Laman

Selasa, 14 Juni 2011

Negara Dirongrong Kejahatan Politik

Berjamaahnya para politikus Indonesia mengungsikan diri keluar negeri khusunya ke negera Swiss dan Singapura merupakan fenomena yang sudah menjadi tren glamour dalam wajah politik dan hukum negara kita. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang melarikan diri keluar negeri adalah politikus yang sementara diproses hukum karena tindak pidana korupsi. Logika untuk mengamini proposisi tersebut cukup sederhana. Kalau memang mereka tidak melakukan kejahatan (memang orang yang baik) ngapain sembunyi-sembunyi keluar negeri meski sudah mendapatkan izin pencegahan bepergian keluar negeri oleh lembaga Imigrasi?
Memang sangat memprihatinkan perilaku yang dipertontonkan oleh para pejabat publik kita tersebut, mengingat mereka adalah penyambung lidah masyarakat yang seharusnya tidak menjadi aktor penjahat politik dalam kondisi negera yang baru berekperimen untuk konsisten mengadopsi sistem politik demokrasi.
Yang menarik untuk dikaji adalah adalah apakah fenomena diatas bisa diklasifikasikan sebagai kejahatan politik?
Konsep kejahatan Politik
Kejahatan adalah term atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan tidak berbudi dan bermoral (menafikan nilai-nilai kemanusiaan). Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Marshall B. Clinard dan Richard Quinney memberikan 8 tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu (1). karir penjahat dari si pelanggar hukum, (2). sejauh mana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok,(3). hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah, (4). reaksi sosial terhadap kejahatan.
Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah Pertama, Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminil seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya. Kedua, Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya. Ketiga Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari. Keempat, Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dansebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itu sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat. Kelima, Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas. Keenam, Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time- Carreer dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar. Ketujuh, Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal dilingkungan-lingkungan pemukiman yang baik. Kedelapan Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.
Dari segi istilah, kejahatan politik merupakan kata majemuk “kejahatan” dan “politik”. Namun apabila dilihat dari kata majemuk ini, kita akan menemui masalah, sebab begitu banyak pengertian yang kita dapatkan dari istilah kejahatan maupun istilah politik. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kejahatan dapat diberi pengertian berdasarkan Legal Definition of Crimes dan Social Definition of Crimes. Kejahatan dalam pengertian J D Crimes adalah perbuatan-perbuatan yang telah dirumuskan dalam Perundang-undangan pidana. Sementara kejahatan berdasarkan social Definition of crimes adalah definisi kejahatan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan sosial kemasyarakatan.
Demikian pula untuk istilah politik, terlalu banyak pengertian politik yang dapat kita temukan, sebab politik berkaitan erat dengan tujuan negara, kekuasaan dalam arti mendapatkan dan mempertahankannya, pengambilan keputusan, kebijakan pengambilan keputusan dan lain sebagainya. Menurut Yuwono Sudarsono, politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Politik juga sering disalah artikan, misalnya larangan untuk berpolitik, deidiologisasi, deparpolitisasi yang hampir semua orang telah mengetahui bahwa pelarangan itu juga merupakan perbuatan politik.
Penjahat politik menghendaki pengakuan dari norma-norma yang diperjuangkan agar dapat diterima oleh tertib hukum yang berlaku. Sementara perbuatan politik dilakukan bukan semata-mata karena keberatan terhadap norma yang dilanggarnya, akan tetapi terutama keberatan terhadap norma-norma lain yang menjadi bagian dan tertib hukum atau berkeberatan terhadap situasi-situasi hukum yang dianggap tidak adil. Pembedaan ini penting untuk kualifikasi kejahatan politik dengan perbuatan politik yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Perbuatan politik tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kekacauan di masyarakat, tetapi semata-mata untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan perbuatan, antara lain demonstrasi, petisi, aksi protes dan lain sebagainya. Seorang pelaku perbuatan politik menolak melakukan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan hati nuraninya.
Ada juga term political refugee yakni mereka yang melarikan diri keluar negeri karena pemerintahnya berdasarkan perbedaan politik, ras, agama dan lain sebagainya. Seorang pengungsipolitik adalah seorang korban pasif dan suatu gejolak politik, tidak ikut aktif dalam suatu oposi di negerinya. Mereka tidak kembali ke negeri asalnya karena ada resiko akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Berbeda halnya politikus yang melarikan diri keluar negeri untuk mengamankan diri dari jeratan hukum suatu negara setelah melakukan korupsi.
Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah menurut konferensi internasional tentang hukum pidana. Konferensi tersebut memberi pengertian kejahatan politik sebagai kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Pengertian tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan delik politik, apakah individu, korporasi, ataukah negara. Demikian pula organisasi mana yang dimaksud, sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara.
Parameter Kejahatan Politik
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas yang belum secara tegas memberikan pengertian kejahatan politik, kiranya untuk menerapkan apakah terhadap pelaku perbuatan yang diindikasikan mempunyai unsur politik dapat diekstradisi ataukah tidak masih memerlukan pembahasan secara mendalam dan memerlukan keputusan politik dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Memang sulit untuk menentukan pengertian kejahatan politik. Penjelasan tersebut di atas hanya menunjukkan perbedaan antara pelaku pada kejahatan biasa dengan kejahatan politik serta sifat perbuatannya itu sendiri.
Walaupun demikian sekedar pegangan untuk menentukan apakah suatu kejahatan termasuk sebagai kejahtan politik, parameter yang dapat digunakan adalah (1). Perbuatan pidana tersebut ditujukan untuk mengubah tertib hukum yang berlaku di suatu negara; (2). Perbuatan pidana tersebut ditujukan kepada negara atau berfungsinya lembaga lembaga negara; (3). Perbuatan tersebut secara dominan menampakan motif dan tujuan politiknya; (4). Pelaku perbuatan mempunyai keyakinan bahwa dengan mengubah tertib hukum yang berlaku maka apa yang ingin dicapai adalah lebih baik dan keadaan yang berlaku sekarang.
Akan tetapi untuk menetapkan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan politik harus tetap hati-hati, karena demokratisasi politik dan penegakan hak asasi manusia telah menjadi isu global. Perjuangan berbagai bangsa untuk melepaskan diri dari kolonialisme telah menjadikan kejahatan politik menjadi semakin nisbi. Kejahatan politik adakalanya juga berkaitan dengan dimensi tempat dan waktu.
Hal ini dikarenakan apa yang dianggap sebagai kejahatan di suatu negara belum tentu dianggap sebagai kejahatan di negara lain. Kritik terhadap kekuasaan negara adakalanya dianggap sebagai kejahatan oleh penguasa penguasa totaliter, tetapi tidak disebut sebagai kejahatan bagi negara yang menganut paham demokrasi. Seorang freedom fighter juga disebut sebagai penjahat atau pemberontak oleh penguasa berdasarkan tertib hukum yang berlaku, tetapi ia dapat disebut sebagai pahlawan manakala tertib hukum yang dicitakan terwujud sesuai dengan idealita yang dianutnya.
Melihat parameter kejahatan politik tersebut di atas tampak sekali bahwa kejahatan politik sangat tipis dengan kejahatan umum. Dikatakan demikian sebab kejahatan politik dapat dilakukan secara terang-terangan melalui kejahatan umum seperti pembunuhan, perusakan, bahkan dengan teror dan lain sebagainya. Kejahatan politik juga dapat dilakukan secara connex dengan kejahatan biasa, misalnya pencurian. senjata untuk mendukung perjuangan politik.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt kejahatan politik secara kriminologis dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama adalah kejahatan politik yang ditujukan kepada negara atau political crimes against the state. Kedua adalah kejahatan politik oleh negara atau domestic political crimes by the state. Ketiga adalah kejahatan politik internasional oleh negara atau internationalpo litical crimes by the state.
Ketiga bentuk kejahatan politik di atas dalam kaitannya dengan ekstradisi, hanya bentuk pertamalah yang relevan. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga yang menjadi subyek hukum adalah negara, sehingga tidak termasuk subyek yang dapat diekstradisi. Tipe ketiga atau internationalpolitical crimes by the state dapat meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap negara lain maupun lembaga-lembaga internasional terhadap negara tertentu. Political crimes against the state meliputi violent political crimes against the state maupun nonviolent political crimes against the state. Sementara domestic political crimes by the state meliputi state corruption dan state politi cal repression.
Sebagaimana disebutkan di atas, kualifikasi kejahatan politik penting untuk menentukan apakah penjahat dapat diekstradisi ataukah tidak. Sudah barang tentu perihal ekstradisi ini terkait dengan masalah hak asasi manusia, yakni hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Ekstradisi adalah proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh negara kepada negara lain yang punyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Secara umum dalam studi ilmu hukum terdapat 4 (empat) asas hukum dalam pengaturan ekstradisi.
Pertama, double criminality principle atau asas kejahatan rangkap. Asas tersebut mengandung arti bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, baik menurut hukum negara yang meminta, maupun negara yang diminta dinyatakan sebagai kejahatan. Kedua, asas bahwa negara yang diminta berhak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri. Ketiga, asas bahwa jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan politik, maka permintaan ekstradisi ditolak. Keempat, asas bahwa suatu kejahatan yang seluruhnya atau sebagian diwilayahnya termasuk dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara mi dapat menolak permintaan ekstradisi ini.
Berdasarkan uraian diatas maka yang patut untuk menjadi renungan kita bersama adalah bahwa memang tidak bisa dinafikan kejahatan merupakan suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat (negara) itu ada, termasuk kejahatan politik. Kejahatan politik selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan politik hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan politik dan memperbaiki penjahat politik agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan politik , tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan suprastuktur politik dan infrasrtuktur poltik, tapi yang harus menjadi titik tekan adalah bagaimana menciptakan sebuah sistem politik dan pemerintahan yang diatur sedemikian rupa dalam regulasi yang menjamin kemungkinan kecil oknum tertentu untuk melakukan kejahatan politik.
Hal itu menjadi tugas dari setiap elemen bangsa dan negara ini khususnya para pembuat regulasi di DPR, karena mereka adalah penyambung lidah rakyat atau pelayan masyarakat.
Oleh: Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Kamis, 09 Juni 2011

Memerdekakan Kemerdekaan

Mendorong perlunya demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy) yang cenderung semu seharusnya diletakkan seruang dan sebangun denganmemerdekakan kemerdekaan. Memerdekakan kemerdekaan, yaitu upaya membebaskan kemerdekaan dari belenggu identitas simbolis artifisial sehingga warga (rakyat) bisa menemukan jati dirinya bukan hanya sebatas warga negara, tetapi lebih kepada warga bangsa.
Pasca robohnya benteng kekuasaan orde baru, bangsa ini mengami tantangan baru, pendulum demokrasi terlalu kencang bergerak ke ‘kanan’. Sistem dan nilai demokrasi hanya menerapkan demokrasi pada tataran permukaan (semu). Lewat amandemen UUD 1945 rakyat memegang kuasa penuh untuk memilih pemimpinnya secara langsung baik pada tingkat nasional maupun daerah. Fenomena inilah yang kemudian mengundang banyak lembaga internasional untuk mengalungkan medali penghargaan dengan melabeli Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang demokratis. Namun fenomena terbukanya ‘keran’ kebebasan seluas-luasnya atas nama demokrasi diatas ternyata hanya melahirkan iklim perebutan kekuasaan yang tidak jarang menerapkan politik bebas nilai.Term ‘politik dagang sapi’pun menjadi buah bibir masyarakat ditengah kekecewaan terhadap wakil mereka yang mendua terhadap kepentingan rakyat.
Dalam iklim demokrasi yang seperti sekarang, sudah menjadi rahasia umum bahwa uang, jabatan dan relasilah yang memainkan peran utama dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Sehingga wajar jika kemudian masalah-masalah pelik muncul sebagai konsekuensi logis dari praktek-praktek seperti ini. Salah satu masalah pelik yang paling menonjol adalah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu yang legitimate ternyata hanya cenderung memanfaatkan posisinya untuk memperjelas pretise, dan mempertegas kemuliaan simbolis dengan memperkaya diri dan golonganya. Alhasil, korupsi menjadi musuh utama di era yang katanya demokrasi. Betapa tidak, para pejabat publik di setiap tingkatan mulai dari tingkat pusat hingga daerah ,mulai dari pejabat eksekutif hingga yudikatif, serta mulai dari anggota DPR hingga ketua RT,semuanya melakukan korupsi. Fenomena ini semakin mengafirmasi pendapat Antony Gidden, bahwa” walaupun optimisme terhadap demokrasi tetap tinggi, namun telah terjadi penurunan kepercayaan yang signifikan terhadap para pejabat/politisi”.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah dengan adanya pemilihan langsung kepala daerah, konflik horizontal di masyarakat menjadi suatu budaya laten yang hampir mencapai titik klimaksnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya atau bahkan ketiadaan kearifan dan kedewasaan berpolitik dari semua elemen masyarakat alih-alih kurang pemahaman tentang politik akibat pendidikan politik yang tidak terdistribusi secara signifikan. Ketidakdewasaan dalam berpolitik terwujud dengan sikap yang tidak siap kalah, karena para calon pimpinan yang gagal meraih kemenangan lebih sering mengorganisir warga untuk melakukan protes terbuka terhadap otoritas penyelenggara Pemilu dengan berbagai alasan khususnya; manipulasi data, tak jarang perilaku ini berakhir dengan tindakan anarkis. Parahnya lagi, para calon pimpinan khususnya di daerah, menjadikan basis pendukungnnya berdasarkan kaitan kesukuan dan etnisitas, serta agama. Sehingga pemilu yang awalnya menjadi momentum bulan madu demokrasi rakyat dalam memilih pemimpin yang ideal, justru memungkinkan berakhir dengan konflik sosial yang bernuansa SARA.
Bukankah akal sehat kita mengkonklusikan bahwa kondisi yang demikiantidaklah dalam posisi ideal?. Konklusi yang semacam itu bukanlah pemikiran sempalan yang lahir dari ruang yang kosong, karena berdasarkan nilai idealnya, demokrasi memberikan landasan nilai tentang persamaan derajat, harkat, dan martabat manusia yang tentunya secara praksis terwujud dalam kondisi tanpa adanya penindasan dan pembantaian antar manusia.
Dari persaksian kita mengenai perkembangan praktek demokrasi di Indonesia belakangan ini, tentunya dapat disimpulkan bahwa telah terjadi dominasi kaum kaya yang bermodal terhadap kaum miskin yang tidak memiliki sumber daya. Demokrasi hanya milik kaum segelintir elite yang memiliki kapital berdasarkan konsep yang diadopsi oleh Guetanomosca dan Vilfredo Fareto mungkin layak kita amini. Atau mungkin ada baiknya kita kembali memikirkan secara kontemplatif tentang apa yang pernah dinyatakan oleh HOS, Tjokroaminoto tentang kondisi diatas. Beliau mengemukakan bahwa “Akan tetapi pada zaman modern sekarang, cara-cara memproduksi hasil-hasil keperluan dan kebutuhan hidup manusia ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan dan paham kapitalisme (kapitalistische productie wijze), yang semakin lama semakin mendekati puncak ketinggiannya, sedangkan dalam aspek yang lain pertentangan antara keperluan kaum modal (kapitalist) dengan kaum miskin dan melarat (terutama kaum buruh rendahan) semakin bertambah tajam. Karena itu terjadilah krisis berulang-ulang terutama krisis yang menyangkut kepentingan hidup orang banyak dan produksi….”
Meskipun jaman telah berganti tetapi beliau dengan jelas dan tegas menganalisis bahwa kapitalisme adalah sumber dari permasalahan yang ada di masyarakat. Inilah yang kemudian lebih lanjut disebut sebagai ironi demokrasi atau bisa disebut sebagai demokrasi “semu”.
Dalam konteks ilmu politik, istilah “semu” sering dikaitkan dengan demokrasi yang mengacu pada capaian teknis berupa suksesi dan perebutan kursi semata. Sementara itu, rakyat (demos) hanya berperan sebatas penggembira yang dimobilisasi dalam sebuah kontestasi. Kalau merujuk pada konsep tersebut, kemerdekaan negara ini mengalami hal yang sama. Kemerdekaan yang kita capai masih bersifat artifisial, karena sebatas hengkangnya kaum kolonial dari Bumi Pertiwi dan tampilnya bumiputra sebagai penguasa. Yang lebih parahnya lagi, bumi putra yang menjadi penguasa justru menjadi penjajah baru terhadap negeri sendiri.Seperti demokrasi, kemerdekaanpun kiniditandai oleh pesta dan ritual (hari kemerdekaan) tanpa kepastian arah dan tujuan.
66 tahun sudah negara ini merdeka, 103 tahun kebangkitan nasional, 83 tahun terbentuknya bangsa melalui manifesto politik sumpah pemuda serta 13 tahun reformasi, semerbak eksistensi bangsa dan negera ini belum mampu dinikmati oleh warganya sendiri sebagai pemilik sah kedaulatan. Dan yang paling menonjol dari kepahitan penderitaan rakyat adalah persepsi hambar atas institusi partai politik, yang tidak jarang menciptakan budaya ilfil atau alergi politik dari masyarakat. Hal tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat dalam sistem demokrasi, partai politik adalah industri politik paling legitimate dan berpengaruh sebagai penyalur pejabat publik di lembaga suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang beberapa dekade ini terkesan mendua terhadap demokrasi. Kepentingan rakyat yang direduksi dan didiskreditkan menjadi kepentingan partai dan elite partai, telah memacetkan pelayanan publik.
Dari Sabang dibarat hingga Merauke ditimur, dari pulau Mianggas hingga pulau Rote, dari danau Sentani di Papua hingga danau Toba di Sumatra Utara, kesucian dan kebeningan air kebijaksanaan demokrasi memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik demokrasi yang semu tersebut kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kesejahteraan dan kebudayaan.
Sungguh sebuah ironi, mengingat desain demokrasi Indonesia adalah hasil pertautan komplementer pahamideal yang telah disaring dari keberagaman paham pemikiran, keyakinan, dan budaya yang kemudian tertuang dalam PANCASILA sebagai ideologi negara.
Penyanderaan Demokrasi Pancasila
Sungguh ironis menyaksikan kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, ketika peraturan perundang-undangan berbasis eksklusifisme keagamaan bersetubuh menikam jiwa ketuhanan yang maha esa, lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan menginterupsi bahkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab, trilogi penyakit negarawan (korupsi,kolusi dan nepotisme) dan penciptaan dinasti kekuasaan dari pemerintah pusat (geo-politik O) hingga daerah (geo-politik pribumi) serta klaim kebenaran tunggal komunitas masyarakat tertentu turut melemahkan persatuan kebangsaan, demokrasi liberal prosedural dalam pemilihan umum dengan segala variannya membunuh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Suprastruktur politik ( eksekutif, legislatif dan yudikatif) berjamaah menjarah keuangan rakyat, penegak hukum menciderai asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan efek jera. Ekspansi neoliberalisme, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar yang turut pula turut menjegal keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan justru berlawanan dengan arah jarum jam kemerdekaan sesungghnya, rakyat dibawah pada periode pra-politik saat terkungkung dalam hukum besi sejarah penjanjahan kolonial.
Ada jarak yang lebar antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan, persamaan, kebebasan, persaudaraan dan kekeluargaan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat. Distorsi ini terjadi disebabkan karena lembaga negara dijadikan industri komersil tempat mencari kerja sehingga lembaga negara diinterpretasikan sebagai lemabaga profesi. Wakil rakyat tidak lagi bekerja untuk politik melainkan bekerja dari politik. Disinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha dan politisi dalam proses institusionalisasi dan legal drafting, mereka melegalisasi proyek kepentingan pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan proyek pembangunan infrastruktur untuk kemaslahatan rakyat. Suatu gerakan mafia melakukan penyanderaan demokrasi. Adagium “akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik” yang merupakan pernyataan Pra Moedya Ananta Toer dalam RUMAH KACA nampaknya telah menemukan tempatnya dalam realitas perpolitikan nasional Indonesia hari ini.

Pelembagaan Konstitusi
Keberhasilan negara merekonstruksi dirinya melalui revisi konstitusi (purikasi UUD) seharusnya diikuti pelembagaan (ketaatan) konstitusi itu sendiri. Namun, semua itu masih mimpi. Karena itu, pencapaian agenda pada era reformasi ini tak jauh berbeda dengan pencapaian awal kemerdekaan, yaitu pergulatan membangun konstitusi. Sementara itu, penguatan nilai-nilai konstitusi berjalan lambat dan cenderung involutif. Akibatnya, kegaduhan politik terus mengalir dari dulu sampai sekarang.
Kita bisa menyaksikan carut-marut relasi antarlembaga negara yang sering berujung pada kegaduhan politik yang tak produktif. Walaupun konstitusi sudah mengatur tata interaksi dan pola relasi antarinstitusi, tarik-menarik kepentingan elitis di antara lembaga-lembaga negara tak pernah mati. Percaloan di Dewan Perwakilan Rakyat, mafia peradilan, dan sepak terjang lembaga penegak hukum dengan segala kontroversinya menjadi catatan lemahnya budaya mematuhi. Begitu juga DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang berebut kuasa, walau dalam konstitusi mereka memiliki posisi yang sama.
Belum lagi orientasi kekuasaan kaum politikus yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada rakyat. Semua ini akibat pengabaian terhadap konstitusi sebagai landasan dasar interaksi. Konsekuensinya, tatanan kenegaraan menjadi amburadul dan bergerak menurut tafsirnya masing-masing. Karena itu, diperlukan proses pelembagaan konstitusi dalam kesadaran diri anak bangsa.
Yang perlu ditekankan adalahwalaupun secara konstitusi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama, dalam sistem presidensial, eksistensi kepala negara (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi penting untuk menegakkan kembali kepatuhan seluruh komponen masyarakat terhadap aturan main yang ada. Dan fungsi ini akan maksimal apabila masing-masing lembaga negara bekerja sesuai dengan aturan dan menjadi abdi rakyat.
Tentu ini bukan agenda mudah, karena pada kenyataannya para pejabat negara masih banyak yang abai, bahkan belum sadar konstitusi, apalagi menjalankannya. Inilah ironi kemerdekaan sebuah bangsa dan negara yang selama ini dikultuskan sebagai bangsa yang besar untuk menutupi kondisi riil sebagaimana adalanya bahwa negara kita sebenarnya baru sebatas belajar untuk memahami demokrasi. Jadi jangan heran jika kemudian ditataran implementasi demokrasi masih amburadul.
Inilah kemerdekaan semu dan prosedural yang sewaktu-waktu dapat mengancam kohesivitas kebangsaan yang multikultural. Karena itu, perlu kitanya semua elemen bangsa dan negara khususnya pemerintah, untuk kembali meluruskan orientasi penyadaran diri sebagai komando untuk meramu sistem yang bisa menunjang proses “pemerdekaan kemerdekaan”. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah penguasa harus bekerja keras demi, oleh dan untuk rakyat agar sematan lencana tanda jasa menjadi sesuatu yang akan diabadikan oleh tinta sejarah.
Oleh: Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

MK di Tengah Pusaran Politik Mafia

Kasus dugaan suap terhadap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ternyata tidak hanya merontokkan citra partai berkuasa pengusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Siapa sangka kasus tersebut juga menyeret-nyeret lembaga lain, yakni Mahkamah Konstitusi, yang tak ada sangkut-pautnya dengan proyek Wisma Atlet SEA Games yang diributkan. Padahal MK selama ini dikenal sebagai satu-satunya institusi yang masih dipandang publik memiliki reputasi yang baik, bahkan belum lama ini mendapat predikat sebagai institusi terbaik se-Asia.
Beberapa waktu lalu Ketua MK, Mahfud MD, melaporkan kepada Presiden SBY yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), bahwa ada seorang politikus daripartai tersebut yang mencoba menyuap Mahkamah Konstitusi melalui sekterarisnya.
Fenomena penyuapan politisi terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia memang bukanlah hal yang luar biasa untuk dijadikan bahan perdebatan, pasalnya hal tersebut telah mendarah daging dalam konteks perpolitikan kita di tanah air. Hanya saja, cukup ironis, bahwa MK yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga tinggi negara yang masih dipercaya publik karena integritasnya yang baik dan bersih,ternyata hendak diskenariokan oleh oknum tertentu agar terkena cipratan penyakit KKN. Hal inilah yang kemudian mendeteksi adanya indikasi konspirasi untuk menyandera MK dengan tujuan menghancurkan reputasi dan integritasnya.
Memang jika kita mau mengadopsi logika hukum parsial, sebenarnya secara hukum, peristiwa diatastidak diketemukan aspek pidananya,sebab pemberi uang belum sempat mengemukakan maksud dan tujuan. Tetapi jika ditelaah dari segi dan sudut politik maka boleh jadi hal tersebut mengandung ekses untuk menyandera MK. Memingat MK merupakan proyek reformasi konstitusi pasca tumbangnya orde baru danmerupakan institusi tertinggi yang yang memiliki kewenangan menyelesaikan perkara terhadap pelanggaran konstitusi, termasuk sengketa pemilu entah itu pemilu ditingkat daerah (eksekutif dan legislatif) maupun ditingkat pusat (pemilu presiden dan pemilu legislatif). upaya menyandera MK lebih mengarah kepada penguatan hukum jika ada proyek atau perkara yang harus memenangkan oleh pihak-pihak tertentu.

Menakar ulang eksistensi MK
Perubahan yang cukup mendasar dalam ketatanegaraan, telah terjadi, ketika pasca Amandemen ketiga UUD 1945 para wakil rakyat telah membentuk Lembaga Tinggi Negara yakni Mahkamah Konstitusi. Secara signifikan mahkamah ini telah mengurangi kekuasaan penuh wakil rakyat dan eksekutif dalam melahirkan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi merupakan “varian baru”, dari model- model Mahkamah Konstitusi yang ada di beberapa negara, paling tidak 78 negara. sekarang ini telah memiliki Mahkamah Konstitusi dengan beberapa model.
Mahkamah Konstitusi yang baru saja terbentuk sudah selayaknya bahwa dalam perjalanannya mendapatkan pengawalan dan pemantauan yang cukup ketat dari seluruh komponen bangsa ini terutama rakyat, agar kewenangan yang strategis ini tidak diintervensi dan dipengaruhi oleh kekuatan lain yang ingin mencari keuntungan untuk kepentingan golongannya.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang mendukung reformasi telah terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karenanya konsekuensi terhadap konsep dalam Penjelasan undang-undang harus dilaksanakan sebagaimana semestinya, demi penegakan moral dalam lingkup penegakan hukum.
Hukum pada dasarnya tidak akan mengalami stagnasi, karena hukum akan selalu mencari jalan keluar sendiri dari kebuntuan. Jalan keluar itu akan selalu ditemukan sekalipun tidak harus selalu melalui jalan formal. Jalan keluar yang dimaksud disini tidak menimbulkan anarki, oleh karena menurut Renner harus didasarkan pada alasan yang jelas, yaitu tuntutan kelayakan sosial (social reasonableness) yang dikehendaki masyarakat. Begitu juga halnya, bahwa lembaga Mahkamah Konstitusi yang dibentuk, tidak sewajarnya menjadi arogan, demi kepentingan politik tertentu. Sekalipun pada akhirnya lembaga ini mengalami kegagalan, maka masyarakatlah yang akan melaksanakan tuntutan apa yang menjadi haknya.
Menimbang konsep Partai politik dan Etika Politikus
Partai Politik
Konsekuensi logis dari pengadopsian sistem politik demokrasi oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya adalah bahwa Parpol adalah kendaraan politik yang diatur Undang-Undang yang dapat mengantar seorang warga negara (politikus atau negarawan) atau kombinasi keduanya untuk mencapai puncak kekuasaan. Di negara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar idologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Dalam perkembangan selanjutnya di dunia barat timbul pula partai yang lahir di luar parlemen, dimana partai-partai ini bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi tertentu seperti, Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini, disiplin partai lebih kuat, sedangkan pimpinan lebih bersifat terpusat.
Di negara-negara jajahan, partai-partai politik sering di dirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat kolonial; malahan partai-partai kadang-kadang menolak untuk duduk dalam badan itu. Seperti pernah terjadi di India dan Hindia Belanda setelah kemerdekan dicapai, dan dengan meluasnya proses urbanisasi, komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah kuatlah kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai.
Tugas dan Fungsi parpol
Pertama, Sebagai sarana komunikasi politik.Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan" (interest agregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation).
Semua kegiatan di atas dilakukan oleh partai politik. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Partai politik juga memainkan peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi bertujuan memperoleh sikap dan orientasi, dimana seseorang (warga negara) memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu, sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik.
Ketiga, sebagai sarana kaderisasi politik. Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik dan caranya, ialah melalui kontak pribadi, persuasi, dan lain- lain, juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama (selection of leadership).
Keempat, sebagai sarana mengatasi konflik (conflict management).Dalam sistem demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar, jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.
Etika Politikus
Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Politikus profesional dan proporsional sekaligus negarawan adalah idaman setiap rakyat seantero nusantara. Sebab, politisilah yang akan membawa aspirasi, dan memperbaiki nasib dari konstituennya (rakyat).
Seorang politikus yang baik adalah seorang yang cakap membawa aspirasi masyarakat dengan isu-isu yang mencuat kepermukaan yang perlu dipecahkan ke arena politik dengan menggunakan etika politik. Hal tersebut penting untuk menunjukkan dan menekankan pada proses politik, yaitu "Berpolitik" tidaklah bebas nilai apalagi menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Hanya politikus yang professional dan proporsional yang dapat melakukan proses yang proporsi dan profesional juga. Seorang politikus yang professional dan proporsional harus memahami masyarakat, bangsa dan negaranya, demikian pula demokrasi, HAM, peraturan perundang- undangan tentang Pemilu, Partai Politik, Visi dan Misi bangsa serta etika politik.

Piet Go O Carm, dkk dalam buku Moral Politik (2004) menyatakan: jika The Common Goodsebagai prinsip etika politik mewajibkan setiap warga negara atau warga masyarakat untuk menggapai jabatan publik dan institusi sosial politik sebagai instrumen untuk mengupayakan hidup baik untuk bersama dan setiap orang. Konsep ini mengandung beberapa tuntutan;Pertama, Prinsip The Common Good menentang politik identitas sempit, yakni partai atau program politik yang hanya memperjuangkan kepentingan atau kesejahteraan bagi kelompok identitas tertentu. Kedua, Prinsip The Common Good sebagai prinsip etika politik melawan politik simbolis, yakni politik yang mengandalkan daya simbolis dari sesuatu yang berkaitan dengan agama atau unsur kebudayaan tertentu. Ketiga, Prinsip The Common Good mewajibkan semua lembaga pemerintahan dan lembaga- lembaga perwakilan rakyat untuk benar-benar dekat dengan rakyat, memberi kondisi riel masyarakat, dan mengangkat kondisi riel masyarakat, mengambil kebijakan yang memenuhi kepentingan rakyat. Keempat, prinsip The Common Good dapat menjadi dasar moral bagi birokrat atau pegawai negeri meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik.
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku.
Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja.
Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati.
Dengan munculnya pesimisme publik atas penegakan hukum di Indonesia oleh lembaga penegak hukum maka tidak bisa dinafikan bahwa satu-satunya kekuasaan penegakan hukum yang masih tersisa untuk dipercaya adalah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu segala bentuk kezaliman dalam penegakan hukum termasuk upaya konspirasi penyenderaan lembaga konstitusi tersebut harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang menjadikan hukum sebagai panglima serta bertekat menjadi bangsa dan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankankemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Senin, 06 Juni 2011

Migrasi Politik Dan Korupsi

Fenomena perpindahan haluan politik beberapa kepala daerah yakni Gubernur, Bupati dan Wali kota kepartai politik lain khususnya partai politik penguasa (Partai Demokrat) dinilai banyak kalangan sebagai STRATAK (strategi, tehnik dan taktik) perlindungan dan pelanggengan kekuasaan.
Proteksi Politik
Pepindahan beberapa kader partai politik tertentu ke partai politik penguasa diduga kuat sebagai bentuk pragmatisme dan oportunisme politik kekuasaan. Partai politik terkesan krisis orientasi (ideologi) dan tidak memiliki mekanisme yang melembaga dalam hal rekruitmen kader partai. Hal tersebut sangat mudah terdeteksi karena saat ini, tidak jarang diketemukan para kepala daerah yang melakukan migrasi politik ke partai penguasa, sedang terkena skandal pidana korupsi dan bahkan ada yang baru pada tahap akan diusut karena diduga menyelewengkan APBD di daerah masing-masing. Fenomena tersebut cukup kronis dan mengkhawatirkan. Betapa tidak, fenomena migrasi politik lebih dilatar belakangi pencarian suaka proteksi politik atas skandal kejahatan korupsi dari jeratan hukum.
Jika kemudian asumsi proposisi dan argumentasi diatas cukup obyektif untuk dijadikan rujukan logika implikasi mate-matik (kausalitas), maka konklusi yang kemudian lahir adalah “partai politik yang menjadi suaka proteksi politik atas migrasi politik para kepala daerah yang sedang dan akan terkena skandal pidana korupsi, secara tidak langsung merupakan agen penyalur dan pelindung para koruptor”.
Pertimbangan lain
Selain persoalan urgen diatas, migrasi politik juga terjadi karena partai politik yang sebelumnya menjadi mesin politik para pemburu kekuasaan tersebut, tidak menembus ambang batas parlemen (parlementary treshold). Ditambah lagi, dalam UU No 20 tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik tidak disebutkan soal “tidak diizinkannya kader dari partai politik tertentu untuk pindah ke partai politik lain. Lagi pula jika dalam UU tersebut disebutkan maka secara tidak langsung terjadi pemasungan hak warga negara sebagaimana dijelaskan dan ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 28.
Rapuh dan bobroknya ideologisasi partai politik oleh kader partai turut pula memberikan kontribusi signifikan terhadap lahirnya fenomena migrasi politik. Politisi pindah partai bukan hanya karena persoalan kecocokan ideologi, tetapi lebih karena libidologi (libidokrasi). Libidologi yang dimaksud penulis merupakan hasrat berlebihan terhadap kekuasaan untuk berkiprah dalam pemerintahan. Hasrat berkuasa dilatarbelakangi oleh kecendurungan individu maupun kelompok untuk dimuliakan, dibanggakan, dihormati, disembah dan yang tak kalah penting lagi adalah untuk memburu rupiah. Sehingga politik menghalalkan segala cara nampaknya masih mempuni untuk dijadikan formula merebut dan mempertahankan kekuasaa termasuk melakukan KKN.
Lahirnya Suasana Apolitik
Fenomena migrasi politik yang tidak proporsional mengakibatkan timbulnya antipati terhadap politik oleh masyarakat. Antipati terhadap politk dipicu oleh fakta aktual seperti tingginya harga kebutuhan masyarakat, rendahnya pelayan publik, dan jaminan hak dasar rakyat seperti kesehatan dan pendidikan. Juga buruknya kinerja para “wakil rakyat” dan pemerintahan. Masyarakat mula-mula peduli terhadap problem publik tapi kemudian pasrah.
Suasana apolitik inilah yang sebenarnya tanpa disadari merupakan warisan rezim Soeharto. Antipolitik dan melihat politik sebagai ranah yang tabu dan kotor, penuh dengan hujatan, korup, dan perebutan kursi kekuasaan belaka. Kondisi ini sangat menguntungkan penguasa, karena rakyat yang apolitik akan lemah dalam mengontrol penguasa-sesuatu yang sebenarnya menjadi esensi dari demokrasi.
Rakyat yang gamang politik tak pernah mendapat jawaban dari para praktisi dan pakar politik. Padahal selama ini para pakar sudah mengkampanyekan bahwa proses politik demokratis di Indonesia dewasa ini sudah on the right track dengan adanya pemilihan umum dan instrumen demokrasi yang mendukungnya. Temuan-temuan riset Demos memperlihatkan pandangan yang meluas bahwa kaum elite politik telah menyesuaikan diri dengan demokrasi, memonopoli dan memanipulasinya untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk di tingkat lokal.
Jika keadaan ini tidak berubah, maka proyek reformasi dalam hal ini desentralisasi dan otonomi daerah bisa jadi malah hanya akan memfasilitasi ekspansi elite politik pusat itu ke tingkat lokal. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah desentralisasi oligarki yang dibangun di atas korupsi dan kolusi dan jaringan intra-elite. Mereka menguasai negara, memonopoli instrumen demokrasi, menyesuaikan diri dengan mekanisme prosedural demokrasi liberal, dan memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri.
Etika Politik, dan Moralitas Politikus
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Dalam kondisiperpolitikan negara yang semrawut seperti ini, etika politik menjadi makin relevan untuk di perhatikan dan implementasikan. Hal ini karena, Pertama, kasar dan tidak santunnya suatu politik sangat membutuhkan tindakan yangterlegitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban (musuh politik mauppun masyarakat awam). Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Perilaku Politik Menyimpang
Karena perilaku politik merupakan bagian dari perilaku sosial, dan perilakusosial sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, maka Zimmerman dan Pollner (1970)merumuskan bahwa: Perilaku politik sama dengan fungsi (sistem sosial). Namun para ahli Psikologi Individual beranggapan bahwa oleh karena unsur individudan keunikannya lebih kuat pengaruhnya terhadap perilaku individu dibandingpengaruh unsur sosialnya, maka perilaku politik seseorang perlu lebih memperhatikanpada aspek-aspek yang terdapat pada dirinya dalam berperilaku politik itu.
Pandangan-pandangan diatas perlu digaris-bawahi dalam menelusuripengertian dan dinamika terjadinya perilaku politik menyimpang.Dalam pemahaman umum, psikologi mengaitkan unsur kesehatan mentaldalam merumuskan dan memahami tingkah laku menyimpang sebagai tingkah laku yang dirasakan sebagai mengganggu dirinya (complain) atau mengganggu lingkunganatau orang lain (sign atau symptom).
Dengan demikian perilaku politik menyimpang dapat diartikan sebagaiperilaku politik yang menimbulkan gangguan mental bagi dirinya sendiri atau oranglain; atau perilaku politik yang dirasakan sebagai gangguan oleh atau menimbulkangangguan pada orang lain: bukan semata-mata karena bertentangan atau melawanhukum. Hukum memang dibuat untuk memungkinkan diberikannya punishmentterhadap sesuatu yang menimbulkan gangguan psikis maupun fisik terhadapa manusia.Reward dan punishment dikenal dalam psikologi sebagai instrumen yang dibutuhkandalam proses pembentukan tingkah laku dan kepribadian.
Perilaku politik menyimpang juga dirasakan sebagai gangguan oleh yangbersangkutan sendiri karena menimbulkan dampak tekanan (stress), tension,maladjustment, dsb, terutama karena reaksi diri dan lingkungan terhadap perilakunya tersebut. Suatu proses rekrutmen yang keliru dalam kepemimpinan partai sehinggamenempatkan seseorang berkecerdasan rendah sebagai pimpinan partai, sementaramasalah politik yang dihadapinya memerlukan kecerdasan tinggi untuk mampumeyakinkan masyarakat akan gagasan dan keinginan partainya; akanmengakibatkannya mengalami gangguan psikis karena ketidakmampuannya itu. Dilain pihak, masyarakat akan merasa terganggu pula oleh karena masalah yangdihadapinya tidak mampu diatasi dengan cerdas dan baik yang berakibat penderitaanpadanya. Berdasarkan uraian singkat diatas maka migrasi politik oleh para politisi yang haus jabatan dan kekuasaan merupakan perilaku politik menyimpang yang perlu ditemukan vaksin pemberantasannya.
Politik Saling Sandera
Maraknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi yang tidak kunjung terungkap dan terselesaikan ditangan penegak hukum merupakan malapetaka politik yang perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan. Kasus korupsi yang satu belum terungkap dan terselesaikan, tiba-tiba bermunculan lagi kasus korupsi lain yang tidak kalah menghebohkannya. Ibarat kata pepatah “gugur satu tumbuh seribu”.
Ada indikasi bahwa penanganan dan penyelesaian hukum atas kasus korupsi di Indonesia mengalami kebuntuan dan kemacetan karena kasus pidana tersebut melibatkan banyak kalangan yang saling menyandera, baik antara politisi versus politisi maupun politisi versus penegak hukum. Penulis mengistilahkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia adalah “korupsi sistemik”.
Politik saling sandera baik antara politisi dan politisi maupun antara politisi dengan penegak hukum dalam bingkai “korupsi sistemik”, terjadi ketika oknum (politisi) A melakukan korupsi besar, di ungkap oleh politisi B (yang juga tersandung korupsi) dan ditangani oleh penegak hukum yang sebelumnya juga telah disuap. Nah, penegak hukum yang nota bene diharapkan mampu mengungkap dan menyelesaikan kasus tersebut (berdasarkan tugas dan fungsinya) terkena suap inilah yang kemudian mengakibatkan kemacetan penanganan dan penyelesaian kasus korupsi diranah hukum. Sedangkan politisi yang saling sandera diatas juga melahirkan implikasi kemacetan penanganan kasus korupsi di ranah politik, misalnya penanganan Century Gate di DPR RI beberapa waktu lalu. Sehingga lingkaran setan korupsi pun membudaya mulai dari level pusat hingga daerah dengan modus dan motif yang hampir mirip.
Dalam situasi dan kondisi yang demikian inilah maka hampir tidak ada lagi yang bisa diharapkan memiliki kekuatan untuk memutus rantai lingkaran setan tersebut. Olehnya itu jangan heran jika kemudian banyak kasus korupsi kelas kakap yang tidak terungkap dan terselesaikan di ranah hukum.
Bagaimana mungkin menyelesaikan kasus korupsi diranah hukum sementara hari ini hukum pun telah mampu dipolitisir oleh agen-egen koruptor yang nota benenya bercokol dilembaga penegak hukum. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika ekspos media massa dan sorotan publik terhadap kasus korupsi tertentu mengalami pengencangan, maka taktik pengalihan isu pun menjadi alternatif brilian bagi para politisi untuk menciptakan iklim dan spirit “lupa” kepada masyarakat sehingga kasus yang lama hilang dari peredaran pemberitaan dan akhirnya publik pun menjadi lupa. Di tenggah kondisi yang demikian, kasus lama yang tenggelam pun seketika tergantikan dengan kasus baru tanpa penyelesaian konkret. Akhirnya publik ibarat kesampret bom isu yang tak pandang ruang dan waktu. 
Oleh : Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar).

Jumat, 03 Juni 2011

NEGARA “Katanya”

Katanya negara Indonesia adalah negara merdeka. Katanya negara Indonesia adalah negara ketuhanan yang maha esa. Katanya negara Indonesia adalah negara kemanusiaan. Katanya negara Indonesia adalah negara persatuan. Katanya negara Indonesia adalah negara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan. Katanya negara Indonesia adalah negara keadilan. Tetapi mengapa negara ini selalu saja dirundung duka, problema dan konflik. Ini belum lagi jika kita sebutkan satu per satu term katanya yang lainnya, pasti semakin menambah penderitaan dan sakit hati bagi rakyat seantero republik.
Genealogi Berdirinya Sebuah Bangsa
Alasan Berdirinya Sebuah Bangsa dan Pemerintahan Negara para pemimpin perjuangan nasional Indonesia, dalam merumuskan cita-cita Indonesia merdeka, sebagaimana kemudian tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, memandang kemerdekaan dari empat hal. Pertama. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa (self determination rights); Kedua. Kemerdekaan adalah Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (anti kolonialisme dan anti imperialisme), karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan (hak asasi manusia universal) dan perikeadilan; Ketiga. Kemerdekaan adalah pintu gerbang Negara Indonesia, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila. Inti makna dari sebuah kemerdekaan nasional adalah agar sebuah negara bangsa (nation state) dapat mengelola sumber-sumber agraria (kekayaan alam) yang dimilikinya untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagai upaya menghapuskan eksploitasi manusia ”yang kuat” kepada manusia ”yang lemah” (exploitattion de l-’homme par l’homme), perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Alasan berdirinya bangsa Indonesia bukan sekedar konsolidasi primordial tetapi juga konsolidasi nasional ekonomi politik yang harus maju dan muncul karena kalau gagal akan hilang selamnya di tengah kekuatan besar ekonomi, politik, budaya, dan militer negara-negara besar. UUD 1945 mengamanatkan: Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan. Tetapi nilai ideal diatas justru bersinggungan dengan realitas. Ketuhanan yang maha esa di negara ini telah dikebiri atas dasar persinggungan kepentingan setiap pihak khususnya kaum beragama untuk saling mengkafirkan. Setiap komunitas beragama mengklaim dirinya yang paling benar, yang paling mulia serta paling suci. Kekerasan atas nama agama menjadi pemandangan sehari-hari, menjamur ibarat tumbuhnya jamur dimusim hujan. Retorika podium kaum agamawan mengaku bertuhan tetapi dalam pikiran perkataan dan perbuatan justru mendiskreditkan nilai ketuhanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan. Realitas justru berbicara lain bahwa Kemanusiaan yang adil dan beradab di republik ini hanya milik para penguasa. Pejabat publik dengan santainya memporak-porandakan nilai kemanusiaan. Hal ini tergambarkan dengan jelas dalam setiap kebijakan dan keputusan politik yang dibuat. Regulasi dilegalisasi untuk menciderai nilai kemanusiaan.Berbicara di tataran konkret, berbagai kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah ada satu pun yang habis dituntaskan. Katanya Indonesia adalah Negara hukum, tetapi kita saksikan berbagai kasus kekerasan, pelanggaran HAM terhadap para aktivis gerakan perubahan seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus Trisakti, Malari, Tanjung Priok dll serta pelanggaran dan kasus kekerrasan yang terjadi di Aceh, Papua dan lainnya sampai hari ini tidak pernah dituntaskan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukum hanya berpihak pada penguasa, militer dan pengusaha. Itu mencerminkan rezim yang anti dengan kebenaran hukum (HAM), karena takut kebenaran membuka kebusukan-kebusukan yang selama ini ditutupi agar tidak tercium oleh dunia internasional.
Tidak ada hukum bagi masyarakat awam, tidak ada HAM bagi masyarakat marginal, tidak ada pendidikan bagi rakyat miskin apalagi yang tinggal dipedalaman.
Negara “katanya” ini dikuasai oleh sekelompok orang saja, biasanya cita-cita penegakan hukum, cita-cita demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa hanya kamuflase. Ya... Itulah realitas di Indonesia, negeri yang hanya menjadi bayangan dari negara kapitalis. Walaupun sudah merdeka, rakyatnya masih terjajah, karena cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk penegakan hukum, menjalankan demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa tidak sepenuhnya berjalan baik. Sepertinya hanya sebuah cita-cita yang barangkali menjadi utopia saja. Belum tercapai, kecuali untuk segelintir elit empunya negara ini (penguasa).
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya. Tetapi sungguh ironis menyaksikan beberapa dekade terakhir ini bahwa, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya .
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalampermusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya.
Setelah jatuhnya otoritarianisme Orde Baru, sebuah gejala baru muncul dalam kehidupan politik Indonesia, yakni menguatnya kekerabatan dalam politik (kinship politics) atau kerap disebut politik dinasti. Gejala ini banyak ditemukan dalam politik lokal, penandanya adalah posisi-posisi penting dalam institusi politik seperti pemerintahan dan legislatif diduduki oleh mereka yang berada dalam satu garis keturunan. Sejumlah studi menunjukkan bagaimana jaringan hubungan kekerabatan menjadi landasan penguasaan politik di tingkat lokal (lihat Vedi Hadiz (2010), Marcus Mietzner (2009), Michael Buehler dan Paige Tan (2007), Edward Aspinall dan Greg Fealy (2003).
Politik kekerabatan atau politik dinasti telah lama muncul di alam demokrasi. Ia menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi. Jika dirujuk ke belakang, filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980) menyatakan bahwa “setiap kelas menunjukkan tendensi untuk membangun suatu tradisi turun-menurun di dalam kenyataan, jika tidak bisa di dalam aturan hukum”. Bahkan dalam organisasi demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, ia akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan,bahkan menggerus prinsip-prinsip demokrasi di lapangan permainan politiknya (Robert Michels, 1962).
Gejala yang sama berlangsung di dalam partai-partai politik nasional di Indonesia. Partai Demokrat (PD), misalnya, jalinan keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki posisi-posisi kunci dalam partai. Sebut saja Edhie Baskoro Yudhoyono (anak) menduduki posisi sekjen dan anggota DPR, Hartanto Edhie Wibowo (ipar) menduduki salah satu ketua departemen dan juga anggota DPR, Hadi Utomo (ipar) mantan ketua umum dan sekarang duduk di dewan pembina, Agus Hermanto (ipar) sebagai Ketua Komisi Pemenangan Pemilu dan Nurcahyo Anggorojati (keponakan) sebagai Sekretaris Komisi Pemenangan Pemilu. Demikian juga di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), keluarga Megawati Soekarnoputri duduk di dalam posisi kunci dalam partai, seperti Puan Maharani (anak) menduduki Ketua Bidang Politik dan anggota DPR, Taufik Kiemas (suami) sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) dan Ketua MPR.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif.
Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, porgram dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.
Robert Michels menilai bahwa kecenderungan oligarkis yang dibangun atas dasar hubungan keluarga dalam tubuh partai politik juga akan terus terbawa ke dalam pemerintahan. Kecenderungan oligarkis dalam partai merupakan hukum besi yang tak terhindarkan, bahkan ketika partai tersebut menjadi partai yang berkuasa maka model oligarkis akan juga diberlakukan dalam pemerintahan. Bahkan anggota parlemen akan menjadi arogan dan membuat kesepakatan dengan partai lain tanpa mempertimbangkan prinsip ideologis partai mereka dan dukungan dari parapemilih mereka. Dalam partai yang demikian, para pemimpinnya akan menilai dan memperlakukan dirinya di atas para anggota atau pengikut, tidak lagi dalam hubungan keanggotaan yang setara.
Kekuasaan politik seharusnya diperebutkan dengan tujuan untuk menciptakan suatu tatanan yang baik bagi semua, dan partai politik merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sementara partai kekerabatan dibangun untuk tujuan-tujuan personal atau pribadi, dalam hal ini sang pemimpin dengan keluarga dan kerabatnya. Dalam kondisi politik yang demikian, telos politik yakni menciptakan common good atau kemaslahatan bagi semua menjadi usang.
Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti: partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa. Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki.
Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya. Di titik ini, cuaca demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun politik yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk membuka selubung kepalsuan demokrasi yang
selama ini dipraktikkan sekaligus penghancuran oligarki.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.
Semua hal diatas hanyalah pepesan kosong yang tiada arti. Betapa tidak kemiskinan masih menjamur dalam negeri yang kaya akan SDA ini. Sebagai mana maklum, menjadi miskin pasti bukanlah pilihan. Berangkat dari persoalan tentang akses terhadap keadilan dimanapemerintah lebih berpihak kepada pemodal (investor) daripada rakyatnya yang semakin hari semakin miskin.Rakyat menjadi miskin bukan karena malas, melainkan karena daya ekonomi dan sosialnya tidak diberikan oleh negara. Kesempatan kerja sangat minim, ruang kerja informal sangat sedikit sementara upah kerja juga minim. Hal ini membuat rakyat hidup miskin dan serba kekurangan. Sementara negara tidak pernah selesai dengan masalah korupsi dan nepotisme, kebijakan yang dikeluarkan negara dikriminatif dan represif, dan kurangnya partisipasi publik dalam setiap pembuatan kebijakan.
Tidak sulit untuk mengenali kemiskinan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kehidupan keluarga miskin, apalagi yang sangat miskin, terlihat berbeda dengan yang tidak miskin. Pakaian yang dikenakan dan rumah yang ditinggali memperlihatkan ciri menyolok dari kondisi miskin mereka. Ketidakcukupan pangan dan gizi adalah soal yang kadang tidak terlihat namun bisa dipastikan dihadapi mereka. Soal kekurangan lain yang bisa diduga adalah lemahnya akses kepada layanan kesehatan dan pendidikan karena tidak memiliki dana yang cukup. Sedangkan soal yang samar namun terasa adalah kondisi psikologis mereka yang sebagiannya sudah berevolusi menjadi sikap budaya sebagai orang miskin.
Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara “katanya” yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.Oleh sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat lagi dari berbagai kelompok kepentingan seperti organisasi sosial-kemasyarakatan, LSM, media massa, komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis lainnya. Sebab, mereka inilah yang mempunyai kemampuan dalam mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan persoalan krusial di masyarakat. Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan pencapaian tujuan negara.

Politik Mafia

Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkanberkaitan dengan sistem Eduard Bernsteinbahwa teori terkadang merupakan gambaran-gambaran yang diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha menggambarkan realitas perpolitikan sebagaimana mestinya dengan cara reformasi sosio-poltik di tengah kemandegan total era transisi demokrasi di Indonesia. Pikirkanlah sebuah teori Partai politik yang merupakan anak emas yang lahir dari rahim demokrasi di tengah kenyataan pemasungan kedaulatan rakyat.
Politik mafia merupakan term (istilah) yang dipakai oleh penulis untuk memaparkan cerminan realitas kiprah partai politik yang selama ini telah berselingkuh terhadap tujuan dan cita-cita kelahirannya.
Politik Mafia Dalam Teori
Teori politik mafia menggunakan konsep mafia untuk menggambarkan suatu kelompok elite Parpol, yang bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Teori ini menjelaskan model Parpol “mafia” sebagai kelanjutan dari model Parpol “oligarki”, Parpol “massa”, Parpol “kader”. Karakteristik Parpol menurut Teori mafia antara lain:Hilangnya peran ideologi, mengutamakan Koalisibukan Oposisi, Janji-Janji Tidak Direalisasikan, memperoleh Dana Ilegal.
Hilangnya Peran Ideologi sebagai Penentu Prilaku Politik Parpol.
Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye. Fenomena koalisi Parpol bukan berdasarkan kesamaan ideologis menunjukkan karakteristik fenomena politik mafia ini.
Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam AD/ART, platform, visi dan misi, juga kode etik Parpol bersangkutan, terjelma ke dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan. Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran pemilih.
Dalam perspektif kelembagaan, Ideologi harus mewarnai struktur organisasi, mekanisme kerja, perilaku personil, manajemen keuangan, perangkat keras dan lunak Parpol, sistem informasi manajemen dan program kerja/rencana kegiatan Parpol. Ideologi juga harus mewarnai pola pikir dan perilaku politik personil dan kader dalam pengelolaan Parpol, terutama kelangan pengurus Parpol.
Dalam era politik mafia, kalangan pengurus dan politisi Parpol di pemerintahan, berperilaku lebih berorientasi pada “pertahanan kekuasaan (status quo)”, ketimbang “perubahan kehidupan lebih baik”. Ideologi tercantum di dalam dokumen tertulis AD/ART cenderung sekedar “aksesoris” administrasi kelembagaan.
Menghilangnya dan degradasi ideologi Parpol menggiring politik kepartaian sekarang dan ke depan lebih didasarkan pada “kebendaan dan uang”, bukan hal-hal seperti keyakinan atau sistem nilai dan norma perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan perbedaan berarti antara satu Parpol dengan Parpol lain. Pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik yang diperkuat oleh politik lebih mementingkan pencitraan “kaya retorika podium tetapi miskin implementasi” dan bukan rekam jejak sang tokoh. Besarnya biaya politik ini telah membuat “persaingan” antar Parpol hanya terjadi saat penyelenggaraan Pemilu. Seusai Pemilu, “persaingan” juga berakhir dan muncul koalisi pelangi melebihi ukuran merangkum hampir semua Parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi. Kelompok Parpol bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis, ditambah ketidakhadiran kekuatan oposisi. Politik dagang sapi yang dijadikan spirit persaingan antar Parpol seusai Pemilu telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam “persaingan” seperti adanya kontrol Parpol-parpol kalah terhadap perilaku politik kekuasaan Parpol-parpol pemenang dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada (check and balance).
BahwaParpol telah kehilangan ideologi dan lebih mengedepankan kepentingan pragmatisme, tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi,sudah lama menjadi buah bibir para pakar, pengamat dan ilmuwan politik terlebih lagi pemberitaan media massa. Hilangnya peran ideologi Parpol juga diakui masyarakat. Hasil beberapa lembaga survei menunjukkan hal tersebut. Jangankan pengamat, pakar dan ilmuwan politik, tukang becakpun berpikiran seperti itu.
Mengutamakan Koalisi, Bukan Oposisi
Karakteristik kedua yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.
Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol yang mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PAN, PPP, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat .
Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.
Janji-Janji Tidak Direalisasikan
Karakteristik ketiga politik mafia yang melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Elite parpol terkesan hanya kaya retorika (janji-janji) podiumtetepi sangat miskin implementasi. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus pasca pemilu. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri, dan parpol masing-masing.
Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah jikakemudian cita-cita dan tujuan pendirian parpol justruhanya sebatas menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif, memenangi pemilu presiden, bahkan bergerombolan membentuk koalisi pelangi untuk mendapatkan jabatan Menteri. Setelah semua hal tersebut tercapai, maka setiap Parpol cenderungan merumuskan dan menjalankan tujuan yang sarat dengan kepentingan dirinya sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen yang diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi ibarat sesuatu yang hilang ditelan bumi dan terhisab ruang dan waktu.
Terjadi keterputusan bahkan persinggungan antara harapan, kehendak, kebutuhan dan kepentingan konstituen dan elite Parpol. Saat akan mengkalkulasi dan mengestimasi suara konstituen, Parpol berupaya dan terus bergumam tentang apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, suku, kelas sosial atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, setelah memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun berlomba lari maraton mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain melakukan ijab kabul politik untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol yang berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu presiden dan legislatif, parpol dan elite Parpol yang menang maupun kalah, melakukan STRATAK (strategi, tehnik dan taktik) politik barter untuk menentukan siapa yang akan menjadi menteri, dan Dirjen departemen ( disektor eksekutif),Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR (sektor legislatif).
Ketidakpercayaan masyarakat seantero Republik Indonesiaterhadap janji-janji Parpol sudah mencapai titik klimaksnya. Hasilnya, sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat inteleqtual dan masyarakat miskin (kota dan desa) tidak percaya terhadap Parpol sebagai penyalur aspirasi politik dan sosial mereka. Dan yang lebih mencengangkan lagi, bahwa masyarakat lebih memilih media massa, LSM, dan organisasi kemasyarakatan sebagai penyalur aspirasi. Jadilah negeri ini ibarat tidak bertuan.
Memperoleh Dana Ilegal
Karakteristik keempat yakni agar dapat mempertahankan kesinambungan eksistensi Parpol, para elite yang menduduki jabatan di dalam pemerintahan maupun di parlemen berusaha mendapatkan dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)yang diduga dilakukan dengan cara melegalisasi dan merekayasa melalui regulasi. Parpol dalam realitas obyektif tidak mampu menggalang dana untuk menghidupi Parpol secara mandiri dari iuran/sumbangan anggota maupun amal usaha . Parpol juga tidak memiliki badan hukum (korporasi/perusahaan) bergerak di dunia usaha yang dapat mendanai Parpol dari hasil usaha badan hukum dimaksud. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol. Apalagi ditambah oleh pola hidup elite yang mengadopsi budaya hidup kapitalis yang senantiasa bermewah-mewahan. Akibatnya, Parpol dan elite parpol yang diharapkan memberantas virus korupsi melalui fungsinya ( legislasi, pengawasan dan anggaran) justru menjadi sarang dan aktor mafia legislasi, anggaran maupun pengawasan. Sungguh sebuah malapetaka politik di era reformasi dan demokrasi !!!.
Meracik Kapasitas dan Integritas
Prospek partai politik kedepan terutama pada suksesi pemilihan umum 2014 diperkirakan akan mengalami kapasitas dan integritas yang semakin menurun dalam konteks perolehan suara pemilih (sebagian besar masyarakat terkena sindrom ilfil parpol dan elite parpol) jika tidak disusun dan diimplementasikan suatuStrategi peracikan jitu Kapasitas PARPOL berdasarkan penegakan konsistensi ideologi antara apa yang dijanjikan kepada konstituen dalam Pemilu dan perilaku politik kader partai yang telah duduk di dalam jabatan pemerintahan (legislatif dan eksekutif).
Sebuah pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah bagaimana meracik kapasitas dan integritas PARPOL agar mampu mewujudkan ideologi, platform, visi dan misi ke dalam kehidupan konkrit dan menghasilkan manfaat bagi rakyat, khususnya masyarakat pemilih.
Di dalam Strategi peracikan kapasitas dan integritas PARPOL yang dimaksud, harus terdapat identifikasi permasalahan dan potensi PARPOL yang mencerminkan realitas obyektif kepartaian di Indonesia, yakni berlakunya fenomena politik mafia dengan karakteristik: menghilangnya peran ideologi; mengutamakan koalisi, bukan oposisi; janji-janji tidak direalisasikan; dan, memperoleh dana ilegal. Kiprah PARPOL dalam dinamika politik mafia ini ternyata mengalami perolehan suara pemilih yang terus menurun (fenomena golput). Konsistensi atas komitmen ideologi PARPOL harus betul-betul ditegakkan oleh kader-kader partai khususnya pejabat penyelenggara pemerintahaan (legislatif & eksekutif). Strategi yang dimaksud adalah Pertama, deskripsi PARPOL (analisis swot PARPOL dalam bentuk pemetaan permasalahan dan potensi yang dihadapi partai).Kedua, rekruitmen kader partai yang berdasarkan prinsip proporsionalitas dan profesionalitas.Ketiga, sasaran strategis jangka pendek, menengah dan panjang berdasarkan permasalahan dan potensi yang dihadapi.Keempat alternatif strategis (rencana kegiatan/program kerja) untuk pencapaian sasaran jangka pendek,menengah dan panjang yang telah dirumuskan.Kelima, Komponen/kendali strategis untuk melaksanakan alternatif strategis.Keenam, manajemen informasi sistem (monitoring dan evaluasi strategis).Ketujuh, pembenahan diri secara total dari elite. Taubatan nasuha politik oleh elite politik yang telah mendua terhadap reformasi dan demokrasi sangat diharapkan meski ibarat mengharap buah jatuh dari pohonnya dimusim berbunga.Parpol dan elite parpol sudah waktunya meski terkesan terlambat untuk fokus pada bagaimana memperbaiki cacat politik di Indonesia, karena mereka punya kontribusi besar dalam menciderai kedaulatan rakyat. Sejenak berkaca pada revolusi yang pernah terjadi di Iran atau yang masih menjadi hot news akhir-akhir ini tentang revolusi di timur tengah yang berbasis agama layak untuk direnungkan. Minimal untuk membenahi elite politik yang krisis moral. Steaphen l carter (salah satu pemikir sipil disobedience) pernah menyatakan bahwa “hanya dengan kebangkitan disemua lini keyakinan umat beragama yang mampu menyelamatkan peradaban negara, karena tidak adanya orang-orang yang berkata jujur atau bervisi lebih bijak tentang persamaan daripada persamaan yang dikhittahkan Tuhan.
Jika kemudian tidak ada upaya serius untuk berbenah diri sembari menyiapkan strategi yang jelas dan tegas dalam rangka menyelamatkan republik yang belajar berdemokrasi ini, maka tinggal menunggu waktu saja negara ini akan menjadi negara yang gagal berdemokrasi. PARPOL dan ELITEnya sangat berperan penting akan hal tersebut.
Oleh:Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)