Laman

Selasa, 24 Mei 2011

POLITIK (BUTA HURUF VS BUTA HATI)


POLITIK (BUTA HURUF VS BUTA HATI)
Sebelum terlalu jauh berbicara tentang strategi, tehnik dan taktik untuk melakukan perubahan khususnya dalam domain politik maka merupakan sebuah keniscayaan untuk menyelesaikan akar persoalan yang sesunggguhnya menjadi penyebabnya, Yakni terkait dengan pengetahuan politik baik oleh pemangku kekuasaan maupun masyarakat umum.
Menuntut komunikasi dialektis pengetahuan politik bukan hanya untuk satu orang, namun banyak orang (bukan I think, namun we think) atau Bukan I think yang menyebabkan we think tetapi we think yang menyebabkan saya berfikir.
Menyaksikan realitas perpolitikan di Negera Indonesia akhir-akhir ini, nampaknya teori diatas kurang diapresiasi. Hal ini sangat jelas dan tegas dideteksi jika masyarakat dan pemangku kekuasaan memahami dan merenungi konten perpolitikan yang syarat dengan paradoksal khususnya yang menyangkut dengan pengambilan kebijakan.
Disatu sisi masyarakat terbelenggu dalam kebutaan pengetahuan politik partisipatoris. Kemungkinan penyebab utama fenomena tersebut dikarenakan rakyat terlalu sibuk memikirkan hari esok mau makan apa ataukah memang masyarakat sudah kukuh dengan krisis kepercayaan terhadap penguasa yang selama ini kurang peduli dengan kepentingan mereka, ataukah yang lebih parah lagi ketika hal tersebut merupakan gejala ilfil terhadap politik, atau mungkin masyarakat sipil telah mengidap penyakit Politik Buta Huruf
Antisipasi akan buta huruf politik ini merupakan sebuah keniscayan dalam Negara yang menganut sitem demokrasi dimana tingkat partisipasi aktif dari civil society sebagai pemilik sah kedaulatan merupakan sebuah keniscayaan. Pemberantasan buta huruf politik harus diawali dari proses pengenalan objek pengetahuan dalam istilah epistemology. Obyek pengetahuan tersebut bukanlah istilah untuk subjek pengetahuan, namun mediation of knowledge. Menurut Sertre “Konsep Pengetahuan Ala Ahli Gizi sebagai Konsep yang Artificial Pembaca dan orang yang melakukan studi dianggap sebagai intelektual yang gemuk (fat intellectuals). Konsep ini melahirkan istilah lapar pengetahuan (hungry of knowledge),Haus pengatahuan (thirs of knowledge), dan Nafsu untuk mengerti (appetite for understanding). Ketiga konsep tersebut lahir dari rahim kebutuhan dan kepentingan yang menjadi motivasi urgen untuk mengimplementasikannya. Inilah yang harus dipahami oleh masyarakat luas dalam rangka melindungi posisinya sebagai pemilik kedaulatan, kepentingan dan kebutuhannya dari fenetrasi politisi yang memanfaatkan legitimasi pemilu untuk melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Dalam perspektif yang lain, penting juga kiranya untuk memahami pengetahuan politik yang humanistik. Pengetahuan politik dalam  pengertian HUMANISTIK melibatkan Pertama kesatuan yang tetap antara aksi dan refleksi terhadap kehidupan politik. Artinya semakin sering masyarakat belajar dari pengalaman dan melakukan evaluasi dan intropeksi diri terhadap keberadaannya sebagai warga Negara yang patut untuk diperhatikan kepentingannya oleh Negara, maka semakin tinggi pula keinginan untuk mengetahui apa dan factor apa saja yang mendukung serta menghambat realisasi kepentingan tersebut. Kedua Secara METODOLOGIS, melibatkan cara pandang yang berbeda terhadap pemberantasan buta huruf politik dan mensyaratkan cara yang berbeda pula untuk mereka yang Tuna Netra politik. Artinya tuna aksara politik lebih disebabkan oleh faktor kesibukan memikirkan hari esok mau makan apa atau kekukuhan prinsip memegang vaksin krisis kepercayaan terhadap penguasa yang selama ini kurang peduli dengan kepentingan, atau memang masyarakat sipil sudah terkena gejala ilfil terhadap politik atau yang lebih rasional adalah bahwa masyarakat awam masih terjerat dalam kubangan kesadaran mistis dan naïf yang belum sama sekali menunjukkan tanda-tanda metamorphosis kearah kesadaran kritis ala Faulo Preire yang mutlak harus ditangani dengan cara yang berbeda dengan masyarakat yang terkena penyakit tuna netra politik.
Disisi yang lain para pemangku kekuasaan juga terkena sindrom Politik Buta Hati dimana setiap kebijakan politik yang diambil sebisa mungkin diskenariokan untuk tidak  mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan konstituennya.
Tidak perlu menjadi seorang teoritikus ataukah pakar politik untuk mendeteksi paradox politik yang seperti itu (politik buta huruf oleh masyarakat dan politik buta hati oleh politisi).
Akhir-akhir ini masyarakat luas khususnya kalangan inteleqtual disibukkan dan dipusingkan oleh pemberitaan media massa tentang kebijakan dan keputusan politik para politisi di DPR untuk melanjutkan pembangunan gedung DPR yang baru dengan dana yang tidak tanggung-tanggung mencapai sekitar 1,2 triliun, meski isu tersebut sudah bergulir sejak tahun kemarin.
Belum sembuh luka rakyat akibat ulah politisi DPR tentang kasus nonton film bokep di tengah rapat paripurna, politisasi kasus sentury, hingga budaya hidup glamour yang mereka tampilkan, Politisi di Senayan kembali membuat luka rakyat tersebut semakin kronis. Mereka tetap ngotot membangun gedung baru DPR, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya, di Istana Presiden, Kamis (7/4) menghendaki pembangunan ditinjau ulang bahkan kalau perlu dibatalkan jika masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak terutama agenda kerakyatan. Terlepas bahwa apakah pernyataan Presiden tersebut terkesan keluar rute otonomi kebijakan dalam Sistem Pemerintahan Presidensil dengan memasuki domain politik legislatif dalam mengambil kebijakan politik.
Dalam rapat yang sengaja dibuat tertutup, Kamis sore (7/4), sejumlah fraksi yang semula menentang pembangunan gedung, tiba-tiba berbalik haluan mendukung. Kesepakatan dicapai setelah melakukan rapat konsultasi dengan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dan Sekretariat Jenderal. Hanya ada dua fraksi yang tetap konsisten pada pendirian dan komitmen awal sejak digulirkannya wacana ini yakni Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional. Tetapi hal itu ibarat buang-buang energi sebab dalam iklim demokrasi, siapa yang kuat (mayoritas) maka dialah yang menjadi komando. Sikap penentangan keduanya menjadi percuma, karena mayoritas fraksi di DPR setuju pembangunan gedung baru berlantai 36 tersebut.
Yang lebih mengecewakan lagi adalah Partai-partai yang selama ini mengaku oposisi dalam hal ini PDI Perjuangan dan Hanura pun mendadak berbalik haluan menghalalkan pembangunan gedung baru tersebut, padahal semula kedua partai tersebut terkenal vocal dan berkoar-koar tidak setuju. Ironisnya lagi, hasil rapat konsultasi tidak dibawa ke dalam rapat paripurna dengan alasan bahwa rapat konsultasi sudah memutuskan persoalan gedung tidak dibawa ke paripurna, tapi diputuskan di rapat konsultasi.
Dibalik rangkaian disputasi ditubuh internal DPR sendiri justru ada hal yang lebih menarik untuk direnungi. Hal tersebut adalah terkait dengan pernyataan ketua DPR dalam menanggapi pernyataan yang bernada gugatan dan hujatan dari sebagian pihak terkait kebijakan pelanjutan pembangunan gendung DPR yang baru tersebut. Politisi dari praksi partai demokrat tersebut mengatakan bahwa “ rakyat biasa dari hari kehari, yang penting perutnya terisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan selesai. Jangan diajak ngomong untuk mengurus yang begini. Urusan begini, ajak orang-orang yang pintar bicara, ajak kampus bicara”. Selain itu kekukuhan ketua DPR dan Fraksi Partai Demokrat tersebut sangat kontras dengan pernyataan Presiden selaku Ketua Dewan Pembina partai tersebut, meski dalam pidatonya memang tidak secara tegas menolak pembangunan gedung DPR yang ditentang rakyat. Presiden hanya menghendaki dilakukan penyesuaian atau revisi. Seperti biasa, Presiden yang kaya dalam retorika podium, sayup mengatakan, “Dalam bahasa saya tidak memenuhi standar kepatutan agar ditunda dulu. Untuk dilakukan revisi penyesuaian bahkan barangkali kalau memang tidak sangat diperlukan bisa ditunda dan dibatalkan.”  SBY justru mengatakan pembangunan gedung DPR berada di urutan pertama dari 9 gedung yang masuk dalam rencana pembangunan untuk tahun 2011 yang memerlukan biaya di atas Rp 100 miliar.. Entah ini adalah intrik politik ataukah hal lain yang terkait dengan itu, sebaiknya serahkan saja kepada para pakar dan pengamat politik untuk menspekulasinya dengan kearifan keilmuan masing-masing.
Fenomena politik yang ada hari ini jelas merupakan indikasi sederhana bahwa para wakil rakyat di Senayan sudah mempraktekkan Politik Buta Hati. Bukankah sudah sangat jelas rakyat menolak pembangunan gedung baru meski mereka tidak berkoar-koar layaknya politisi ketika rapat, bukankah Presidenpun sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan juga ikut menolak pembangunan gedung baru tersebut?. Lantas mengapa penghuni gedung agung tersebut tetap saja ngotot?. Ada pula nada sumir yang terdengar dari para politisi tersebut bahwa jika pembangunan gedung baru DPR tersebut tidak di lanjutkan maka kemungkinan para politisi akan terjerat kasus korupsi dalam mempertanggungjawabkan dana awal yang sudah dikeluarkan untuk membuat perencanaan dan persiapan.
APAKAH perubahan ditubuh Pemerintah khususnya lembaga Legislatif merupakan hal yang bisa dicapai, ataukah hanya sekedar impian dari sejumlah kalangan? Jika perubahan merupakan hal yang mungkin, mengapa proses perubahan tidak kunjung terjadi. Pertanyaan tersebut sesungguhnya akan berhadapan langsung dengan masalah yang sangat sederhana dan sekaligus menjadi inti persoalan, yakni perubahan hanya akan mungkin bisa diwujudkan jika satuan-satuan yang menginginkan atau mengupayakan perubahan dapat mengatasi dan mengantisipasi satuan-satuan yang menginginkan keadaan tetap tidak berubah. Apakah perubahan mungkin terjadi, akan sangat tergantung kepada perkembangan satuan-satuan pendukung perubahan. Hal ini bermakna bahwa perubahan merupakan fungsi kekuasaan.
Perubahan tata susunan kekuasaan merupakan jalan yang paling mungkin untuk mengubah sistem dan mengantarkan rakyat kepada kehidupan yang lebih baik dan bermakna, terbebas dari belenggu kemiskinan dan kehinaan akibat kepapaan. Perubahan tata susunan kekuasaan bukanlah suatu sirkulasi kekuasaan dikalangan elit kekuasaan, melainkan penjungkir balikan yang ada, untuk digantikan dengan yang baru (yang merupakan tatanan kehendak rakyat), dengan suatu jaminan penuh bahwa tata susunan yang baru merupakan sisten bersendi kepada kekuatan dan kiepentingan rakyat-kebanyakan yang sebelumnya diperas, dipermiskin, dan diperbudak dalam kehinaan.
Dengan demikian perubahan akan sangat ditentukan oleh :
1)      Sejauh mana satuan-satuan perubahan mampu mengembangkan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga dapat mengatasi kekuatan yang anti perubahan.
2)      Sejauh mana satuan – satuan perubahan mampu melancarkan tekanan-tekanan yang sedemikian rupa terhadap satuan-satuan yang anti perubahan sehingga mereka tidak mampu untuk menahannya. Penting disadari bahwa perubahan bukan suatu keharusan sejarah (bukan suatu determinisme). Tidak ada dasar ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan p-ada akhirnya akan terjadi.
Hal yang menjadi keharusan ilmiah adalah bila suatu pergerakan akan mencapai titik kemenangan yang mutlak, maka menjadi kewajiban nyalah menyediakan seluruh kebutuhan atau syarat-syarat obyektif dan subyektif yang diperlukan, sehingga gerak perubahan dapat bergulir. Bila seluruh syarat telah tersedia, maka tidak akan ada pintu keluar dari kekuatan anti –perubahan untuk menyerahkan tampuk kekuasaan social kepada kekuatan yang baru, kecuali oleh kelalaian-kelalaian yang tidak bisa diterima ( yang justru membuat bangunan yang sudah disusun menjadi hancur berantakan). Suatu kemenangan hanya bisa diraih jika kekuatan terbangun dan kekuatan tersebut digunakan secara tepat, sistematik, efektif dan strategis.
Oleh:Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar