Laman

Selasa, 24 Mei 2011

NEGERI PARA KOLONIALIS DAN ELITISME


NEGERI PARA KOLONIALIS DAN ELITISME
PADA tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.” Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno di depan para pendengarnya.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat anti-kolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkoparasikan pemikiran Soekarno diatas dalam menentang kolonialisme, imperialisme dan selanjutnya elitism, serta bagaimana relevansinya dengan kondisi kenegaraan dan kebangsaan kita sekarang.

Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme

Salah satu istilah pokok yang biasanya diadopsi untuk menunjukkan hati, ucapan, sikap dan pemikiran kaum muda inteleqtual dalam menentang kolonialisme adalah Nasionalisme.
Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi. Soekarno percaya, bahwa kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain.
Soekarno dan kawan-kawan sangat menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara politis menentang keduanya, bahkan jika hal itu menggelisahkan profesornya. Pada suatu pagi di awal tahun 1923, sebagai seorang mahasiswa Soekarno dipanggil untuk menghadap Rektor Technische Hoge School waktu itu (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Profesor Klopper. Kepada mahasiswanya, sang profesor mengatakan, “Kamu harus berjanji bahwa sejak sekarang kamu tak akan lagi ikut-ikutan dengan gerakan politik.”
“Tuan,” jawab Soekarno, “Saya berjanji untuk tidak akan mengabaikan kuliah-kuliah yang Tuan berikan di sekolah.” “Bukan itu yang sama minta,” sanggah si profesor. “Tetapi hanya itu yang bisa saya janjikan, Profesor,” jawab Soekarno lagi.
Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial. Imperialisme, menurut dia, “bukanlah pegawai pemerintah; ia bukanlah suatu pemerintahan; ia bukan kekuasaan; ia bukanlah pribadi atau organisasi apa pun.” Sebaliknya, ia adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan negara orang lain. Lebih dari sekadar suatu institusi, imperialisme merupakan “kumpulan dari kekuatan-kekuatan yang kelihatan maupun tak kelihatan.”
Anti-elitisme
Selain kolonialisme dan imperialisme, ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan oleh bangsa ini, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan.
Elitisme ini tak kalah bahayanya, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat Indonesia, tetapi juga memungkinkan terpeliharanya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sejak dahulu menjadi parasit mematikan yang para pendahulu kita mati-matian untuk membumi hanguskannya. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang bagi Indonesia masih dalam tahap konsolidasi dan transisi pasca jatuhnya rezim Soeharto atau lebih dikenal dengan term reformasi .
Menyaksikan dinamika perpolitikan kita dewasa ini jelas dan tegas terlihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur lembaga tinggi negara yang dengan pola politik dagang sapi (jual-beli kepentingan) mendukung adanya stratifikasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menunjukkan salah satu  indikasi atas fenomena demikian itu, tentu saja cukup dengan mencermati pemberitaan media massa yang sering mewartakan tentang maraknya para pejabat tinggi negara kita memamerkan sikap dan pola hidup yang serba glamour serta seringnya mereka membuat kebijakan yang bertolak belakang dari kepentingan dan kebutuhan rakyat. Bertolak dari sikap dan pola hidup yang serba glamour tersebut, petani, nelayan, buruh,supir angkot hingga tukang becak merasa jemu dan muak  untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada apa yang dilakukan oleh pejabat publik tersebut. Tidak jarang mereka mengeluarkan pernyataan yang bernada hujatan terhadap pemberitaan tersebut. Ekspresi yang ditunjukkan oleh masyarakat marginal ini jelas-jelas menunjukkan perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik dengan cara mereka. Kaum cerdik cendikia, mulai dari mahasiswa,alim-ulama hingga guru besar dan Profesor diharapkan akan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil.

Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu, harus ada penegasan bahwa masyarakat sebagai pemilik sah kedaulatan republik ini harus menolak setiap tindak eksploitatif dari pengasa  yang merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ini merupakan hukum baku kenegaraan dan kemasyarakatan bahwa “penguasa tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat dan rakyat tidak seharusnya berpandangan over memuliakan penguasa meski penguasa itu zhalim terhadap mereka. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Rakyat merupakan pemilik sah Re-publik dalam arti bahwa mereka merupakan elemen nukleus dari bangsa dan negara yang sekarang ini sekarat karena terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika menggugat dan melakukan perlawanan dalam gelora revolusi, maka mereka akan mampu mengubah dunia.


Kontemplasi
Lantas, langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk melawan kolonialisme, imperialisme serta elitisme itu?
Pertama adalah berpikir dan bersikap  non-kooperasi. Yakni kita harus sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah yang jelas-jelas zhalim terhadap kepentingan dan kebutuhan rakyat. Dalam kaitan dengan ini, kita semua hendaknya kembali mengingat bahwa motivasi utama kolonialisme  dan imperialisme dalam segala variannya adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak akan dengan sukarela melepaskan koloninya. “Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya,” kata Soekarno, “jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.” Oleh karena itu kemerdekaan dari penindasan penguasa kita dewasa ini tidak boleh hanya ditunggu, melainkan harus diperjuangkan.
Kedua adalah menggalang persatuan di antara para kaum cerdik cendikia,kaum agamawan dan seluruh rakyat marginal. Sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan,  tiga kelompok utama ini nantinya akan mampu bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan rakyat Indonesia. “Bahtera yang akan membawa kita belabuh kepada dermaga kemerdekaan adalah Bahtera Persatuan”. Mengutip Soekarno.
Ketiga, harus di ingat bahwa perjuangan melawan elitisme yang imperialistis ini lebih kompleks daripada perjuangan antara kelompok pribumi melawan kelompok penjajah kolonial belanda pada zaman dahulu. Pada satu sisi perlu dibedakan antara “pihak kita” yakni mereka yang mendukung, dan “pihak mereka” yakni mereka yang menentang perjuangan melawan rezim penguasa zhalim tersebut. Pada sisi lain perlu disadari pula bahwa kedua “belah pihak” ini ada baik di kalangan inteleqtual, agamawan maupun penguasa.
Menarik untuk diperhatikan  bahwa meskipun kita amat berapi-api dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, sebenarnya perlawanan bukanlah karena kebencian terhadap oknum-oknum yang selama ini menjadi sutradara dan aktornya tetapi lebih karena nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi keadilan, kebenaran dan kemaslahatan seluruh umat, dalam arti tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk melakukan pembantaian massal terhadap ketiga oknum dari tantangan itu. Jelas digariskan bahwa tujuan utama perjuangan kemerdekaan adalah mencapai Indonesia merdeka seutuhya. Cita-cita kemerdekaan itu harus disertai hasrat untuk mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah yang berwatak kolonial dengan sistem politik yang sama sekali baru dengan prinsip menunjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan terlebih demi mendapatkan ridh dan rahmat dari Tuhan yang maha kuasa. Perubahan yang kita cita-cita Bukan seperti perubahan total ala Soekarno dan sebagaimana banyak aktivis pergerakan waktu pra-kemerdekaan yang berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah dan elitenya akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi. Kekaburan Soekarno atas gagasan-gagasan Marxis amat memang selektif. Ia tertarik dengan pengertian proletariat-nya Marx, tetapi ia memperluasnya menjadi Marhaenisme. Di satu pihak perluasan itu membuat revolusi menjadi lebih jauh daripada sekadar pertarungan antara buruh pabrik melawan para kapitalis, tetapi di lain pihak hal ini juga membuat fokus revolusi menjadi kabur. Hal tersebut menjadi bertambah ketika disadari bahwa pemerintah kolonial, yakni pihak yang mau dilawan oleh kaum Marhaen, melibatkan juga banyak sekali pejabat dan pegawai pribumi. Dan dalam hal ini rupa-rupanya Soekarno memang tidak bermaksud mengadakan suatu perubahan total. “Kita berjuang bukan untuk melawan orang kaya,” tulisnya di harian Fikiran Rakjat tahun 1932, “melainkan untuk melawan sistem.”

Betapapun “galak”-nya Soekarno dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dengan menggunakan prinsip nonkooperasi, ternyata ia tidak selalu konsisten. Sekitar bulan-bulan Agustus-September 1933, sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah kolonial, ia menyatakan mundur dari keanggotaan Partindo, memohon maaf, dan meninggalkan prinsip nonkooperasi. Ia bahkan dilaporkan bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Lepas dari benar atau tidaknya laporan pemerintah itu, berita ini mengagetkan dan mengecewakan para pendukung gerakan kemerdekaan waktu itu. Mereka kecewa karena tokoh perjuangan yang mereka agung-agungkan, telah menyerah. Dalam koran Daulat Ra’jat edisi 30 November 1933 Mohammad Hatta bahkan menyebut peristiwa ini sebagai “Tragedi-Soekarno.” Hatta amat menyesalkan inkonsistensi serta lemahnya semangat perlawanan tokoh taktik nonkooperasi itu.

Kelompok elite yang kita target  sebenarnya jumlahnya amat kecil, dan kebanyakan dari mereka yang berlatar belakang pengusaha dan tinggal di kota-kota besar  seperti misalnya Bandung, Surabaya, Medan atau Jakarta. Di satu pihak, kelompok elite ini mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk menjadi pejabat publik entah di lembaga eksekutif, yudikatif terlebih lagi di lembaga legislatif dan seharusnya mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kelestarian kemerdekaan serta berpikir dalam rangka identitas nasional dan tidak lagi dalam rangka identitas regional seperti generasi pendahulunya. Tetapi dii lain pihak, kelompok elit ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu reformasi sosial yang akan secara total mengubah sistem yang ada, dengan segala corak kolonial-kapitalisnya alih-alih menempati posisi sebagai penjajah kolonial di negeri sendiri dan menjadikan rakyat sebagai budak di negeri sendiri. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah sirkulasi pergantian elite setiap lima tahun sekali ternyata hanya menggantinya dengan elite yang spirit dan paradigma berpikirnya 90% sama dengan elite sebelumnya dalam hal ini adalah mereka telah menciptakan ekses oligarki dan aristokrasi.
Dalam kaitannya dengan rakyat banyak, anggota kelompok elite ini merasakan perlunya dukungan rakyat dalam pemilihan umum, tetapi pada saat yang sama mereka berupaya mengikis amanat rakyat yang mereka pandang sebagai penghalang bagi langkah menuju penggelembungan dan perampokan dana negara yakni dunia para kaum kolonialis Barat.
Oleh karena itu tidak mengherankan, jika kemudian kontak penguasa dengan rakyat kebanyakan itu sebenarnya amat sedikit, terbatas pada kontak melalui pidato-pidato yang kaya akan retorika dan penuh tepuk tangan dan sorak-sorai para pengikut tapi sangat miskin implementasi.
“Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,” sambungnya. kita sadar bahwa meskipun sudah hampir 67 tahun merdeka dari penjajah kolonial, ternyata beperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme hibrida penjajah kolonial memang merupakan jalan panjang dan terjal syarat akan kekecewaan sebab jalan dan arah menuju demokrasi masih tak kelihatan cahayanya. Tetapi kita harus juga sadar bahwa betapapun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah yang terencana dan terorganisir dengan baik. Menguti pernyataan Ali Bin Abi Thalib (keluarga dan sahabat nabi Muhammad SAW) bahwa kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar