Laman

Rabu, 02 November 2011

BUDAK-BUDAK PASAL

Busuk, kotor, penipu, penjilat, tikus berdasi, pencuri, dan masih banyak istilah lain yang segunung dan sedanau dengannya (silakan cari sendiri), merupakan sebagian kecil dari beberapa term yang begitu populer di kalangan masyarakat, ketika menghubungkan sikap dan perilaku penegak hukum kita sebagai komando lapangan proses penegakan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengingat sikap dan perilaku koruptif ekspansif, eksploitatif, subversif dan masif yang diperagakan oleh para penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) dewasa ini, mungkin hanya mereka yang berada dalam posisi sebangun dan seruang dengan perilaku koruptif tersebutlah yang jarang (kalaupun ia, hanyalah retorika sempalan) atau mungkin tidak pernah mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan yang bernada hujatan dan kecaman terhadap para penguasa yang telah menjarah kedaulatan rakyat tersebut.
Pertanyaan yang kemudian lahir adalah “Atas dasar apa mereka bersikap dan berperilaku seperti itu?, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab lahir, tumbuh dan berkembangnya sikap dan perilaku seperti itu?, dan apakah ada manusia Indonesia yang tidak pernah terjerembab dalam sikap dan perilaku seperti itu?”. Pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh setiap individu, sebelum terlalu jauh mengklaim, menghujat,menghakimi, menghukumi dan menyalahkan indivudu yang lain.
Pertanyaan inilah yang membuat penulis tidak mau terlalu terburu-buru beromantisme dengan pernyataan yang bernada hujatan dan kecaman kepada mereka (penguasa) yang melakukan tindak pidana korupsi, sebab penulis merasa tidak ada jaminan bahwa manusia seperti saya, kamu, dia, kalian dan mereka tidak pernah tersentuh yang namanya perilaku korup. Meski sikap dan perilaku tersebut berbeda dalam tingkatan skala dan kadarnya, namanya korupsi tetap saja korupsi. Hanya saja, cukup ironis memang, jika kemudian kita mengkoparasikan sikap dan perilaku koruptif yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan sikap dan perilaku koruftif yang dilakukan oleh para penegak hukum kita. Mereka yang seharusnya menjadi oase keadilan justru mengering dan menanduskan keadilan tersebut.
Apakah sama korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para penguasa khususnya penegak hukum sama dan serupa dengan perilaku KKN yang diperagakan oleh penjual sayur dan tukang ojek yang mencari sesuap nasi untuk anak istrinya?. Dalil yang selama ini menjadi apologi entah itu mereka (penguasa) maupun kita sebagai rakyat adalah “tidak ada manusia yang luput dari kekhilafan, dosa dan salah” . Sebuah pembenaran yang sangat miskin pemahaman tentang nilai fitrawi manusia. Apakah sama penguasa misalnya Menteri, hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang keluar rumah dan lupa mengancing resleting celananya, dengan penjual sayur yang kepasar kemudian lupa mengancing resleting celananya?.
Analogi sederhana dalam proposisi diatas memaksa akal kita untuk membenarkan pernyataan yang bernada hujatan dan kecaman kepada mereka (penguasa, khususnya penegak hukum) yangmemang selama ini telah menjadikan hukum dan lembaga penegak hukum sebatas laboratorium akumulasi citra dan popularitas untuk melepaskan dahaga hasrat untuk dimuliakan dan diagungkan melalui tumpukan material.
Geneologi sikap dan perilaku Korup.
Apakah setiap manusia Indonesia yang dilahirkan kedunia ini memang dalam keadaan dan membawa bibit sikap dan perilaku yang korup?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka ada baiknya kita melakukan pendefinisian awal menganai sikap dan perilaku korup tersebut, dalam rangka mengurangi prasangka atau penilaian subyektif?
Korupsi secara implisit adalah sikap dan perilaku, dimana individu atau kelompok mengambil hak yang bukan menjadi haknya, entah itu dalam hal yang bersifat material maupun non material. Dan menurut kaca mata akal manusia awam, korupsi kadangkala disinonimkan dengan pencuri.
Berdasarkan definisi sederhana di atas, maka sikap dan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme ternyata usianya seiring dan sejalan dengan usia sejarah peradaban manusia.
Mereka (para penegak hukum) yang selama ini mendapatkan pernyataan yang bernada hujatan, pada mulanya sama seperti aku, kamu, dia, kita, kalian dan mereka. Kita semua lahir dari rahim seorang ibu, meski secara esensial ibu kita berbeda, tetapi tidak bisa dinafikan bahwa secara substansial tidaklah berbeda.
Apakah ada seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan seorang anak dengan harapan, agar kelak anaknya menjadi pencuri, penipu, penjilat, tikus berdasi, murtad, tidak bermoral dan lain-lain?, apakah mereka tidak punya harapan kepada anak mereka, agar kelak menjadi manusia yang berbakti kepada “Rahim” (manifestasi sifat Ar-Rahman Dan Ar-Rahimnya Tuhan/ pengasih dan penyayang) yang telah memberikan wujud kepada mereka?, apakah memang aku, kamu dan kalian merasa berbeda secara fitrawi ketika dilahirkan ke dunia (asal kata dhani dalam bahasa arab yang artinya hina dan rendah)?
T I D A K,.,.,.,.,!. Tidak satupun bayi manusia yang lahir kedunia ini dengan nafsu ingin menguasai, menyakiti, berkhianat, berpretensi serta cenderung kepada atensi meniduri fitrawi kemanusiaannya. Mereka (para penegak hukum) juga mula-mula dilahirkan dan dibesarkan sebagai anak yang pastinya diajarkan kebajikan, keadilan dan kebenaran.
Sejarah setiap manusia selalu sama, dalam hal ini lahir dan besar bukan dibawah ayunan kasih sang raja rimba, tetapi ibu yang melimpahinya kasih dan sayang. Tidak ada ibu yang mengajari anak-anaknya, jika kelak menjadi jaksa, hakim, pengacara dan polisi, maka biasakanlah dengan kegiatan suap menyuap, korupsi, kolusi dan nepotisme serta berkawan dengan mafia. Mereka, kalian, kita dan aku dalam cotetan tinta sejarah asuhan manusia, di besarkan dengan oase petuah moral dan etika yang sama (kejujuran, kebenaran, beranian, dan tanggung jawab).
Memang sebuah ironi ketika mereka dewasa, kekuatan didikan moral tersebut dikalahkan oleh kenyataan paradoksal. Lingkungan pekerjaan dari berbagai klan profesi menyuguhkan realitas yang jauh berbeda, dibingkai oleh sistem yang korup dan mungkar. Begitu sedemikian hingga, kemudian membuat penegak hukum kita, dibesarkan tidak hanya oleh didikan ibunya, tetapi juga oleh lingkungan korup dimana karirnya berkembang. Lingkungan itu telah lama memelihara bisa beracun dari birokrasi kawanan ular. Ditambah lagi budaya atasan selalu benar dengan segala firmannya turut menjadi kredo yang tidak bisa dibantah dalam teori birokrasi, sehingga anekdot tentang “ saya yan paling lama disini, maka saya yang lebih tahu, mau naik pangkat, ikuti dan turuti perintah saya” mendapatkan legitimasinya.
Tapi jangan terburu-buru untuk mengatakan bahwa hanya lingkunganlah yang memberikan kontribusi akut terhadap lahirnya budak-budak pasal tersebut. Kepribadian (mental dan spritual) para penegak hukum itu sendiri juga turut andil dalam mengafirmasi dan membentuk perangai korup yang eksploitatif tersebut (Kana minal kafirin). Kepribadian tempe-tahu yang terlalu gampang menyerah dan mengalah pada arsenal kepribadian intel (indomie-telur) yang serba pragmatis, lebih mengutamakan prestise, jabatan dan kuasa ketimbang harga diri dan prinsip. 
Suatu kepribadian gigantik material yang tidak akan pernah puas dengan apa yang ada, sebab pandangan dunia material selalu disesaki oleh rutinitas hasrat kepemilikan dan penguasaan berlebih-lebihan. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab obyek material memang selalu berubah-ubah (tidak kekal), sehingga setiap runag dan waktu tertentu selalu muncul materi baru yang lebih, untuk menggantikan yang lama, ditambah lagi manusianya yang tidak pernah puas dengan materi yang ada (hari ini korupsi motor dinas, besok korupsi mobil dinas).
Lahirnya Budak-Budak Pasal
Aib penegak hukum tumbuh dan berkembang bukan karena pengkhianatan, karena biasanya orang yang berkhianat dulunya baik atau jahat, sehingga perkembangan waktu selanjutnya menjadi tidak baik atau jahat, tetapi lebih karena mereka sejak dibangku sekolah dan kuliahh telah terbiasa mengalah dengan teori dan pengajaran yang koruptif dari guru dan dosennya, sedangkan guru dan dosennya telah terbiasa menerima dan mengalah terhadp sistem pendidikan yang korup.
Dosen dengan antusiasnya memberikan materi ajaran dengan proposisi yang seolah menjadi sebuah aksioma dalam sivitas akademik ilmu hukum. Proposisi yang sudah lumrah kita dengar adalah bahwa “semua orang itu, kedudukannya sama di hadapan hukum, dan seorang tidak bisa dinyatakan bersalah, sebelum diputuskan oleh pengadilan”. Dua proposisi yang menggantung keadilan setinggi-tingginya agar tidak tersentuh oleh kaum mustadafin, dan proposisi yang menempelkan keadilan dijepitan penguasa dan kaum berpunya.
Sesungguhnya interpretasi dari dua proposisi diataslah yang merupakan kausa lahirnya Budak-budak pasal.
Proposisi pertama menegaskan bahwa semua orang entah itu koruptor (pencuri uang rakyat), pencuri ayam, pembunuh aktivis, dan pembunuh majikan penyiksa, semua sama kedudukannya dihadapan hukum yagni sama-sama pencuri dan sama-sama pembunuh. Artinya bahwa antara koruptor dan pencuri ayam, serta antara pembunuh aktifis dan pembunuh majikan penyiksa, sama-sama dikenakan pasal HUHP yang sama dan kadang kala yang lebih memprihatinkan lagi bahwa ternyata pasal-pasal tersebut bisa diracing leh jaksa, hakim, dan pengacara, sehingga tuntutan yang dibebankan kepada para tersangka dan terdakwa bisa jadi berubah 180*, dimana koruptor dituntut dan divonis 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun penjara sedangkan pencuri ayam dituntut dan divonis 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun penjara. Adil bukan? Ya,.,kan,.kedudukannya sama dihadapan hukum.
Proposisi kedua menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dinyatakan salah (koruptot dan pencuri ayam), sebelum diputuskan oleh pengadilan. Artinya bahwa sebelum diputuskan jangan dulu dinyatakan sebagai koruptor dan pencuri ayam. Sebelum diputuskan harus jelas dan lengkap dulu bukti hukumnya. Dengan logika yang seperti ini, maka pencuri ayam akan lebih gampang untuk dituntut dan divonis, karena barang buktinya sangat jelas (pencuri dan barang curian, yang dicuri, serta saksi pencurian). Nah bagaimana dengan para koruptor?. Jelas butuh waktu lama untuk menemukan bukti hukum yang memperkuat dakwaan, terlebih lagi jika bukti hukum tersebut telah dibumihanguskan. Belum lagi kongkalikong antara terpidana, jaksa, pengacara dan hakim dalam menemukan dan menjabarkan barang bukti yang didapat. Jadi penulis kira, cukup jelas dan tegas apa yang disampaikan oleh Clarence Darrow bahwa “keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di dalam ruang sidang, tetapi keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu”.
Hukum bagi para budak pasal adalah ketentuan yang sudah baku dan tidak bisa lagi ditawar meski dengan alasan keadilan dan nilai kemanusiaan. Tentu hal tersebut berbeda atau tidak berlaku bagi para pelaku kkejahatan HAM berat, dan korupsi, mungkin dan pasti bisa ditawar tergantung kepentingan siapa dan berapa “V”nya. Sebab mereka tahu betul siapa yang tersangkut perkara ini dan mereka yakin bahwa untuk menghadapi perkara ini tidak hanya membutuhkan pengetahuan. Akhirnya mau tidak mau dan suka tidak suka, kompromi merupakan cara yang paling bijak. Kompromi adalah watak umum yang ditanam di dalam keyakinan mereka, kalau keberanian, idealisme, kenekatan dan terobosan hanyalah perbuatan bunuh diri.
Jadi jangan heran, jika kemudian hukum tidak lagi menajdi lokomotif pertarungan gagasan dan moral keadilan, karena memang keadilan telah lama mengalami alienasi dan kehilangan spirit malakutnya (cita-cita dan impian).
Hukum dirangkai secara hierarki dalam urutan “pasal” dan dibingkai oleh prosedur yang kebal terhadap kritik. Asas pembuktian dan asas praduga tak bersalah selalu menjadi legitimasi ampuh untuk menyembunyikan kejahatan kawanan (korupsi, kolusi dan nepotisme), sehingga posisi tersangka, terdakwa, saksi dan korban amat gampang untuk dipertukarkan.
Para budak pasal tentunya sangat bahagia dengan posisi, situasi dan kondisi seperti ini. Sebab rekening gendut miliaran rupiah telah menjadi cita-cita besar dan terhebat mereka. Jadi jangan harap hukum dan keadilan menjalin cinta dengan mesra, dimana hukum sebagai pecinta telah menyelingkuhi sang kekasihnya (keadilan).
Bom perubahan dalam dunia hukum, hanya bisa meledak jika konsep dan konten teori dan praktis “Keadilan Ilahi”, menjadi mesin utama penggerak ledakan. Sebab keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan budaya hanya bisa bersemayam sebagaimana mestinya, jika dan hanya jika dilandasi oleh pengetahuan, keyakinan dan keimanan manusia terhadap keadilan ilahi.

Oleh: Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa FISIP UMJ)

Papua (Ironisme Daerah Kaya Raya)

Papua merupakan salah satu daerah Indonesia yang memiliki andil yang sangat determinan dalam menentukan pasokan besar-kecilnya devisa negara di sektor pertambangan. Hal ini bukanlah sesuatu yang tanpa alasan rasional, mengingat sumber devisa terbesar di republik ini berasal dari sektor migas dan pertambangan.
Papua yang sejak pemerintahan Soeharto telah kedatangan tamu dari perusahaan multi nasional (PT. Freport) berdasarkan legitimasi UU penanaman modal asing, telah menjadi daerah paling produktif di sektor pertambangan yang menghasilkan devisa negara yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya dibanding dengan daerah lain di kepulauan nusantara. Sehingga tidak salah jika kemudian negeri Papua dipuja-puja hasil perut buminya, karena aset kekayaannya memang luar biasa: tanah yang subur, kaya mineral, minyak bumi, tembaga, emas, besi, dan batu bara, hutan tropis yang lebat, iklim yang stabil, dan relief alam yang indah.
Sejak negeri tersebut di masuki oleh perusahaan asing (PT Freeport Indonesia) beberapa puluh tahun yang lalu, hasil perut bumi kawasan amazon Indonesia tersebut telah memberikan ratusan juta hingga miliaran dolar AS per tahun kepada perusahaan maupun Negara. Berton-ton emas yang dikeluarkan dari dalam tanahnya telah memberikan Indonesia kebanggaan sekaligus keistimewaan tersendiri baik ditinjau dari segi sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
Namun siapa akan menyangka bahwa bangsa sekaya tersebut ternyata punya berbagai penyakit ekosob (ekonomi, sosial, politik) yang sudah memasuki stadium akhir dengan maraknya berbagai konflik vertikal dan horizontal disatu sisi dan ketimpangan ekosob yang berimplikasi pada stigma, pola dan gaya hidup yang saling menegasikan disisi yang lain.
Daerah yang kaya raya SDA tersebut ternyata menyisakan kemiskinan kearifan SDM dalam mengurai segala sendi hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi pengaruh eksternal (pemerintah pusat dan dunia internasional) turut pula memberikan legitimasi dalam mereduksi nilai kearifan lokal Papua tersebut. Dua pengaruh inilah yang paling kental mempengaruhi paradigma berpikir stereotif diantara sesama warga pribumi untuk saling membantai, paling berpengaruh dalam mengobarkan api konflik laten yang bersifat horizontal, dan paling berkontribusi dalam melanggengkan ketimpangan ekosob (ekonomi, sosial dan politik) di bumi kepulauan Cendrawasi tersebut. Dua pengaruh ini pula yang kemudian secara konstan dan paralel mentransformasikan frustasi ekosob yang tadinya masih bersifat potensial (bisa dicegah) menemukan ruang dan waktu aktualitasnya secara membabibuta.
Wilayah yang diperjuangakan dengan susah payah melalui tragedi berdarah pembebasan Irian Barat dijaman Orede baru tersebut kini jatuh miskin oleh kerusakan dan krisis multidimensional yang meliputi sendi-sendi dasar kehidupan dan interaksi sosial: krisis otoritas, kepemimpinan, kepercayaan, krisis moralitas, dan seterusnya. Wilayah yang selain dimiskinkan oleh korforasi dan pemerintah pusat juga dimiskinkan oleh para penguasa setempat yang ironisnya ternyata adalah putra-putri pribumi bangsa sendiri.
Bukakankah sebuah keanehan yang menggelitik, ketika sebuah daerah yang telah banyak memberikan kekayaan devisa terhadap negara (pusat), justru disebut dan dikategorikan sebagai wilayah yang paling miskin dan tertinggal dibanding daerah lain di bumi pertiwi nusantara ini?. Dan bukankah sebuah pengkhianatan dan penghinaan terhadap saudara sebangsa sendiri ketika hampir sebagian penduduk negara Indonesia mengamini klaim tersebut?. Anehnya liputan dan wacana yang didapatkan dari media massa, selalu saja menempatkan Papua sebagai daerah yang diidentikkan dan disinonimkan dengan peradaban dunia klasik yang serba tertinggal. Ironisnya, catatan dan pengamatan yang dilakukan berbagai kalangan pengamat ekonomi, sosial dan politik justru membenarkan bahwa Papua tidak lebih sebagai daerah yang tertinggal dalam semua lini hidup dan kehidupan karena ketidakberdayaan sektor pendidikan oleh penduduknya. Bukankah wacana dan laku tersebut adalah sebuah kenaifan dan miskin solidaritas kebangsaan dan kenegaraan yang mendeklarasikan diri bersatu?
Mengapa miskin, tertinggal dan rawan konflik?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penyaksian kita melalui media massa telah menyuguhkan stigma untuk membenarkan bahwa peradaban Papua memang serba miskin dan tertinggal. Busung lapar dimana-mana, penduduk yang masih belum mengakomodasi kebutuhan sandang, pangan dan papan masih merajalela, anak usia didik yang belum mengenyam pendidikan masih menempati gudang kemiskinan ilmu, dan masih banyak ketertinggalan lainnya yang senantiasa menjadi komoditas totonan bagi hampir seantero pendududu Indonesia yang disuguhkan oleh media massa.
Ironis memang, bahwa fenomena yang menimpa Papua tersebut di atas justru tidak sebanding dan proporsi dengan besaran sumbangsih devisa negara yang telah diberikannya selama puluhan tahun. Porsi APBN yang menggunung hasil sumbangsihnya ternyata tidak lebih dari sekedar upeti daerah yang disumbangkan kepada pusat.
Setiap manusia Indonesia yang sehat dan baliq akalnya, tidak akan pernah menolak dan keberatan untuk memberikan pengakuan bahwa Papua yang merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam disatu sisi, dan akan merasa sakit hati dan empati dengan kondisi obyektif yang mereka alami dan rasakan, dimana kemiskinan dan ketertinggalan adalah kawan sekaligus lawan hidup dan kehidupan mereka sehari-hari. Manusia Indonesia yang menganggap Papua sebagai bagian dari hidup dan kehidupannya niscaya akan menganggap bahwa fenomena ini adalah sebuah aksiden kegilaan para penentu kebijakan tertinggi di republik ini.
Hanya manusia Indonesia yang bermental penjajah saja yang akan mengamini analisis para pengamat lintas keilmuan (ekosop) selama ini yang menganggap bahwa Papua miskin dan tertinggal karena SDM yang miskin ilmu penegtahuan?. Jikapun kenyataannya demikian, bukankah hal tersebut adalah kewajiban negara untuk memberikan akses tersebut?
Tidak perlu menjadi pakar atau pengamat ekosop (ekonomi, sosial dan politik) untuk menjustifikasi dan memeteraikan bahwa rakyat Papua Miskin dan Tertinggal bukan karena persoalan ketidakberdayaan Sumber daya manusia karena pedidikan, apalagi dengan alasan karena kemalasan. Mereka tertinggal lebih karena daya dan sumber daya ekonomi, politik, pendidikan dan sosialnya tidak diberikan oleh negara. Kesempatan pendidikan yang sangat minim dan ruang ekonomi yang sangat sempit disatu sisi, serta eksploitasi besar-besaran terhadap alam dan manusia Papua dalam domain komoditas politik penguasa merupakan salah satu dari sekian banyak alasan yang bisa dikemukakan atas ketertinggalan, konflik dan kemiskinan yang mereka ratapi.
Dan tidak perlu menjadi seorang akademisi dan politikus handal untuk membenarkan bahwa negaralah (pemerintah pusat dan daerah) yang paling bertanggungjawab atas fenomena ketimpangan kemanusiaan di atas, mengingat tidak pernah selesainya urusan mereka dengan masalah korupsi dan nepotisme. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh negara selama ini terhadap Papua sangat dikriminatif dan represif. Jikapun beberapa tahun yang lalu telah digulirkan UU utonomi khusus buat Papua, tidak lebih sebagai apologi politik untuk mengelabui pandangan dunia internasional dan nasional.
Jika kita ingin mengurai geneologi terkait persolan Papua, maka wacana pemerataan pembangunan tidak bisa dinafikan.
Kompresi (penekanan) peradaban yang didesain pemerintah pusat kepada Papua yang cenderung didiskreditkan, telah melahirkan begitu banyak kesalahan fungsi dan kerusakan dalam strata masyarakat di kepulauan cendrawasi tersebut. Kesalahan fungsi inilah yang melahirkan begitu tingginya tingkat frustrasi yang kemudian mengaktual dalam konflik di hampir semua wilayahnya mulai dari distrik sampai wali kota, baik untuk urusan perut maupun urusan kekuasaan kepala daerah. Pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah Papua telah lupa bahwa disatu sisi, tiap kali pembangunan fisik di agendakan dalam rancang bangun program kerja kabinet pemerintah, mereka tidak pernah mengetengahkan desain pemerataan pembangunan yang lebih komprehensip agar ketimpangan dan kecemburuan ekosob bisa diminimalisir. Sementara disisi yang lain, pembangunan pola relasi kebangsaan yang meliputi pembangunan suprastruktur masyarakat dalam menerima kemajuan peradaban yang ada, justru semakin hari semakin tenggelam begitu saja dalam etalase hasrat penyakit kawanan penguasa (KKN) kita.
Developmentalisme yang dijalankan oleh pemerintahan pusat baik jaman orde Orde Baru, reformasi maupun post-reformasi ternyata hanya menghasilkan nasionalisme untuk pragmatisme kapital (ekonomi, sosial dan politik) yang mengakibatkan adanya ketimpangan antar kelas sosial yang sangat jauh.
Tragedi konflik pemboikotan dan pemogokan massal yang dilakukakan oleh para karyawan PT. Freefort dengan pihak manajemen, penembakan oknum yang tidak dikenal terhadap Politisi, bentrok antara warga terkait pemilu kepala daerah kabapaten Puncak Jaya beberapa waktu lalu, serta teriakan suara pembebasan OPM yang melenting sampai hari ini yang kita dengar dan saksikan di media massa, bisa jadi adalah sebuah tuntutan dan tekanan terhadap penentu kebijakan tertinggi dengan landasan teori di atas.
Sentimen agama, suku dan antar golongan yang tumbuh dan mengaktual menjadi konflik berdarah dan kenaifan para pemimpin agama, pemerintahan, dan tokoh masyarakat, menyebabkan cerita untuk melawan rezim yang membodohi berubah menjadi sebuah perang suci untuk membela identitas dan kearifan lokal.
Jika sampai hari ini, pemerintah pusat dan daerah Papua, masih juga mempertahankan egosentris hasrat kekuasaan dan jabatan yang berlebih-lebihan, maka warna politik Papua saat ini dan yang akan datang akan selalu diwarna konflik vertikal dan horizontal. Jika pemerintah sama sekali tidak tersentuh hati dan akalnya oleh kebenaran dan keadilan, dan masih saja asyik bermain di atas kepentingan partai untuk melegalkan pengeksploitasian terhadap Alam dan manusia Papua, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti, warga Papua bisa menjadi lautan darah tanpa jeda.
Kemiskinan, konflik dan ketertinggalan rakyat Papua bisa saja teratasi jika hal tersebut diatas dilawan dalam dua pendekatan. Pertama, melawan kemiskinan dan ketertinggalan dengan memberikan akses terhadap pendidiakan yang berkeadilan, akses terhadap kesempatan kerja, akses terhadap layanan publik dan akses terhadap informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Kedua, Melawan kemiskinan dengan menerapkan pemberdayaan ekonomi yang menguntungkan rakyat. Hal inipun tidak akan terpenuhi jika political will dari penguasa masih dalam lokus setengah hati.
Masalah yang terus menghujani Papua, tidak akan pernah menemui titik pemecahan komprehensip, jika pemerintah pusat dan daerah masih juga membangun persekongkolan politik untuk menjadikan Alam dan manusia Papua sebagai komuditas politik untuk menerjemahkan kepentingan politik mereka dalam rangka menumpuk rupiah dan jabatan.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)