Laman

Rabu, 20 Juli 2011

Republik Nihilisme

Iklim berbangsa dan bernegara kita beberapa dekade terakhir, khususnya pasca reformasi tidak pernah absen dari pembredelan makna dari term “Republik”. Hal tersebut semakin mengafirmasi bahwa di negara kita telah terjadi apa yang disebut Republik Nihilisme. Yang dimaksud dari terminologi tersebut adalah suatu kondisi kehampaan makna (meaninglessness), harapan (hopelessnes), dan cinta (lovelessness) oleh publik dalam praktik berbangsa dan bernegara, yang diakibatkan oleh perilaku kepemilikan negara yang diperagakan oleh para politisi di suprasruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Republik hampa makna, harapan dan cinta.
Ia hampa makna karena republik hanya memiliki makna tunggal sebagai sarana melegalisasi kepentingan individu dan kelompok untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Ia hampa makna karena hampir sulit menyaksikan penerjemahan ideologi, cita-cita dan platform negara. Ia hampa harapan karena hampir sulit pula menyaksikan aktualisasi ikrar kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Terlebih lagi dasar atau ideologi negara (PANCASILA) hanya dijadikan azhimad politik. Serta ia hampa cinta karena segala cara bisa dilakukan oleh politisi untuk mencapai kekuasaan, bahkan yang terkeji sekalipun.
Kausalitas (sebab dan akibat)
Term nihilisme republik Indonesia bukanlah sesuatu yang lahir dari ruang hampa baik dalam dimensi ruang maupun waktu keilmuan. Term ini digunakan penulis karena menyaksikan pertarungan politik yang tidak seimbang. Disatu pihak masyarakat marjinal sebagai kubuh pertama, selalu beromantisme dengan kekalahan dan penderitaan politik, sementara dipihak yang lain, penguasa sebagai kubuh tandingan selalu menjadi pemenang sepanjang masa tanpa jeda.
Spesifikasi kausa (sebab) yang menjadi kontributor dan promotor utama dari situasi dan kondisi demikian, bukan hanya disebabkan hasrat (kekuasaan, kekayaan dan popularitas), kegilaan ( ekonomi, politik, hukum, media dan informasi), skenario ( skenario legalisasi korupsi, skenario pembiaran masyarakat miskin, skenario politik oligarki, hingga skenario kekerasan dan pertikaian kelompok masyarakat), obsesi (obsesi kepemilikan kekuasaan, obsesi menjadikan lembaga negara sebagai suaka profesi pencari nafkah), tetapi juga karena pengingkaran (pengingkaran kedaulatan melalui kebijakan yang tidak memihak dan bahkan bersinggungan terhadap kepentingan dan kehendak rakyat, pengingkaran konstitusi melalui penciptaan regulasi yang terkesan melegalisasi segala bentuk kepentingan pejabat publik).
Fenomena kehampaan republik dan republik kehampaan tersebut, mau tidak mau serta sadar maupun tidak, telah menimbulkan berbagai patologi fsikis pada sebagian besar rakyat Indonesia. Patologi yang dimaksud adalah lahirnya budaya panik berbangsa dan bernegara. Panik dikatakan membudaya, manakala masyarakat mengalami kondisi mental yang ditandai dengan ketakutan berlebihan sehingga menyebabkan mereka berlari atau melakukan tindakan cepat yang terkadang tanpa arah untuk sebisa mungkin menghindari obyek kepanikan tersebut.
Republik masa kini Indonesia telah memproduksi berbagai “panorama” panik tersebut. Diantara panorama panik yang dimaksud adalah pertama, panik informasi yaitu ketika informasi yang diproduksi pejabat publik melalui media massa menghampiri masyarakat sebagai bom informasi, informasi kepada masyarakat yang sarat dengan politik kepentingan memiliki kecendurungan tidak mampu dicerna, dianalisis bahkan disikapi secara bijak oleh masyarakat karena kurangnya pendidikan politik terhadap mereka. Hal inilah yang kemudian menciptakan absennya partisipasi aktif terhadap segala action politik suprastruktur politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Kedua, panik konsumtif yaitu ketika budaya konsumsi berlangsung seperti mesin penyedot (vakum cleaner) raksasa. Masyarakat selalu dikonsepsikan oleh penguasa sebagai obyek politik yang siap mengkonsumsi apa saja dari setiap kebijakan politik. Misalnya keijakan konversi minyak tanah ke gas beberapa waktu lalu. Kebijakan tersebut sempat menggemparkan masyarakat karena kebijakan yang awalnya diyakini memberikan harapan kemaslahatan justru menciptakan malapetaka. Hal itu begitu dirasakan masyarakat setelah berjatuhannya korban atas ledakan tabung gas dispensasi dari pemerintah tersebut.
Ketiga, panik tontonan, yaitu ketika tontonan menghujani masyarakat layaknya bom tontonan. Media massa baik eletronik maupun cetak mempertontonkan apa saja tanpa mempertimbanghkan eksesnya terhadap masyarakat, apalagi ditambah dengan ketidakmampuan masyarakat menangkap spiritnya. Tontonan menulari setiap wacana dan terkemas melalui berbagai bentuk yang sarat bebas nilai, misalnya tontotan yang berbau fornografi dan fornoaksi, kekerasan hingga pertikaian politik.
Keempat, panik kapital, yaitu ketika capital mengalir tanpa interupsi didalam sistem moneter global yang bergerak tanpa henti selama 24 jam non stop, tanpa pernah menyentuh sektor rill. Indeks pertumbuhan ekonomi negara diagung-agungkan mengalami pertumbuhan yang pesat tetapi pengangguran dan kemiskinan masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Kelima, panik hukum, yaitu ketika hukum dan keadilan menampakan wajah penindasannya. Hukum hanya untuk penguasa dan kelompok masyarakat mapan, menggilas masyarakat miskin tanpa tedeng aling-aling. Dengan kondisi yang seperti itu, masyarakat kemudian meresponnya dengan memberlakukan hukum adat dan terkadang main hakim sendiri.
Keenam, panik politik, yaitu ketika politik dipandang serba kotor, buruk dan hina. Berdasarkan persepsi yang semacam ini maka lahirlah sindrom ilfil politik masyarakat misalnya melalui sikap golput oleh sebagian masyarakat dalam pemilu, dan lahirlah apatisme politik yang semakin membudayakan politik uang dalam pemilu, sehingga anekdot masyarakat tentang “bayar dulu baru kami pilih" bukanlah sempalan proposisi semata.
Republik Nihilisme dan nihilisme republik telah berkembang sedemikian rupa menjadi sebuah “refresi” tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di semua negara di dunia termasuk negara maju sekalipun. Hal ini berlangsung lebih karena spirit kegilaan pejabat publik. Oleh sebab itulah sistem pemerintahan di Indonesia lebih layak disebut sebagai sistem pemerintahan koboy. Sistem pemerintahan yang dilandaskan atas semangat maskulinitas, kekuasaan, keangkuhan, dan hasrat mendominasi. Atau ia lebih layak disebut sebagai system patriarki, dimana didalamnya pria (penguasa) mendominasi sekaligus merefresi kedaulatan rakyat sebagai “ibu pertiwinya”. Semangat politik pemerintahan maskulinitas inilah yang kini telah membuang cinta, kasih sayang, kelembutan, kesantunan, kehalusan budi, kearifan, kebijaksanaan, dan kesalehan serta melenyapkan keadilan dan kebenaran, melestarikan kesedihan yang menjadi tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan.
Itulah yang seharusnya membuat rakyat ini marah. Berbagai tindakan menunjukkan kesadaran bahwa Republik ini tergerus maknanya secara terus-menerus. Res publica yang mengandung arti untuk kepentingan publik, ternyata tidak demikian. Bangunan rumah bersama yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa yang sejak awal meletakkan kedaulatan rakyat sebagai cita Republik ini, hancur oleh tindakan yang mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Dalam res publica, negara harus berdiri di tengah kepentingan umum, bukan kepentingam perorangan.
Ini semua menunjukkan bangunan Republik yang sudah rapuh, dan tinggal menunggu kehancurannya. Penguasa sudah melupakan makna hakiki Republik dengan cara abai terhadap persoalan-persoalan publik. Padahal, dalam kasus-kasus seperti inilah kewibawaan, harkat, dan harga diri negara berserta orang-orang di dalamnya dipertaruhkan.
Cita-cita ”kemakmuran bersama” lama-lama menjadi mitos. Bumi, air, dan kekayaan alam sudah bukan milik Republik lagi, tetapi milik mereka: para pemilik modal. Mereka berkolaborasi membuat sebuah kebijakan agar kekayaan alam bangsa ini bisa dikuras habis untuk memperkaya kedudukan bisnis mereka. Tidak peduli itu merusak alam dan manusia. Bangsa ini telah kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya.
Ruang publik kita hanya diisi oleh kaum petualang yang menggunakan gelar hebat tapi tidak ada isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Tetapi realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan.
Cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh para pendiri Republik seolah luntur. Barangkali tak pernah disangka para pendiri Republik jika akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir penjajahan, kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan. Ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi, sosial, budaya) dilakukan oleh bangsa sendiri melalui berbagai persekongkolan jahat. Dalihnya kemakmuran, tapi yang jelas adalah ketertindasan.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)