Laman

Selasa, 24 Mei 2011

KEHIDUPAN KAMPUS DAN NEGARA MENUJU PERADABAN PRIMITIF


KEHIDUPAN KAMPUS DAN NEGARA MENUJU PERADABAN PRIMITIF
Kampus dan negara dalam peradaban biologis (perut, fashion dan seks)
Rasa iri mulai menyiksaku, aku lemah dan tak berdaya, melihat teman-temanku setiap hari gonta-ganti pakaian jika ke kampus dengan merek dan kualitas serba imfor. Suatu perasaan amat pusing menyambarku. Aku berjalan terus dan berusaha untuk tidak memperhatikannya, tetapi semakin lama perasaan itu semakin semakin kuat.
Paragraf diatas adalah sebuah curahan hati (curhat) seorang teman wanita yang se-kampungku denganku. Wanita yang dikenal murah senyum tersebut, kuliah bersama denganku disalah satu universitas negeri di Sulawesi Tenggara pada tahun 2004. Cewek berparas cantik itu sejak kecil hingga berusia 18 tahun hidup sederhana, taat beragama dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Dia tidak pernah keluar malam seperti kebanyakan anak perempuan seusianya, hal itu dilakukannya demi menjunjung tinggi nama dan budaya keluarga besarnya.
Hidup sederhana yang dijalaninya selama 18 tahun tersebut, ternyata tidak mampu bertahan lama dan harus luluh lantah ketika menginjakkan kaki di Perguruan Tinggi. Menyaksikan kehidupan kampus yang serba glamour memancing libido untuk mencoba beradabtasi dengan kehidupan tersebut. Setali tiga uang ternyata kemampuan yang dimilikinya khususnya dari segi finansial membuatnya harus bertekuk lutut terhadap keadaan bahkan kadangkala membuatnya menderita, sebab harapan yang diinginkannya tidak sesuai dengan kenyataan. Segala cara pun ditempuhnya, termaksud menjual mahkota kewanitaannya. Seiring berjalannya waktu gadis berjilbab tersebut semakin tidak bisa mengendalikan keadaan dan yang lebih memprihatinkan lagi nilai keagaaman yang selama ini diperoleh dan diamalkannya sewaktu dikampung, diabaikan bahkan dilupakannya begitu saja. Aku melihatnya ibarat serangga kecil yang sedang sekarat didalam cengkraman kebinasaan dunia yang sudah sesat ini.
Imflikasi Modernisasi ala Westernisasi.
Dibaca dalam konteks ini, kisah seorang teman diatas merupakan tamparan terhadap manusia yang pola hidupnya modern dengan kemampuan yang serba primitif. Hidup dengan ambisi kebutuhan biologis materialistis yang over. Betapa tidak, hidup hanya diartikan sekedar urusan perut, fashion, dan seks. Suatu nurani dan insting primitif ala manusia jaman pra sejarah diabad milenium yang mendominasi dan menghegemoni serta membentuk semacam adab yang tidak hanya menenggelamkan mahasiswa pada libido (hasrat) dan nafsu jamaniah saja. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata elit politik pun terkena virus tersebut. Mereka hadir dengan kesibukan yang serba berpikir fragmatis, serta tingkah laku yang oportunistik, serta melaksanakan peran dan fungsi dengan kalkulasi untung rugi materi untuk kepentingan pribadi. Suatu budaya individualistik yang mengalami reduksi makna terhadap paham individualisme barat. Paham individualisme sebagaimana pernyataan JJ ROUSEAU (pencetus teori Individualisme) mengatakan bahwa “setiap manusia lahir dan menjalani khidupan didunia ini dalam keadaan bebas dan merdeka. Oleh karena itu tidak ada manusia yang boleh membenarkan bahkan melegalkannya tindakan merebut atau mengganggu hak orang lain”. Elit tersebut, tidak sempat lagi untuk memikirkan hal lain yang bersifat visioner dan holistik, kecuali sekedar akal bulus untuk berjamaah menjarah dana negara dengan dalih proyek untuk kepentingan rakyat. Pengusaha lupa tanggung jawab sosialnya, akademisi rebutan kue kekuasaan dan berselingkuh dengan politisi, kaum agamawan sibuk mencari jaringan untuk menjadi selebritis, para penegak hukum tersangkut masalah hukum, serta masih banyak lagi yang lain yang tidak sempat penulis samapaikan karena keterbatan ruang dan waktu.
Sudah menjadi sebuah budaya ketika mahasiswa sibuk dengan hiruk pikuk mengejar kebutuhan perut, fashion dan seks. Mereka mencontoh atau mengkonsumsi secara mentah-mentah kebudayaan barat yang serba “bebas nilai”, sebuah kebudayaan yang diciptakan hanya untuk memuaskan hasrat-hasrat primitif.
Dalam sistem ekonomi, tanpa ada proses produksi yang seimbang, ekonomi kapitalistik yang dianut hampir disemua negara, justru hanya akan menciptakan budaya konsumeris. Jean Baudrillard (2005) menyebut kapitalis mutakhir, sementara Theodore Adorno menyebutnya sebagai masyarakat komuditas. Dalam dunia kampus dan negara, Term (istilah) diatas nampaknya menimbulkan paradoks, dipandang pada sisi yang satu mungkin ada benarnya karena manusia senantiasa tenggelam dalam hidup yang difasilitasi kedalam komuditas. Tetapi dilihat pada sisi yang lain, manusia belum sama sekali mencapai apa yang disebut Baudrillard sebagai kapitalis mutakhir alih-alih manusia justru baru belajar mengadopsi kapitalis klasik.
Ironi bangsa yang kehilangan orientasi
Mungkin inilah ironi abad mutakhir, sebagai masyarakat atau bangsa, kita menerima begitu saja adab tersebut sebagai akibat, namun kita tidak pernah mengetahui dan mengalaminya sebagai sebab. Kalau dirunut  teori kausalitas diatas maka benar apa yang pernah dikatakan oleh salah seorang sahabat nabi sekaligus keluarga beliau (Ali Bin Abi Thalib). Beliau mengatakan bahwa “penindasan terjadi akibat kerjasama yang baik antara si-penindas dan yang ditindas”, yang lebih memprihatinkan lagi ketika penindasan yang dialami oleh si-tertindas tidak disadari secara rasional. Bagaimana mungkin kita mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan terlebih dahulu tentang sesuatu itu? Bukankah ini adalah sebuah kegilaan?
Tidak mengherankan pula jika kemudian mahasiswa, masyarakat awam, elit politik hingga kaum agamawan seolah tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Hal ini terjadi dalam seluruh tingkat dan dimensi kehidupan. Pada pemahaman dan pendalaman spiritual misalnya, mereka kesulitan memahami dan mengalami agama sebagai jalan meneguhkan eksistensinya secara utuh. Mereka justru berhenti pada jargon dan slogan skriptualisme. Makna substansial dari agama tersingkir dari sudut-sudut perpustakaan terpencil, dan teralienasi.
Perut, fashion dan seks mungkin hanyalah simbol, tidak hanya buat manusia, tetapi juga untuk kehidupan itu sendiri. Posisinya begitu urgen sebagai penggerak hidup atau kebudayaan bahkan punya andil besar dalam menciptakan peradaban. Ia bisa menjadi ancaman serta bencana ketika membiarkannya menjadi binatang liar, yang siap memangsa hidup manusia.
 Akhirnya kita sebagai bangsa yang besar mengalami disorientasi akut yang jika tidak segera ditemukan formula menyembuhkannya bisa jadi negara ini akan terjun bebas menuju negara gagal bahkan mengalami kehancuran.

Oleh:Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ,kader Hi (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar