Laman

Kamis, 15 November 2012

Republik Semu, Reformasi Mati Suri



Hiruk pikuk problema ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan politik yang menggerogoti bangsa dan Negara ini nampaknya menyisahkan banyak pertanyaan, khususnya berkaitan dengan agenda reformasi pasca tumbang rezim orde baru.
Reformasi telah berusia 13 tahun, usia yang terbilang muda jika dikomparasikan dengan usia manusia. Dengan usia yang masih remaja tersebut, tentunya masih ada tekad untuk menaruh sepercik harapan akan cita-cita serta tujuan kelahirannya.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, Masihkah tersisa spirit reformasi dan nasionalisme yang rasional di tengah situasi dan kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang terindikasi edan ini?
Kembali kenukleus persoalan, Iklim dan kelembaban republik yang mulai bersemi, pasca tumbangnya rezim Orba ternyata tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah terkebumikan. Wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang juga ternyata tidaklah lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan cerita dongeng yang setiap hari diperdengarkan khususnya kepada generasi muda inteleqtual, tetapi defisit arah dan tujuan pencapaian. Reformasi kini MATI SURI.
Bibit masalah
Secara sederhana masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Definisi simpel ini nampaknya sebangun dengan konteks reformasi di Indonesia. Reformasi yang harapannya bertujuan membangun sistem politik demokratis, kenyataan yang muncul di lapangan justru tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik yang bersifat kultural maupun struktural. Tampak jelas betapa agenda reformasi tak dapat direalisasikan dengan baik, sementara gerakan reformasi itu sendiri telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas bahkan telah kehilangan roh perjuangannya (mati suri). Yang lebih memprihatinkan lagi, kini ada kecenderungan bahwa kekuatan lama mulai bangkit kembali, yang potensial menjadi penghalang utama bagi gerakan reformasi ke depan. Jika diidentifikasi, kekecewaan dan frustrasi sosial akibat kegagalan gerakan reformasi dalam membangun demokrasi itu meliputi beberapa sektor pokok: ekonomi, politik, dan sosial yang saling bertali-temali dan membawa implikasi luas dalam kehidupan masyarakat.
Di tahun 2012 ini, keadaan seakan tidak makin membaik. Desentralisasi yang semula diharapkan menciptakan balance of fower dan pemerataan, malah melahirkan firaun-firaun kecil yang siap dan tegas bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal. Yang lebih memprihatinkan lagi politik oligarki semakin hari kian menancapkan kuku liarnya. Selain itu, Pengangguran masih menjadi pemandangan sehari-hari, angka kemiskinan masih meningkat meski klaim pemerintah menurun, TKI yang katanya pahlawan devisa masih saja menjadi komoditas eksploitasi, biaya pendidikan semakin mahal, penguasaan asing atas SDA semakin mencengangkan, KKN masih menjadi hobi bagi pejabat publik dan sudah menjadi rahasia umum yang semakin menggelikan untuk disaksikan, DPR masih terindikasi sebagai industri mafia (anggaran, legislasi, pengawasan), aparat penegak hukum masih tunggang langgang mendiskreditkan hukum dan keadilan masyarakat, terorisme masih menjadi komuditas politik yang asyik dilakonkan oleh kelompok tertentu, kekerasan atas nama SARA masih menancapkan akar kekerasannya, dekadensi dan dekonstruksi moral bangsa semakin mendapatkan legitimasi westernisasi.
Tepat rasanya jika kemudian muncul ungkapan beberapa kalangan bahwa ”reformasi telah mati suri”. Reformasi tinggal coretan pena sang sejarah.
Biang keladi
Mati surinya reformasi seharusnya menjadi perhatian serius dan analisis yang mendalam oleh semua stakeholder baik suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Ada beberapa hal pokok penyebab mati surinya reformasi.
Pertama, kesalahan konsepsi, tafsiran dan penilaian dalam merumuskan akar masalah serta solusi krisis yang menghujani republik. Para aktivis gerakan perubahan, termasuk gerakan mahasiswa sebagai hardware perubahan, mengkonsepsikan, menafsirkan dan menilai akar masalah dari segala krisis bangsa adalah kusut dan semrawutnya perangkat penunjang sistem, antara lain penegakan hukum yang lemah, budaya KKN dan lemahnya demokratisasi. Dari sini, dimunculkanlah solusi instan seperti penghujatan dan penggulingan pejabat publik yang mendua terhadap reformasi dengan opini publik dan aksi demonstrasi. Padahal jika kita mau sedikit jujur dan mengkaji secara lebih mendalam, hal tersebut bukanlah akar masalah.
Berdasarkan analisa pengamat dan para pakar, krisis 1997 yang pernah menimpa Indonesia dipicu oleh adanya gerakan pengungsian dolar ke luar negeri yang akhirnya menyebabkan kegoncangan luar biasa pada makro ekonomi Indonesia. Sedangkan rupiah berposisi sebagai mata uang yang lemah dan tidak memiliki nilai intrinsik, sehingga sangat mudah terguncang oleh faktor ekonomi maupun politik. Disamping itu, sektor non-riil (finansial) di Indonesia lebih dominan dibandingkan sektor riil, padahal yang dapat mensejahterakan rakyat adalah sektor riil. Pemerintah lalu menyelesaikan krisis ini dengan utang luar negeri dan privatisasi aset-aset publik yang memunculkan krisis berulang. Perlu diigat dan dicamkan baik-baik, bahwa walaupun saat ini makro ekonomi kita dinilai membaik dengan pertumbuhan ekonomi positif, fakta sebenarnya hanyalah kamuflase. Sebab pertumbuhan tersebut hanyalah pertumbuhan sesaat, yang sewaktu-waktu dapat memunculkan krisis serupa tahun 1997. Persoalan ini adalah ciri khas diterapkannya sistem politik-ekonomi neoliberalis. Neoliberalisme sebagai paham sistem politik ekonomi yang mendominasi dunia saat ini, telah diindoktrinasikan oleh negara Barat Kapitalis ke berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan slogan globalisasi, bantuan luar negeri, dan pasar bebas, padahal misinya sangat jelas yaitu menjarah dan mengeksploitasi konstruksi SDA dan SDM Negara dunia ketiga.
Berdasarkan salah satu dari sekian banyak problem diatas, tidak perlu menjadi pakar atau ilmuwan politik dan ekonomi untuk dapat menyimpulkan bahwa akar masalah krisis multidimensi di Indonesia adalah penerapan sistem yang salah. Pengadopsian sistem asing secara monolitik telah memporakporandakan ”negeri tongkat kayu dan batu jadi tanaman” ini. Sistem yang diadopsi selama ini sangat tidak bisa terlepas dari penerapan ideologi negara neo-liberalis kapitalis yang diterapkan oleh negara ini.
Konklusinya, solusi yang tepat dari berbagai problem di atas adalah tidak sekedar menata ulang sistem (reformasi), tetapi kita harus punya kemauan, lebih arif dan bijak, iktikad yang baik serta berani untuk melakukan pembenahan dan melakukan perubahan secara menyeluruh sistem kenegaraan di negeri ini dan menggantinya dengan sistem yang lebih sesuai dengan dasar negara yaitu PANCASILA.
Kedua, disorientasi gerakan mahasiswa. Sejak 1998 sampai sekarang, aksi-aksi mahasiswa cenderung hanya ritual seremonial semata. Berbagai aksi muncul sekedar respon yang spontanitas (reaksioner) tentang berbagai isu yang sedang populer di masyarakat. Saat isu tidak lagi banyak diperbincangkan masyarakat karena termakan waktu dan akibat pengalihan isu politik, walaupun masalah tersebut sesungguhnya belum menemui penyelesaian, maka pudar pulalah suara lantang mahasiswa. Wajarlah jika kemudian gerakan mahasiswa hari ini sering dimanfaatkan sebagai alat permainan isu dan manajemen konflik oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Hal ini terjadi karena lemahnya budaya berpikir politis mahasiswa dalam menganalisis berbagai masalah dan solusi sehingga gerakan mahasiswa lebih terkesan reaksioner dibandingkan gerakan yang inteleq, analitis dan politis. Ditambah lagi media massa lebih cenderung mempublikasikan aksi-aksi mahasiwa yang anarkis sehingga memunculkan citra buruk gerakan mahasiswa.
Ketiga, ikatan dan sinergi antar organ gerakan masyarakat yang sangat cair terkesan hanya bersifat kepentingan sesaat dan emosional. Sudah menjadi rahasia umum, gerakan mahasiswa mengalami perpecahan. Perpecahan ini dipicu oleh perbedaan kepentingan dan kemanfaatan jangka pendek, terutama terkait dengan tokoh (fatsun politik) yang akan didukung dalam memimpin masa transisi menuju arah reformasi yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ketidaksamaan pola pikir dan visi perjuangan. Oleh karena itu, model gerakan yang akan melakukan perubahan sistem, bukan sekedar gerakan kepentingan politik jangka pendek, tetapi dibutuhkan gerakan yang memiliki kesamaan pemikiran dan visi perjuangan (ideologi) tentang arah perubahan. Untuk itu, diperlukan upaya terus-menerus dan intensif dalam menyatukan pemikiran dan visi perjuangan mahasiswa sehingga terwujud kesatuan kesadaran dan opini umum.
Keempat, penghianatan kaum inteleqtual terhadap reformasi. Hal tersebut ditandai dengan maraknya gerakan mahasiswa yang terkooptasi dengan kepentingan elite penguasa dalam menyuarakan aspirasi, mantan aktivis 98 yang semula bersuara lantang dalam ranah parlemen jalanan, justru menjadi kambing basah ketika duduk sebagai wakil rakyat di perlemen. Yang lebih menggelitikkan lagi adalah ulah sebagian pakar, pengamat dan ilmuwan politik yang mendua terhadap reformasi, teralienasi oleh arus kekuatan dan kepentingan politik penguasa. Maka tidak jarang kita menyaksikan parodi politik pengamat, dan pakar yang terkesan kuat berkoar-koar di media massa dengan analisis ABS (asal bapak senang)
Kontrol masyarakat
Demikianlah, gerakan reformasi telah melewati masa 13 tahun, namun kita belum juga mampu membangun sistem politik demokratis yang kuat dan tangguh. Tampak jelas bahwa elemen-elemen sistem demokrasi tak berfungsi normal dan tak bekerja secara efektif. Saksikan, betapa suprastruktur politik yang menjadi pilar utama demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah mengalami disfungsi yang akut. Format politik dan tatanan kelembagaan demokrasi yang bagi negara lain sudah dianggap kedaluwarsa, justru kita masih terus bereksperimen dengan sesuatu yang baru sama sekali. Di masa transisional ini, kita memang menghadapi situasi yang teramat sulit, dengan berbagai persoalan kebangsaan yang demikian kompleks. Semula kita mempercayakan secara penuh kepada elite-elite politik untuk merealisasikan agenda-agenda besar reformasi dan sekaligus memandu masa transisi agar proses transformasi politik dapat berjalan dengan baik dan lancar. Namun, kita sangat kecewa ketika menyaksikan bahwa ternyata mereka telah melakukan perselingkuhan terhadap gerakan reformasi dan menjadi pelacur politik ketika berlangsung perubahan politik dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Mereka dengan amat lihai telah memanipulasi gerakan reformasi demi kepentingan mereka sendiri. Para elite politik yang menempati pos-pos strategis baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga perwakilan, yang memiliki akses ke dalam proses perumusan kebijakan publik, dengan mudah merekayasa dan melegalisasi suatu keputusan politik berdasarkan kepentingan individual, kelompok, dan golongan mereka sendiri. Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.
Oleh sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat dari berbagai kelompok kepentingan seperti organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, media massa, komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis lainnya. Sebab, tinggal ini saja harapan yang mempunyai kemampuan dalam mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan persoalan krusial di tengah masyarakat. Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan reformasi.

Oleh:Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ)

Rumitnya Indonesia

Indonesia adalah mungkin satu-satunya negara modern di dunia yang paling sulit dan rumit. Mulai dari dasar negara, nama negara, bahasa negara, hingga masyarakat negaranya begitu rumit jika dibandingkan dengan negara lain. Sehingga bagi warga negara lain yang pernah berkunjung atau minimal pernah mendengar term Indonesia melalui berbagai informasi pasti tahu (minimal sedikit) betapa rumitnya negara ini.
Jika kita ingin melukiskan dan menggambarkan kerumitan negara ini, maka hal yang paling banter terdeteksi adalah relasi antara kelompok masyarakat dan wilayahnya. Masyarakat yang terfragmentasi melalui puluhan bahkan ribuan klan kultural, sosial, ekonomi, politik, agama (aliran), pendidikan, bahasa, karakter, dan lain-lain yang dipersatukan dalam satu entitas politik bernama Indonesia merupakan sebuah fenomena abad modern yang belum ada bandingan dan tandingannya dengan negara modern manapun yang pernah ada, bahkan boleh jadi negara klasik sekalipun (jaman kerajaan). Begitu pula halnya dengan wilayahnya. Bentangan pulau mulai dari yang besar sampai yang kecil, mulai dari pulau Miangas di Utara sampai pulau Rote di Selatan, mulai dari pulau Sumatra di barat hingga pulau Papua di Timur, yang dipersatukan dalam satu tanah air bernama Indonesia juga merupakan fenomena negara abad moderen yang tidak ada tandingan dan bandingannya oleh negara manapun dimuka bumi ini. Sehingga, jangankan orang luar, kita sebagai masyarakat Indonesia sendiri saja, kadang kala sanksi apakah relasi antar masyarakat dan wilayah mampu terkoneksi dalam jaringan jargon senasib dan sepenanggungan yang sama?. Apakah pemimpin yang mengkomandoi Indonesia betul-betul mampu menjadi icon refresentasi segala kepentingan masyarakat dan wilayahnya?
Jika demikian halnya, maka rumah besar bangsa dan negara Indonesia, jika dikelola dengan baik, maka tentu punya potensi menjadi patron peradaban diabad neo hibrida post medernisme seperti sekarang ini bagi peradaban dunia, tetapi jika dikelola dengan serampangan, maka tentu punya potensi domestikasi dan disintegrasi. Kedua-duanya berakar dan menghendaki kebebasan dan kemerdekaan yang sama dan seruang dan sebangun dengan tabiat manusia yang kadangkala menjadikan kebebasan dan kemerdekaan untuk menjadi manusia yang paripurna (baik) di satu sisi dan dengan dasar kebebasan dan kemerdekaan kadangkala menginginkan menjadi manusia pariporno (buruk) disisi yang lain. Jika, manusia Indonesia tidak menghendaki yang kedua dan menghendaki yang pertama, maka itu  artinya, mau tidak mau manusia Indonesia harus membangun sistem atau konstruksi politik dan pemerintahan yang meski rumit, tetapi mampu mengakomodir seluruh bagian tubuh politik yang menyusun tubuh keindonesiaan tersebut. Dan hal tersebut sebenarnya tidak sulit, tetapi juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab kita punya dasar negara (Pancasila) yang telah memberikan garis-garis besar bagaimana mengurai dan mengaringi hidup dan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Hanya saja, dasar negara yang sudah berusia 66 tahun tersebut (tertulis), ternyata belum diterjemahkan dalam sistem politik dan pemerintahan sebagaimana yang dikehendaki oleh dasar negara tersebut. Banyak mazhab pemikiran yang telah mencoba mengurainya, termasuk para perumus dan pendirinya, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat sebagaimana keinginan dasar negara tersebut. Banyak ilmuwan sosial dan politik yang telah mencoba menginterpretasikan keinginan dan kemauan dasar negara tersebut, tetapi tidak satupun dari mereka yang mampu memastikan interpretasinya sebagai representasi kemauan dan keinginan dasar negara tersebut. Ironisnya, interpretasi yang menemui jalan buntu tersebut, justru dialihkan untuk mengadopsi dan mengkopi-paste sistem pemerintahan dan politik dunia luar yang pada dasarnya lahir, tumbuh dan berkembang bukan dan tidak sesuai dengan pikiran, mental dan spritual manusia dan wilayah Indonesia. Sistem politik dan pemerintahan yang kita adopsi pun tidak tanggung-tanggung, mulai dari sistem yang dikultuskan oleh negara sayap kiri, tengah, maupun kanan. Bahkan kita sudah memformulasinya melalui sistem gabungan dan campuran dari ketiga sistem tersebut. Hal demikianlah yang kita lakukan mulai dari jaman orde lama, orde baru, reformasi hingga post-reformasi sekarang ini.
Sehingga yang terjadi kemudian adalah dasar negara tersebut hanya dijadikan azhimat politik untuk saling berebut kuasa, jabatan dan uang dalam rangka mencicipi nikmatnya kemerdekaan. Itupun hanya dinikamati oleh segelintir manusia yang mengatasnamakan dirinya sebagai manusia Indonesia. Akhirnya dasar negara tersebut ibarat kitab suci yang diturunkan tanpa seorang pembimbing (nabi). Bayangkan saja jika sekiranya dalam konteks beragama, kitab suci hadir tanpa seorang pembimbing (nabi). Maka yang paling mungkin terjadi adalah semua manusia bisa mengklaim dan menginterpretasikan kitab suci tersebut sesuai dengan pemahaman, kemauan dan kepentingannya. Sehingga yang terjadi kemudian adalah lahirnya relativisme kebenaran kitab suci. Yang pada akhirnya, manusiapun akan dengan gampangnya mengkonklusikan bahwa yang menurunkan kitab sucipun sudah barang tentu relative. Bukankah hal yang seperti ini sangat berbahaya dalam proses membangun peradaban?
Jika memang dasar negara tersebut betul-betul lahir dari bumi dan manusia Indonesia, maka pasti ada manusia Indonesia yang mampu menginterpretasikan dasar negara tersebut dalam bentuk keilmuan. Sehingga format sistem politik dan pemerintahan yang seharusnya dijadikan rujukan dan patokan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia, betul-betul menemui titik kulminasinya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah siapa, kapan dan bagaimana menemukan manusia Indonesia yang bisa menginterpretasikan dasar negara tersebut sebagaimana mestinya?. Jawabannya tentu tidak semudah yang dibayangkan dan tidak semudah yang dipikirkan? Tetapi hal yang paling banter kita deteksi adalah pasti manusia Indonesia dan dalam format ruang dan waktu Indonesia. Sebab logika sederhananya adalah hanya manusia Indonesia saja yang paling paham dan mengerti akan manusia dan wilayah Indonesia itu sendiri. Tidak mungkin orang Afrika, China, Eropa, terlebih lagi Amerika.
Suatu bangsa dan negara benar-benar jelas, jika dan hanya jika dasar kebangsaan dan kenegaraannya juga jelas. Begitu pula halnya dengan Indonesia. Negara dan bangsanya benar-benar jelas, jika dan hanya jika dasar bangsa dan negaranya juga benar-benar jelas. Jelas yang dimaksud bukan hanya berdiam dalam lokus mitologi dan simbolisasi linguistik entah tertulis maupun tidak tertulis. Tetapi jelas dalam artian mewujud dalam segala segi dan sudut hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia (sebuah pendahuluan buku)
Kita buka halaman pendahuluan: Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang demokratis yang dari segi wilayah, terdiri dari 9 pulau besar dan ratusan hingga puluhan ribu pulau-pulau kecil. Dan dari segi manusianya (masyarakatnya) terdiri dari ribuan hingga puluhan ribu, bahasa, karakter, budaya, dan lain-lain. Sehingga pertanyaan selanjutnya yang lahir adalah apa itu negara Indonesia atau apa artinya Indonesia?. Ternyata Indonesia tidak hanya rumit tetapi juga memiliki sangat banyak sudut pandang. Indonesia adalah negara kepulauan mulai dari pulau Mianggas hingga pulau Rote, Indonesia adalah negara hukum, Indonesia adalah negara kesatuan mulai dari sabang sampai merauke, Indonesia adalah negara budaya, mulai dari jawa hingga dayak, Indonesia adalah negara agraris, Indonesia adalah negara maritim, dan masih banyak lagi. Tetapi apakah yang dimaksud Indonesia sesederhana demikian?. Apakah yang dimaksud negara sesederhana demikian?
Negara bukanlah semata rakyat yang menjadi badan politik, meski tidak bisa dipungkiri bahwa negara jelas terdiri dari para individu. Negara bukan hanya persoalan orang-orang yang tinggal disuatu wilayah geografis, meski tidak bisa dinafikan bahwa wilayah adalah salah satu unsur negara. Negara juga bukanlah semata adanya pemerintahan, meski tidak bisa didiskreditkan bahwa negara membutuhkan pemerintahan. Tetapi negara harus memiliki ikatan yang menyatukan antara rakyat, wilayah dan pemerintahan secara bersama dalam asosiasi politik. Ikatan yang dimaksud adalah keadilan. Dan atas dasar keadilan itulah manusia atau rakyat dalam suatu negara bukanlah pion-pion di atas papan catur yang gampang untuk ditata dan dikelola, tetapi suatu negara memiliki manusia yang memiliki impian-impian, cita-cita dan hari depan manusia, yang tentunya tidak hanya membutuhkan pemahaman kognitif tetapi juga political will untuk mengurusinya.
Indonesia punya citacita (isi buku)
Bangsa Indonesia yang sangat majemuk telah dipersatukan oleh penderitaan, keterhinaan dan rasa senasib sepenanggungan dalam penjajahan selama ratusan tahun dan oleh citacita bersama kemasa depan. Kita mencatat lahirnya sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah hari kelahiran sebuah bangsa baru, bangsa Indonesia, kulminasi dari proses pembentukan bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda, satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan Indonesia, adalah rumusan singkat padat konsepsi modern bangsa Indonesia. Bukan sebagai satu kesatuan politik berdasar kesamaan suku, kesamaan agama, dan kesamaan premordial tertentu, tetapi akan kesadaran harkat kemanusiaan untuk hidup bersama dalam kemajemukan dan mewujudkan citacita bersama di masa depan. Walau amat majemuk Indonesia telah dipersatukan oleh satu visi dan harapan ke masa depan. Bhinneka Tunggal Ika.
Hal tersebut secara jelas dan tegas termaktub dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 45, yang berbunyi:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rayat Indonesia.”
Indonesia memang rumit sehingga manusianya hanya akan memahaminya jika ia telah  dipelajari dengan baik sebelumnya. Dipelajari dalam artian tidak hanya dalam domain kognitif (inteleqtual), tetapi juga dalam arti afektif dalam hal ini merasa memiliki, merasa menjadi diri sendiri, dan merasa bahwa dialah jantung hidup dan kehidupan manusianya, dan dalam arti spritual dalam hal ini menjadikannya sebagai ibadah kepada tuhan sebagai khalifatun fil ard Indonesia. Jika tidak demikian, maka tidak ada jaminan bahwa Indonesia tidak menjadi korban gulungan peradaban sebagaimana yang pernah menimpa bangsa terdahulu.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selamat Tinggal Politik Transaksional. Mungkinkah???

Banyak kalangan yang menilai bahwa keputusan rapat paripurna DPR RI beberapa waktu lalu tidak bisa dilepaskan dari yang namanya politik transaksional. Sebab, mulai dari proses rapat hingga keputusan, wacana dan laku para politikus senantiasa mendasarkan pada kalkulasi posisi tawar citra dan popularitas dimata rakyat. Seolah-oleh berdebat demi rakyat banyak, padahal substansi keputusan mereka tetap saja menaikkan BBM, meski proposisinya “ditunda” untuk sementara waktu.
Sebagai masyarakat Indonesia, tentunya kita memiliki harapan agar teori dan praktis politik transaksional yang selama ini dilakonkan oleh para aktor politik kita entah di senayan maupun di istana bisa segera ditinggalkan. Mengingat implikasi yang ditimbulkan dari politik semacam itu sangatlah luar biasa dekonstruktifnya terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Implikasinya yang tidak tanggung-tanggung menjarah semua bangunan hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegera kita, mulai dari yang bersifat kultural hingga yang bersifat struktural dan fungsional.
Dari domain kultural misalnya, agama dan budaya sering kali dijadikan azhimat politik para elite dalam rangka memperoleh kekuasaan. Ironisnya agama dan budaya kadang kala dijadikan komuditas politik yang siap dikomersialisasi. Persaksian kita terhadap maraknya para politikus mengumbar ayat suci ketika menjalankan kampanye hingga mengeluarkan sebuah regulasi yang mendiskreditkan nilai kedaulatan rakyat, merupakan sebuah marketing politik yang membajak agama dan buaaya itu sendiri. Parahnya agama kadang kala dijadikan batu loncatan untuk melakukan manufer politik kekuasaan dengan pendekatan kekerasan dan konflik. Maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat dengan dalih agama dan budaya tidak luput dari politik transaksional yang dilakonkan oleh para elite kita. Hal ini terdeteksi ketika setiap momentum, modus dan motif konflik dan kekerasan tersebut selalu terjadi ketika suhu politik nasional sedang memanas.
Dari sudut struktural, birokrasi pemerintahan mulai dari tingkat pusat hingga daerah sama-sama mengidap sindrom penyakit kawanan pejabat publik (KKN). Hal ini terjadi akibat, politik yang diadopsi dan diterapkan mulai dari rekruitmen birokrat hingga pelaksanaan program kerja dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan sarat dengan transaksional. Akibatnya program kerja tidak satupun yang menyentuh substansi kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sebab mulai dari BLT, JAMKESMAS, hingga proyek pembangunan infrastruktur pedesaan pun turut dikorupsi. Belum lagi ketika kita berbicara tentang mafia yang menggurita dihampir semua lembaga negara, mulai dari mafia hukum, anggaran, regulasi, pendidikan, hingga seksual.
Sementara dalam domain fungsional, hampir semua elemen negara, mulai dari suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hingga infrastruktur politik (Partai Politik, LSM, Ormas dan lain-lain) sama-sama mengalami krisis peran dan fungsi. Eksekutif menjarah wewenang legislatif dan yudikatif, legislatif memposisikan diri sebagai eksekutif dan yudikatif, yudikatif menjadi bulan-bulanan eksekutif dan legislatif karena intervensi politik berkenaan dengan masalah hukum yang menjerat kadernya, Parpol menjadi penentu segala kebijakan dan keputusan politik di senayan maupun istana, LSM kehabisan strategi sebagai derbong gerakan ekstra parlemen, Ormas menjadi penyambung lidah kepentingan Partai dan elite, Mahasiswa menjadi apatisdan lain sebagainya.
Dengan tekstur dan kontur politik demikian, maka unjung-ujungnya rakyat jugalah yang menjadi korbannya. Pertikaian dan konflik horiontal semakin menggila, kemiskinan semakin termateraikan, pengangguran semakin melimpah, busung lapar semakin menumpuk, agama dan budaya semakin menjadi tidak punya taring, mahasiswa semakin apatis dan hedonis, LSM dan Ormas semakin kehilangan kepercayaan dan lain sebagainya. Itulah sekelumit implikasi yang ditimbulkan dari dikultuskannya politik transaksional di republik tercinta ini. Ironisnya politik transaksional tersebut sudah menjadi tren dan budaya yang mendarah daging ditengah masyarakat. Sampai-sampai anak SMA dan mahasiswa pun ikut-ikutan melanggengkan politik transaksional dalam menjalankan roda organisasi sekolah  dan lembaga kemahasiswaan sebagai akibat dari budaya dan penerapan kurikulum pendidikan yang memang merupakan hasil dari politik transaksional pula. Artinya spiral lingkaran setan yang menggerogoti politik kita dewasa ini sudah begitu menggurita, sehingga hampir dikatakan mustahil untuk diperbaiki.
Selamat Tinggal
Ada empat hal yang mesti dilakukan setiap kali kita mendengar istilah “selamat tinggal”. Pertama, kita wajib memastikan bahwa yang tinggalkan benar-benar layak untuk ditinggalkan. Artinya hal yang ditinggalkan tersebut betul-betul lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Jika memang kita punya niatan dan harapan untuk meninggalkan politik transaksional, maka sebagai warga masyarakat, kita semua harus menyadari secara kolektif (bukan individual) bahwa politik transaksional memang telah layak di tinggalkan karena lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu perubahan paradigma mengenainya mutlak dilakukan. Hal ini harus dimulai dari lembaga pendidikan, budaya dan agama. Sebab spirit perjuangan pembebasan terhadap politik transaksional yang paling efektif adalah melalui tiga jalur ini, karena sumber nilai (etika, moral dan spritual) banyak didisputasikan dalam tiga jalur ini.
Kedua, kita harus memastikan bahwa kita bukan bagian dari yang ditinggalkan. Setelah kesadaran kolektif terbangun, maka kita harus memastikan sekali lagi bahwa kita bukan bagian dari produk politik transaksional yang selama ini dikultuskan tersebut. Artinya semua kroni-kroni yang terkait dan terlibat dalam politik transaksional tersebut harus diamputasi dari proyek “selamat tinggal” tersebut, mulai dari paham pemikirannya, spiritnya, simbolnya hingga individu-individunya.
Ketiga, kita membutuhkan pemimipin yang tidak terkooptasi oleh politik transaksional tersebut. Kita membutuhkan simpul pengorganisir kesadaran kolektif akan penting dan perlunya pembumihangusan politik transaksional. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah perubahan, bahwa pemimpin selalu mutlak dibutuhkan, karena dialah simbol pemersatu, simbol komando, simbol teladan, pembimbing, dan pemerhati perubahan. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang memang mulai dari pikiran, mental, perilaku hingga spritualnya memang tidak pernah dan dijamin bersih dari politik transaksional. 
Keempat, kita wajib memohon bimbingan dan petunjuk dari Tuhan, agar proyek “selamat tinggal transaksional” tersebut di tahun-tahun mendatang senantiasa dalam ridha dan rahmatnya. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah pula, bahwa ketika ada sekelompok manusia yang menginginkan perubahan, maka pasti ada gerakan reaksioner dari kelompok yang tidak menginginkan perubahan tersebut. Mengingat hari-hari kedepan di tahun mendatang diprediksi sebagai tahun yang penuh power struggle, penuh kekerasan akibat semakin ketatnya persaingan politik yang sekali lagi akan bersentuhan dengan politik transaksional. Sebab wahana politik yang cenderung liberal meniscayakan semakin tumbuh suburnya politik transaksional yang bersifat material.
Sebagai warga masyarakat yang punya tekad, berusaha setengah matipun adalah tekad kita bersama, tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa ikhtiar tersebut belum tentu meraih harapan dan cita-cita sebagaimana yang diinginkan. Apalagi kalau ternyata cara-cara yang kita lakukan justru menjauhakn kita dari tujuan tersebut. Hanya dengan restu, petunjuk, dan pertolongan Tuhan setelah berikhtiar yang mampu menyelamatkan kita dari berbagai efek samping negatif ketatnya pertarungan politik melawan para mafia di dalam sebuah republik yang sedikit lagi menjadi negeri entah berantah yang dikuasai oleh mafia.
Harapan kita sebagai warga masyarakat yang selama ini menjadi korban politik mafia seharusnya termateraikan oleh kematangan yang ditandai dengan kesadaran meninggalkan pola hidup konsumerisme dari politik transaksional ke pola hidup yang jujur, adil dan tenggang rasa, mulai dari level pola hidup individu, keluarga, suku, agama, kelompok profesi, pergaulan hingga terminal. Sebab usaha dan upaya yang besar tdak akan berhasil jika tidak dimulai dari yang kecil.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakartas