Laman

Selasa, 24 Mei 2011

Paradoks Tenaga Kerja Indonesia


Salah satu faktor dominan yang berpengaruh terhadap timbulnya masalah tenaga kerja Indonesia yang keluar negeri adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi merupakan akar masalah yang menyebabkan terjadinya masalah membludaknya angkatan kerja di negara kita dan negara-negara berkembang lainnya. Ibarat pohon, krisis ekonomi ini diumpamakan sebagai akar yang mempengaruhi kekokohan dari pohon tersebut dan masalah diatas diibaratkan sebagai buahnya. Semakin dalam dan semakin luas akar ini masuk kedalam tanah semakin kokoh jugalah pohon tersebut berdiri dan semakin lebat pula buah yang dihasilkan yaitu pengangguran.
Semakin dalam dan luas krisis ekonomi menjalar dalam suatu bangsa, semakin "kuatlah" masalah pengangguran dan kelaparan ada dalam bangsa tersebut. Saat krisis ekonomi merajalela dalam suatu bangsa, maka yang terjadi adalah pengangguran yang tak terkendali. Pada bulan Agustus 2009, Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia mencapai 7,84 persen dan sekitar 27,76 persen atau 29,11 juta penduduk Indonesia bekerja sebagai buruh (BPS, 2009).
Pengangguran mengakibatkan seseorang tidak mempunyai pekerjaan untuk mendapatkan uang. Padahal seseorang perlu mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ketika dalam masyarakat masih banyak pengangguran dan pemerintah tidak sanggup memberikan pekerjaan bagi mereka, para pengangguran tersebut dengan pendapatan yang tidak memadai besar kemungkinan tidak akan memusingkan pikiran mereka dengan masalah gizi yang harus mereka penuhi.
Pengangguran dan kelaparan inilah yang menjadi factor paling urgen yang mempengaruhi terjadinya arus migrasi suaka kerja, mulai dari perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) hingga perpindahan penduduk dari suatu Negara ke Negara lain (emigrasi). Hal ini entah terpaksa atau tidak harus dilakukan untuk mencari suaka kerja yang lebih menjanjikan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Para TKI itulah salah satu contoh paling konkret yang mengadopsi hokum ekonomi tersebut.
Kalau kita mau jujur mau jadi apa kelak TKI tersebut selain jadi budak atau kuli? Ini baru dalam satu sector saja dalam hal ini kedaulatan ekonomi Negara yang terdiskreditkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang populis dan substansial. Ironisnya, kebanyakan dari TKI yang memcari penghidupan di luar negeri sangat miskin kemampuan dan keterampilan. Akhirnya lebih banyak cerita miris dari pahlawan devisa ini yang merupakan penyumbang devisa terbesar ke dua setelah sector migas daripada pemuliaan atas jeri payah mereka. Ingat bahwa penduduk kita yang masih hidup dibawah garis kemiskinan sekitar 34,96 juta atau sekitar 15,42 persen (BPS Maret 2009).
Tragis memang. Padahal, sumbangan devisa dari mereka cukup tinggi. Per Januari-Maret 2004 mencapai US$ 425.208.154 atau Rp 3,836 triliun. Ambil contoh TKI dari Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data Bank BNI cabang Mataram, pada periode Januari-Juni 2003, remittance dari para TKI tercatat Rp 218,75 miliar. Padahal, APBD daerah itu saja hanya Rp 139,75 miliar. Di Jawa Timur, sumbangan devisa TKI-nya mencapai Rp 1,3 triliun pada 2001, sedangkan APBD-nya Rp 2,464 triliun.
Tapi,semua itu berbanding terbalik dengan apa yang terjadi terhadap puluhan ribu TKI ilegal di Malaysia yang tenggat amnestinya bakal habis pada 14 Februari ini. Kini kehidupan mereka begitu mencekam, takut dikejar-kejar, ditangkap, dicambuk, dan dipenjara untuk kemudian dideportasi ke Indonesia.
Jumlah TKI yang menanggung nasib seperti itu cukup besar di Malaysia. Dari sekitar 1,2 juta orang tenaga kerja ilegal di sana, sekitar 60% atau 720 ribu orang di antaranya berasal dari Indonesia. TKI ini kebanyakan memilih cara ilegal karena lebih menguntungkan ketimbang cara legal.
Hitung-hitungannya begini: dengan mengeluarkan duit sekitar Rp 7 juta-9 juta untuk biaya keberangkatan, seorang TKI legal umumnya hanya mendapat gaji sekitar RM 25 atau Rp 60 ribu per hari. Mereka tak bisa menikmati gaji penuh karena dipotong oleh majikan dengan alasan untuk mengganti biaya mendatangkan TKI. Sementara, TKI ilegal—dengan modal berangkat yang lebih sedikit—justru bisa mendapatkan RM 50 per hari. Mereka pun sudah bisa mengirimkan uang setelah dua bulan bekerja dengan jumlah sekitar Rp 2 juta-Rp 4 juta per bulan. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja akhirnya banyak yang memilih menempuh jalur ilegal. Banyak pula TKI legal yang kemudian menjadi ilegal karena dokumennya sudah kedaluwarsa.

Maka, dibutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah Indonesia untuk menun-taskan akar persoalan ini. Hal tersebut dimulai dari peningkatan kualitas sumber daya manusia. Balai-balai pendidikan dan latihan kerja perlu diperbanyak dan diberdayakan sehingga bisa memenuhi skill yang diinginkan negara tujuan. Calon TKI juga harus memiliki pengetahuan mengenai negara tujuan.
Selanjutnya, juga diperlukan sistem pelayanan satu atap dalam pengurusan dokumen TKI, karena birokrasi yang terlalu panjang menyebabkan biaya tinggi. Di wilayah inilah tumbuh subur percaloan. Belakangan, Pemerintah Indonesia memang tengah menyiapkan sistem pelayanan terpadu bagi TKI di 14 lokasi di Indonesia. Namun ini hanya untuk sementara, bukan permanen, dan lebih terarah sebagai reaksi atas kasus pemulangan puluhan ribu TKI ilegal.
Peraturan perundangan seputar buruh migran, seperti UU No. 39/2004 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, juga perlu ditinjau kembali. Dalam UU ini, posisi pemerintah sebagai regulator, pembina, pengawas, dan sekaligus pelaksana, menggambarkan multi-interest sehingga tidak bisa obyektif dalam menangani suatu masalah. Perlindungan hukum terhadap TKI di luar negeri melalui kerja sama bilateral, seperti antara RI dan Arab Saudi, juga belum menjadi perhatian utama. Sangat banyak hal yang harus dibenahi pemerintah dalam mengurus masalah TKI. Tapi semua ini memang sebanding dengan sebutan pahlawan devisa atau duta bangsa bagi mereka.
Pertanyaan selanjutnya mau jadi apa bangsa ini nanti? Apakah bangsa ini hanya akan menghasilkan generasi yang bodoh, tidak mampu bersaing dan hanya akan menjadi budak bagi bangsa lain?. Apakah kita harus berbangga diri ketika kita sebanyak-banyaknya mengekspor TKI ke negara-negara tetangga sebagai pembantu?
TKI, mereka sering disebut sebagai pahlawan devisa negara. Mungkin bagi kita itu memang benar tetapi bagaimana mereka menanggapinya? Apakah mereka secara tulus menerima gelar tersebut? Apakah siksaan yang dialami oleh sekian banyak TKI kita mereka anggap sebagai resiko yang harus ditanggung sebagai seorang pahlawan? Tidak, mereka hanyalah warga negara Indonesia yang tidak diterima di negaranya sendiri. Tidak ada yang mau memberikan penghidupan bagi mereka di sini, dinegaranya sendiri.
Mereka menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing. Tentu saja hal ini dipengaruhi salah satunya oleh tingkat pendidikan yang mereka terima sejak masih berada dalam bangku sekolah dasar alih-alih tidak mengnyam pendidikan sama sekali. Status pendidikan yang mereka terima semenjak masa sekolah dasar menentukan masa depan mereka saat ini. Jadi nyatalah kiranya bahwa bangsa ini banyak menghasilkan generasi yang hilang (lost generation). Generasi yang hanya akan menjadi budak bagi bangsa lain.
Untuk itu kita harus segera berbenah diri. Pemerintah sudah selayaknya segera memutar otak untuk memecahkan masalah ini. Jangan sampai bangsa ini dihina dan dilecehkan karena kebodohan kita. Jangan sampai bangsa ini dicap sebagai bangsa budak.

DEMOKRASI YANG SOBEK


DEMOKRASI YANG SOBEK
Ironi Demokrasi di Indonesia
Realitas sejarah mencatat bahwa perjalanan dan penjelajahan bangsa dan negara indonesia dalam dunia demokrasi mengalami kontradiksi akut antara tatanan nilai ideal dan nilai faktul yang terkandung didalamnya. Demokrasi sebagai alat dan jalan untuk mengarahkan bangsa ini menjadi bangsa yang menjunjung tinggi kesetaraan, kebebasan, keadilan, kebenaran, persatuan, dan musyawarah mufakat kekeluargaan menuju tujuan republik sebagaimana yang ditercantum dalam pembukaan UUD 1945 yakni “ melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial” begitu brilian ditataran retorika proposisi-argumentataif tapi sangat lemah dan tumpul ditataran strategi praksis sektor rill dalam semua lini kehidupan kebangsaan mulai dari tingkat makro, messo serta mikro entah disisi pendidikan, politik, ekonomi, hukum hingga agama. Prototif demokrasi yang tadi-nya merupakan alternatif  solusi terhadap sebuah masalah justru melahirkan masalah baru diinternal-nya sendiri. Bukankah ini adalah ironi demokrasi ditangan bangsa yang haus kebanggaan dan kemuliaan?
Segelintir individu dan golongan yang merupakan bagian organ tubuh dari bangsa dan negara ini (penguasa) menikmati iklim demokrasi yang seperti ini untuk melakukan onani kekuasaan dengan limpahan kemegahan materi dan prestise yang menjanjikan melahirkan preseden buruk untuk membuat sebagian besar masyarakat direpublik ini harus mengeluskan dada sebagai tanda ke-ilfil-an dan mulai sanksi terhadap janji demokrasi.
Dari penjelajahan inteleqtual (mengamati, meneliti, menganalisis dengan kontemplatif, serta menyimpulkan), nampaknya ruang dan waktu demokrasi ala Indonesia dalam menancapkan pengaruhnya terhadap wawasan nusantara jika disaksikan dari jarak jauh maupun dekat, diperjuangkan dengan mengorbankan darah dan keringat, dengan mudah terdeteksi untuk kemudian merazia bahwa ada kepingan-kepingan konspirasi dari arsitektur konstruksi politik kenegaraan yang sudah akut. Sejak jaman pra kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga tragedi Reformasi yang sudah sekian tahun terlewati, slogan demokrasi selalu menjadi topik hangat diperbincangkan, didiskusikan hingga diperdebatkan oleh semua kalangan mulai dari pejabat teras hingga masyarakat awam, mulai dari para pakar hingga tukang becak. Nampaknya demokrasi ala indonesia ibarat pakaian robek yang tidak bisa ditambal bahkan dijahit lagi, melahirkan berbagai rangkaian masalah yang kalau-pun masalah yang satu sudah bisa ter-atasi, masalah yang lain sudah siap menanti untuk ditemukan formula penyelesaiannya ibarat sebuah benang kusut yang sangat sulit untuk diurai.
Implikasi negatif yang ditimbulkan dari demokrasi yang sobek tersebut dapat dengan mudah dilihat dan didengar entah secara langsung maupun lewat media cetak maupun eletronik. Dari Sabang di-barat sampai Merauke di-timur, dari pulau Mianggas sampai pulau Rote, dari danau Sentani di Papua hingga danau Toba di Sumatra Utara, kesucian dan kebeningan air kebijaksanaan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik demokrasi yang sobek tersebut kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kesejahteraan dan kebudayaan.
Bukankah ini adalah sebuah ironi mengingat indonesia adalah hasil pertautan komplementer paham yang ideal yang telah disaring dari keberagaman paham pemikiran, keyakinan, dan budaya?. Lantas mengapa negara ini tidak mampu berdiri diatas kaki sendiri dalam mendesain tata kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara diatas kaki sendiri (berdikari) sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno (proklamator republik)?
Penegasan Integrasi dan Kekeluargaan
Perlu diingat bahwa Indonesia lebih merupakan state-nation (bangsa-negara) ketimbang nation-state (negara-bangsa). Berarti eksistensi dari negara ini adalah artikulasi eksistensi kebangsaan. Negara indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan agama,budaya serta etnisitas melainkan karena adanya bangsa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menampung cita-cita politik bersama. Jika kemudian negara merupakan artikulasi dari persatuan kebangsaan maka tidak menutup kemungkinan negara jualah yang menjadi artikulasi pemecah belah bangsa. Dengan demikian politik kenegaraan merupakan sesuatu yang sangat vital dan urgen untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.
Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat guna sanggup mengelaborasi kemajemukan Indonesia sebagai nation-in-nation adalah desain negara kekekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa dengan keragaman ideologis-nya memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan (keluarga besar bangsa indonesia).
Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi merupakan perpaduan dari banyak unsur yakni paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi Jawa, konsepsi kekeluargaan hakko itjiu Jepang, konsepsi islam tentang keterpisahan antara individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), konsepsi sosialis kristiani, pluralisme radikal ala Sukarno, maupun demokrasi sosialisme ala bung Hatta,dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.
Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar dan karakter ideal kemanusiaan. Ini bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun kearah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Bung Karno kekeluargaan adalah meja statis dan leitstar dinamis yang mempersatukan dan memadukan. Tetapi perlu diingat bahwa kekeluargaan disini bukanlah kekeluargaan bangsa mayoritas atau paham mayoritas. Negara ini bukan miliki keluarga besar suku tertentu, bukan pula miliki kelurga besar teritorial tertentu apalagi milik keluarga besar agama tertentu. Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung ke-Indonesia-an, maka kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan merupakan kehilangan segala-galanya alias negara menuju kehancuran. Kehilangan yang membuat mesin pesawat kebangsaan indonesia macet ketika meng-udara, terbuai oleh kencangnya angin dan kuatnya daya tarik gravitasi perubahan tanpa parasut terbang. Jika kemudian demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tidak lain karena perkembangan demokrasi yang cenderung mengalami krisis jiwa kekeluargaan.
Penyanderaan Demokrasi Pancasila
Sungguh ironis menyaksikan kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, ketika peraturan perundang-undangan berbasis eksklusifisme keagamaan bersetubuh menikam jiwa ketuhanan yang maha esa, lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan menginterupsi bahkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab, trilogi penyakit negarawan (korupsi,kolusi dan nepotisme) dan penciptaan dinasti kekuasaan dari pemerintah pusat (geo-politik O)  hingga daerah (geo-politik pribumi) serta klaim kebenaran tunggal komunitas sosial turut melemahkan persatuan kebangsaan, demokrasi liberal prosedural dalam pemilihan umum dengan segala variannya membunuh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. penguasa ( eksekutif, legislatif dan yudikatif) berjamaah menjarah keuangan rakyat, penegak hukum menciderai asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan efek jera, ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar turut menjegal keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan justru berlawanan dengan arah jarum jam kemerdekaan sesungghnya, rakyat dibawah pada periode pra-politik saat terkungkung dalam hukum besi sejarah penjanjahan kolonial.
Ada jarak yang lebar antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan, persamaan, kebebasan, persaudaraan dan kekeluargaan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat. Distorsi ini terjadi disebabkan karena lembaga negara dijadikan industri komersil tempat mencari kerja sehingga lembaga negara diinterpretasikan sebagai lemabaga profesi. Wakil rakyat tidak lagi bekerja untuk politik melainkan bekerja dari politik. Disinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha dan politisi dalam proses institusionalisasi dan legal drafting, mereka melegalisasi proyek kepentingan pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan proyek pembangunan infrastruktur untuk kemaslahatan rakyat. Suatu gerakan mafia melakukan penyanderaan demokrasi. Adagium “akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik” yang merupakan pernyataan Pra Moedya Ananta Toer dalam RUMAH KACA nampaknya telah menemukan tempatnya dalam realitas perpolitikan nasional indonesia hari ini.
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa dan negara ini selain melakukan tobatan-nasuha politik oleh semua steackholder dalam hirarki kekuasaan...! Jika tidak, maka revolusi kerakyatan harus sudah dalam tahap geladi bersih strategi penggulingan kekuasaan dan penyusunan reformasi disemua lini lembaga negara.
Oleh : Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ,kader Hi (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

IRONI KEBIJAKAN (Kebijakan Publik Vs Kebijakan Privat)


IRONI KEBIJAKAN

(Kebijakan Publik Vs Kebijakan Privat)

Oleh:Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)
Membuat keputusan berarti memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang ada, sedangkan alternatif-alternatif itu tidak selalu mengandung implikasi-implikasi positif.
Dalam ilmu politik ada sebuah titik tekan dalam menentukan apakah suatu alternatif sebagai terbaik dari pada alternatif yang lain, sangat dipengaruhi oleh Ideologi, Konstitusi, anggaran, sumber daya manusia, efektifitas dan efisiensi serta etika, moral dan agama yang hidup di dalam masyarakat. Alternatif keputusan politik secara umum dibagi menjadi dua, yaitu program-program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-negara biasa disebut dengan “kebijakan publik” serta orang-orang yang akan menjalankan kebijakan umum ( pejabat pemerintah). Sementara itu keputusan tidak selamanya menyangkut politik sebab sebagaimana yang diketahui bahwa keputusan dapat menyangkut diri sendiri, keluarga, atau bisa juga menyangkut kelompok atau golongan tertentu. Hal inilah yang sering diistilahkan “kebijkan privat”.
 Jadi secara sederhana kebijakan publik adalah keputusan yang dikeluarkan oleh supra struktur politik ( legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang menyangkut segi dan sudut kebutuhan, keinginan dan kepentingan orang banyak. Sedangkan kebijakan privat adalah keputusan yang dibuat entah itu pejabat Negara maupun masyarakat biasa yang nota benenya hanya mneyangkut tekstur dan kontur kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja.
Berangkat dari diferensiasi dua makna kebijakan “politik” diatas maka dalam perbendaharaan ilmu politik biasanya ditegaskan bahwa “ tidak semua keputusan politik adalah kebijakan umum sebab, ada keputusan dan kebijakan politik yang tidak menyangkut alih-alih berseberangan dengan dengan keinginan, kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak.
Salah satu dari sekian banyak kebijakan dan keputusan politik yang ditafsirkan sebagai kebijakan publik dewasa ini adalah “libur bersama”. Ya…namanya saja “libur bersama”, jika diartikan secara literal maka artinya libur yang dilakukan secara serempak dan serentak. Cukup menggelitikan memang, jika kemudian sesederhana itu substansi dan makna yang ditafsirkan oleh masyarakat Indonesia terlebih lagi pembuat kebijakan (pejabat publik), tapi mau diapa, inilah realitas budaya berpikir dan bertingkah laku bangsa ini yang selama ini kokoh dipertahankan meski punya ekses menghancurkan.
Kebijakan public yang tertuang dalam SK 3 (tiga) Menteri ( Agama, Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Dan Pemberdayaan Apatur Negara) tentang libur bersama yang jatuh pada hari senin 16 Mei 2011 santer menimbulkan kontroversi pemberitaan di Media massa. Hal tersebut ternyata tidak luput juga dari disputasi antara para pengamat dan pakar kebijakan publik.
Dalam Negara yang mengadopsi budaya industri, misalnya Negara di Eropa, libur bersama bisa menciptakan implikasi ekonomi yang tidak tanggung-tanggung. Roda perekonomian mikro akan mengalami ketidakstabilan. Hal ini disebabkan karena nilai tambah berkurang akibat produktifitas menurun. Faktor efisiensi juga turut mempengaruhi hal tersebut.
Sedangkan dalam budaya tradisional masyarakat Indonesia yang intens dalam dunia pertanian (petani) dan sector kelautan (nelayan), “libur bersama merupakan hal yang dianggap tabu” sebab libur yang mereka pahami murni lahir dari tuntutan dan kemauan alam.
Selain itu, kebijakan “libur bersama” memberikan kegelisahan dan kesemrawutan kepada kelompok masyarakat struktural-fungsional ( sekolah, kampus, rumah sakit, maupun DPR) dalam menerapkan prinsip manajemen. Perencanaan yang sudah jauh-jauh hari dicanangkan untuk kegiatan tertentu, harus diudur (bahkan ada yang di cancel). Misalnya saja di DPR RI, tanggal 16 mei merupakan jadwal rapat pembahasan gedung baru DPR antara Kementrian Perusahaan Umum dengan komisi satu DPR, belum lagi agenda yang sudah dijadwalkan oleh masing-masing komisi yang lain. 
Ironis memang, jika kemudian kita memperhatikan dengan seksama proposisi dan argumentasi pembenaran yang dikelurkan oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Mereka mengemukakan bahwa “libur bersama merupakan kebijakan yang bisa merangsang laju perekonomian sector pariwisata”. Tidak perlu menjadi sorang pakar politik dan ekonomi untuk menggugurkan proposisi diatas. Bukankan kondisi ekonomi masyarakat kebanyakan sangat lemah? Jangankan urusan liburan dan rekreasi ditempat wisata, untuk sekedar mengisi perut tiap haripun masih menjadi tanda Tanya besar. Kecuali yang dimaksudkan pejabat pemerintah diatas adalah masyarakat ekonomi mapan. Ya…seperti mereka maksudnya.
Semestinya dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara hendaknya mengeluarkan kebijakan dan keputusan yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan (masyarakat umum), sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa  karena salah  satu misi utama pemerintah adalah menyediakan barang dan jasa serta penyampaiannya pada masyarakat sebagai upaya melakukan  pelayanan  publik  yang  berkualitas.
Di era otonomi daerah  saat  ini, dimana pelimpahan  wewenang dari  pemerintah  pusat ke daerah memungkinkan terjadinya penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian dan peningkatan kualitas pelayanan. Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara  langsung,  merupakan konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada  tatanan  organisasi  pemerintah. Hal ini disebabkan oleh  perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan kompetisi global yang sangat ketat. Dengan   kondisi demikian, hanya organisasi yang mampu memberikan pelayanan berkualitaslah yang akan merebut konsumen potensial, seperti halnya birokrasi pemerintah yang semakin dituntut untuk menciptakan kualitas pelayanan agar dapat mendorong dan meningkatkan kegiatan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pejabat dan aparatur Negara harus lebih proaktif dalam mencermati paradigma baru global agar pelayanannya mempunyai daya saing yang tinggi dalam berbagai aktivitas  publik. Untuk itu birokrasi seharusnya dapat menjadi center of excellence (pusat keunggulan pemerintah). 
Berbicara tentang kualitas suatu kebijakan publik maka perlu kiranya ada pelurusan makna tentang kualitas yang dimaksud. Terminologi kualitas  memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga lebih strategis.  Definisi  konvensional  dari kualitas  biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti: (1) kinerja; (2) keandalan; (3) mudah dalam penggunaan, (4) estetika. Adapun dalam definisi  strategis  dinyatakan  bahwa, kualitas adalah  segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customer), sedangkan pengertian kualitas, baik yang konvensional maupun yang lebih strategis oleh Gasperz dinyatakan bahwa, pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok. Pertama, kualitas terdiri dari sejumlah  keistimewaan produk, baik  keistimewaan langsung   maupun   keistimewaan   aktraktif   yang  memenuhi  keinginan pelanggan dan  dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kedua, Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari  kekurangan atau kerusakan. Untuk itu kualitas kebijakan public yang berorientasi pada pelayanan masyarakat adalah kebijakan yang berorientasi pada suatu kegiatan pelayanan yang  diberikan  kepada  pelanggan  sesuai  dengan  prinsip:  lebih  murah, lebih baik,  lebih cepat, tepat, akurat, ramah, dan sesuai dengan harapan pelanggan. Selain itu J.W. Cortado menyebutnya pula dalam satu frase yaitu  saat  kejujuran  (the   moment  of  truth)  atau  kualitas  diciptakan  pada  saat pelaksanaan, dengan  demikian  bertolak  dari  pendapat-pendapat  tersebut, maka kualitas kebijakan yang berorientasi pada  pelayanan adalah  melayani masyarakat (konsumen) yang sesuai dengan  kebutuhan  dan  seleranya. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa, segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan, semuanya sudah terukur ketepatannya  karena yang diberikan adalah kualitas. Oleh sebab itu, pelayanan pejabat pemerintah kepada masyarakat yang berkualitas dapat didefinisikan melalui ciri-cirinya: (i) pelayanan yang bersifat  anti birokratis; (ii) distribusi pelayanan, (iii) desentralisasi dan berorientasi pada klien.
Terlepas hal diatas dipahami oleh pembuat keputusan dan kebijakan atau tidak yang jelas sudah selayaknyalah kita semua berbedah dalam bentuk introfeksi, koreksi dan evaluasi diri sebelum berbicara banyak tentang orang lain  apalagi rakyat banyak.