Laman

Selasa, 24 Mei 2011

KONGRES PSSI (GERBONG KEBANGGAAN ATAU MALAPETAKA)


KONGRES PSSI
(GERBONG KEBANGGAAN ATAU MALAPETAKA)
Berbangga sempat dialami oleh bangsa Indonesia selama beberapa dekade yang lalu ketika wajah persepakbolaan Indonesia masih anggun untuk dibanggakan. Apalagi ketika TIMNAS sempat mencapai puncak kejayaannya di jaman widodo cahyono putro, dan terakhir, kiprah tim garuda yang dikomandoi Firman Utina dan kawan-kawan meski belum menorehkan prestasi yang brilian. Kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh skuat garuda cukup meyakinkan, kebanggaan warga negara seantero republikpun menyebar luas dengan daya yang luar biasa besar, letusan uforia tersebut hampir diilhami oleh setiap lapisan masyarakat mulai dari pejabat eksekutif hingga penjual sayur di pasar loak.
Banyak yang bisa dipelajari dari kebanggaan itu, makna kebanggaan, faktor dan pengaruhnya, gejala sosial politik yang ditandainya, juga watak orangnya. Ia bisa bercerita banyak tentang kondisi sosio-fsikologi dan politik orang Indonesia. Kebanggaan berwajah dua,  disatu sisi ia dianggap sebagai sebuah keutamaan , disisi yang lain ia dianggap sebagai hal yang buruk, bahkan dosa. Dari efeknya ia dapat menguatkan tetapi dapat pula melemahkan. Aristoteles menyebutnya sebagai mahkota keutamaan, Nietzsche menggolongkannya dalam moralitas yang baik. Fsikologi mengartikannya sebagai emosi yang menyenangkan, kadang menggebu, yang dihasilkan dari evaluasi diri positif. Kebanggaan adalah emosi yang kompleks , menuntut kematangan dan kekuatan orang yang mengalaminya. Dari pendefinisian awal St. Agustinus, “ kecintaan terhadap kesempurnaan diri” , bisa dipahami bahwasanya ada kebanggaan otentik dan ada kebanggaan semu atau kebanggaan yang memadai dan kebanggaan palsu.
Kebanggaan tersebut naif jika tidak kita katakan lahir lebih sebagai pelarian atas ketiadaan kebanggaan terhadap kinerja pemerintahan kita pasca reformasi. Mulai dari sektor politik yang tidak menunjung tinggi etika, sektor hukum yang terjarah oleh derasnya interpensi uang dan kekuaasan, sektor ekonomi yang memberlakukan hukum rimba, sektor pendidikan yang tidak berorientasi peningkatan mutu dan pemerataan, hingga wajah birokrasi yang miskin nilai moral.
Jika dicermati situasi Indonesia beberapa bulan terakhir ini, beralasan jika menduga kebanggaan masyarakat Indonesia saat ini, khususnya terhadap PSSI, lebih merupakan kebanggaan semu. Ungkapan kebanggaan yang membludak serta indikasi pemanfaatannya oleh kelompok elit politik seperti berkata sebaliknya : masyarakat Indonesia haus akan kebanggaan karena kebutuhan akan kebanggaan kurang terpenuhi.  Kita begitu antusias menurunkan Nurdin Halid dari bangku kekuasaannya sebagai ketua PSSI, serta begitu menggebu ketika FIFA memberikan kesempatan kepada PSSI untuk berbenah diri dengan membentuk Komite Normalisasi yang di awaki oleh Agung Gumelar sebab selama ini kita tidak punya hal lain yang bisa dibanggakan ibarat hanya PSSI yang menjadi sisa pelabuhan terakhir untuk menyandang kebanggaan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Tetapi sayang seribu sayang kebanggaan yang terpatri tersebut justru dimanfaatkan oleh para pemimpin dan elit politik yang berkepentingan memikat hati rakyat  dengan jalan singkat. Para oportunis yang sebelumnya tidak sungguh ikut andil dalam membina timnas garuda berlomba menunjukkan kontribusinya bagi tim itu.
KONGRES PSSI sebagai suksesi akbar terkait persepakbolaan di Indonesiaseharusnya dilakoni denganspirit perubahan, pembaharuaan, , persatuan serta etika luhur membangun persepakbolaan kearah yang lebih baik. Hal tersebut murni mrupakan bagian dari harga dan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat yang berdasar PANCASILA.  Hal tersebut dibutuhkan untuk membangun struktur PSSI yang koheren,bermakna dan bervisi lebih bijak. Wajar, jika kemudian kita begitu berharap akan keberhasilan kongres tersebut. Setali tiga uang ternyata harapan memang kadang kala sering tidak sesuai dengan kenyataan.Kejadian yang dinilai negatif berkaitan dengan pelaksanaan kongres tersebut, meruntuhkan semua tumpuan harapan masyarakat seantero republik. Kongres yang dimulai pada pukul 16.00-23.00 tanggal 20 Mei 2011 yang bersamaan dengan HariKebangkitan Nasional tersebut terpaksa berakhir mengecewakan. Berawal dari disputasi panjang tentang penolakan agenda acara oleh peserta kongres (pemilik suara kelompok 78) yang diusulkan oleh Agung Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi sekaligus pimpinan Sidang, iklim forum kongrespun memanas hingga akhirnya ketuk palu pimpinan sidang secara sepihakpun tidak terelakkan. Ironis memang jika kemudian seluruh steacholder lebih arif dan bijak memikirkan implikasi ketidakberhasilan kongres tersebut. Merupakan sesuatu yang tidak wajar jika ada orang atau kelompok yang tidak pernah terlibat dalam organisasi persepakbolaan nasional tersebut justru mengacak-acak visi membangun peradaban yang telah dicanangkan oleh mereka yang memang punya niatan baik membangun persepakbolaan tanah air.Sebab itu artinya ada masalah dengan harga diri, moral, etika, serta kepentingan pada mereka. Maka, wajar jika kemudiankongres tersebut dirasakan banyak orang Indonesia cuman sekedar pertarungan merebut kekuasaan dan merupakan luapan parodi bagi-bagi jatah kepentingan.
Banyak hal bisa diduga sebagai indikasi penyebab kegagalan kongres tersebut. Tetapi yang paling krusial adalah Pertama krisis orientasi. Ada sebuah indikasi bahwa lebih banyak dan terorganisir dari peserta kongres yang memang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dengan kalkulasi untung-rugi material dan citra ketimbang mereka yang memiliki Political Will untuk membangun persepakbolaan nasional kerah yang lebih baik.
Kedua Menipisnya rasa memiliki (sense of belonging) hampir seluruh peserta kongres terhadap organisasi persepakbolaan nasional. Dignity atau kebanggaan diri terhadap organisasi PSSI oleh peserta kongres khususnya pemilik suara menjadi patut dipertanyakan ulang. Substansi persoalannya adalah mengapa hal ini terjadi, lalu agenda apa saja yang harus dikedepankan guna menginstal rasa memiliki organisasi PSSI yang hampir atau alih-alih sudah keropos tersebut? Indikasinya jelas dan tegas mengemuka pra maupun pasca kongres sabtu malam tersebut (20 Mei 2011), dimana dalam perjalanannya, di antara dua kubu entah itu kelompok pemilik suara 78 maupun yang bukan telah mempertontonkan gesekan kepentingan, bahkan keduanya tidak dalam posisi sejajar, yang satu dominatif, sementara yang lain soburdinatif. Sehingga yang satu merasa superior sementara yang lain imferior. Kedua kubu tersebut pada akhirnya bernasib seperti dua garis lurus yang sejajar mustahil bertemu di ujungnya.
Dalam perspektif seperti itulah kita kemudian bisa memahami, amat mungkin seandainya peserta kongres tersebut mau lebih arif dan bijak menyikapi situasi dan kondisi yang ada serta mau bahu membahu memperbaiki dan atau membangun kembali PSSI dengan spirit memupuk persatuan dan kesatuan dengan rujukan kepentingan nasional bukan tidak mungkin tekstur dan kontur persepakbolaan nasional kita bisa lebih baik. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah jika kemudian ada satu saja kejadian yang dipersepsi negatif dalam PSSI dan FIFA apalagi dilatari persoalan oknum, maka dengan serta merta kita membesar-besarkan seolah-olah PSSI atau FIFA adalah barang rongsokan yang tidak berharga. Entah pada kenyataannya memang benar, tetapi kita juga jangan terus beromantisme dalam kubangan fesimisme untuk membangun. Banyak oknum yang bercokol di PSSI memang miskin orientasi,  menonjolkan citra ketimbang kinerja serta menampilkan indikasi tidak menghargai bangsa sendiri tetapi jangan kemudian mengorbankan organisasi atau lembaganya yang murni milik rakyat Indonesia.
Sebagai keutamaan, seharusnya PSSIdijiwai oleh mereka yang akan memangku kekuasan di dalamnya sebagai bagian dari kepribadian yang memampukan orang untuk menyesuaikan diri secara konstruktif dan produktif dengan dunia internasional. Maka pembentukan jiwa tersebut merupakan bagian dari pembentukan karakter. Pembentukan karakter mensyaratkan adalanya teladan. Justru itu masalahnya, PSSI kehilangan tokoh teladan. Pengelolaan PSSI yang tidak menghasilkan prestasi yang dapat dibanggakan dan figur pemimpin yang tidak bisa jadi teladan mudah memberi kesan kuat bahwa PSSI memang tidak membanggakan. Seolah kita hanya berhak menunggu birokrasi langit  dengan menerima saja nasib sebagai bangsa yang tidak punya kebanggaan dan kedaulatan.
Malapetaka yang menimpa PSSI tersebut  tidak bisa dibiarkan dengan berpangku tangan, hanyadengan mengandalkan nasib baik. Dalam jangka panjang pendidikan karakter sejalan dengan pembangunan PSSI sangat diperlukan. Dalam jangka pendek dibutuhkan pengendalian diri oleh seluruh peserta kongres khususnya pemilik suara dan para pemimpin untuk tidak hanya mementingkan diri sendiri dan melampiaskan kerakusannya. Kini keberanian para pemimpin ambil resiko dalam mengupayakan keberlangsungan eksistensi PSSI dan persepakbolaan nasional lebih baik sangat dibutuhkan untuk menghasilkan rasa bangga kepada bangsa yang lelah mencari kebanggan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar