Laman

Selasa, 24 Mei 2011

TRILOGI term TERORIME


TRILOGI term TERORIME
Akhir-akhir ini, publik tidak henti-hentinya terhenyak tentang pemberitaan di media massa entah itu media cetak maupun eletronik tentang tindak terorisme. Sejak term teroris yang semula hanya menjadi konsumsi pemerintah, dan kaum inteleqtual ini menjadi term pasaran buat masyarakat umum, dengan mudah dan gampangnya pihak-pihak tertentu mengaitkan segala aktivitas progresif dan radikal dari masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu dengan tindak terorisme. Yang lebih memprihatinkan lagi tindak terorisme ini dilabelkan kepada gerakan islam. Pemerintah dengan mudah mendeteksi tidak terorisme tersebut, apalagi pemberitaan media massa senantiasa mengaitkan dan mengelaborasi setiap peristiwa yang berkaitan dengan tindakan islam radikal dengan terorisme. Teror bom buku yang sempat ramai dijakarta dan sekitarya bulan lalu sempat menjadi buah bibir ditengah masyarakat dengan segala variannya. Fenomena ini membuat masyarakat kembali mengidap sindrom paranoidisme (ketakutan dan kegelisahan berlebihan) akan tindak terorisme. Betapa tidak, rangkaian peristiwa yang berbau terorisme tersebut cukup paralel ditanah air dan telah melahirkan korban dari masyarakat sipil yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Ironisnya rangkaian teror bom dengan modus serupa justru dengan cepat menyebar hampir diseluruh wilayah ditanah air. Pemberitaan lain yang tidak kalah menggemparkan adalah kegiatan kelompok NII yang aktif merekrut anggota mulai dari masyarakat biasa hingga kaum inteleqtual kampus. Fenomena inipun tidak luput dilabeli dengan Term terorisme. Dari dunia internasional, publik kembali terhenyak ketika presiden Amerika Serikat Barack Obama menyampaikan pidato pengumuman tentang penyergapan tentara elit angkatan laut Amerika atas Panglima tertinggi Al-Qaidah Ozama Bin Laden. Sebagaimana yang penulis ketahui bahwa Al-Qaidah dan Ozama Bin Laden sejak 10 tahun yang lalu pasca tragedi WTC (11/9/2001) dilabeli terorisme internasional oleh Amerika serikat dan sekutunya.
Kita berharap bahwa masyarakat dunia (muslim dan non muslim) secara umum dan masyarakat Indonesia secara khusus pun bisa lebih tanggap, bijak dan selektif dalam menyimak apalagi menyimpulkan makna dibalik rangkaian peristiwa yag diberitakaan oleh media massa tentang terorisme tersebut.
Dibalik rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan terorisme tersebut, ada hal urgen yang perlu menjadi analisa kontemplatif kita sebagai masyarakat awam terlebih kaum inteleqtual. Tempurung otak (akal) kita senantiasa mengajukan berbagai macam pertanyaan yang seharusnya mampu kita jawab sendiri?
Untuk itu penulis mencoba mengajukan analisis atas berbagai fenomena tersebut. Kemungkinan analisis ini harus dimulai dari hipotesa sirkulasi sosial-politik nasional dan internasional dalam kerangka hubungan tiga ruang ini ( teror  politik, pertahanan-keamanan, dan teror paham pemikiran) yang kemudian penulis istilahkan sebagai TRILOGI term TERORISME. Setiap ruang ini mempunyai lingkup yang berbeda. Idealnya ketiganya berelasi untuk menciptakan pengalihan konten isu ala kontra-intelegen. Namun ada kenyataan yang merisaukan bahwa mau tidak mau, kita dipaksa untuk berpikiran politis  dalam merespon segala fenomena-fenomena yang berdampak pada situasi kenegaraan seolah ini hanyalah akrobat politik dua kutub kekuatan politik nasional ( status quo dan oposisi) dan akrobat politik negara Adi-kuasa.
Penggugahan judul ini tidaklah merupakan imajinasi imitasi yang lahir dari misdaq (realitas luar) yang kosong. Ada tiga hal yang kemudian membuat penulis mengangkat judul artikel ini dintaranya : pertama :persfektif situasional. Kesemrawutan situasional ini, kalau dilihat dari sebabnya sangat syarat akibat situasi dan kondisi perpolitikan nasional maupun internasinal. Seperti membenarkan pepatah lama “manusia adalah tawanan situasi”. Dalam format nasional, pemerintahan kita terkesan gagal mewujudkan visi reformasi yang telah dibayar mahal oleh pikiran, kerigat, darah dan air mata kaum inteleqtual (mahasiswa)  secara khusus dan visi proklami kemerdekaan 17 agustus 1945 sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 secara umum sejak hampir 67 tahun merdeka dan 13 tahun pasca reformasi. Aparatus keamanan juga terkesani telah gagal dalam menciptakan dan mempertahankan kedaulatan pertahanan negara secara utuh. Lebih parah lagi dikalangan sipil pun tidak ada kekuatan politik yang bisa mengendalikan keadaan. Kaum inteqtual yang seharusnya mengawal agenda reformasi dalam ranah transisi demokrasi pun turut melacurkan diri dalam bingkai konspirasi kekuasaan penguasa zhalim.
Kedua: persfektif sistemik dan struktural. Mengandung pengertian bahwa kesalahan terletak pada sistem. Kegagalan Pemerintah dalam menjalankan amanat UUD adalah produk dari sistem yang diatur dan ditata secara keliru atau produk dari kerja sistem yang tidak siap dengan agenda reformasi. Kita sudah melakukan purifikasi UUD sebanyak 4 kali sebagai salah satu agenda reformasi, bahkan pendirian lembaga pelangi demokrasi seperti KPK dan lain-lain. Yang menjadi masalah apakah lembaga-lembaga itu sudah bekerja dan berfungsi serta difungsikan secara optimal dan benar. Apakah tidak terjadi politisasi lembaga independen untuk kepentingan kekuasaan pihak yang berkuasa ? ini adalah salahsatu gugatan terhadap langkah konsolidasi demokrasi yang belum matang.
Ketiga : konseptual. Ini cukup serius dan sama bahayanya dengan persfektif sistemik. Kegagalan konseptual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sistem secara langsung. Ini berkaitan secara nyata dengan elite atau pelaku yang ada dalam sistem. Konsep seharusnya mendasari adanya sistem dengan segala peran dan fungsinya. Tetapi seringkali  suatu pemerintahan gagal memahami konsep pemerintahan yang sesuai dengan sistem yang ada. Tidak sedikit elit dinegara ini yang notabene berada dalam sistem demokrasi tetapi konsep pemerintahannya sangat tradisional, cenderung otoritarianisme dan monarki.
Menurut hemat penulis ada tiga hal yang mampu menjelaskan secara utuh mengapa bangsa Indonesia secara khusus dan dunia internasional secara umum dihujani oleh tindak terorisme dengan modus yang beraneka ragam. Tiga hal tersebut saling mempengaruhi, terkait dan saling menguatkan dan tidak berdiri sendiri, dimana ketiganya membentuk sebuah isu tandingan untuk mengalihkan dan menurunkan tensi akrobat politik penguasa. Ketiganya sebagaimana judul artikel ini adalah teror politik, teror pertahanan keamanan, dan teror paham pemikiran.
Secara umum yang dipahami dilingkungan akademisi bahwa TEROR merupakan aktivitas atau tindak kesewenang-wenangan agar menimbulkan kekacauan dan ketakuatan (fsikologi) dalam masyarakat untuk mengkonstruk alam mitzal (khayalan dan imajinasi) serta alam akal masyarakat tentang eksis dan bahaya dari tindak terorisme.
Trilogi secara etimologis berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari kata tri dan logos yang dalam kamus webster bahwa trilogi berasal dari tradisi yunani, yang mengacu pada 3 seri drama namun dipentaskan secara satu kesatuan. Didalam kamus besar bahasa indonesia Trilogi diartikan sebagai satu seri karya sastra yang terdiri dari tiga satuan yang saling berhubungan dan mengembangkan satu tema, atau tiga hal yang saling bertaut dan berhubungan. Jadi secara leksikal trilogi yang dimaksudkan dalam pemaparan artikel ini adalah yang kedua.
Berdasarkan penjelasan tentang TEROR dan TRILOGI diatas, maka pada kesempatan ini penilis ingin merumuskan definisi sederhana mengenai apa itu TRILOGI term TERORISME. Upaya untuk menetapkan definisi ini bukanlah sekedar mengada-ada, melainkan sesuatu yang sangat mendasar dan krusial bagi penulis. Judul ini juga terinspirasi dari pemikiran bang Boni Hargens tentang Trilogi Dosa Politik.
TRILOGI  term TERORISME adalah tiga bentuk makna dasar teror yang dilakukan oknum-oknum tertentu secara sengaja, baik terencana maupun tidak yang menjadikan kekuasaan sebagai tujaunnya, yang dalam perpanjangannya berdampak pada terganggunya atau teralihkannya isu politik nasional. Atau tidak berfungsinya sistem politik indonesia secara parsial ataupun secara total.
Nah sekarang marilah kita masuk kedalam tiga makna dasar yang terkandung dalam trilogi tersebut. TEROR POLITIK yang dimaksudkan disini adalah teror yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu melalui instruksi refleks dari oknum atau lembaga atau badan rahasia tertentu untuk menurunkan dan atau meningkatkan intensitas akrobat politik dengan tujuan mengalihkan isu politik yang sudah menjadi wacana pasar masyarakat awam tentang siapa yang superior dan inferior dalam berpolitik atau siapa yang kemudian dipandang masyarakat sebagai pahlawan atau pengayom dan penghianat politik dalam kancah perpolitikan nasional dan internasional tentang adanya tukar guling kepentingan yang mengatasnamakan rakyat dengan kepentingan parpol dan atau bargaining politik berjamah untuk mensterilkan opini publik terhadap palacuran para elite politik dari ibu pertiwi. Sedangkan  TEROR PERTAHANAN KEAMANAN yang dimaksud adalah teror yang dilakukan untuk membentuk opini atau membuka tabir realitas grand desing wajah kinerja aparat keamanan dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara yang sangat rapuh ibarat singa tanpa taring. Teror dalam makna ini melahirkan fenomena bola salju yang menggulung tingkat hierarki bawah. Disatu pihak masyarakat mengidap sindrom paranoid, dipihak yang lain ada sebuah petunjuk bahwa pemerintah telah gagal memerangi tindak terorisme atau bahkan disisi yang lain lagi ada sebuah imfuls yang menimbulkan interpretasi dalam masyarakat “ jangan-jangan pemerintahlah yang justru selama ini telah diam-diam berkoalisi dengan para teroris????
Sedangkan TEROR PAHAM PEMIKIRAN yang dimaksud, bisa kita mengambil asumsi dari aktor yang melakukan tindak terorisme yang begitu lihai dalam merekrut, mengorganisir, dan mengeksekusi. Makna filosofisnya (simbol pengetahuan dan kecerdasan serta propaganda) adalah kaum intelqtuallah yang punya kans untuk menggerogoti dan menghentikan akrobat politik bebas nilai yang selama ini dimainkan oleh para elite politik yang tidak punya moral dengan tindakan terorisme, atau mungkin untuk mencitakan opini bahwa kaum inteleqtual selama ini telah melakukan pengkhianatan akademik dalam bentuk pelacuran konseptual untuk melegalkan konspirasi dan turut serta menjadi aktor utama dalam kompromi untuk berjamaah menjarah aurat bumi pertiwi. Maka dari itu, kita perlu memikirkan bersama apa dan bagaimana peran yang harus kita fungsikan sebagai kaum intelqtual dalam situasi kelam kenegaraan dewasa ini.
Ruang dialektika ilmiah senantiasa akan selalu terbuka dalam disputasi, namun sebagai bentuk pertanggung jawaban moril kaum inteletual, penulis mengajak kepada kawan-kawan mahasiswa secara khusus dan publik secara umum untuk senantiasa arif dan bijak dalam merespon, dan  menginterpretasikan aksiden-aksiden sosial politik kebangsaan dan kenegaraan hingga dunia internasional.
Sebagai kaum inteleqtual, hita harus sadar bahwa sejak perjuangan pra kemerdekaan, kemerdekaan ( ORLA DAN ORBA) sampai dengan bergulirnya reformasi hingga pengawalan masa transisi demokrasi melalui konsolidasi demokrasi selalu dimulai dan dimotori dari kearifan, kebijaksanaan dan kesadaran kolektif dari kaum intelequal (mahasiswa) sebagai pilar utama agent of change dan sosial-politik of control?....... salam pembebasan dan perjuangan...........sebelum saya mengakhiri tulisan ini mari kita mencoba merenungi apa yang pernah dikatakan oleh salah seorang sahabat dan keluarga nabi ALI BIN ABI THALIB bahwa “penindasan terjadi karna adanya kerjasama yang baik antara penindas dan yang ditindas”...serta.... “kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir”.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat buat kita semua.......
Assalamualikum warahmatullahi wabaakatu.................. 
Oleh:Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar