Laman

Kamis, 09 Juni 2011

Memerdekakan Kemerdekaan

Mendorong perlunya demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy) yang cenderung semu seharusnya diletakkan seruang dan sebangun denganmemerdekakan kemerdekaan. Memerdekakan kemerdekaan, yaitu upaya membebaskan kemerdekaan dari belenggu identitas simbolis artifisial sehingga warga (rakyat) bisa menemukan jati dirinya bukan hanya sebatas warga negara, tetapi lebih kepada warga bangsa.
Pasca robohnya benteng kekuasaan orde baru, bangsa ini mengami tantangan baru, pendulum demokrasi terlalu kencang bergerak ke ‘kanan’. Sistem dan nilai demokrasi hanya menerapkan demokrasi pada tataran permukaan (semu). Lewat amandemen UUD 1945 rakyat memegang kuasa penuh untuk memilih pemimpinnya secara langsung baik pada tingkat nasional maupun daerah. Fenomena inilah yang kemudian mengundang banyak lembaga internasional untuk mengalungkan medali penghargaan dengan melabeli Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang demokratis. Namun fenomena terbukanya ‘keran’ kebebasan seluas-luasnya atas nama demokrasi diatas ternyata hanya melahirkan iklim perebutan kekuasaan yang tidak jarang menerapkan politik bebas nilai.Term ‘politik dagang sapi’pun menjadi buah bibir masyarakat ditengah kekecewaan terhadap wakil mereka yang mendua terhadap kepentingan rakyat.
Dalam iklim demokrasi yang seperti sekarang, sudah menjadi rahasia umum bahwa uang, jabatan dan relasilah yang memainkan peran utama dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Sehingga wajar jika kemudian masalah-masalah pelik muncul sebagai konsekuensi logis dari praktek-praktek seperti ini. Salah satu masalah pelik yang paling menonjol adalah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu yang legitimate ternyata hanya cenderung memanfaatkan posisinya untuk memperjelas pretise, dan mempertegas kemuliaan simbolis dengan memperkaya diri dan golonganya. Alhasil, korupsi menjadi musuh utama di era yang katanya demokrasi. Betapa tidak, para pejabat publik di setiap tingkatan mulai dari tingkat pusat hingga daerah ,mulai dari pejabat eksekutif hingga yudikatif, serta mulai dari anggota DPR hingga ketua RT,semuanya melakukan korupsi. Fenomena ini semakin mengafirmasi pendapat Antony Gidden, bahwa” walaupun optimisme terhadap demokrasi tetap tinggi, namun telah terjadi penurunan kepercayaan yang signifikan terhadap para pejabat/politisi”.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah dengan adanya pemilihan langsung kepala daerah, konflik horizontal di masyarakat menjadi suatu budaya laten yang hampir mencapai titik klimaksnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya atau bahkan ketiadaan kearifan dan kedewasaan berpolitik dari semua elemen masyarakat alih-alih kurang pemahaman tentang politik akibat pendidikan politik yang tidak terdistribusi secara signifikan. Ketidakdewasaan dalam berpolitik terwujud dengan sikap yang tidak siap kalah, karena para calon pimpinan yang gagal meraih kemenangan lebih sering mengorganisir warga untuk melakukan protes terbuka terhadap otoritas penyelenggara Pemilu dengan berbagai alasan khususnya; manipulasi data, tak jarang perilaku ini berakhir dengan tindakan anarkis. Parahnya lagi, para calon pimpinan khususnya di daerah, menjadikan basis pendukungnnya berdasarkan kaitan kesukuan dan etnisitas, serta agama. Sehingga pemilu yang awalnya menjadi momentum bulan madu demokrasi rakyat dalam memilih pemimpin yang ideal, justru memungkinkan berakhir dengan konflik sosial yang bernuansa SARA.
Bukankah akal sehat kita mengkonklusikan bahwa kondisi yang demikiantidaklah dalam posisi ideal?. Konklusi yang semacam itu bukanlah pemikiran sempalan yang lahir dari ruang yang kosong, karena berdasarkan nilai idealnya, demokrasi memberikan landasan nilai tentang persamaan derajat, harkat, dan martabat manusia yang tentunya secara praksis terwujud dalam kondisi tanpa adanya penindasan dan pembantaian antar manusia.
Dari persaksian kita mengenai perkembangan praktek demokrasi di Indonesia belakangan ini, tentunya dapat disimpulkan bahwa telah terjadi dominasi kaum kaya yang bermodal terhadap kaum miskin yang tidak memiliki sumber daya. Demokrasi hanya milik kaum segelintir elite yang memiliki kapital berdasarkan konsep yang diadopsi oleh Guetanomosca dan Vilfredo Fareto mungkin layak kita amini. Atau mungkin ada baiknya kita kembali memikirkan secara kontemplatif tentang apa yang pernah dinyatakan oleh HOS, Tjokroaminoto tentang kondisi diatas. Beliau mengemukakan bahwa “Akan tetapi pada zaman modern sekarang, cara-cara memproduksi hasil-hasil keperluan dan kebutuhan hidup manusia ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan dan paham kapitalisme (kapitalistische productie wijze), yang semakin lama semakin mendekati puncak ketinggiannya, sedangkan dalam aspek yang lain pertentangan antara keperluan kaum modal (kapitalist) dengan kaum miskin dan melarat (terutama kaum buruh rendahan) semakin bertambah tajam. Karena itu terjadilah krisis berulang-ulang terutama krisis yang menyangkut kepentingan hidup orang banyak dan produksi….”
Meskipun jaman telah berganti tetapi beliau dengan jelas dan tegas menganalisis bahwa kapitalisme adalah sumber dari permasalahan yang ada di masyarakat. Inilah yang kemudian lebih lanjut disebut sebagai ironi demokrasi atau bisa disebut sebagai demokrasi “semu”.
Dalam konteks ilmu politik, istilah “semu” sering dikaitkan dengan demokrasi yang mengacu pada capaian teknis berupa suksesi dan perebutan kursi semata. Sementara itu, rakyat (demos) hanya berperan sebatas penggembira yang dimobilisasi dalam sebuah kontestasi. Kalau merujuk pada konsep tersebut, kemerdekaan negara ini mengalami hal yang sama. Kemerdekaan yang kita capai masih bersifat artifisial, karena sebatas hengkangnya kaum kolonial dari Bumi Pertiwi dan tampilnya bumiputra sebagai penguasa. Yang lebih parahnya lagi, bumi putra yang menjadi penguasa justru menjadi penjajah baru terhadap negeri sendiri.Seperti demokrasi, kemerdekaanpun kiniditandai oleh pesta dan ritual (hari kemerdekaan) tanpa kepastian arah dan tujuan.
66 tahun sudah negara ini merdeka, 103 tahun kebangkitan nasional, 83 tahun terbentuknya bangsa melalui manifesto politik sumpah pemuda serta 13 tahun reformasi, semerbak eksistensi bangsa dan negera ini belum mampu dinikmati oleh warganya sendiri sebagai pemilik sah kedaulatan. Dan yang paling menonjol dari kepahitan penderitaan rakyat adalah persepsi hambar atas institusi partai politik, yang tidak jarang menciptakan budaya ilfil atau alergi politik dari masyarakat. Hal tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat dalam sistem demokrasi, partai politik adalah industri politik paling legitimate dan berpengaruh sebagai penyalur pejabat publik di lembaga suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang beberapa dekade ini terkesan mendua terhadap demokrasi. Kepentingan rakyat yang direduksi dan didiskreditkan menjadi kepentingan partai dan elite partai, telah memacetkan pelayanan publik.
Dari Sabang dibarat hingga Merauke ditimur, dari pulau Mianggas hingga pulau Rote, dari danau Sentani di Papua hingga danau Toba di Sumatra Utara, kesucian dan kebeningan air kebijaksanaan demokrasi memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik demokrasi yang semu tersebut kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kesejahteraan dan kebudayaan.
Sungguh sebuah ironi, mengingat desain demokrasi Indonesia adalah hasil pertautan komplementer pahamideal yang telah disaring dari keberagaman paham pemikiran, keyakinan, dan budaya yang kemudian tertuang dalam PANCASILA sebagai ideologi negara.
Penyanderaan Demokrasi Pancasila
Sungguh ironis menyaksikan kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, ketika peraturan perundang-undangan berbasis eksklusifisme keagamaan bersetubuh menikam jiwa ketuhanan yang maha esa, lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan menginterupsi bahkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab, trilogi penyakit negarawan (korupsi,kolusi dan nepotisme) dan penciptaan dinasti kekuasaan dari pemerintah pusat (geo-politik O) hingga daerah (geo-politik pribumi) serta klaim kebenaran tunggal komunitas masyarakat tertentu turut melemahkan persatuan kebangsaan, demokrasi liberal prosedural dalam pemilihan umum dengan segala variannya membunuh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Suprastruktur politik ( eksekutif, legislatif dan yudikatif) berjamaah menjarah keuangan rakyat, penegak hukum menciderai asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan efek jera. Ekspansi neoliberalisme, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar yang turut pula turut menjegal keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan justru berlawanan dengan arah jarum jam kemerdekaan sesungghnya, rakyat dibawah pada periode pra-politik saat terkungkung dalam hukum besi sejarah penjanjahan kolonial.
Ada jarak yang lebar antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan, persamaan, kebebasan, persaudaraan dan kekeluargaan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat. Distorsi ini terjadi disebabkan karena lembaga negara dijadikan industri komersil tempat mencari kerja sehingga lembaga negara diinterpretasikan sebagai lemabaga profesi. Wakil rakyat tidak lagi bekerja untuk politik melainkan bekerja dari politik. Disinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha dan politisi dalam proses institusionalisasi dan legal drafting, mereka melegalisasi proyek kepentingan pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan proyek pembangunan infrastruktur untuk kemaslahatan rakyat. Suatu gerakan mafia melakukan penyanderaan demokrasi. Adagium “akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik” yang merupakan pernyataan Pra Moedya Ananta Toer dalam RUMAH KACA nampaknya telah menemukan tempatnya dalam realitas perpolitikan nasional Indonesia hari ini.

Pelembagaan Konstitusi
Keberhasilan negara merekonstruksi dirinya melalui revisi konstitusi (purikasi UUD) seharusnya diikuti pelembagaan (ketaatan) konstitusi itu sendiri. Namun, semua itu masih mimpi. Karena itu, pencapaian agenda pada era reformasi ini tak jauh berbeda dengan pencapaian awal kemerdekaan, yaitu pergulatan membangun konstitusi. Sementara itu, penguatan nilai-nilai konstitusi berjalan lambat dan cenderung involutif. Akibatnya, kegaduhan politik terus mengalir dari dulu sampai sekarang.
Kita bisa menyaksikan carut-marut relasi antarlembaga negara yang sering berujung pada kegaduhan politik yang tak produktif. Walaupun konstitusi sudah mengatur tata interaksi dan pola relasi antarinstitusi, tarik-menarik kepentingan elitis di antara lembaga-lembaga negara tak pernah mati. Percaloan di Dewan Perwakilan Rakyat, mafia peradilan, dan sepak terjang lembaga penegak hukum dengan segala kontroversinya menjadi catatan lemahnya budaya mematuhi. Begitu juga DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang berebut kuasa, walau dalam konstitusi mereka memiliki posisi yang sama.
Belum lagi orientasi kekuasaan kaum politikus yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada rakyat. Semua ini akibat pengabaian terhadap konstitusi sebagai landasan dasar interaksi. Konsekuensinya, tatanan kenegaraan menjadi amburadul dan bergerak menurut tafsirnya masing-masing. Karena itu, diperlukan proses pelembagaan konstitusi dalam kesadaran diri anak bangsa.
Yang perlu ditekankan adalahwalaupun secara konstitusi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama, dalam sistem presidensial, eksistensi kepala negara (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi penting untuk menegakkan kembali kepatuhan seluruh komponen masyarakat terhadap aturan main yang ada. Dan fungsi ini akan maksimal apabila masing-masing lembaga negara bekerja sesuai dengan aturan dan menjadi abdi rakyat.
Tentu ini bukan agenda mudah, karena pada kenyataannya para pejabat negara masih banyak yang abai, bahkan belum sadar konstitusi, apalagi menjalankannya. Inilah ironi kemerdekaan sebuah bangsa dan negara yang selama ini dikultuskan sebagai bangsa yang besar untuk menutupi kondisi riil sebagaimana adalanya bahwa negara kita sebenarnya baru sebatas belajar untuk memahami demokrasi. Jadi jangan heran jika kemudian ditataran implementasi demokrasi masih amburadul.
Inilah kemerdekaan semu dan prosedural yang sewaktu-waktu dapat mengancam kohesivitas kebangsaan yang multikultural. Karena itu, perlu kitanya semua elemen bangsa dan negara khususnya pemerintah, untuk kembali meluruskan orientasi penyadaran diri sebagai komando untuk meramu sistem yang bisa menunjang proses “pemerdekaan kemerdekaan”. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah penguasa harus bekerja keras demi, oleh dan untuk rakyat agar sematan lencana tanda jasa menjadi sesuatu yang akan diabadikan oleh tinta sejarah.
Oleh: Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

MK di Tengah Pusaran Politik Mafia

Kasus dugaan suap terhadap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ternyata tidak hanya merontokkan citra partai berkuasa pengusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Siapa sangka kasus tersebut juga menyeret-nyeret lembaga lain, yakni Mahkamah Konstitusi, yang tak ada sangkut-pautnya dengan proyek Wisma Atlet SEA Games yang diributkan. Padahal MK selama ini dikenal sebagai satu-satunya institusi yang masih dipandang publik memiliki reputasi yang baik, bahkan belum lama ini mendapat predikat sebagai institusi terbaik se-Asia.
Beberapa waktu lalu Ketua MK, Mahfud MD, melaporkan kepada Presiden SBY yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), bahwa ada seorang politikus daripartai tersebut yang mencoba menyuap Mahkamah Konstitusi melalui sekterarisnya.
Fenomena penyuapan politisi terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia memang bukanlah hal yang luar biasa untuk dijadikan bahan perdebatan, pasalnya hal tersebut telah mendarah daging dalam konteks perpolitikan kita di tanah air. Hanya saja, cukup ironis, bahwa MK yang selama ini menjadi satu-satunya lembaga tinggi negara yang masih dipercaya publik karena integritasnya yang baik dan bersih,ternyata hendak diskenariokan oleh oknum tertentu agar terkena cipratan penyakit KKN. Hal inilah yang kemudian mendeteksi adanya indikasi konspirasi untuk menyandera MK dengan tujuan menghancurkan reputasi dan integritasnya.
Memang jika kita mau mengadopsi logika hukum parsial, sebenarnya secara hukum, peristiwa diatastidak diketemukan aspek pidananya,sebab pemberi uang belum sempat mengemukakan maksud dan tujuan. Tetapi jika ditelaah dari segi dan sudut politik maka boleh jadi hal tersebut mengandung ekses untuk menyandera MK. Memingat MK merupakan proyek reformasi konstitusi pasca tumbangnya orde baru danmerupakan institusi tertinggi yang yang memiliki kewenangan menyelesaikan perkara terhadap pelanggaran konstitusi, termasuk sengketa pemilu entah itu pemilu ditingkat daerah (eksekutif dan legislatif) maupun ditingkat pusat (pemilu presiden dan pemilu legislatif). upaya menyandera MK lebih mengarah kepada penguatan hukum jika ada proyek atau perkara yang harus memenangkan oleh pihak-pihak tertentu.

Menakar ulang eksistensi MK
Perubahan yang cukup mendasar dalam ketatanegaraan, telah terjadi, ketika pasca Amandemen ketiga UUD 1945 para wakil rakyat telah membentuk Lembaga Tinggi Negara yakni Mahkamah Konstitusi. Secara signifikan mahkamah ini telah mengurangi kekuasaan penuh wakil rakyat dan eksekutif dalam melahirkan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi merupakan “varian baru”, dari model- model Mahkamah Konstitusi yang ada di beberapa negara, paling tidak 78 negara. sekarang ini telah memiliki Mahkamah Konstitusi dengan beberapa model.
Mahkamah Konstitusi yang baru saja terbentuk sudah selayaknya bahwa dalam perjalanannya mendapatkan pengawalan dan pemantauan yang cukup ketat dari seluruh komponen bangsa ini terutama rakyat, agar kewenangan yang strategis ini tidak diintervensi dan dipengaruhi oleh kekuatan lain yang ingin mencari keuntungan untuk kepentingan golongannya.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang mendukung reformasi telah terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karenanya konsekuensi terhadap konsep dalam Penjelasan undang-undang harus dilaksanakan sebagaimana semestinya, demi penegakan moral dalam lingkup penegakan hukum.
Hukum pada dasarnya tidak akan mengalami stagnasi, karena hukum akan selalu mencari jalan keluar sendiri dari kebuntuan. Jalan keluar itu akan selalu ditemukan sekalipun tidak harus selalu melalui jalan formal. Jalan keluar yang dimaksud disini tidak menimbulkan anarki, oleh karena menurut Renner harus didasarkan pada alasan yang jelas, yaitu tuntutan kelayakan sosial (social reasonableness) yang dikehendaki masyarakat. Begitu juga halnya, bahwa lembaga Mahkamah Konstitusi yang dibentuk, tidak sewajarnya menjadi arogan, demi kepentingan politik tertentu. Sekalipun pada akhirnya lembaga ini mengalami kegagalan, maka masyarakatlah yang akan melaksanakan tuntutan apa yang menjadi haknya.
Menimbang konsep Partai politik dan Etika Politikus
Partai Politik
Konsekuensi logis dari pengadopsian sistem politik demokrasi oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya adalah bahwa Parpol adalah kendaraan politik yang diatur Undang-Undang yang dapat mengantar seorang warga negara (politikus atau negarawan) atau kombinasi keduanya untuk mencapai puncak kekuasaan. Di negara-negara yang menganut faham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar idologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Dalam perkembangan selanjutnya di dunia barat timbul pula partai yang lahir di luar parlemen, dimana partai-partai ini bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi tertentu seperti, Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini, disiplin partai lebih kuat, sedangkan pimpinan lebih bersifat terpusat.
Di negara-negara jajahan, partai-partai politik sering di dirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat kolonial; malahan partai-partai kadang-kadang menolak untuk duduk dalam badan itu. Seperti pernah terjadi di India dan Hindia Belanda setelah kemerdekan dicapai, dan dengan meluasnya proses urbanisasi, komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah kuatlah kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai.
Tugas dan Fungsi parpol
Pertama, Sebagai sarana komunikasi politik.Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan" (interest agregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation).
Semua kegiatan di atas dilakukan oleh partai politik. Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan ini dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Dengan demikian tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Partai politik juga memainkan peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of political socialization). Di dalam ilmu politik sosialisasi bertujuan memperoleh sikap dan orientasi, dimana seseorang (warga negara) memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu, sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik.
Ketiga, sebagai sarana kaderisasi politik. Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik dan caranya, ialah melalui kontak pribadi, persuasi, dan lain- lain, juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama (selection of leadership).
Keempat, sebagai sarana mengatasi konflik (conflict management).Dalam sistem demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar, jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.
Etika Politikus
Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Politikus profesional dan proporsional sekaligus negarawan adalah idaman setiap rakyat seantero nusantara. Sebab, politisilah yang akan membawa aspirasi, dan memperbaiki nasib dari konstituennya (rakyat).
Seorang politikus yang baik adalah seorang yang cakap membawa aspirasi masyarakat dengan isu-isu yang mencuat kepermukaan yang perlu dipecahkan ke arena politik dengan menggunakan etika politik. Hal tersebut penting untuk menunjukkan dan menekankan pada proses politik, yaitu "Berpolitik" tidaklah bebas nilai apalagi menghalalkan segala cara untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Hanya politikus yang professional dan proporsional yang dapat melakukan proses yang proporsi dan profesional juga. Seorang politikus yang professional dan proporsional harus memahami masyarakat, bangsa dan negaranya, demikian pula demokrasi, HAM, peraturan perundang- undangan tentang Pemilu, Partai Politik, Visi dan Misi bangsa serta etika politik.

Piet Go O Carm, dkk dalam buku Moral Politik (2004) menyatakan: jika The Common Goodsebagai prinsip etika politik mewajibkan setiap warga negara atau warga masyarakat untuk menggapai jabatan publik dan institusi sosial politik sebagai instrumen untuk mengupayakan hidup baik untuk bersama dan setiap orang. Konsep ini mengandung beberapa tuntutan;Pertama, Prinsip The Common Good menentang politik identitas sempit, yakni partai atau program politik yang hanya memperjuangkan kepentingan atau kesejahteraan bagi kelompok identitas tertentu. Kedua, Prinsip The Common Good sebagai prinsip etika politik melawan politik simbolis, yakni politik yang mengandalkan daya simbolis dari sesuatu yang berkaitan dengan agama atau unsur kebudayaan tertentu. Ketiga, Prinsip The Common Good mewajibkan semua lembaga pemerintahan dan lembaga- lembaga perwakilan rakyat untuk benar-benar dekat dengan rakyat, memberi kondisi riel masyarakat, dan mengangkat kondisi riel masyarakat, mengambil kebijakan yang memenuhi kepentingan rakyat. Keempat, prinsip The Common Good dapat menjadi dasar moral bagi birokrat atau pegawai negeri meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik.
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku.
Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja.
Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati.
Dengan munculnya pesimisme publik atas penegakan hukum di Indonesia oleh lembaga penegak hukum maka tidak bisa dinafikan bahwa satu-satunya kekuasaan penegakan hukum yang masih tersisa untuk dipercaya adalah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu segala bentuk kezaliman dalam penegakan hukum termasuk upaya konspirasi penyenderaan lembaga konstitusi tersebut harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang menjadikan hukum sebagai panglima serta bertekat menjadi bangsa dan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankankemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)