Laman

Selasa, 24 Mei 2011

IRONI KEBIJAKAN (Kebijakan Publik Vs Kebijakan Privat)


IRONI KEBIJAKAN

(Kebijakan Publik Vs Kebijakan Privat)

Oleh:Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)
Membuat keputusan berarti memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang ada, sedangkan alternatif-alternatif itu tidak selalu mengandung implikasi-implikasi positif.
Dalam ilmu politik ada sebuah titik tekan dalam menentukan apakah suatu alternatif sebagai terbaik dari pada alternatif yang lain, sangat dipengaruhi oleh Ideologi, Konstitusi, anggaran, sumber daya manusia, efektifitas dan efisiensi serta etika, moral dan agama yang hidup di dalam masyarakat. Alternatif keputusan politik secara umum dibagi menjadi dua, yaitu program-program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-negara biasa disebut dengan “kebijakan publik” serta orang-orang yang akan menjalankan kebijakan umum ( pejabat pemerintah). Sementara itu keputusan tidak selamanya menyangkut politik sebab sebagaimana yang diketahui bahwa keputusan dapat menyangkut diri sendiri, keluarga, atau bisa juga menyangkut kelompok atau golongan tertentu. Hal inilah yang sering diistilahkan “kebijkan privat”.
 Jadi secara sederhana kebijakan publik adalah keputusan yang dikeluarkan oleh supra struktur politik ( legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang menyangkut segi dan sudut kebutuhan, keinginan dan kepentingan orang banyak. Sedangkan kebijakan privat adalah keputusan yang dibuat entah itu pejabat Negara maupun masyarakat biasa yang nota benenya hanya mneyangkut tekstur dan kontur kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja.
Berangkat dari diferensiasi dua makna kebijakan “politik” diatas maka dalam perbendaharaan ilmu politik biasanya ditegaskan bahwa “ tidak semua keputusan politik adalah kebijakan umum sebab, ada keputusan dan kebijakan politik yang tidak menyangkut alih-alih berseberangan dengan dengan keinginan, kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak.
Salah satu dari sekian banyak kebijakan dan keputusan politik yang ditafsirkan sebagai kebijakan publik dewasa ini adalah “libur bersama”. Ya…namanya saja “libur bersama”, jika diartikan secara literal maka artinya libur yang dilakukan secara serempak dan serentak. Cukup menggelitikan memang, jika kemudian sesederhana itu substansi dan makna yang ditafsirkan oleh masyarakat Indonesia terlebih lagi pembuat kebijakan (pejabat publik), tapi mau diapa, inilah realitas budaya berpikir dan bertingkah laku bangsa ini yang selama ini kokoh dipertahankan meski punya ekses menghancurkan.
Kebijakan public yang tertuang dalam SK 3 (tiga) Menteri ( Agama, Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Dan Pemberdayaan Apatur Negara) tentang libur bersama yang jatuh pada hari senin 16 Mei 2011 santer menimbulkan kontroversi pemberitaan di Media massa. Hal tersebut ternyata tidak luput juga dari disputasi antara para pengamat dan pakar kebijakan publik.
Dalam Negara yang mengadopsi budaya industri, misalnya Negara di Eropa, libur bersama bisa menciptakan implikasi ekonomi yang tidak tanggung-tanggung. Roda perekonomian mikro akan mengalami ketidakstabilan. Hal ini disebabkan karena nilai tambah berkurang akibat produktifitas menurun. Faktor efisiensi juga turut mempengaruhi hal tersebut.
Sedangkan dalam budaya tradisional masyarakat Indonesia yang intens dalam dunia pertanian (petani) dan sector kelautan (nelayan), “libur bersama merupakan hal yang dianggap tabu” sebab libur yang mereka pahami murni lahir dari tuntutan dan kemauan alam.
Selain itu, kebijakan “libur bersama” memberikan kegelisahan dan kesemrawutan kepada kelompok masyarakat struktural-fungsional ( sekolah, kampus, rumah sakit, maupun DPR) dalam menerapkan prinsip manajemen. Perencanaan yang sudah jauh-jauh hari dicanangkan untuk kegiatan tertentu, harus diudur (bahkan ada yang di cancel). Misalnya saja di DPR RI, tanggal 16 mei merupakan jadwal rapat pembahasan gedung baru DPR antara Kementrian Perusahaan Umum dengan komisi satu DPR, belum lagi agenda yang sudah dijadwalkan oleh masing-masing komisi yang lain. 
Ironis memang, jika kemudian kita memperhatikan dengan seksama proposisi dan argumentasi pembenaran yang dikelurkan oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Mereka mengemukakan bahwa “libur bersama merupakan kebijakan yang bisa merangsang laju perekonomian sector pariwisata”. Tidak perlu menjadi sorang pakar politik dan ekonomi untuk menggugurkan proposisi diatas. Bukankan kondisi ekonomi masyarakat kebanyakan sangat lemah? Jangankan urusan liburan dan rekreasi ditempat wisata, untuk sekedar mengisi perut tiap haripun masih menjadi tanda Tanya besar. Kecuali yang dimaksudkan pejabat pemerintah diatas adalah masyarakat ekonomi mapan. Ya…seperti mereka maksudnya.
Semestinya dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara hendaknya mengeluarkan kebijakan dan keputusan yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan (masyarakat umum), sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa  karena salah  satu misi utama pemerintah adalah menyediakan barang dan jasa serta penyampaiannya pada masyarakat sebagai upaya melakukan  pelayanan  publik  yang  berkualitas.
Di era otonomi daerah  saat  ini, dimana pelimpahan  wewenang dari  pemerintah  pusat ke daerah memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian dan peningkatan kualitas pelayanan. Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara  langsung,  merupakan konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada  tatanan  organisasi  pemerintah. Hal ini disebabkan oleh  perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan kompetisi global yang sangat ketat. Dengan   kondisi demikian, hanya organisasi yang mampu memberikan pelayanan berkualitaslah yang akan merebut konsumen potensial, seperti halnya birokrasi pemerintah yang semakin dituntut untuk menciptakan kualitas pelayanan agar dapat mendorong dan meningkatkan kegiatan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pejabat dan aparatur Negara harus lebih proaktif dalam mencermati paradigma baru global agar pelayanannya mempunyai daya saing yang tinggi dalam berbagai aktivitas  publik. Untuk itu birokrasi seharusnya dapat menjadi center of excellence (pusat keunggulan pemerintah). 
Berbicara tentang kualitas suatu kebijakan publik maka perlu kiranya ada pelurusan makna tentang kualitas yang dimaksud. Terminologi kualitas  memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga lebih strategis.  Definisi  konvensional  dari kualitas  biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti: (1) kinerja; (2) keandalan; (3) mudah dalam penggunaan, (4) estetika. Adapun dalam definisi  strategis  dinyatakan  bahwa, kualitas adalah  segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customer), sedangkan pengertian kualitas, baik yang konvensional maupun yang lebih strategis oleh Gasperz dinyatakan bahwa, pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok. Pertama, kualitas terdiri dari sejumlah  keistimewaan produk, baik  keistimewaan langsung   maupun   keistimewaan   aktraktif   yang  memenuhi  keinginan pelanggan dan  dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kedua, Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari  kekurangan atau kerusakan. Untuk itu kualitas kebijakan public yang berorientasi pada pelayanan masyarakat adalah kebijakan yang berorientasi pada suatu kegiatan pelayanan yang  diberikan  kepada  pelanggan  sesuai  dengan  prinsip:  lebih  murah, lebih baik,  lebih cepat, tepat, akurat, ramah, dan sesuai dengan harapan pelanggan. Selain itu J.W. Cortado menyebutnya pula dalam satu frase yaitu  saat  kejujuran  (the   moment  of  truth)  atau  kualitas  diciptakan  pada  saat pelaksanaan, dengan  demikian  bertolak  dari  pendapat-pendapat  tersebut, maka kualitas kebijakan yang berorientasi pada  pelayanan adalah  melayani masyarakat (konsumen) yang sesuai dengan  kebutuhan  dan  seleranya. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa, segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan, semuanya sudah terukur ketepatannya  karena yang diberikan adalah kualitas. Oleh sebab itu, pelayanan pejabat pemerintah kepada masyarakat yang berkualitas dapat didefinisikan melalui ciri-cirinya: (i) pelayanan yang bersifat  anti birokratis; (ii) distribusi pelayanan, (iii) desentralisasi dan berorientasi pada klien.
Terlepas hal diatas dipahami oleh pembuat keputusan dan kebijakan atau tidak yang jelas sudah selayaknyalah kita semua berbedah dalam bentuk introfeksi, koreksi dan evaluasi diri sebelum berbicara banyak tentang orang lain  apalagi rakyat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar