Laman

Selasa, 24 Mei 2011

HARI KEBANGKITAN NASIONAL, MENGGUGAT?


HARI KEBANGKITAN NASIONAL, MENGGUGAT?

Nasionalisme berasal dari kata “nation” yang berasal dari kata lain nasci yang berarti lahir. Kata ini mulai digunakan pada abad ke-13 untuk mengidentifikasi sekelompok orang yang mempunyai kesamaan berdasarkan kelahiran ataupun cirri-ciri fisikal lainnya. Baru pada abad ke-18 istilah nasionalisme menjadi lebih politis dan inklusif. Austin barel, menggunakan kata ini untuk pertama kalinyya pada tahun 1789 (kamenka,1976). Terinspirasi oleh pemikiran Jean Jaques Rousseau mengenai “general will” dan “popular sovereignity”, Austin mengaitkan jargon nasionalisme dengan semangang juang rakyat Prancis yang digambarkan sebagai pemegang kedaulatan Prancis, untuk melawan rezim Louis XVI. Sejak itulah Nasionalisme dalam konteks gerakan perlawanan terhadap penguasa menjelma menjadi doktrin dan kredo politik yang sangat kuat dan berpengaruh. Pada perkembangan selanjutnya virus nasionalisme menyebar ke asia dan eropa dalam bentuk perlawanan terhadap koloniialisme. Menariknya, karakter nasionalisme bias berubah karena berbagai faktor politik. Ketika Nasionalisme dipahami sebagai reaksi perlawanan terhadap dominasi unsure lain maka dia memiliki karakter liberalis atau sebagai pembebas dalam konteks kemerdekaan, keadilan dan demokrasi. Ini merupakan konsep nasionalisme yang paling tua seperti diilustrasikan pada masa revolusi Prancis saat Liberalism dan Nasionalisme seakan tiidak bisa dipisahkan. Pada situasi kompetisi dan persaingan internasional, saat tumbuh ketidak kepercayaan, ketakutan ataupun kebencian terhadap Negara lain, Nasionalisme kemudian menyelma menjadi Nasionalisme Chauvinis-Ekpansionis seperti yang pernah dilakukan oleh hitler dan partai nazinya untuk menguasai dunia. Pada periode pasca-kolonial, dan seiring dengan pengaruh kekuatan amerika serikat yang semakin kokoh, kritik terhadap paradiqma madernisasi dalam menjelaskan pembangunan di Negara-negara ketiga mulai marak. Paradigm devedensi mulai tampil sebagai pemikiran alternative dari Negara dunia ketiga sebagi reaksi atas berbagai kebijakan barat yang dinilai banyak memberikan dampak negative pada proses pembangunan dinegara dunia ketiga. Kiprah Negara-negara barat ini kemudian mulai diartikan sebagai neo-kolonialisme dan oleh beberapa rezim pemerintahan dijadikan landasan untuk membangun jargon nasionalisme baru, yaitu memobilisasi dukungan rakyat untuk menolak dominasi ide, kebudayaan dan tentu saja ekonomi barat. Mengingat para pionir dari paradigm devedensi adalah ilmuwan yang sangat terilhami oleh pemikiran-pemikiran marxis, maka nasionalisme ini dikategorikan Nasionalisme Sosialisme-Populis. Pada situasi tertentu nasionalisme juga dapat mempunyai karakter yang konservatif, yaitu ketika dipahami sebagai suatu doktrin untuk mempertahankan tatanan dan pranata social serta stabilitas. Prinsip utama dari nasionalisme konservatif adalah mempertahankan persatuan dengan membangkitkan semangat patriotic dan kecintaan terhadap Negara. Nasionalisme kemudian lebih identik dengan pelestarian norma dan institusi tradisional yang cenderung backward looking karena upaya-upayanya yang mencoba untuk mengahadirkan kembali kejayaan-kejayaan masa lalu. Memasuki peradaban umat manusia yang semakin hari semakin mengarah kepada penyatuan universal dari semua Negara dimana tingkat teknologi dan informasi yang serba canggih maka Negara yang satu dan Negara yang lain tidak lagi dibatasi oleh teritorial dan waktu untuk saling berhubungan. Artinya proyeksi “world as a global village” perlahan tapi pasti sedang menuju kenyataan yaitu loyalitas manusia (individu dan masyarakat) praksis akan berada dalam konteks keterikatan global pula dan inilah yang sering disebut sebagai “the end of nasionalism”. Antony giddens menyodorkan konsep Nasionalisme Kosmopolis untuk mengatasi persoalan globalisasi dalam bingkai tehnologi dan informasi yang sangat kuat dewasa ini. Nasionalisme kosmopolis ala giddens adalah suatu paham kebangsaan yang didalamnya terdapat kepekaan sama dari individu baik sebagai warga Negara local, nasional, maupun global. Artinya ada sebuah konsep penerimaan terhadap identitas lain senafas dengan rasa kebangsaan dan identitas-identitas  nasional selalu berada dalam lingkaran kolaboratif dan jauh dari konotasi chauvinistik. Teori Nasionalime dari Anthony Giddens ini yang kemudian oleh penulis menyebutnya sebagai Nasionalisme-Pluralis atau Nasionalisme yang berkarakter Pluralisme.
Melacak Rekam Jejak Lahirnya Hari Kebangkitan Nasional
Hari Kebangkitan Nasional Indonesia adalah nasionalisme yang seyogyanya sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme. Pembentukan Indonesia sebagai nation selain faktor kesamaan geografis, bahasa, kohesifitas ekonomi, dan yang paling pokok adalah make up psikologis sebagai bangsa terjajah.
Tirto Adhi Suryo adalah bangsawan jawa pelopor pembentuk kesadaran nasionalisme tersebut. Lewat kecakapannya sebagai primbumi terdidik, lahir organisasi modern pertama; Serikat Priayi (SP). Organisasi ini tidak berumur panjang, dan tidak pernah kelihatan memimpin kesadaran politik anti penjajah karena di dalamnya tergabung kaum priayi Jawa yang masih memegang teguh status kepriayiannya. Namun organisasi ini telah menjadi media pertama kali secara struktur kaum pribumi mendiskusikan embrio sebuah Nation. Kesadaran pembentuk nation justru sesungguhnya berasal dari koran bernama “Medan Priayi” yang didirikan Tirto Adhi suryo pada tahun 1907 yang terbit seminggu sekali. Kenapa koran ini yang menjadi peletak dasarnya? Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi. Koran tersebut diterbitkan dengan semboyan: “Suara orang-orang yang terperintah”. Kita masih mengingat bagaimana peranan tulisan telah menentukan proses gerak sejarah bangsa termasuk pembentukan nation, karena tanpa tulisan maka betapa sulitnya menyatukan nusantara yang Terdapat lebih dari ratusan hingga ratusan ribu etnik berbeda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari ratusan bahasa berbeda yang diucapkan di kepulauan Indonesia.
Terobosan nasionalisme yang semakin jelas titik terangnya sebagai media pembentuk kesadaran sebagai sebuah bangsa adalah tulisan Soekarno dalam pengadilan Belanda yang berjudul Indonesia Menggugat. Artikel ini menguraikan dengan jelas dampak buruk dari praktek kolonialisme terhadap kehidupan rakyat indonesia, dan menguras kekayaan alam indonesia. Ada seruan untuk membangun persatuan nasional untuk melawan penjajah, dan mobilisasi-mobilisasi umum untuk melawan kesewenang-wenangan penjajah. Gagasan nasional ini semakin menemukan akar persatuannya tanpa dipaksakan dengan penyelenggaraan sumpah pemuda pada tahun 1928 yang melibatkan pemuda-pemudi, mahasiswa,dan pelajar dari semua kepulauan.

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui.” (Feriderick Nietzche).
Ucapan Nietzche di atas bisa memancing adrenalin warga Negara seantero republik untuk menyingkap fakta sejarah yang menyimpan sejuta rahasia masa lalu yang belum terungkap. Kehadiran Organisasi Boedi Oetomo (20 Mei 1908) misalnya, Secara jujur perlu dipaparkan keabsahannya untuk diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebabnya, organisasi ini bersifat jawa centries, anti agama, tidak berjiwa nasionalis, terang-terangan mendukung kesinambungan penjajahan Belanda dan tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, konon lagi berjuang. Sayangnya, beberapa pakar sejarah berkomplot mengelabui fakta sejarah Indonesia yang sesungguhnya. Padahal sejarah adalah surat keramat, yang selain mengisahkan keagungan, juga menyimpan kepalsuan dan membesar-besarkan suatu peristiwa yang tidak pernah wujud dinyatakan telah terjadi, hingga fakta sejarah yang palsu tadi dianggap sebagai suatu kebenaran sejarah. Dalam konteks ini sikap kritis diperlukan, sebab “siapapun yang mempercayai sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup, sama dengan orang jahiliyah.” (Sayyid Quthb, “Tafsir Baru Atas Realitas”, 1996.)
Sebelum ini dan juga sekarang, orang sudah telanjur mengakui bahwa Budi Utomo adalah embrio dari kebangkitan nasionalisme Indonesia, sekaligus motor penggerak perjuangan kesadaran politik berbangsa dan bernegara serta bercita-cita memerdekakan Indonesia. Benarkah? Ternyata setelah diteliti terbukti bahwa pertemuan yang diadakan oleh organinsasi Budi Utomo sifatnya terbatas, hanya dihadiri oleh kalangan orang-orang Jawa saja (alumnus STOVIA asal Jawa Tengah dan Timur), tidak dihadiri oleh orang Sunda (Jawa Barat), apalagi orang-orang (perwakilan) dari luar pulau Jawa. Agenda pertemuan difokuskan kepada perubahan nasib masa depan politik orang Jawa dan Madura. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 2 Anggaran Dasar Budi Utomo bahwa: “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Jadi, argumentasi KH. Firdaus AN dalam buku: “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” yang menyatakan: “Tidak pernah sekalipun rapat Budi Utomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka” adalah akurat. Apalagi terbukti bahwa, bahasa resmi yang digunakan dalam setiap pertemuan, surat-menyurat, termasuk Anggaran Dasar organisasi ini ditulis dalam bahasa Belanda. Ini berarti, Budi Utomo bersifat ke-Jawa-Madura-an (ethnocentries) dan sama sekali bukan berjiwa kebangsaan (nasionalisme).
Puluhan tahun kemudian, rahasia ini juga terkuak, setelah Ali Sastroamijoyo (salah seorang anggota Budi Utomo) mengaku bahwa tujuan organisasi ini waktu itu memang terbatas bagi kalangan masyarakat Jawa dan Madura saja. Garis perjuangan Budi Utomo yang menggalang kerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda, dibangun atas dasar perubahan politik yang sedang bergulir di Eropa, dari isu kolonialisme yang mengandalkan kekerasan kepada isu demokrasi. Para penasehat politik Belanda berpendapat bahwa, sudah saatnya “politik ethis” dilaksanakan di wilayah “Netherlands East Indie”. Dengan begitu, diharap bisa mengurangi atau meredam ketegangan konflik vertikal. Untuk itu, kepada aktivis Budi Utomo yang sudah dicuci otaknya (brain washing), diangkat menjadi anggota Volkstraad (parlemen) untuk menyuarakan aspirasi politik anak jajahan.
Berangkat dari sini, maka lahirlah beberapa partai politik seperti, PNI, PKI, Partindo, Gerindo, Partai Indonesia Raya (PIR) dll yang mempunyai wakil dalam Volksraad Hindia Belanda. Namun demikian, Budi Utomo tidak memiliki andil sedikitpun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Budi Utomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. Budi Utomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.” (KH. Firdaus AN. “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”
Ketika disadari bahwa ideologi organisasi ini tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan politik yang terjadi, akhirnya Dewan Pengurus sepakat untuk membubarkan organisasi Budi Utomo, 1935. Mereka mengurung diri dari pentas politik dan memenjarakan diri dalam faham kerakyatan yang berciri feodal dan keningratan. Tidak seorangpun diantara mereka yang dijebloskan ke dalam penjara karena alasan menentang kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda.
Fakta diatas, agaknya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa organisasi Budi Utomo tidak pernah memiliki cita-cita untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jadi, sangat naif sekali kalau dikatakan Budi Utomo sebagai embrio dari kebangkitan nasional dan demokrasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukankah Ini a-historis? Membesar-besarkan peranan Budi Utomo, tidak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan.
Paradoks Nasionalisme
Perlu ditekankan disini bahwa Indonesia tidak lahir dari tanah apalagi ruang yang kosong. Darahnya tidak mengalir dari mata air di kaki gunung. Ruhnya tidak ditiup oleh Sang Pencipta di atas sana. Dan seluruh takdirnya di masa lalu, kini, dan masa depan tidak tertera dalam kitab-kitab suci masa lampau. Indonesia adalah anak sejarah yang senantiasa mendekap dalam pelukan sang bunda kala yang mengandung dan membesarkannya. Sebuah ikatan yang membentuk wajah dan watak Indonesia yang penuh dinamika dan diwarnai oleh ambivalensi. Bangunan nasionalisme Indonesia tidak pernah utuh. Didalamnya mengandung serpihan-serpihan yang tidak pernah bisa menyatu, bagai minyak dan air. Imajinasi yang menjadi materi dasar ideologi nasionalisme seperti yang dilontarkan Ben Anderson berubah menjadi arena kekerasan ketika ide kebangsaan berbenturan dengan realitas masyarakat yang penuh dengan fragmen-fragmen sosial budaya yang bersanding diametrikal. Dalam wujud ekstrim, nasionalisme adalah wacana penuh kekerasan, simbolik maupun dalam arti sebenarnya, yang memberangus kemerdekaan individu karena di dalamnya mengandung ikatan kolektif paling primitif yang membentuk identitas. Inilah paradoks nasionalisme yang paling brutal. Dan paradoks ini bersembunyi dengan nyaman di wacana nasionalisme Indonesia tanpa pernah digugat secara tuntas. 
Seratus  tiga (103) tahun kebangkitan nasional mungkin terdengar perkasa. Setidaknya sebagai dongeng buat generasi muda tentang kebesaran negerinya atau mungkin juga untuk  menakut-nakuti negara tetangga yang masih belia (namun indikasi maju). Tetapi Indonesia bukanlah anak kandung bumi pertiwi. “Indonesia” adalah imposisi identitas kaum intelektual Eropa yang kebingungan harus memanggil apa bangsa di kepulauan ini. Dari “kebingungan” itulah Indonesia mungkin terjadi yang kemudian mengalir melalui gagasan modernitas kaum elit Jawa yang ingin mengecap apa rasanya menjadi orang moderen. Inilah awal paradoks nasionalisme Indonesia. Paradoks karena dia tidak pernah ada tetapi ada. Sebuah wujud tanpa bayangan masa lalu. Sebuah diskontinuitas. 
Tetapi bukankah bangsa Indonesia telah ada sejak 5000-an tahun yang lalu seperti Muhammad Yamin pernah bercerita? Ideologi selalu berdiri diatas mitos dan mitos seperti kita pahami tidak segaris dengan realitas. Setiap masyarakat yang memiliki identitas memiliki mitos. Karena identitas adalah mitos yang terinstitusionalisasi. Nasionalisme dimanapun selalu berpijak pada mitos. Dia dapat merujuk pada ancaman, utopia, atau superioritas ras. Adolf Hitler, Sukarno, Deng Xiao Ping, Lee Kuan Yew, Fidel Castro, hingga George W. Bush adalah aktor-aktor yang sangat lihai mengeksploitasi mitos demi tujuan-tujuan politik kebangsaan. Mitos-mitos nasionalisme dilengketkan pada seremoni kenegaraan dan diidentikkan dengan patriotisme dan heroisme.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme dengan cetakan masa lalu. Eksitensi bangsa kepulauan ini dibingkai oleh mitos tentang kerajaan-kerajaan masa silam seperti yang diajarkan oleh guru-guru sejarah di sekolah. Dalam wacana ini, “Indonesia” adalah sebuah kerumuman orang-orang yang sama tuanya dengan tanah dan air di negeri ini. Pada titik ini, diskontinuitas sejarah seakan-akan sirna oleh sebuah mitos yang dihidupkan untuk menghubungkan Indonesia moderen dengan “Indonesia” masa lalu yang jaya, gemah ripah nan sejahtera seperti dalam penggambaran Majapahit yang begitu kental dengan aroma romantisisme. 
Kenyataannya, nasionalisme seperti ini membuat Indonesia masa kini terbelenggu oleh keterbatasan imajinasi ke depan. Nasionalisme bukanlah wacana yang mencari sebuah harmoni melainkan hegemoni. Karenanya tidak heran jika nasionalisme menjadi alat institusi negara yang efektif untuk memobilisasi dukungan massa sekaligus menjadi alat legitimasi untuk memberangus musuh-musuh negara yang dianggap tidak nasionalis. Dalam wacana nasionalisme ala negara, kekuasaan menjadi tujuan utama di mana gagasan-gagasan alternatif tentang makna kebangsaan dikungkung dalam ruangan sempit dan gelap. Itulah nasionalisme Indonesia hasil konstruksi sejarah Orde Baru yang hingga sekarang masih kuat mencengkeram dalam kepala-kepala kita.
Jika memang harus tetap ada, nasionalisme Indonesia harus didekonstruksi. Tantangan generasi saat ini adalah menciptakan nasionalisme dengan cetakan yang menghadap ke depan, tidak kebelakang. Imajinasi-imajinasi tentang masa lampau yang masih erat menempel pada materi nasionalisme Indonesia seharusnya dipasang pada tempat yang sepantasnya yang memungkinkan terjadinya interpretasi dan reinterpretasi akan makna nasionalisme, sebuah nasionalisme pasca Majapahit. Sebagai bangsa moderen, bangunan nasionalisme Indonesia seharusnya dibangun di atas tanah yang masih segar, bukan diatas kuburan masa lampau yang kering dan gelap. 
Nasionalisme Indonesia masa depan melihat Indonesia bukan sebagai tanah warisan tetapi tanah harapan (the land of promise). Artinya, semua orang adalah pendatang yang terikat pada satu komitmen membangun tanah air ini tidak dengan identitas hegemonik tetapi dengan identitas multikultural. Dalam wacana demikian, tidak ada satupun yang memegang otoritas sebagai penterjemah tunggal nasionalisme. Pada saat yang bersamaan, semangat globalisasi harus diakomodasi ke dalam jiwa nasionalisme Indonesia tanpa harus terjebak ke dalam agenda-agenda globalisme. Bagaimanapun, sejarah Indonesia ke depan dibentuk arus global yang diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Dipersimpangan inilah nasionalisme Indonesia yang moderen dan beradab dapat berdiri menatap jaman.
Terlepas dari kontroversi sejarah dan interpretasi atas Hari Kebangkitan Nasiona yang cenderung mengalami distorsi tersebut, penulis mengajak kepada semua stakeholder mulai dari pemerintah hingga tukang becak, untuk kembali merenung dan berbenah diri dalam meluruskan paradigma berpikir, ucapan dan tindakan untuk kemudian lebih arif dan bijak dalam memaknai Hari Kebangkitan Nasional. Jangan sampai Hari Kebangkitan Nasional yang selalu kita peringati setiap tanggal 20 Mei, hanya dijadikan ibadah ritual yang syarat muatan politik citra. Jangan sampai hari kebangkitan nasional justru merupakan afirmasi bagi kebangkitan semua kekuatan kontra revolusioner, dalaam hal ini kebangkitan korupsi di semua lini, kebangkitan harga sembako, kebangkitan mafia hukum dan peradilan, hingga kebangkitan gaji pejabat Negara.
Oleh:Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar