Laman

Selasa, 24 Mei 2011

Komisi8@yahoo.com (Blunder politik)


Komisi8@yahoo.com (Blunder politik)
Ibarat dunia infotemen, anggota DPR RI di Republik ini pun tak luput dari pemberitaan kontroversial dari media massa.
Akhir-akhir ini, kembali masyarakat Indonesia terkejut dan kaget (bagi penulis seharusnya biasa-biasa saja) atas pemberitaan media massa baik media cetak maupun eletronik tentang tingkah anggota lembaga agung ini. Berbeda aktor dari sebelumnya, kali ini giliran anggota DPR RI komisi VIII yang kecipratan pemberitaan yang bernada tidak sedap ( humoris, olok-olokan, dan memalukan).
Berawal dari perjalanan anggota DPR ke negara Australia dalam rangka kunjungan kerja/studi banding masalah “multikulturalisme dan pengentasan kemiskinan” yang kemudian diakhiri dengan pertemuan dan dialoq dengan mahasiswa indonesia yang kuliah di Australia, lahirlah insiden dalam istilah penulis (tragedi politisi) yang kemudian menjadi titik klimaks sebagai bahan baku pemberitaan media massa.
Dialoq yang semula berjalan sesuai arah disputasi ilmiah tersebut kemudian bermetamorfosa menjadi tawaan yang menggelikan ala lawakan Overa Van Java. Betapa tidak, hal itu terjadi setelah salah satu anggota komisi VIII DPR RI menjawab dengan grasa-grusu pertanyaan mahasiswa seputar alamat email resmi lembaga tersebut. Salah satu anggata DPR RI tersebut yang kemudian banter terdengar adalah seorang perempuan memberikan informasi bahwa alamat email resmi dari komisi VIII DPR RI adalah komisi8@yahoo.com. Pertanyaan yang semula mempunyai niatan baik dalam hal ini agar masyarakat terutama mahasiswa yang ada di Australia bisa memberikan ataupun mengakses informasi seputar hal-hal yang terkait dengan komisi VIII.
Tapi terlepas dari tingkah lucu sekaligus memalukan tersebut, justru ada hal yang seharusnya menjadi titik fokus kita bersama ketika membicarakan dan mencermati masalah tersebut. Betapa tidak, kalau mau jujur, mulai dari konten agenda kunjungan hingga insiden di forum dialoq syarat dengan kegalauan dan keprihatinan yang seharusnya menjadi bahan kajian dan renungan kita bersama, terkhusus lagi bagi anggota komisi VIII DPR RI tersebut.
Kunjungan kerja atau studi banding tentang “Multikultaralisme Dan Kemiskinan” di Negeri Kanguru tersebut merupakan sebuah ironi. Sangat terkesan mengada-ada dan miskin pikiran peradaban jika kemudian masalah diatas justru kita mengambil pelajaran dan pembelajaran dari negara yang jauh di bawah level Indonesia tentang Multikulturalisme dan Kemiskinan. Bukankah persoalan Multikulturalisme dan Kemiskinan di Indonesia adalah yang paling komplek dan komprehensip jika dibandingkan dengan seluruh negara yang ada dimuka bumi ini?. Logika yang kemudian muncul seharusnya adalah Australia yang belajar tentang multikulturalisme dan kemiskinan di Negara kita atau anggota komisi VIII DPR RI tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri sembari menghabiskan dan membuang-buang dana negara, cukup dengan penelitian di negara sendiri. Lagi pula negara Australia pernah alih-alih hinga sekarang ini tersandung mafia rasisme, dimana suku Aborigin (suku asli negara tersebut) menjadi bahan mentah penindasan oleh bangsanya sendiri sekian tahun lamanya.
Dari sisi penanggulangan kemiskinan, seharusnya kita mampu berpikir secara kontemplatif serta menyikapi dengan arif dan bijak bahwa realitasnya negara kita mengidap sindrom kemiskinan yang variannya jelas sangat jauh berbeda dari negara Kanguru tersebut.
Ko..kita harus belajar ke Australia...mana nyambungnya?
Nampaknya harus ada revolusi pemikiran dan taubatan nasuha politik di lembaga perwakilan tersebut jika masih ingin melihat bangsa dan negara ini berdiri kokoh diatas desah nafas dari kedaulatan rakyat. Sekedar untuk menjadi bahan renungan kita bersama bahwa Lembaga perwakilan atau keterwakilan murni anak kandung bahkan anak emas yang lahir dari rahim sistem demokrasi. Dimana dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memegang peran dan fungsi ganda.Disatu sisi sebagai obyek dari negara tapi disisi yang lain memposisikan diri sebagai subyek. Warga negara (rakyat) jika dilihat dari kaca mata obyek, maka tujuan dibentuk dan didirikannya negara adalah lebih sebagai alat atau sarana untuk menciptakan, mewujudkan dan melindungi hak dasar dari warga negara. Sedangkan dilihat dari persfektif dimana warga negara sebagai subyek maka rakyatlah yang paling berhak menentukan segala sesuatu yang menunjang proses pencapaian tujuan dan cita-cita diatas. Mulai dari penentuan bentuk negara, dasar dan asas negara,pembentukan hukum (peraturan),pembentukan lembaga (pembuat/legislatif,pelaksana/eksekutif,dan pengawasan/yudikatif), hingga penentuan perwakilan-perwakilan yang layak untuk mewakili mereka dilembaga negara.
Mengingat bahwa rakyat terfragmentasi oleh stratifikasi sosial yang komplek, maka merupakan sesuatu yang wajar jika kemudian yang berhak menentukan segala aturan main diatas adalah rakyat (individu atau kelompok) yang memang punya kompetensi dan kemuliaan yang lebih ketimbang yang lain. Lembaga perwakilan yang nota benenya merupakan lembaga penampung, dan penerjemah kepentingan rakyat tersebut juga meniscayakan dihuni oleh warga negara yang punya kompetensi (inteleqtual,emosional dan spritual) yang lebih dibanding warga negara yang lain. Hal tersebut merupakan syarat utama sekaligus kriteria yang menjadi dasar dalam menentukan siapa-siapa yang layak untuk mendiami lembaga perwakilan tersebut dan hal itu pula yang menciptakan preseden bahwa lembaga perwakilan merupakan lembaga yang agung dan mulia. Oleh karenanya warga negara yang telah, sedang maupun akan menjadi wakil rakyat untuk duduk diaras lembaga agung tersebut haruslah memiliki pre-political-virtus (dasar-dasar karakter yang baik) atau paling tidak bisa berpikir, berkata dan berbuat jujur dan bervisi bijak untuk menampung dan menerjemahkan kepentingan (keinginan dan kebutuhan) masyarakat secara umum walaupun memang harus disadari bahwa manusia merupakan mahluk yang penuh dengan keterbatasan (kecuali nabi dan rasul) untuk bervisi lebih bijak tentang kebebasan dan persamaan ketimbang visi kebijakan dan kebijaksananan tentang kebebasan dan persamaan yang dititahkan tuhan. Tetapi jangan kemudian alasan diatas menjadi perisai untuk tidak menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Bukankah semua agama mengajarkan bahwa manusia pilihan itu adalah wakil tuhan dimuka bumi?
Sebuah ironi memang, jika kemudian menyaksikan realitas sejarah umat manusia dalam bernegara bahwa nilai ideal diatas tertinggal ditempat persemayamannya. Menjadi sebuah masalah ketika nilai faktual (realitas praktis) kontradiktif dengan nilai ideal (gagasan, cia-cita dan harapan). Pertanyaan “mengapa” pun lahir untuk mendeteksi apa yang menjadi penyebab kontradiktif tersebut. Pernyataan yang pernah diungkapkan bung Hatta dari proses pemaknaan pernyataan Nicollo Marchiaveli mungkin patut untuk kita renungkan guna menjawab pertanyaan diatas. Beliau mengatakan bahwa “semua manusia punya niatan dan tujuan yang baik tetapi cara-cara yang dilakukan untuk mencai tujuan tersebut senantiasa menjauhkan dia dari tujuannya”.
Negara indonesia pun ternyata kebagian sindrom krisis integritas lembaga perwakilan diatas. Perputaran roda sejarah dalam mendeteksi kiprah lembaga perwakilan kita ternyata sangat jauh dari telapak kaki nilai ideal yang seharusnya menjadi fatsun (pembimbing) dan nukleus (inti) dari sistem lembaga perwakilan kita mengingat dasar negara kita jelas-jelas dalam sila ke empat menegaskan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Lembaga yang seyogyanya sebagai penyambung lidah rakyat justru menjadi perampok dan pembunuh konstitusi kedaulatan rakyat yang paling mematikan. Selain itu ada sebuah sindrom lain yang tidak kalah mematikannya dari masalah diatas yang melahirkan kegamangan dan kekalutan ditubuh lembaga tersebut. Adalah sebuah keprihatinan yang luar biasa ketika sebagian besar wakil rakyat yang pernah, sedang atau akan mendiami lembaga tersebut salah dalam menafsirkan definisi dan esensi dari lembaga agung tersebut sehingga melahirkan paradigma berpikir fragmatis dan bersikap oportunistik dalam mengartikulasikan wewenang dan kebijakan. Lembaga agung ini didefinisikan sebagai lembaga profesi (suaka lapangan kerja) bagi para pemburu materi atau wahana penabur citra aktualisasi diri sebagai warga kelas satu yang haus untuk dimuliakan dan diagungkan. Maka adalah sebuah keniscayaan jika kemudian pola hidup dan tingkah laku para anggota lembaga perwakilan tersebut cenderung hedonis. Mereka gengsi jika mobil cuman satu apalagi kurang bermerek, gengsi jika pakaian bukan style impor, gengsi bila rumah kediaman tidak bertingkat, ber-AC serta tidak punya kolam renang, hingga gengsi turun kepelosok desa jika kantong tidak tebal. Akhirnya budaya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), gratifikasi dan suap merupakan hal yang biasa untuk dilakukan bahkan kadang-kala sering dilegalisasi. Hampir sebagian besar anggota lembaga perwakilan tersebut pandai berbisik-bisik dibalik kursi kekuasaan,melakukan lobi dan negosiasi dalam rangka bargaining isu kerakyatan untuk berjamaah merampok dana negara serta menikam konstitusi dengan retorika komulatif. Negara ini telah lama melahirkan penjanjah baru pasca kolonialisme belanda dalam bingkai birokrasi pemerintahan yang memanfaatkan segala fasilitas kenegaraan (kewenangan,jabatan,jaringan dan citra) untuk melegalisasi setiap tindakan mereka.
Jika kemudian realitas dari eksistensi lembaga tersebut sudah tidak lagi sinkron dengan nilai ideal (formal dan moral institusi) sebagai pengusungnya sehingga semakin jauh dari tujuan dan cita-cita pembentukannya, masikah ada alasan untuk percaya terhadap lembaga tersebut ? ataukah masyarakat awam harus menerima nasib sembari mengharapkan dan menunggu intervensi birokrasi langit agar menurunkan dewi keadilan untuk merubah keadaaan dari sebagaimana adanya menjadi sebagaimana mestinya? Ataukah masyarakat sipil sebagai kelas tertindas harus menggalang kekuatan dan mendoktrin diri untuk melakukan perlawanan terhadap kelas penindas dari golongan penguasa? Apakah teori Jose Forfiro Miranda tentang “apapun yang dilakukan oleh kaum tertindas adalah sah dan halal untuk dilakukan demi menggulingkan kekuasaan” harus dilakukan? Kalau kemudian langkah tersebut mutlak untuk dilakukan, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah siapa yang akan melakukannya?
Menginggat posisi lembaga perwakilan dalam pemerintahan yang sangat vital, maka jangan pernah bermimpi bahwa semua lini dan segi kehidupan kenegaraan akan berjalan baik jika lembaga ini masih tercebur dalam kubangan krisis moral dan terjerat dalam selubung kemunafikan dan kebodohan. Penulis tidaklah mengada-ada dalam hal ini sebab semua regulasi (aturan/UU) yang mengatur dan menentukan baik dan benar, halal dan haram,  serta baik dan buruk lahir dari rahim institusi ini. Jangankan rakyat, presiden sekalipun diatur oleh UU yang dibuat oleh lembaga ini.
Negara ini memang masih tahap belajar berdemokrasi tatapi jangan kemudian dengan serta merta langsung dijustifikasi agar menerima kesenjangan yang ada tanpa upaya dan niatan baik an optimis untuk merubahnya. 66 tahun negara ini merdeka dan sebentar lagi menginjak usia 67 tahun yang jika dikalkulasi secara evolusi-politik, tidaklah muda lagi.Apalagi kalau dihitung berdasarkan umum rata-rata manusia. Dengan usia yang terbilang tua tersebut sungguh memprihatinkan menyaksikan eksistnsi dan kiprah dari lembaga perwakilan kita jika dibandingkan dengan lembaga perwakilan negara lain yang usianya terbilang lebih muda dari kita sebut saja malaysia dan singapura yang merupakan negara tetangga kita. Peribahasa yang sering menjadi buah bibir dikalangan masyarakat “makin tua makin jadi” nampaknya tidak berlaku buat negara kita kecuali peribahasa itu dipleseti menjadi “makin tua makin kekanak-kanakan, makin dewasa makin berkalang kenistaan dan kebodohan”.
Sedikit intermezo mungkin arwah para pahlawan yang telah memperjuangkan dan menjaga kemerdekaan republik ini nampaknya sedang berdiskusi dengan kuasa hukum dialam kubur untuk mengajukan banding supaya dikembalika kedunia untuk berjuang kembali memerdekaan bangsa dan negara ini dari penjajahan yang dilakukan oleh penguasanya sendiri atau boleh jadi mereka sedang menangisi ketidakberhasilan mereka menjadi patron, panutan dan kiblat bagi generasi pelanjut.
Sejenak berkaca pada revolusi yang pernah terjadi di Iran atau yang masih menjadi hot news akhir-akhir ini adalah revolusi negara di timur tengah yang berbasis agama layak untuk direnungkan. Steaphen LCarter (salah satu pemikir sipil disobedience) pernah menyatakan bahwa “hanya dengan kebangkitan disemua lini keyakina beragama yang mampu menyelamatkan peradaban negara, karena tidak adanya orang-orang yang berkata jujur atau bervisi lebih bijak tentang persamaan daripada persamaan yang dikhittahkan Tuhan.
Jika kemudian hal tersebut tidak dilakukan maka tinggal menunggu waktu saja negara ini akan menuju kegagalan sebagai negara dan akhirnya menuju kehancuran.
Oleh:Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar