Laman

Selasa, 24 Mei 2011

KETIKA POLISI MENJADI SELEBRITIS


KETIKA POLISI MENJADI SELEBRITIS
Merupakan suatu hal yang wajar jika kemudian seluruh lapisan masyarakat akhir-akhir ini menyebut Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai warga negara dan institusi yang paling patut bersyukur dan bahagia akhir-akhir ini.Betapa tidak briptu norman yang juga merupakan salah satu anggota Brimob Kepolisian RI tersebut menjadi pusat perhatian masyarakat luas lewat pemberitaan media massa. Lewat vidio aksi menari dan menyanyi khas ala Sahrul Khan yang ditujukan untuk menghibur rekan se-institusinya tersebut mampu mempengaruhi media massa untuk menjadikannya pusat pemberitaan. Vidio lifsing yang di unggah melalui you tube tersebut tiba-tiba menjadikan anggota Brimob asal Gorontalo itu menjadi selebritis dan menjadi idola baru bagi masyarakat mulai dari kalangan pejabat negara hingga penjual kaset VCD lagu india dipasaran. Pria yang akhir-akhir ini dikenal murah senyum tersebut mendadak libur sejenak dari rutinitas tugas kepolisiannya dan sibuk untuk memenuhi undangan manggung dari berbagai stasiun televisi serta menghadiri beberapa pertemuan yang dijadwalkan dari berbagai institusi mulai dari institusinya sendiri maupun institusi yang lain seperti Kampus,tidak tanggung-tanggung Tokoh dan Politisi pun turut menjadi penggemar dadakannya. Terlepas dari semua problem yang ada entah itu bersifat pribadi,keluarga,pekerjaan,kemasyarakatan, kebangsaan dan bernegara, Briptu Norman telah hadir bak sebagai malaikat penghibur bagi mereka yang haus akan sosok pahlawan.
Sejenak untuk melakukan pemikiran secara kontemplatif, akal akan senantiasa memberikan pengarahan bahwa negara ini telah mengidap sindrom krisis Figur dan Tokoh yang akut. Setali tiga uang, fenomena diatas suka tidak suka telah melahirkan implikasi sosial dan politik yang serius.
Ada beberapa hal yang saat ini patut untuk menjadi sorotan publik dan harus segera mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah khususnya Institusi yang selama ini mengalami krisis kepercayaan publik. Pertama, stigma pencitraan yang melekat kuat pada pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah adalah aktor pencitraan. Walaupun memang, pada awalnya pencitraan mempunyai artian dan konteks yang positif, yaitu sebuah  upaya untuk menerjemahkan komitmen,etiket yang baik, dan kompetensi dalam melaksanakan kinerja pemerintahan yang berorientasi kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, orientasi tersebut pada perjalanan selanjutnya melenceng jauh dari rel dan dianggap telah mengantarkan pencitraan pemerintah ke dalam jurang kebangkrutan strategi, tehnik dan taktik.
Stigma ini semakin kuat, karena pemerintah terutama pada dekade terakhir ini banyak mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan yang kurang mendapat simpati dari rakyat bahkan kadang kala mendapatkan hujatan yang serius. Memang tidak fair mensimplifikasikan institusi negara seperti kepolisian sedemikian besar hanya dengan orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaan mengingat jumlah anggota yang sangat banyak. Akan tetapi, hal ini cukup bisa dipahami karena di sanalah “sebagian sangat kecil” dari anggota-anggota itu melakukan “peranan yang sangat besar” dalam menentukan arah gerak institusi ini dengan policy yang ada di tangan mereka. Karena itu, institusi pemerintah tidak boleh menolak mentah-mentah kalau dikatakan sebagai aktor utama pencitraan dan seharusnya tetap melakukan refleksi dari gugatan-gugatan yang dialamatkan kepadanya.
Kedua,Institusi pemerintah dalam hal ini institusi kepolisian pada masa-masa awalnya sejak berpisah dengan TNI dari ABRI adalah benar-benar sebuah organisasi yang mempunyai semangat besar dalam memperjuangkan perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat luas, sehingga pada masa lalu stigma yang terbangun di masyarakat cukup positif bahkan tidak jarang terdengar bahwa institusi kepolisian merupakan alternatif pertama dan utama bagi karir dan profesi bagi masyarakat angkatan muda selepas dari sekolah menengah atas. Dalam usaha mempertahankan. Akan tetapi, kekuasaan telah berhasil menggoda institusi ini dan membuat orientasi kerakyatannya menjadi semakin menipis dan bahkan menghilang. Institusi ini bahkan institusi yang lain dalam pemerintahan hanya sibuk mengurusi persoalan-persoalan pencitraan elite dan institusi serta melupakan hubungan simbiosisnya dengan rakyat. Jarang sekali institusi ini terlihat kepeduliannya dalam upaya memberdayakan masyarakat.
Ketiga, format rekruitmen anggota institusi negara mengalami stagnasi yang sangat serius. Dari dulu hingga sekarang format rekruitmen tidak ada perubahan signifikan. Pada tahun awal eksistensinya, format rektuitmen mungkin adalah yang the best of the best. Akan tetapi ketika perubahan yang terjadi selama sekian puluh tahun terjadi sedemikian gencar, institusi kepolisian nampak tergagap-gagap karena sudah jauh ketinggalan dengan pola-pola rekruitmen yang digunakan oleh institusi lain seperti pegawai negeri pemerintah yang sudah mengambil spesialisasi dan mengelolanya secara lebih profesional. Apabila disejajarkan dengan institusi pemerintahan yang lain seperti dinas pemerintah mulai dari perikanan,penerbangan, perhubungan hingga dinas pemerintahan dalam negeri, Kepolisian terkesan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi realitas sosial yang terjadi sekarang ini. Karena itu format rekruitmen sama saja disetiap lembaga. Yang lebih memprihatinkan lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa rekruitmen yang dilakukan syarat dengan KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Dari pada sibuk dengan pencitraan yang terkesani elitis dan institusional sebaiknya institusi ini segera berbenah diri dengan merubah budaya rekruitmen anggota dengan mencari pola baru yang lebih humanis dan dibutuhkan untuk menjalankan amanah sebagaimana mestinya.
Keempat, Institusi ini tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat. Masyarakat awam sekalipun yang kurang paham tentang institusi ini dan hanya mengetahui sedikit melalui argumentasi polemik (kata orang banyak) berharap banyak bahwa institusi ini akan berbenah diri terutama berkaitan dengan spesialisasi tugas dan fungsinya. Sudah banyak kekecewaan yang mereka dapatkan ketika berhubungan langsung dengan institusi ini.
Kelima, institusi ini kehilangan cirinya sebagai institusi pelindung dan pengayom masyarakat. Ini disebabkan oleh budaya yang mengarah kepada rekruitmen anggota dan kinerja yang secara lambat tapi pasti selalu mengalami degradasi yang cukup drastis. Mereka hanya disibukkan dengan rutinitas pencitraan atau bahkan lebih parah lagi disibukkan oleh konflik internal antar elit yang kontraproduktif dan hanya buang-buang energi saja. Di tambah lagi, institusi ini terlalu bangga dengan kiprah dan perjuangannya dalam menindak terorisme, pengedar narkoba, pencuri,perampok hingga pengendara lalu lintas yang tidak disiplin lalu linta. Sebut saja kiprah kesatuan polisi sekaliber Densus 88, Devisi narkotika serta divisi lalu lintas yang nota benenya menjadi andalan di institusi ini kemudian melupakan bahwa di masa depan kepolisian juga harus adil dan bijak dalam pemberdayaan masyarakat.
Keenam, Institusi ini kering Moralitas-spiritual. kepolisian memang adalah sebuah institusi yang tidak pernah mendoktrin anggotanya untuk memahami agama secara konprehensif. Tetapi bukankah setiap lembaga negara senantiasa berpedoman kepada pancasila dimana sila pertama, kedua, dan kelima serta UUD 1945 pasal 29 cukup untuk menegaskan dasar setiap kebijakan dan tindakan yang seyogiyanya dilakukan. Bukankah Ini adalah sesuatu yang positif. Keringnya  moralitas spiritualitas anggota kepolisian merupakan indikasi bahwa ada yang salah dalam proses bimbingan dan peneguhan nilai keagamaan. Inilah yang menyebabkan institusi agung ini tidak begitu baik dimata. Kepolisian juga nampaknya kurang berminat lagi untuk mengurusi anggotanya yang bermasalah dalam tataran moral spiritual untuk memahami agama dengan arif dan bijak sehingga mereka kemudian lebih mementingkan simbolitas kegagahan dan kekuatan fisik.
Ini adalah sebagian kecil saja yang membuat institusi negara khususnya kepolisian pantas dikritik. Masih banyak yang lain yang tidak mungkin ditulis dalam ruang yang terbatas ini.
Di tengah krisis kepercayaan publik dan degradasi yang sedemikian parah terjadi, tinggal beberapa hal yang dapat diandalkan dan diharapkan mampu mengembalikan vitalistasnya institusi ini yang kemudian harus benar-benar dijaga agar tidak semakin tenggelam oleh hujatan dan gugatan publik
Pertama, perteguh nilai moral-spiritual artinya kepolisian harus selalu menunjukkan pemihakannya terhadap kebenaran. Pada saat-saat tertentu, kadang institusi ini dihadapkan pada beberapa pilihan yang harus dipilih salah satu. Dengan menggunakan hukum-hukum berpikir yang benar dalam ilmu logika maka ketika ada dua hal atau sesuatu yang berbeda, maka hanya ada tiga kemungkinan jawabannya, yaitu semuanya salah, ataukah salah satunya benar dan salah satunya salah. Di sinilah institusi kepolisian dituntut untuk melakukan ijtihad dan melakukan pembelaan dengan berpedoman kepada khittah awal tujuan dari lembaga tersebut dan lebih kepada nilai kemanusiaan dan keadilan dimana pembelaan itu haruslah selalu diarahkan pada kebenaran.
Kedua, institusi ini tidak dibenarkan berafiliasi secara institusional kepada kepentingan elit atau organ politik sebab lembaga ini bukan lembaga politis dan jabatan yang ada didalamnya bukan pula jabatan politik. Kepolisian RI bukan underbow dari kelompok kepentingan atau organisasi masyarakat tertentu, sehingga segala hal entah itu kebijakan maupun pelakaksanaan kebijakan yang akan ditempuh oleh institusi dan individu bukanlah tindakan penerjemahan kepentingan dari kelompok kepentingan atau ormas tertentu bahkan tidak pula untuk kepentingan elit dan partai politik apalagi untuk kepentingan pejabat institusi.
Ketiga, instutisi ini harus melakukan reformasi birokrasi dengan sungguh-sungguh. Pada tataran rekruitmen anggota, institusi harus mampu keluar dari main streem pola rekruitmen yang selama ini syarat dengan KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Stigma yang terbangun di masyarakat bahwa untuk masuk jadi anggota kepolisian maka harus bersiap-siap merogoh kecek minimal puluhan juta hingga ratusan juta harus di-reduksi sehingga melhirkan efek domino yang tidak tanggung-tanggung. Disatu pihak, masyarakat yang punya kompetensi jadi polisi harus mengurunkan niatnya karena persoalan biaya. Apabila memang masyarakat tersebut punya tekat yang kuat untuk masuk polisi maka sawah ladang bahkan rumah sekalipun siap untuk digadaikan bahkan tidak jarang ada yang menjual rumah kediamannya sehingga paradigma berpikir yang terbangun kemudia setelah menjadi anggota adalah bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dipakai. Maka tidak heran kalau kemudian ada polisi yang diketemukan dilapangan menghalalkan segala cara untuk memanipulasi kejahatan demi seikat rupiah. Dipihak yang lain masyarakat yang memang punya modal banyak meskipun kurang memiliki kompetensi melenggang saja diterimah tanpa tedeng aling-aling sehingga lahirlah karakter polisi yang berpikir fragmatis dalam menjalankan peran dan fungsinya, sebab mereka berpikir bahwa di dunia ini yang berkuasa adalah uang dan jabatan maka yang harus dibela dan dilindungi adalah yang memiliki kedua modal tersebut.
Terlepas dari semua hal diatas, seluruh lapisan masyarakat patut mengapresiasi apa yang telah dilakukan Briptu Norman, sebab selain selain telah menjadi idola baru dalam kanca dunia hiburan tanah air bagi masyarakat, dia juga telah menjadi pahlawan buat institusinya di tenggah krisis kepercayaan publik terhadap institusi ini dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban umum.
Semoga seluruh lapisan masyarakat khususnya institusi kepolisian senantiasa melakukan pembenahan diri secara total. Bahwa melakukan sesuatu yang baik, berguna dan bermanfaat apalagi menghibur masyarakat bisa mndongkrak popularitas dan menaikkan citra individu dan institusi tersebut. Semoga kedepan citra yang kemudian terbangun dari pihak kepolisian adalah bukan karena tampil bergoyang, berdendang dan bernyanyi ala briptu norman tetapi lebih karena kinerja yang baik dan profesional serta selalu berorientasi kepada kemaslahan masayarakat.

Oleh : Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar