Laman

Selasa, 24 Mei 2011

NASIONALISME (PLURALISME VS PRIMORDIALISME)


NASIONALISME (PLURALISME VS PRIMORDIALISME)
Ketika setiap anak dari bangsa ini dilahirkan, tidak pernah terbersit meski hanya secuil sekalipun kandungan nalurinya yang primordial, mulai dari yang sifatnya cultural hingga structural-fungsional, mulai dari primordialisme tingkat keluarga hingga tingkat Negara. Sebab ketika si anak lahir ke dunia ini, dia hanya membawa kebaikan,kesucian dan kesempurnaan yang bersifat potensial jika dan hanya jika bermetamorfosis ke tataran aktual bila memenuhi syarat-syarat untuk menjadi manusia (individu dan masyarakat) yang baik, suci dan sempurna. Ibarat sebuah biji yang punya potensi pohon hingga pohon tersebut berbuah jika dan hanya jika menjadi pohon yang actual bila memenuhi syarat perkembangan dan pertumbuhannya yaitu tanah yang subur, kadar air yang cukup, suhu, kelembaban tanah, sirkulasi sinar matahari yang cukup, bebas dari tanaman parasit dan lain-lain. Setiap anak dari bangsa yang lahir ditanah air ibu pertiwi ini tidak pernah menginginkan untuk menjadi manusia (individu dan masyarakat) yang secara actual merupakan ancaman terhadap hakikat nasionalisme yang bersifat pluralisme.
Nasionalisme berasal dari kata “nation” yang berasal dari kata lain nasci yang berarti lahir. Kata ini mulai digunakan pada abad ke-13 untuk mengidentifikasi sekelompok orang yang mempunyai kesamaan berdasarkan kelahiran ataupun cirri-ciri fisikal lainnya. Baru pada abad ke-18 istilah nasionalisme menjadi lebih politis dan inklusif. Austin barel, menggunakan kata ini untuk pertama kalinyya pada tahun 1789 (kamenka,1976). Terinspirasi oleh pemikiran Jean Jaques Rousseau mengenai “general will” dan “popular sovereignity”, Austin mengaitkan jargon nasionalisme dengan semangang juang rakyat Prancis yang digambarkan sebagai pemegang kedaulatan Prancis, untuk melawan rezim Louis XVI. Sejak itulah Nasionalisme dalam konteks gerakan perlawanan terhadap penguasa menjelma menjadi doktrin dan kredo politik yang sangat kuat dan berpengaruh. Pada perkembangan selanjutnya virus nasionalisme menyebar ke asia dan eropa dalam bentuk perlawanan terhadap koloniialisme. Menariknya, karakter nasionalisme bias berubah karena berbagai faktor politik. Ketika Nasionalisme dipahami sebagai reaksi perlawanan terhadap dominasi unsure lain maka dia memiliki karakter liberalis atau sebagai pembebas dalam konteks kemerdekaan, keadilan dan demokrasi. Ini merupakan konsep nasionalisme yang paling tua seperti diilustrasikan pada masa revolusi Prancis saat Liberalism dan Nasionalisme seakan tiidak bisa dipisahkan. Pada situasi kompetisi dan persaingan internasional, saat tumbuh ketidak kepercayaan, ketakutan ataupun kebencian terhadap Negara lain, Nasionalisme kemudian menyelma menjadi Nasionalisme Chauvinis-Ekpansionis seperti yang pernah dilakukan oleh hitler dan partai nazinya untuk menguasai dunia. Pada periode pasca-kolonial, dan seiring dengan pengaruh kekuatan amerika serikat yang semakin kokoh, kritik terhadap paradiqma madernisasi dalam menjelaskan pembangunan di Negara-negara ketiga mulai marak. Paradigm devedensi mulai tampil sebagai pemikiran alternative dari Negara dunia ketiga sebagi reaksi atas berbagai kebijakan barat yang dinilai banyak memberikan dampak negative pada proses pembangunan dinegara dunia ketiga. Kiprah Negara-negara barat ini kemudian mulai diartikan sebagai neo-kolonialisme dan oleh beberapa rezim pemerintahan dijadikan landasan untuk membangun jargon nasionalisme baru, yaitu memobilisasi dukungan rakyat untuk menolak dominasi ide, kebudayaan dan tentu saja ekonomi barat. Mengingat para pionir dari paradigm devedensi adalah ilmuwan yang sangat terilhami oleh pemikiran-pemikiran marxis, maka nasionalisme ini dikategorikan Nasionalisme Sosialisme-Populis. Pada situasi tertentu nasionalisme juga dapat mempunyai karakter yang konservatif, yaitu ketika dipahami sebagai suatu doktrin untuk mempertahankan tatanan dan pranata social serta stabilitas. Prinsip utama dari nasionalisme konservatif adalah mempertahankan persatuan dengan membangkitkan semangat patriotic dan kecintaan terhadap Negara. Nasionalisme kemudian lebih identik dengan pelestarian norma dan institusi tradisional yang cenderung backward looking karena upaya-upayanya yang mencoba untuk mengahadirkan kembali kejayaan-kejayaan masa lalu. Memasuki peradaban umat manusia yang semakin hari semakin mengarah kepada penyatuan universal dari semua Negara dimana tingkat teknologi dan informasi yang serba canggih maka Negara yang satu dan Negara yang lain tidak lagi dibatasi oleh teritorial dan waktu untuk saling berhubungan. Artinya proyeksi “world as a global village” perlahan tapi pasti sedang menuju kenyataan yaitu loyalitas manusia (individu dan masyarakat) praksis akan berada dalam konteks keterikatan global pula dan inilah yang sering disebut sebagai “the end of nasionalism”. Antony giddens menyodorkan konsep Nasionalisme Kosmopolis untuk mengatasi persoalan globalisasi dalam bingkai tehnologi dan informasi yang sangat kuat dewasa ini. Nasionalisme kosmopolis ala giddens adalah suatu paham kebangsaan yang didalamnya terdapat kepekaan sama dari individu baik sebagai warga Negara local, nasional, maupun global. Artinya ada sebuah konsep penerimaan terhadap identitas lain senafas dengan rasa kebangsaan dan identitas-identitas  nasional selalu berada dalam lingkaran kolaboratif dan jauh dari konotasi chauvinistik. Teori Nasionalime dari Anthony Giddens ini yang kemudian oleh penulis menyebutnya sebagai Nasionalisme-Pluralis atau Nasionalisme yang berkarakter Pluralisme.
Bangsa dan Negara Indonesia yang memiliki tingkat kemajemukan paling kompleks dibanding dengan Negara-negara lain di seluruh dunia, seharusnya mengukuhkan konsep Nasionalisme yang lebih Pluralis. Sungguh ironis jika kemudian menyaksikan kehidupan berbangsa dan bernegara beberapa dekade terakhir ini. Mulai dari tingkat penguasa hingga masyarakat umum ternyata masih juga tabu terhadap perbedaan yang ada bahkan cenderung membeda-bedakan antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Yang satu lebih mulia dan benar sedang yang lain hina dan sesat.
Jadi tidaklah mengherankan jika kemudian kepemimpinan bangsa ini masih berwatak kagetan, terutama dalam mendengarkan suara-suara beragam dari Pluralisme (social). Penguasa dan masyarakat masih banyak yang kurang arif dan bijak dalam mengkonklusikan perbedaan (pluralisme). Penguasa dan masyarakat yang berwatak bingung, keget dan emosional dalam mendengarkan suara yang bernada pluralisme sesungguhnya akan melahirkan produk karakter berbangsa dan bernegara yang sektarianisme dan primordialisme. Kepemimpinan yang lahir juga adalah kepemimpinan sektarianisme dan fsikologi kepemimpinannya pun niscaya subyektif. Sedemikian khawatir terhadap pluralisme, penguasa tidak jarang mengeluarkan kebijakan yang over- posesif hingga kembali terjerumus pada otoritarianisme.
Nampaknya hari ini, sebagai bangsa, kita justru perlahan-lahan kehilangan “rohani nasionalisme” yang paling mendasar. Nasionalisme adalah cinta kasih, ketulusan,empati dan kejujuran terhadap sesama bangsa. Sepertinya nasionalisme yang dulu pernah berurat-akar perlahan terceraikan setelah setiap elemen bangsa ketika itu melakukan ijab kabul selama pra kemerdekaan dan awal-awal pasca-kemerdekaan. Kita juga lupa bahwa bangsa Indonesia adalah manusia-manusia yang lebih dari sekedar factor-faktor, anasir-anasir, tentakel, dan spectator atau titik belaka dalam dalam barisan strategi pembangunan nasional. Manusia atau rakyat kita kalah penting disbanding KTP dan STNK, hati nurani menjadi non sense dan digantikan dengan slogan dan eufemisme, nasionalisme yang murni dikalahkan oleh pretice, uang dan relasi. Mutiara-mutiara pemikiran, kecerdasan, inovasi dan segala kontribusi positif bagi kemajuan bangsa, diperlakukan lebih rendah ketimbang multi-prostitusi konstitusi oleh penguasa. Akhirnya bangsa ini kehilangan mental dan nilai kemanusiaan hakiki.
Setiap  dari anak yang lahir, adalah anak bangsa yang belajar menyadari identitasnya melalui symbol-simbol primordial mulai dari tahapan atau tingkat primordialisme Family, kampong halaman, suku dan rasnya, agama, Negara hingga tingkat global. Ketika dewasa, kita harus memahami dinamika dan titik-titik orbit di tengah rentang dialektika antara primordialisme dan universalisme. Dan pada saat yang sama, kita harus tepat dan proporsional menemukan konteks-konteks nasionalisme dalam setiap perilaku diberbagai bidang kehidupan yang digeluti. Titik-titik orbit itu sangat penting bagi setiap warga Negara khususnya oleh para pemimpin untuk belajar dan menemukannya. Titik-titik orbit tersebut sangat terkait dengan Demokrasi dan Stabilitas, Kebebasan dan Keterbatasan, Dinamika dan Kemapanan, Kreativitas dan ketertataan, hingga Primordialisme dan Universalisme. Sesungguhnya Nasionalisme adalah skala atau kadar tertentu dari Primordialisme.
Sebagai bangsa dan Negara, nampaknya kita perlu berpikir secara kontemplatif dan merembukkan kembali hubungan dan kaitan antara Primordialisme, Nasionalisme dan universalisme mulai dari level pemikiran filosofis-ideologis hingga pada tingkat operasinal strategi. Perlu ada peneguhan Nasionalisme yang murni dan sejati bagi peradaban bangsa dan Negara ini sebab hal ini sangat mempengaruhi tingkat katahanan nasional kita sebagai bangsa dan Negara yang berdaulat. Secara cultural, pokok soal dari bangunan ketahan nasional adalah upaya Negara menuju kesejahteraan dan keadilan multi-dimensional bagi seluruh bangsa.
Nasionalisme (ketahanan nasional) tidaklah parallel dengan mutlaknya kekuasaan pemerintah atas rakyat dimana format dalam hal wajah dan muatan rakyat, bahkan cara berpikir dan berprilaku harus seragam dengan kepentingan pemerintah dalam menentukan dan membuat setiap kebijakan.
Dan satu hal yang harus tertanam dalam tempurung kepala warga Negara bahwa Indonesia adalah Nation-State (Negara-bangsa), dimana bangsa adalah nucleus subyek atau substansi sedang Negara adalah perangkat teknis yang berfungsi untuk mensejahterakan jasmani dan rohani, serta inteleqtual bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar