Laman

Jumat, 03 Juni 2011

NEGARA “Katanya”

Katanya negara Indonesia adalah negara merdeka. Katanya negara Indonesia adalah negara ketuhanan yang maha esa. Katanya negara Indonesia adalah negara kemanusiaan. Katanya negara Indonesia adalah negara persatuan. Katanya negara Indonesia adalah negara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan. Katanya negara Indonesia adalah negara keadilan. Tetapi mengapa negara ini selalu saja dirundung duka, problema dan konflik. Ini belum lagi jika kita sebutkan satu per satu term katanya yang lainnya, pasti semakin menambah penderitaan dan sakit hati bagi rakyat seantero republik.
Genealogi Berdirinya Sebuah Bangsa
Alasan Berdirinya Sebuah Bangsa dan Pemerintahan Negara para pemimpin perjuangan nasional Indonesia, dalam merumuskan cita-cita Indonesia merdeka, sebagaimana kemudian tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, memandang kemerdekaan dari empat hal. Pertama. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa (self determination rights); Kedua. Kemerdekaan adalah Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (anti kolonialisme dan anti imperialisme), karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan (hak asasi manusia universal) dan perikeadilan; Ketiga. Kemerdekaan adalah pintu gerbang Negara Indonesia, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila. Inti makna dari sebuah kemerdekaan nasional adalah agar sebuah negara bangsa (nation state) dapat mengelola sumber-sumber agraria (kekayaan alam) yang dimilikinya untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagai upaya menghapuskan eksploitasi manusia ”yang kuat” kepada manusia ”yang lemah” (exploitattion de l-’homme par l’homme), perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Alasan berdirinya bangsa Indonesia bukan sekedar konsolidasi primordial tetapi juga konsolidasi nasional ekonomi politik yang harus maju dan muncul karena kalau gagal akan hilang selamnya di tengah kekuatan besar ekonomi, politik, budaya, dan militer negara-negara besar. UUD 1945 mengamanatkan: Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan. Tetapi nilai ideal diatas justru bersinggungan dengan realitas. Ketuhanan yang maha esa di negara ini telah dikebiri atas dasar persinggungan kepentingan setiap pihak khususnya kaum beragama untuk saling mengkafirkan. Setiap komunitas beragama mengklaim dirinya yang paling benar, yang paling mulia serta paling suci. Kekerasan atas nama agama menjadi pemandangan sehari-hari, menjamur ibarat tumbuhnya jamur dimusim hujan. Retorika podium kaum agamawan mengaku bertuhan tetapi dalam pikiran perkataan dan perbuatan justru mendiskreditkan nilai ketuhanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan. Realitas justru berbicara lain bahwa Kemanusiaan yang adil dan beradab di republik ini hanya milik para penguasa. Pejabat publik dengan santainya memporak-porandakan nilai kemanusiaan. Hal ini tergambarkan dengan jelas dalam setiap kebijakan dan keputusan politik yang dibuat. Regulasi dilegalisasi untuk menciderai nilai kemanusiaan.Berbicara di tataran konkret, berbagai kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah ada satu pun yang habis dituntaskan. Katanya Indonesia adalah Negara hukum, tetapi kita saksikan berbagai kasus kekerasan, pelanggaran HAM terhadap para aktivis gerakan perubahan seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus Trisakti, Malari, Tanjung Priok dll serta pelanggaran dan kasus kekerrasan yang terjadi di Aceh, Papua dan lainnya sampai hari ini tidak pernah dituntaskan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukum hanya berpihak pada penguasa, militer dan pengusaha. Itu mencerminkan rezim yang anti dengan kebenaran hukum (HAM), karena takut kebenaran membuka kebusukan-kebusukan yang selama ini ditutupi agar tidak tercium oleh dunia internasional.
Tidak ada hukum bagi masyarakat awam, tidak ada HAM bagi masyarakat marginal, tidak ada pendidikan bagi rakyat miskin apalagi yang tinggal dipedalaman.
Negara “katanya” ini dikuasai oleh sekelompok orang saja, biasanya cita-cita penegakan hukum, cita-cita demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa hanya kamuflase. Ya... Itulah realitas di Indonesia, negeri yang hanya menjadi bayangan dari negara kapitalis. Walaupun sudah merdeka, rakyatnya masih terjajah, karena cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk penegakan hukum, menjalankan demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa tidak sepenuhnya berjalan baik. Sepertinya hanya sebuah cita-cita yang barangkali menjadi utopia saja. Belum tercapai, kecuali untuk segelintir elit empunya negara ini (penguasa).
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya. Tetapi sungguh ironis menyaksikan beberapa dekade terakhir ini bahwa, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya .
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalampermusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya.
Setelah jatuhnya otoritarianisme Orde Baru, sebuah gejala baru muncul dalam kehidupan politik Indonesia, yakni menguatnya kekerabatan dalam politik (kinship politics) atau kerap disebut politik dinasti. Gejala ini banyak ditemukan dalam politik lokal, penandanya adalah posisi-posisi penting dalam institusi politik seperti pemerintahan dan legislatif diduduki oleh mereka yang berada dalam satu garis keturunan. Sejumlah studi menunjukkan bagaimana jaringan hubungan kekerabatan menjadi landasan penguasaan politik di tingkat lokal (lihat Vedi Hadiz (2010), Marcus Mietzner (2009), Michael Buehler dan Paige Tan (2007), Edward Aspinall dan Greg Fealy (2003).
Politik kekerabatan atau politik dinasti telah lama muncul di alam demokrasi. Ia menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi. Jika dirujuk ke belakang, filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980) menyatakan bahwa “setiap kelas menunjukkan tendensi untuk membangun suatu tradisi turun-menurun di dalam kenyataan, jika tidak bisa di dalam aturan hukum”. Bahkan dalam organisasi demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, ia akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan,bahkan menggerus prinsip-prinsip demokrasi di lapangan permainan politiknya (Robert Michels, 1962).
Gejala yang sama berlangsung di dalam partai-partai politik nasional di Indonesia. Partai Demokrat (PD), misalnya, jalinan keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki posisi-posisi kunci dalam partai. Sebut saja Edhie Baskoro Yudhoyono (anak) menduduki posisi sekjen dan anggota DPR, Hartanto Edhie Wibowo (ipar) menduduki salah satu ketua departemen dan juga anggota DPR, Hadi Utomo (ipar) mantan ketua umum dan sekarang duduk di dewan pembina, Agus Hermanto (ipar) sebagai Ketua Komisi Pemenangan Pemilu dan Nurcahyo Anggorojati (keponakan) sebagai Sekretaris Komisi Pemenangan Pemilu. Demikian juga di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), keluarga Megawati Soekarnoputri duduk di dalam posisi kunci dalam partai, seperti Puan Maharani (anak) menduduki Ketua Bidang Politik dan anggota DPR, Taufik Kiemas (suami) sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) dan Ketua MPR.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif.
Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, porgram dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.
Robert Michels menilai bahwa kecenderungan oligarkis yang dibangun atas dasar hubungan keluarga dalam tubuh partai politik juga akan terus terbawa ke dalam pemerintahan. Kecenderungan oligarkis dalam partai merupakan hukum besi yang tak terhindarkan, bahkan ketika partai tersebut menjadi partai yang berkuasa maka model oligarkis akan juga diberlakukan dalam pemerintahan. Bahkan anggota parlemen akan menjadi arogan dan membuat kesepakatan dengan partai lain tanpa mempertimbangkan prinsip ideologis partai mereka dan dukungan dari parapemilih mereka. Dalam partai yang demikian, para pemimpinnya akan menilai dan memperlakukan dirinya di atas para anggota atau pengikut, tidak lagi dalam hubungan keanggotaan yang setara.
Kekuasaan politik seharusnya diperebutkan dengan tujuan untuk menciptakan suatu tatanan yang baik bagi semua, dan partai politik merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sementara partai kekerabatan dibangun untuk tujuan-tujuan personal atau pribadi, dalam hal ini sang pemimpin dengan keluarga dan kerabatnya. Dalam kondisi politik yang demikian, telos politik yakni menciptakan common good atau kemaslahatan bagi semua menjadi usang.
Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti: partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa. Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki.
Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya. Di titik ini, cuaca demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun politik yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk membuka selubung kepalsuan demokrasi yang
selama ini dipraktikkan sekaligus penghancuran oligarki.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.
Semua hal diatas hanyalah pepesan kosong yang tiada arti. Betapa tidak kemiskinan masih menjamur dalam negeri yang kaya akan SDA ini. Sebagai mana maklum, menjadi miskin pasti bukanlah pilihan. Berangkat dari persoalan tentang akses terhadap keadilan dimanapemerintah lebih berpihak kepada pemodal (investor) daripada rakyatnya yang semakin hari semakin miskin.Rakyat menjadi miskin bukan karena malas, melainkan karena daya ekonomi dan sosialnya tidak diberikan oleh negara. Kesempatan kerja sangat minim, ruang kerja informal sangat sedikit sementara upah kerja juga minim. Hal ini membuat rakyat hidup miskin dan serba kekurangan. Sementara negara tidak pernah selesai dengan masalah korupsi dan nepotisme, kebijakan yang dikeluarkan negara dikriminatif dan represif, dan kurangnya partisipasi publik dalam setiap pembuatan kebijakan.
Tidak sulit untuk mengenali kemiskinan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kehidupan keluarga miskin, apalagi yang sangat miskin, terlihat berbeda dengan yang tidak miskin. Pakaian yang dikenakan dan rumah yang ditinggali memperlihatkan ciri menyolok dari kondisi miskin mereka. Ketidakcukupan pangan dan gizi adalah soal yang kadang tidak terlihat namun bisa dipastikan dihadapi mereka. Soal kekurangan lain yang bisa diduga adalah lemahnya akses kepada layanan kesehatan dan pendidikan karena tidak memiliki dana yang cukup. Sedangkan soal yang samar namun terasa adalah kondisi psikologis mereka yang sebagiannya sudah berevolusi menjadi sikap budaya sebagai orang miskin.
Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara “katanya” yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.Oleh sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat lagi dari berbagai kelompok kepentingan seperti organisasi sosial-kemasyarakatan, LSM, media massa, komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis lainnya. Sebab, mereka inilah yang mempunyai kemampuan dalam mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan persoalan krusial di masyarakat. Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan pencapaian tujuan negara.

Politik Mafia

Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkanberkaitan dengan sistem Eduard Bernsteinbahwa teori terkadang merupakan gambaran-gambaran yang diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha menggambarkan realitas perpolitikan sebagaimana mestinya dengan cara reformasi sosio-poltik di tengah kemandegan total era transisi demokrasi di Indonesia. Pikirkanlah sebuah teori Partai politik yang merupakan anak emas yang lahir dari rahim demokrasi di tengah kenyataan pemasungan kedaulatan rakyat.
Politik mafia merupakan term (istilah) yang dipakai oleh penulis untuk memaparkan cerminan realitas kiprah partai politik yang selama ini telah berselingkuh terhadap tujuan dan cita-cita kelahirannya.
Politik Mafia Dalam Teori
Teori politik mafia menggunakan konsep mafia untuk menggambarkan suatu kelompok elite Parpol, yang bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Teori ini menjelaskan model Parpol “mafia” sebagai kelanjutan dari model Parpol “oligarki”, Parpol “massa”, Parpol “kader”. Karakteristik Parpol menurut Teori mafia antara lain:Hilangnya peran ideologi, mengutamakan Koalisibukan Oposisi, Janji-Janji Tidak Direalisasikan, memperoleh Dana Ilegal.
Hilangnya Peran Ideologi sebagai Penentu Prilaku Politik Parpol.
Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye. Fenomena koalisi Parpol bukan berdasarkan kesamaan ideologis menunjukkan karakteristik fenomena politik mafia ini.
Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam AD/ART, platform, visi dan misi, juga kode etik Parpol bersangkutan, terjelma ke dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan. Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran pemilih.
Dalam perspektif kelembagaan, Ideologi harus mewarnai struktur organisasi, mekanisme kerja, perilaku personil, manajemen keuangan, perangkat keras dan lunak Parpol, sistem informasi manajemen dan program kerja/rencana kegiatan Parpol. Ideologi juga harus mewarnai pola pikir dan perilaku politik personil dan kader dalam pengelolaan Parpol, terutama kelangan pengurus Parpol.
Dalam era politik mafia, kalangan pengurus dan politisi Parpol di pemerintahan, berperilaku lebih berorientasi pada “pertahanan kekuasaan (status quo)”, ketimbang “perubahan kehidupan lebih baik”. Ideologi tercantum di dalam dokumen tertulis AD/ART cenderung sekedar “aksesoris” administrasi kelembagaan.
Menghilangnya dan degradasi ideologi Parpol menggiring politik kepartaian sekarang dan ke depan lebih didasarkan pada “kebendaan dan uang”, bukan hal-hal seperti keyakinan atau sistem nilai dan norma perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan perbedaan berarti antara satu Parpol dengan Parpol lain. Pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik yang diperkuat oleh politik lebih mementingkan pencitraan “kaya retorika podium tetapi miskin implementasi” dan bukan rekam jejak sang tokoh. Besarnya biaya politik ini telah membuat “persaingan” antar Parpol hanya terjadi saat penyelenggaraan Pemilu. Seusai Pemilu, “persaingan” juga berakhir dan muncul koalisi pelangi melebihi ukuran merangkum hampir semua Parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi. Kelompok Parpol bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis, ditambah ketidakhadiran kekuatan oposisi. Politik dagang sapi yang dijadikan spirit persaingan antar Parpol seusai Pemilu telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam “persaingan” seperti adanya kontrol Parpol-parpol kalah terhadap perilaku politik kekuasaan Parpol-parpol pemenang dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada (check and balance).
BahwaParpol telah kehilangan ideologi dan lebih mengedepankan kepentingan pragmatisme, tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi,sudah lama menjadi buah bibir para pakar, pengamat dan ilmuwan politik terlebih lagi pemberitaan media massa. Hilangnya peran ideologi Parpol juga diakui masyarakat. Hasil beberapa lembaga survei menunjukkan hal tersebut. Jangankan pengamat, pakar dan ilmuwan politik, tukang becakpun berpikiran seperti itu.
Mengutamakan Koalisi, Bukan Oposisi
Karakteristik kedua yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.
Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol yang mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PAN, PPP, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat .
Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.
Janji-Janji Tidak Direalisasikan
Karakteristik ketiga politik mafia yang melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Elite parpol terkesan hanya kaya retorika (janji-janji) podiumtetepi sangat miskin implementasi. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus pasca pemilu. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri, dan parpol masing-masing.
Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah jikakemudian cita-cita dan tujuan pendirian parpol justruhanya sebatas menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif, memenangi pemilu presiden, bahkan bergerombolan membentuk koalisi pelangi untuk mendapatkan jabatan Menteri. Setelah semua hal tersebut tercapai, maka setiap Parpol cenderungan merumuskan dan menjalankan tujuan yang sarat dengan kepentingan dirinya sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen yang diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi ibarat sesuatu yang hilang ditelan bumi dan terhisab ruang dan waktu.
Terjadi keterputusan bahkan persinggungan antara harapan, kehendak, kebutuhan dan kepentingan konstituen dan elite Parpol. Saat akan mengkalkulasi dan mengestimasi suara konstituen, Parpol berupaya dan terus bergumam tentang apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, suku, kelas sosial atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, setelah memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun berlomba lari maraton mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain melakukan ijab kabul politik untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol yang berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu presiden dan legislatif, parpol dan elite Parpol yang menang maupun kalah, melakukan STRATAK (strategi, tehnik dan taktik) politik barter untuk menentukan siapa yang akan menjadi menteri, dan Dirjen departemen ( disektor eksekutif),Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR (sektor legislatif).
Ketidakpercayaan masyarakat seantero Republik Indonesiaterhadap janji-janji Parpol sudah mencapai titik klimaksnya. Hasilnya, sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat inteleqtual dan masyarakat miskin (kota dan desa) tidak percaya terhadap Parpol sebagai penyalur aspirasi politik dan sosial mereka. Dan yang lebih mencengangkan lagi, bahwa masyarakat lebih memilih media massa, LSM, dan organisasi kemasyarakatan sebagai penyalur aspirasi. Jadilah negeri ini ibarat tidak bertuan.
Memperoleh Dana Ilegal
Karakteristik keempat yakni agar dapat mempertahankan kesinambungan eksistensi Parpol, para elite yang menduduki jabatan di dalam pemerintahan maupun di parlemen berusaha mendapatkan dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)yang diduga dilakukan dengan cara melegalisasi dan merekayasa melalui regulasi. Parpol dalam realitas obyektif tidak mampu menggalang dana untuk menghidupi Parpol secara mandiri dari iuran/sumbangan anggota maupun amal usaha . Parpol juga tidak memiliki badan hukum (korporasi/perusahaan) bergerak di dunia usaha yang dapat mendanai Parpol dari hasil usaha badan hukum dimaksud. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol. Apalagi ditambah oleh pola hidup elite yang mengadopsi budaya hidup kapitalis yang senantiasa bermewah-mewahan. Akibatnya, Parpol dan elite parpol yang diharapkan memberantas virus korupsi melalui fungsinya ( legislasi, pengawasan dan anggaran) justru menjadi sarang dan aktor mafia legislasi, anggaran maupun pengawasan. Sungguh sebuah malapetaka politik di era reformasi dan demokrasi !!!.
Meracik Kapasitas dan Integritas
Prospek partai politik kedepan terutama pada suksesi pemilihan umum 2014 diperkirakan akan mengalami kapasitas dan integritas yang semakin menurun dalam konteks perolehan suara pemilih (sebagian besar masyarakat terkena sindrom ilfil parpol dan elite parpol) jika tidak disusun dan diimplementasikan suatuStrategi peracikan jitu Kapasitas PARPOL berdasarkan penegakan konsistensi ideologi antara apa yang dijanjikan kepada konstituen dalam Pemilu dan perilaku politik kader partai yang telah duduk di dalam jabatan pemerintahan (legislatif dan eksekutif).
Sebuah pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah bagaimana meracik kapasitas dan integritas PARPOL agar mampu mewujudkan ideologi, platform, visi dan misi ke dalam kehidupan konkrit dan menghasilkan manfaat bagi rakyat, khususnya masyarakat pemilih.
Di dalam Strategi peracikan kapasitas dan integritas PARPOL yang dimaksud, harus terdapat identifikasi permasalahan dan potensi PARPOL yang mencerminkan realitas obyektif kepartaian di Indonesia, yakni berlakunya fenomena politik mafia dengan karakteristik: menghilangnya peran ideologi; mengutamakan koalisi, bukan oposisi; janji-janji tidak direalisasikan; dan, memperoleh dana ilegal. Kiprah PARPOL dalam dinamika politik mafia ini ternyata mengalami perolehan suara pemilih yang terus menurun (fenomena golput). Konsistensi atas komitmen ideologi PARPOL harus betul-betul ditegakkan oleh kader-kader partai khususnya pejabat penyelenggara pemerintahaan (legislatif & eksekutif). Strategi yang dimaksud adalah Pertama, deskripsi PARPOL (analisis swot PARPOL dalam bentuk pemetaan permasalahan dan potensi yang dihadapi partai).Kedua, rekruitmen kader partai yang berdasarkan prinsip proporsionalitas dan profesionalitas.Ketiga, sasaran strategis jangka pendek, menengah dan panjang berdasarkan permasalahan dan potensi yang dihadapi.Keempat alternatif strategis (rencana kegiatan/program kerja) untuk pencapaian sasaran jangka pendek,menengah dan panjang yang telah dirumuskan.Kelima, Komponen/kendali strategis untuk melaksanakan alternatif strategis.Keenam, manajemen informasi sistem (monitoring dan evaluasi strategis).Ketujuh, pembenahan diri secara total dari elite. Taubatan nasuha politik oleh elite politik yang telah mendua terhadap reformasi dan demokrasi sangat diharapkan meski ibarat mengharap buah jatuh dari pohonnya dimusim berbunga.Parpol dan elite parpol sudah waktunya meski terkesan terlambat untuk fokus pada bagaimana memperbaiki cacat politik di Indonesia, karena mereka punya kontribusi besar dalam menciderai kedaulatan rakyat. Sejenak berkaca pada revolusi yang pernah terjadi di Iran atau yang masih menjadi hot news akhir-akhir ini tentang revolusi di timur tengah yang berbasis agama layak untuk direnungkan. Minimal untuk membenahi elite politik yang krisis moral. Steaphen l carter (salah satu pemikir sipil disobedience) pernah menyatakan bahwa “hanya dengan kebangkitan disemua lini keyakinan umat beragama yang mampu menyelamatkan peradaban negara, karena tidak adanya orang-orang yang berkata jujur atau bervisi lebih bijak tentang persamaan daripada persamaan yang dikhittahkan Tuhan.
Jika kemudian tidak ada upaya serius untuk berbenah diri sembari menyiapkan strategi yang jelas dan tegas dalam rangka menyelamatkan republik yang belajar berdemokrasi ini, maka tinggal menunggu waktu saja negara ini akan menjadi negara yang gagal berdemokrasi. PARPOL dan ELITEnya sangat berperan penting akan hal tersebut.
Oleh:Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Etika Dan Frustrasi Politik

Muhammad Nazaruddin, bendahara partai demokrat akhir-akhir ini benar-benar sedang menjadi selebriti yang senantiasa diberitakan media. Setiap gerak langkah, tutur kata, apalagi kebijakan Partai Demokrat senantiasa ditunggu kuli tinta, karena tentu masih menjadi berita yang ditunggu masyarakat.
Hal tersebut tidak lepas dari indikasi faksionalisme dan pertikaian internal Partai Demokrat pasca pelaporan ketua Mahkamah Kostitusi Mahfud MD dan Sekretaris Jenderal MK Djanedri Gaffar tentang pemberian uang sebesar 120.000 dollar Singapura dari Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal MK Djanedri Gaffar, pasca pengasingan Nazaruddin ke Singapura serta pasca beredarnya sms gelap atas nama Nazaruddin yang akan membongkar kebobrokan partainya sendiri. Ada indikasi dari partai demokrat baik anggota maupun elitenya terhadap kekhawatiran dijadikannya persoalan diatas sebagai komuditas kepentingan politik kubuh lain untuk melumpuhkan citra dan popularitas partai demokrat dan Presiden SBY sebagai partai pemenang pemilu. Dugaan faksionalisme sebenarnya masih abstrak sebab manuver politik yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin dan kader partai demokrat lain dengan jurus mabuknya, tidak henti-hentinya membuat bingung masyarakat termasuk media. Di sisi lain, Muhammad Nazaruddin yang merupakan bendahara umum partai yang dinilai memegang otoritas memobilisasi rupiah sebagai penunjang eksistensi partai, sehingga restunya sangat dipertimbangkan oleh elite dan kader partai tetapi dilain pihak beliau juga patut dan harus diserahkan keranah hukum untuk diproses.
Ketidakmampuan partai dan petugas yang berwenang mencegat Nazaruddin keluar negeri, makin membuktikan kekuatan posisi tawar bendahara partai itu dalam konstelasi politik nasional. Di luar prasangka, partai demokrat sebagai partai yang katanya solid secara keseluruhan tampaknya justru lebih terlihat menjadi bingung dan repot dengan posisinya sekarang ini. Nazaruddin memang telah diberhentikan oleh dewan kehormatan partai dari kepengurusannya sebagai bendahara partai berlambang bintang sudut tiga tersebut, tapi Nazaruddin sebagai mantan bendahara partai tentu bukan orang sembarangan, makanya tetap saja tidak bisa diam, karena terutama kader partai lain ada yang berusaha memojokkannya, ditambah lagi sorotan media massa yang intens untuk membongkar persoalan tersebut.
Banyak pengamat politik berpandangan sinis akan masalah diatas terutama apabila dikaitkan dengan etika politik elite dan partai politik di era transisi demokrasi saat ini. "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Urgensi Etika Politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas.Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan Etika Politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada.Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif.Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama.Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika Politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu.Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi Sosial dan Keadilan Prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya.Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.
Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan.Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin.Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana Menentukan Kriteria Kebenaran dan Keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas.Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

Kealfaan Terhadap Penyelesaian Kasus Korupsi Kelas Kakap


Sejak terpilihnya Busyro muqadas sebagai ketua KPK yang baru menggantikan Antasari Azhar, harapan sebagian besar masyarakat terhadap KPK untuk kembali membuka kran kasus korupsi kelas kakap seperti BLBI, century, Buloq, penyuapan pada pemilihan deputi senior gubernur BI, hingga dugaan kasus suap partai demokrat melalui Muhammad Nazaruddin (bendahara partai demokrat) dalam bentuk pemberian uang sebesar 120.000 dollar Singapura kepada Sekretaris Jenderal MK Djanedri Gaffar kembali mencuat hingga sampai pada titik klimaksnya.
Disorientasi
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.
Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat, dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada. Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
KPK harus bekerja keras
Mengacu pada ego kelembagaan, mau tidak mau serta suka tidak suka, KPK harus menyiapkan langkah strategis untuk menangani dan mengungkap aktor utama di balik semua kasus diatas. Upaya penyelesaian kasus korupsi kelas kakap secara profesional dan konprehensip merupakan langkah yang baik, tidak hanya untuk mengembalikan pamor lembaga independen tersebut (setelah dirundung musibah atas kasus yang menimpa ketuanya yang lalu) tetapi lebih untuk memberi rasa keadilan, dan juga memberi sinyal tentang kepastian hukum dan yang lebih penting adalah tujuan pembentukan lembaga tersebut untuk memberantas korupsi hingga keakar-akarnya. Namun, penyelesaian kasus korupsi tersebut tentu perlu melihat secara keseluruhan motif, sumber, penyaluran dan penggunaannya. Penyelesaian dugaan kasus korupsi seperti BLBI, BULOQ, CENTURY yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tersebut memang perlu menghormati keputusan yang sudah dibuat oleh pemerintah dengan memperhatikan berbagai pendekatan dan landasan hukum waktu itu. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa penyelesaian kasus tersebut tidak bisa menggunakan pendekatan sepotong-sepotong berdasarkan pesanan atas nama kepentingan kelompok tertentu, atau selera dari berbagai kalangan yang terkadang imajinatif dan membingungkan logika hukum oleh penegak hukum.
Hal ini penting mengingat informasi dan pemberitaan tentang kasus korupsi diatas, semakin hari kian tenggelam oleh isu politik yang semakin mamanas. Apalagi terkesan pemberitaan pada waktu lalu cenderung membingungkan dan terkadang sarat dan rawan ditunggangi kepentingan, bahkan mengarah ke sentimen politik yang bisa berdampak buruk. Apalagi banyak kalangan yang sebenarnya tidak paham tentang kasus korupsi kakap diatas pun ikut-ikutan bersuara sangat keras, mengomentari bahkan menganalisis dengan data yang simpang siur dan terkesan emosional.
Namanya saja kasus korupsi kelas kakap. Berarti sumber, penyalur, motif, penggunaan serta implikasinya juga luar biasa. Tidak heran jika kemudian kita sering mendengar pernyataan yang sering mensinonimkan antara korupsi kelas kakap dengan genosida. Bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang telah membantai warga negara.
Pejabat tinggi negara yang berperan penting dalam mengkonversi dukungan dan tuntutan masyarakat menjadi kebijakan dan keputusan politik dalam suprastruktur politik seharusnya bermurah hati terhadap keinginan, kebutuhan dan kepentingan rakyat. Tapi, sungguh ironis memang bahwa dalam kehidupan profesionalnya, mereka melakukan sesuatu lebih karena didorong semata-mata oleh upaya mengejar keuntungan yang tidak henti-hentinya.
Sebagian besar publik yakin bahwa pejabat negara yang hobi korupsi tidak memiliki kepedulian terhadap nasib wong cilik, apalagi berkontribusi terhadap pemberdayaan dan pembangunan masyarakat.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dengan tegas mengamanatkan kepada KPK untuk memiliki integritas moral dan reputasi yang baik. Selain itu lembaga itu juga harus mempuni dalam kecakapan intelektual, wawasan, serta pengetahuan. Syarat-syarat ini menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, karena tugas KPK begitu berat. Bayangkan, berdasarkan amanat fungsionalnya, misi KPK jelas, mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Itu berarti segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dituntaskan. Visinya pun tidak main-main. KPK ditugasi menjadi penggerak perubahan, supaya bangsa ini menjadi bangsa yang antikorupsi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah nahkoda KPK sekarang ini bisa mewujud-nyatakan visi, misi, dan amanat undang-undang tersebut pada tataran operasional? Pertanyaan ini relevan, karena problem besar menghadang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Kita mulai dengan fakta bahwa negara kita selalu ikut-ikutan dalam klasemen sepuluh besar negara terkorup di dunia. Ini tidak berlebihan, karena praktek korupsi telah menyebar dan berlangsung di wilayah eksekutif, legislatif, dan aparat penegak hukum. Fakta korupsi yang telah melembaga dan menstruktur ini tentu saja menyulitkan usaha pemberantasan korupsi.
Saat ini memang lumayan banyak pejabat tinggi, tokoh politik, tokoh agama, dan jebolan kapitalis yang sudah (dan sedang) diperiksa aparat penegak hukum karena diduga melakukan korupsi. Namun, banyak kalangan menilai upaya itu masih bersifat tebang pilih. Koruptor kelas teri saja yang ditindak, sementara yang kelas kakap tidak disentuh. Mengapa ini terjadi? Aparat penegak hukum justru ikut melebur dan bahkan menjadi bagian dari sistem koruptif itu. Logikanya sederhana, bila mereka gagal entah itu karena intervensi politis atau konflik kepentingan lainnya dalam menindak dan menjerat koruptor yang jelas-jelas bisa dipidanakan, itu berarti mereka bersikap permisif dan kompromistis, sehingga turut menyuburkan praktek korupsi yang seharusnya mereka tentang.
Keterperangkapan aparat penegak hukum dalam sistem yang koruptif itu secara tak langsung mengungkapkan sisi personalitas mereka. Inilah problem berikutnya, mereka menjadi aparat yang bertindak sesuai dengan petunjuk eksternal dan mengabaikan keputusan dan kesadaran personal. Dalam bahasa politis, mereka bekerja dan bertindak berdasarkan “peran yang ditentukan” lingkaran setan koruptif struktur atau sistem. Ketakberdayaan aparat penegak hukum berhadapan dengan lingkaran koruptif itu memudarkan kualitas kejujuran, reputasi, dan integritas moral personal mereka. Ini berakibat langsung pada mandeknya upaya pemberantasan korupsi.
Amanat undang-undang di atas tentu menjadi acuan dalam setiap upaya pengungkapan kasus korupsi. Bila kita takar dari bentuk dan prosesnya, KPK selama ini telah berupaya menemukan figur pimpinan yang memiliki kualitas seperti kecakapan intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang mumpuni, serta reputasi dan integritas moral yang baik. Itu artinya, pemimpin yang ada sekarang seharusnya adalah orang yang bermutu baik dari segi kognitif, konatif, maupun afektif.
Namun, kita juga harus menggaris bawahi bahwa mutu, kualitas, serta berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak bisa diukur hanya dari keterpilihan pemimpin yang ideal diatas, karena itu hanya langkah awal. Bukti bahwa pimpinan benar-benar orang yang tepat baru bisa dinilai dan diketahui ketika mereka sudah mulai bekerja. Artinya, kemampuan mereka untuk merealisasi visi dan misi KPK menjadi ukuran kualitas mereka yang sesungguhnya. Inilah yang diharapkan dan ditunggu-tunggu publik.
Pertimbangan
Untuk mewujudkan harapan ini memang tidak mudah. Dengan berkaca pada problem besar lingkaran setan sistem koruptif di atas, minimal, ada dua hal yang perlu ditumbuh-kembangkan.
Pertama, pemimpin KPK perlu menjaga kualitas dan integritas moral personal. Ini dilakukan dengan, dalam tuturan Giddens, selalu membina dan membangun kesadaran diskursif, yaitu kemampuan untuk merefleksikan setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Tuntutan ini harus mengaktual dalam kemauan untuk terus berintrospeksi dan mawas diri. Dengan demikian, sensitivitas hati nurani terhadap nilai kejujuran dan keadilan selalu terasah dan benar-benar terjaga.
Kedua, sebagaimana demokrasi tidak bisa hidup tanpa partisipasi publik, penegakan hukum dan pengasahan nurani aparat penegak keadilan juga tidak bisa terjadi tanpa pengawasan dan tekanan publik. Itu berarti kita tidak bisa sepenuhnya hanya berharap pada kesadaran pribadi para pemimpin KPK. Peran pengawasan ini tentu saja diharapkan muncul dari media, pers, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, intelektual, atau masyarakat pada umumnya, sehingga personel KPK selalu diingatkan dan responsif terhadap tuntutan agar usaha pemberantasan korupsi itu benar-benar dijalankan dan membawa hasil.
Ketiga, aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) harus membuat agenda strategis pemberantasan korupsi yang diformat berdasarkan kesepakatan dan kesepahaman bersama, dengan prioritas pada masing-masing isu yang saling mendukung. Hal ini penting dilakukan untuk memaksimalkan energi yang dimiliki, sekaligus menepis anggapan public tentang kuatnya rivalitas antar aparat penegak hukum yang tidak produktif bagi agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.
Keempat, pemerintah harus mengevaluasi secara sungguh-sungguh implementasi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) yang telah berjalan selama ini. Evaluasi itu diarahkan khususnya pada agenda pencegahan (reformasi birokrasi) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Hal ini penting dilakukan mengingat tanpa ada dorongan untuk melakukan reformasi birokrasi, maka korupsi akan selalu terjadi dan berulang-ulang, meskipun upaya penegakan hukum gencar dilakukan.
Kelima, Partai politik harus memiliki aksi konkret untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi mengingat aktor korupsi yang dominan adalah para politisi, baik yang menjabat pada lembaga eksekutif maupun pada lembaga legislative dan yudikatif. Hal itu dapat dilakukan dengan mereformasi sistem akuntabilitas dan transparansi kepada publik dalam kaitannya dengan isu rekrutmen politik dan pendanaan politik.
Keenam, pengadilan harus menjadi inspirasi bagi tumbuhnya rasa ketakutan (efek jera) bagi siapapun untuk melakukan korupsi. Hal itu dilakukan dengan memberikan putusan yang berat dan tegas bagi koruptor sebagaimana mulai diperlihatkan dalam lingkup pengadilan Tipikor.

Agenda penegakan hukum pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun ini mengalami beberapa perkembangan yang cukup berarti dengan ditanganinya beberapa kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat tinggi negara, dimana hal ini tidak terjadi pada periode kekuasaan sebelumnya. Akan tetapi agenda pemberantasan korupsi tidak ditunjang oleh sikap yang bulat dan perspektif yang sama dari berbagai elemen penegak hukum sehingga dalam prakteknya memunculkan sejumlah kontroversi sebagaimana terjadi pada penanganan kasus century, BLBI, dan kasus bulog .
Pembiaran terhadap praktek korupsi yang bermotif politik-ekonomi akan mendistorsi agenda pembangunan karena alokasi anggaran lantas diarahkan pada proyek-proyek mercusuar yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan real masyarakat. Proyek-proyek tersebut sengaja didisain untuk rentan dengan korupsi karena dirumuskan tanpa pendekatan yang partisipatif dan dipenuhi oleh selubung kepentingan dari para pemburu rente (rent seeker). Akibatnya persoalan-persoalan dasar masyarakat seperti kemiskinan dan kesehatan tidak dapat diselesaikan karena berada pada prioritas yang nomor sekian, dikalahkan oleh proyek-proyek mercusuar yang menjadi ajang pesta pora anggaran oleh para koruptor.
Pengadilan umum belum memberikan dukungan yang cukup bagi upaya pemberantasan korupsi. Banyak vonis yang berujung bebas. Jikapun kemudian divonis bersalah, rata-rata hukumannya ringan. Sebaliknya arus dukungan mulai nampak di pengadilan Tipikor. Seolah bergerak berlawanan, pengadilan tipikor tampaknya memiliki sikap yang tegas terhadap koruptor sehingga vonis yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi cukup berat. Harapannya, trend ini akan diikuti oleh para hakim yang bekerja di pengadilan umum.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Republik Yang di Tinggalkan Publik

Cicero dalam Des Res Publica I (XXV 39), menyatakan bahwa ”Res publica res populi, populus autem non omnis hominum coetus qua-qua modo congregatus, sed coetus multitudinis iuris consensus et utilitatis communione sociatus.” Di dalam kalimat ini terdapat unsur-unsur hakiki bila sebuah kebersamaan yang disebut sebagai republik ini terus berlangsung. Makna republik berakar pada kata pada res publica yang memuat kata coetus (perkumpulan), congregatus (keterhimpunan), consensus (kesepakatan, kesaturasaan), utilitas (kefaedahan, kegunaan, kepentingan, kebaikan mutu), communia (persekutuan, kebersamaan).
Republik dengan demikian identik dengan segala hal milik umum (res publica), milik rakyat (res populi) tetapi bukan rakyat dalam konteks kerumunan (crowd) orang-orang yang sembarang berkumpul, melainkan perkumpulan (coetus) sejumlah besar orang yang bergabung (sociatus) di dalam satu rasa (consensus) untuk menghormati keadilan hukum (ius) dan persekutuan demi kebaikan bersama (utilitatis communione).
Menelusuri segi dan sudut negara Indonesia, menjelajahi ruang demi ruangnya, mengikuti jejak demi jejak waktunya, dan mencatat penggal demi penggal sejarahnya khususnya pasca orde baru merupakan perjalanan yang menggairahkan sekaligus melelahkan.
Negara “Republik” Indonesia telah membawa “Publik” berlari ketakutan, panik dan frustasi karena ketidakpastian proses dan tujuan lahirnya sebuah negara “Republik”. Cinta negara sudah dibuang, keadilan tak kunjung datang, kesedihan hanya tontonan bagi mereka (pejabat publik) yang diperbudak jabatan, mengutip penggalan lagu berjudul “Bongkar” dari Iwan Fals.
Negara (republik) terus berlari, tanpa meninggalkan citra dan jejak pemilik sah (publik) dibelakangnya. Jejak-jejak publik itu kini tenggelam di antara deru mesin-mesin hasrat kekuasaan, prestise, kesombongan, gaya hidup serta ketamakan yang dilakonkan oleh pejabat publik. Mereka telah menciptakan negara “tandingan” yang menganggap dirinya dapat mengambil alih “kekuasaan” publik (rakyat). Akhirnya negara republik yang angkuh ini, kini telah ditinggal pergi pemiliknya (publik/rakyat).
Publik (rakyat) mungkin telah bosan melihat dan menyaksikan wakil mereka berpikir, berkata dan berbuat melampaui batas-batas yang digariskan oleh konstitusi. Pejabat publik kita tidak lagi merasa bersalah atas segala perbuatannya (KKN sebagai hobi), bahkan bangga dengan dosa-dosanya (pelanggaran HAM, praktik politik dagang sapi, korupsi berjamah, kebijakan publik yang tidak berpihak bahkan bersinggungan atas kepentingan dan kehendak rakyat misalnya  kebijkan tentang pembangunan gedung baru DPR, penanganan musibah lumpur LAPINDO yang sampai hari ini masih menjadi seruan korbannya, dan lain-lain).
Kausalitas (sebab dan akibat)
Publik meninggalkan republik bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Hal ini lebih disebabkan karena hasrat (kekuasaan, kekayaan dan popularitas), karena kegilaan ( ekonomi, politik, hukum, media dan informasi), karena skenario ( skenario legalisasi korupsi, skenario pembiaran masyarakat miskin, skenario politik oligarki, hingga skenario kekerasan dan pertikaian kelompok masyarakat), karena obsesi (obsesi kepemilikan kekuasaan, obsesi menjadikan lembaga negara sebagai suaka profesi pencari nafkah) serta karena pengingkaran (pengingkaran kedaulatan melalui kebijakan yang tidak memihak dan bahkan bersinggungan terhadap kepentingan dan kehendak rakyat, pengingkaran konstitusi melalui penciptaan regulasi yang terkesan melegalisasi segala bentuk kepentingan pejabat publik).
Fenomena republik ditinggalkan publik, mau tidak mau serta sadar maupun tidak telah menimbulkan berbagai patologi fsikis pada sebagian besar rakyat Indonesia. Patologi yang dimaksud adalah lahirnya budaya panik kemasyarakatan, yaitu kondisi mental masyarakat yang ditandai oleh ketakutan yang menyebabkan mereka berlari atau melakukan tindakan cepat yang terkadang tanpa arah. Dan republik masa kinilah yang telah memproduksi berbagai “panorama” panik tersebut. Diantara panorama panik yang dimaksud adalah pertama, panik informasi yaitu ketika informasi yang diproduksi pejabat publik melalui media massa menghampiri masyarakat sebagai bom informasi, informasi kepada masyarakat yang sarat dengan politik kepentingan memiliki kecendurungan tidak mampu dicerna, dianalisis bahkan disikapi secara bijak oleh masyarakat karena kurangnya pendidikan politik terhadap mereka. Hal inilah yang kemudian menciptakan absennya partisipasi aktif terhadap segala action politik suprastruktur politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Kedua, panik konsumtif yaitu ketika budaya konsumsi berlangsung seperti mesin penyedot (vakum cleaner) raksasa. Masyarakat selalu dikonsepsikan oleh penguasa sebagai obyek politik yang siap mengkonsumsi apa saja dari setiap kebijakan politik. Misalnya keijakan konversi minyak tanah ke gas beberapa waktu lalu. Kebijakan tersebut sempat menggemparkan masyarakat karena kebijakan yang awalnya diyakini memberikan harapan kemaslahatan justru menciptakan malapetaka. Hal itu begitu dirasakan masyarakat setelah berjatuhannya korban atas ledakan tabung gas dispensasi dari pemerintah tersebut.
Ketiga, panik tontonan, yaitu ketika tontonan menghujani masyarakat layaknya bom tontonan. Media massa baik eletronik maupun cetak mempertontonkan apa saja tanpa mempertimbanghkan eksesnya terhadap masyarakat, apalagi ditambah dengan ketidakmampuan masyarakat menangkap spiritnya. Tontonan menulari setiap wacana dan terkemas melalui berbagai bentuk yang sarat bebas nilai, misalnya tontotan yang berbau fornografi dan fornoaksi, kekerasan hingga pertikaian politik.
Keempat, panik kapital, yaitu ketika capital mengalir tanpa interupsi didalam sistem moneter global yang bergerak tanpa henti selama 24 jam non stop, tanpa pernah menyentuh sektor rill. Indeks pertumbuhan ekonomi negara diagung-agungkan mengalami pertumbuhan yang pesat tetapi pengangguran dan kemiskinan masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Kelima, panik hukum, yaitu ketika hukum dan keadilan menampakan wajah penindasannya. Hukum hanya untuk penguasa dan kelompok masyarakat mapan, menggilas masyarakat miskin tanpa tedeng aling-aling. Dengan kondisi yang seperti itu, masyarakat kemudian meresponnya dengan memberlakukan hukum adat dan terkadang main hakim sendiri.
Keenam, panik politik, yaitu ketika politik dipandang serba kotor, buruk dan hina. Berdasarkan persepsi yang semacam ini maka lahirlah sindrom ilfil politik masyarakat misalnya melalui sikap golput oleh sebagian masyarakat dalam pemilu, dan lahirlah apatisme politik yang semakin membudayakan politik uang dalam pemilu, sehingga anekdot masyarakat tentang “bayar dulu baru kami pilih”. bukanlah sempalan proposisi semata.
Republik tanpa publik telah berkembang sedemikian rupa menjadi sebuah “refresi” tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di semua negara di dunia termasuk negara maju sekalipun. Hal ini berlangsung lebih karena spirit kegilaan pejabat publik. Oleh sebab itulah sistem pemerintahan di Indonesia lebih layak disebut sebagai sistem pemerintahan koboy. Sistem pemerintahan yang dilandaskan atas semangat maskulinitas, kekuasaan, keangkuhan, dan hasrat mendominasi. Atau ia lebih layak disebut sebagai system patriarki, dimana didalamnya pria (penguasa) mendominasi sekaligus merefresi kedaulatan rakyat sebagai “ibu pertiwinya”. Semangat politik pemerintahan maskulinitas inilah yang kini telah membuang cinta, kasih sayang, kelembutan, kesantunan, kehalusan budi, kearifan, kebijaksanaan, dan kesalehan serta melenyapkan keadilan dan kebenaran, melestarikan kesedihan yang menjadi tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan.
Itulah yang seharusnya membuat rakyat ini marah. Berbagai tindakan menunjukkan kesadaran bahwa Republik ini tergerus maknanya secara terus-menerus. Res publica yang mengandung arti untuk kepentingan publik, ternyata tidak demikian. Bangunan rumah bersama yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa yang sejak awal meletakkan kedaulatan rakyat sebagai cita Republik ini, hancur oleh tindakan yang mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Dalam res publica, negara harus berdiri di tengah kepentingan umum, bukan kepentingam perorangan.
Ini semua menunjukkan bangunan Republik yang sudah rapuh, dan tinggal menunggu kehancurannya. Penguasa sudah melupakan makna hakiki Republik dengan cara abai terhadap persoalan-persoalan publik. Padahal, dalam kasus-kasus seperti inilah kewibawaan, harkat, dan harga diri negara berserta orang-orang di dalamnya dipertaruhkan.
Cita-cita ”kemakmuran bersama” lama-lama menjadi mitos. Bumi, air, dan kekayaan alam sudah bukan milik Republik lagi, tetapi milik mereka: para pemilik modal. Mereka berkolaborasi membuat sebuah kebijakan agar kekayaan alam bangsa ini bisa dikuras habis untuk memperkaya kedudukan bisnis mereka. Tidak peduli itu merusak alam dan manusia. Bangsa ini telah kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya.
Ruang publik kita hanya diisi oleh kaum petualang yang menggunakan gelar hebat tapi tidak ada isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Tetapi realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan.
Cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh para pendiri Republik seolah luntur. Barangkali tak pernah disangka para pendiri Republik jika akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir penjajahan, kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan. Ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi, sosial, budaya) dilakukan oleh bangsa sendiri melalui berbagai persekongkolan jahat. Dalihnya kemakmuran, tapi yang jelas adalah ketertindasan.
Oleh: Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)