologis (perbudakan,rasisme dan sexisme) (konsep kekerasan Robert F Litke).
Hukum Vs Penegak Hukum
Dewasa ini kekerasan dengan dalih agama entah itu dengan motif aliran sesat,pelecehan agama, penodaan agama, egoisme agama mayoritas terhadap agama minoritas, serta hubungan agama negara yang kurang harmonis senantiasa mewarnai kehidupan bernegara hampir diseluruh negara yang ada didunia baik itu negara yang berbentuk theokrasi,monarki, aristokrasi maupun demokrasi. Hal demikian juga terjadi di negara tercinta ini dimana hampir diseluruh wilayah tanah air terkena  sindrom kekerasan berdalih agama. Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang turut berkontribusi dalam menegaskan teori Rainhold Niebuhr  dan Robert F Litke diatas.
Pasca reformasi 1998 dimana kran demokrasi liberal mulai dibuka dengan penuh hati. Indikasinya terlihat dalam hal kebebasan mengajukan pendapat dan berkumpul,kesetaraan gender, HAM, pemerataan dan perimbangan pusat dan daerah,partisipasi politik, termasuk keyakinan beragama dan beribadah merupakan sebuah keniscayaan dalam tahap konsolidasi dan transisi demokrasi. Tahapan yang skenario awalnya dianggap dan diharapkan berjalan sebagaimana mestinya ternyata tersandung kebuntuan yang tidak tanggung-tanggung. Kekerasan terjadi hampir diseluruh wilayah dinusantara, dan yang lebih memprihatinkan lagi penyebab dominan yang mempengaruhinya adalah persoalan agama, entah itu perselisihan antara agama yang satu dengan agama yang lain maupun antara paham dalam satu agama. Motif dan modusnya pun berbeda-beda mulai dari penyerangan dan penghancuran rumah ibadah, perang terbuka antar pemeluk agama, tindak terorisme, hingga pelarangan aktivitas beragama oleh paham atau aliran yang dianggap sesat, menodai dan melecehkan agama yang senatiasa diberikan label keluar dari rel main streem mayoritas dalam satu agama.
Pertanyaan yang kemudian muncul dalam konteks ini adalah dimanakah peran dan fungsi negara khususnya aparat penegak hukum dalam mencegah dan menindak setiap tindak kekerasan yang terjadi direpublik ini?
Sungguh ironis ketika mengingat teori negara dan hukum dari  John Locke tentang eksistensi,posisi, peran dan fungsi negara sebagai institusi atau lembaga yang dibentuk dan dibangun oleh banyak individu dengan latar belakang yang beragam untuk dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka baik individu maupun kolektif. Dimana hak dasar yang dimaksud adalah hak hidup, kemerdekaan, dan mencari nafka.
Dalam mengatasi (mencegah dan menindak) masalah kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara tentunya setiap negara memiliki aturan main (hukum) yang jelas. Sebagai negara hukum yang senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima negara indonesia tentunya menjunjung tinggi asas-asas hukum( kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan,dan efek jera) dimana obyek hukum dipandang sama didepan hukum mulai dari presiden hingga penjual sayur dipasar. Begitu pula persoalan keagamaan yang aturan mainnya jelas-jelas telah tertera didalam Pancasila sebagai falsafah negara dan UUD 1945. Didalam pancasila disebutkan : sila pertama ketuhanan yang maha esa, sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ketiga persatuan indonesia dan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia serta didalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menyatakan bahwa “negara berdasar atas asas ketuhanan” serta pasal 2 yang menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dan menjalankan ibadah berdasarkan agama dan kepercayaannya itu”. Bukankah sumber hukum diatas merupakan aturan main yang ideal,jelas dan tegas bagi para penegak hukum dan masyarakat secara umum untuk melakukan upaya-upaya pencegahan, penindakan hingga penyelesaian konflik yang bermotif agama?  bukankah aturan main diatas juga syarat akan toleransi? Lantas apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dan para penegak hukum dalam mengartikulasikan aturam main yang ada ?  kalau memang pemerintah dan para penegak hukum telah melakukan upaya-upaya yang signifikan, lantas mengapa masih ada kelompok tertentu yang memposisikan diri sebagai polisi tuhan untuk melakukan pelarangan dan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang lain. Bukankah hal tersebut akan menciptakan citra dan kesan pembiaran dan penyengajaan oleh negara?.
Aturan main diatas serta aturan turunan yang lainnya merupakan konklusi dan afirmasi bahwa “ tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan jika kemudian ada individu ataupun kelompok  yang dengan sengaja bertindak melakukan kekerasan terhadap individu atau kelompok  yang lain dengan dalih agama sekalipun. Egosentris penonjolan diri bahwa individu dan kelompok yang satu lebih mulia, suci, benar dan berhak direpublik ini seharusnya tidak dijadikan dalih untuk mengharamkan,mengkafirkan,menyesatkan apalagi melakukan kekerasan terhadap individu atau kelompok lain.
Pemerintah dan penegak hukum tidak perlu dipertanyakan dan disanksikan lagi bah hal bahwa mereka sangat kaya dalam hal kearifan dan kebijaksanaan retorika podium apalagi kalau diliput oleh media, tetapi sangat disanyangkan justru sangat miskin dalam tataran implementasi. Teori hukum abad pertengahan dari St.Agustinus yang menyatakan bahwa “ ada undang-undang tapi tidak adil sama dengan tidak ada undang-undang sama sekali” sedikit berprasangka positif  mungkin tidak berlaku dinegara ini, sebab undang-undang yang ada jelas menjunjung tinggi keadilan hanya saja sangat miskin dan bertolak belakang  diranah implementasi, sehingga proposisi dari St.Agustinus jika dihubungkan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia akan berubah menjadi “ada undang-undang tapi tidak ada implementasi sama dengan tidak ada undang-undang sama sekali”.
Andaikan saja setiap warga negara indonesia berkaca terhadap teori NASIONALISME KOSMOPILIT dari Antoni Gidens yang menyatakan bahwa “setiap warga negara yang satu seharusnya menganggap dan memperlakukan warga negara yang lain (nasional maupun internasional) seperti dirinya sendiri yang tidak akan rela dan ihlas bila disakiti, dihina dan dimarginalkan, mungkin tidak akan ada konflik  apalagi dengan motif agama yang sedemikian akut seperti sekarang ini. Menginggat masih banyak problem kebangsaan dan kenegaraan lain yang membutuhkan perhatian serius dimana problem tersebut sudah sekian lama (66 tahun kemerdekaan) belum juga menemui titik temu penyelesaian, sebut saja kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan lain-lain.
Oleh : Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ,kader Hi (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar