Laman

Selasa, 24 Mei 2011

PERADABAN KRISIS KEMANUSIAAN


 PERADABAN KRISIS KEMANUSIAAN
Peradaban merupakan hasil dari rekayasa genetika antara alam aqli / jabarut (persefsi akal), alam malakut (persefsi khayal), dan alam nasud/ materi (persefsi indawi) yang saling menopang dalam metabolisme simbiosis mutualistis oleh manusia.
Mengapa manusia ?
Ya, sebab hanya satu mahluk inilah yang mampu mendesain, merestorasi, dan memandang jauh melintasi hakikat segala sesuatu dengan ketiga persefsi diatas (akal, khayal dan indra). Mungkin karena itu pula sehingga manusia dijadikan mahluk ciptaan tuhan sebagai mahluk yang paling mulia dimuka bumi dan dikhitahkan olehnya sebagai khalifatunfilard (wakil tuhan) untuk mengetahui, memahami, menjaga, memelihara dan menyingkap segala tabir yang masih rancu dan abstrak untuk diberdayakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Ketimbang hanya mengetahui dan memahaminya pada tataran rumus mate-matika yang dikonsumsi sebagai doktrin imajinasi penyihir yang mempunyai kekuatan super dahsat dalam mencipta tanpa tahu bagaimana cara mengimplementasikannya bagi kemaslahatan umat manusia.
Manusia adalah sutradara, produser, dan aktor dari sebuah peradaban, tapi kadang kala peradaban yang dihasilkan justru menggilas dan memasung manusia itu sendiri dalam mengaktualisasikan eksistensi dirinya sebagai mahluk yang memiliki nilai proporsional dalam hal “memanusiakan manusia, meng-alam-kan alam, serta menuhankan tuhan) dan bahwa hubungan mereka jika dibawa kehukum berpikir yang benar (LOGIKA) adalah hubungan umum dan khusus mutlak (umum=tuhan, khusus=alam dan manusia).
Peradaban selalu lahir dari rahim permikiran manusia kompeten yang merevolusi daya pikir untuk menguak, mendesain, dan mewujudkan tata dunia kehidupan sebagai pijar penerang nilai kemanusiaannya. Kecendurungan bervisi brilian dengan akal sebagai nahkodanya adalah fitrawi manusia, tetapi kadang kala cara, metode, strategi, tehnik dan taktik yang ditempuh untuk meraih tujuan tersebut sering kali kurang murni (bebas nilai) sesuai tujuan luhur yang diinginkan. Seperti pernah dikatakan oleh Bung Hatta (Proklamator Republik Indonesia) bahwa”semua manusia entah dalam posisi sebagai individu, kelompok dan lain sebagainya memiliki tujuan dan niatan baik tetapi cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuannya tersebut senantiasa menjauhkan dia dari tujuannya.
Peradaban selalu dimuali dari perubahan besar-besaran yang terbingakai dalam ruang dan waktu yang besar pula. Pembentuknya adalah paradigma berpikir/pandangan dunia/aqidah (memandang realitas sebagaimana adanya) yang diterjemahkan dalam ideologi/syariat (memandang realitas sebagaimana mestinya) yang bisa mengguncang eksistensi nilai konservatif yang cenderung primitif dan feodal. Paradigma berpikir juga lah yang telah melahirkan simbolik motorik substansi (bahasa) sebagai transformasi untuk menghantarkannya yang kemudian menjadi urat nadi berjalan sebagai siklus yang komplementer dan ekuivalen sehingga menjadi tabiat atau kebiasaan. Pada fase selanjutnya kebiasaan itu terpolarisasi dengan kebiasaan lainnya yang akhirnya melahirkan kebudayaan. Derap langkah yang sekuel ini kemudian mngadopsi nilai-nilai luhur tata dunia entah lama maupun baru dianggap bisa mengangkat harkat dan martabat hidupnya yang vokal poin dari semuanya adalah kehidupan yang lebih baik, adil dan sejahtera serta semua dari oleh dan untuk semua, sekaligus menggugurkan prasangaka negatif (stereotif) bahwa manusia hanyalah binatang yang berpikir ala sokrates.
Jika dilihat dari pendekatan biologi yang dielaborasikan dengan egosentris maka peradaban lahir dan diawali dari peradaban individu yang rentetan fasenya adalah ego individu menciptakan peradaban pribadi – ego famili menciptakan peradaban keluarga, ego kesukuan menciptakan peradaban kesukuan, ego bangsa/negara menciptakan peradaban negara/bangsa , ego region menciptakan peradaban bangsa-bangsa adidaya, ego internasional menciptakan peradaban bangsa-bangsa, ego agama menciptakan peradaban agama dan terakhir ego semesta menciptakan peradaban dunia semesta alam. Semua itu dihasilkan melalui pemikiran kontemplatif ( cipta, rasa dan karsa) manusia-manusia produktif yang mengilhami diri untuk menggali apa yang dimiliki sebagai nilai kemanusiaannya tanpa hanya berpangku tangan menjadi penonton dan menunggu birokrasi langit untuk mengubah situasi dan kondisi sesuai yang diharapkan atau yang lebih parah lagi adalah pasrah akan semuanya karena itu sudah menjadi takdir yang diatas.
Indonesia-pun lahir dari pemikiran manusia-manusia kompeten baik dari sisi intelqtual, hasrat, tekat, cita-cita, dan spritualitas untuk membangun sebuah peradaban sesuai dengan nilai kemanusiaan yang fitrawi ( persamaan derajat, menjunjung tinggi harkat dan martabat, keadilan, kebenaran, kesejahteraan serta kebahagiaan) untuk seluruh masyarakat yang memiliki nasib yang sama sebagai bangsa terjajah dan bertekat untuk menentukan nasib sendiri yang berdikari (bediri diatas kaki sendiri). Paling tidak ada dua faktor utama yang melahirkan peradaban suatu negara. Pertama, faktor internal (pemikiran,keyakinan,nilai budaya masyarakat, serta harapan atau cita-cita yang terkonstruksi dalam jati diri bangsa). Kedua, faktor eksternal (tata nilai dunia yang diadopsi sekaligus menjadi doktrin yang dihalalkan oleh negara-negara yang lebih dulu menciptakan peradaban atau kelompok yang melahirkan konstruk filosofis-ideologis yang menjadi pondasi utama untuk menghegemoni peradaban).
Sejak abad pertama dunia ini, telah lahir pemikiran-pemikiran manusia yang senantiasa ingin mencari tahu hakikat dari penciptaan alam semesta beserta isinya. Mereka berpikir secara kontemplatif sehingga melahirkan peradaban yang mereka anggap sah dan sesuai dengan tuntutan jaman kala itu. Jadi tidaklah mengherankan jika kemudian jaman sebelum masehi (SM) banyak melahirkan filosof ulung tanpa belajar menulis dan membaca secara konvensional tetapi dengan cara intuitif-logic-hermeneutik.
Sejak zaman itu, peradaban manusia senantiasa berubah dengan tingkat pemikiran dan keyakinan yang berbeda antara wilayah yang satu dengan lain-nya tetapi masih saling mempengaruhi. Peradaban-peradaban yang berlainan tersebut mengalami pasang surut jaman keemasan, dimana disatu masa peradaban tersebut mengalami puncak kajayaan tetapi dimasa yang lain peradaban tersebut hancur lebur dimakan usia. Sebut saja peradaban Yunani, Romawi,Cina, India, Mesir dan lain-lain.
Setelah menengok kebelakang dijaman terdahulu, ada sebuah spirit dan kesadaran kolektif keilmuan dan kultural bahwa jaman sekarang yang sudah memasuki abad 21 maka peradaban harus-lah terkonstruk dengan kokoh agar tidak mudah tergerus oleh usia serta diupayakan agar lebih memanusiakan manusia dan meng-alam-kan alam semesta. Pasca perang dunia ke-2 dan berakhir-nya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, para pemikir peradaban kemudian melakukan rekonstruksi filsafat teoritis (pandangan dunia) dan filsafat praktis (ideologi) guna menciptakan tata dunia baru yang diklaim-nya lebih memanusiakan manusia.. Meskipun Amerika Serikat dan sekutunya telah memenangkan perang dingin, negara pecahan Uni Soviet dan sekutunya justru gencar melakukan penetrasi dalam bidang pemikiran filsafat entah itu filsafat teoritis maupun filsafat praktis. Pertarungan filsafat-pun menjadi preseden untuk menghegemoni dunia. Dari segi filsafat teoritis kedua blok ini tidaklah terlalu bertentangan sebab sama-sama merupakan basis dari materialisme. Tetapi dalam tataran filsafat praktis  khususnya dalam ranah ekonomi dan politik justru terjadi pertarungan dahsat hingga saat ini, maka secara tidak langsung sesungguhnya perang dingin yang berakhir ditahun 1945 tersebut justru masih paralel hingga saat ini. Diranah ekonomi, pandangan dunia materialisme ala blok barat menyuguhkan kapitalisme sebagai paham sistem ekonomi yang lebih baik untuk menghegemoni dunia, sementara dipihak yang lain, blok timur semakin gencar melakukan filterisasi dan penetrasi kapitalisme dengan paham ekonomi sosialisme yang merupakan antitesa-nya. Dunia telah dihegemoni oleh bi-polar kekuatan yang seolah-olah tidak ada pilihan lain selain kedua kekuatan tersebut yang sah dan layak untuk dioadopsi oleh negara-negara lain diseluruh dunia, yang kalau mau dicermati dengan seksama keduanya lahir dari embrio pandangan dunia materialisme yang sampai kapan-pun sulit untuk membawa manusia menuju kesejahteraan sosial dan ekonomi alih-alih justru memasung dan menelanjangi aurat kemanusiaan khususnya negara miskin (negara dunia ke-3) seperti indonesia.
Berangkat dari sebuah fakta sejarah dan konten pemikiran yang seperti itu, alternatif kerangka filsafat teoritis dan praktis yang lebih manusiawi menjadi sebuah keniscayaan. Agama yang bagi kedua blok tersebut diatas mengalami peng-diskredit-an, harus dijadikan main streem baru pembentuk dan penopang segala bangunan pemikiran. Bukankah negera didunia ini yang menghalalkan agama lebih banyak ketimbang pelopor atheis murni? Tinggal saja yang perlu didudukkan hari ini meskipun terkesani klasik untuk dikaji kembali adalah menemukan formula ideal hubungan antara agama dan negara. Kalau kemudian jawaban yang ditemukan adalah sekularisme entah itu ortodoks maupun moderat maka perlu kiranya ditelaah kembali, sebab dalam percaturan sejarah antara kaum agamawan dan kaum inteleqtual di-barat yang telah mempraktekkan hal tersebut justru semakin menjauh dari cita-cita peradaban ideal kemanusiaan. Bahkan tidak jarang muncul pernyataan yang bernada menghujat pemikiran kedua blok diatas bahwa mereka hanya menciptakan dua kondisi manusia secara lahir dan batin yakni disatu pihak ada manusia yang berenang dalam lautan kemegahan materi tetapi dipihak yang lain ada komunitas manusia yang semakin hari semakin tenggelam dalam lautan kehinaan, kemiskinan, penindasan, kelaparan hingga kematian mengenaskan.
Jika kemudian agama bisa menjanjikan peradaban yang lebih baik ketimbang konstruk pemikiran ke-2 blok diatas, maka banyak hal yang harus segera dibenahi. Sebab agama juga jika dilihat dari fakta sejarah, justru tidak kalah ektrim dalam membumi hanguskan manusia dan nilai kemanusiaannya. Klaim kebenaran tunggal antara agama merupakan pemicu ledakan paling dahsat perceraian kemanusiaan. Perang atas nama agama merupakan sesuatu yang indah bagi para pengikutnya, betapa tidak bidadari dan singgasana istana surga merupakan motivator paling unggul jika kemudian urat leher harus putus ditengeh peperangan.
Lantas kalau agama-pun kemudian tidak mampu menjawab pertanyaan terkait masalah peradaban, maka kepada siapa dan apa lagi umat manusia akan mengadukan nasibnya? Apakah dunia tinggal menunggu momentum yang tepat untuk mengalami kehancuran total?
 
Oleh : Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ,kader Hi (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar