Laman

Minggu, 29 Mei 2011

Pejabat Publik dan Korupsi


Pengalaman banyak negara misalnya RRC (Republik Rakyat China) menunjukkan bahwa anggota legislatif sebetulnya, bisa menjadi pilar alternatif dalam pemberantasan korupsi. Sayangnya, potensi ini kerap diabaikan. Seperti realitas yang ada sejak pemerintahan orde lama hingga pasca reformasi di Tanah Air, Upaya membenahi tata kelola pemerintahan yang dulunya masih dipusatkan di dua cabang pemerintahan, yakni lembaga eksekutif dan legislatif, kini sudah menyebar hingga ke lembaga yudikatif mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Korupsi terjadi disemua segi dan sudut pemerintahan, mulai dari pejabat tinggi negara yang berada di Ibukota hinggga kepala desa atau ketua RT di daarah pedalaman.
Padahal, kalkulasi matematis dalam sistem demokrasi, lembaga tinggi negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif adalah tempat warga negara bisa menggantungkan harapan mereka akan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan karena peran dan fungsi lembaga negara adalah lebih sebagai katalisator, dan fasilitator terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui rumus baku kedaulatan yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Lembaga legislatif yang seharusnya mengaktual sebagai lembaga penerima, penampung dan penyalur aspirasi kebutuhan, keinginan dan kepentingan rakyat justru bermetamorfosis menjadi lembaga penjarah kedaulatan rakyat yang paling sistemik. Padahal jika direnungkan secara mendalam lembaga tersebut memiliki fungsi yang begitu menjanjikan dalam menerjemahkan kualitas dan kuantitas sistem demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara. Hal ini terkait dengan empat fungsi pokok legislator, yakni memproduksi undang-undang untuk mengontrol korupsi (fungsi legislasi), memastikan pemerintah menjalankan kewenangannya secara akuntabel (pengawasan), melindungi kepentingan konstituen dari dampak negatif korupsi (representasi), danyang tak kalah penting adalah menciptakan kemauan politik untuk memerangi praktek korupsi yang sangat tercela tersebut. Sungguh ironis memang mengingat justru posisi strategis tersebut telah dipertontonkan oleh pejabat negara kita termasuk anggota DPR yang bahkan masuk kategori paling korup sejagat.
Skandal korupsi, penyuapan hingga pencucian uang oleh pejabat publik, mulai dari level kakap seperti skandal korupsi BULOG, BLBI, Century, GAYUS dan lainya hingga level teri seperti indikasi korupsi dana BOS (bantuan operasional siswa) oleh kepala sekolah, penyuapan hakim oleh terperkara merupakan malapetaka atau musibah kedaulatan paling akut. Dana korupsi yang senilai jutaan hingga triliunan rupiah merupakan kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap negara yang katanya republik (milik publik). Hal ini adalah dosa sejarah dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemasungan nilai dasar negara (PANCASILA), pelecehan terhadap konstitusi (UUD 1945) serta penghinaan terhadap nilai kemanusiaan.
Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan harapan sebagai malaikat penolong, pelindung dan pelayan masyarakat telah mendua terhadap demokrasi. Awalnya dipandang sebagai alternatif solusi, wakil rakyat di Senayan dicibir sebagai biang praktek tercela ini. Berbagai lembaga survei menegaskan hal tersebut. Sebagai contoh Survei Barometer Korupsi Global yang dirilis tahun 2006 Transparency International Indonesia menyimpulkan mayoritas responden mendudukkan lembaga legislatif sebagai institusi terkorup di seluruh negeri. Pemberitaan media baik media cetak maupun eletronik mulai dari tingkat pusat hingga daerah berkali-kali mengungkap betapa penyuapan dan pemerasan telah sedemikian rupa membengkokkan proses legislasi di Republik.
Rakyat seantero republik mulai dari akademisi hingga tukang becak merinding membayangkan puluhan hingga ratusan pejabat publik ditangkap karena melakukan korupsi. Undang-Undang Antikorupsi merumuskan 30 jenis korupsi. Bila UU tentang korupsi konsisten ditegakkan, maka sebagian besar pejabat publik akan antre di depan penjara. Negara sertamerta berantakan bila lembaga penegak hukum menerapkan ke30 jenis korupsi itu.Berdasarkan 30 jenis perbuatan korupsi yang ditetapkan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 harus ditangkap jutaaan PNS, ratusan anggota DPR, DPD, dan DPRD, para menteri, gubernur, bupati, wali kota, direktur BUMN/BUMD, para rektor, dosen, guru, pemimpin pesantren, mahasiswa mungkin juga presiden dan wakil presiden.
Karena itu, menyuap pejabat publik dan pejabat publik menerima suap adalah korupsi. Menyuap hakim dan hakim menerima suap adalah korupsi. Penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil yang memeras adalah pelaku korupsi. Pengawas proyek yang membiarkan perbuatan curang berarti melakukan korupsi. Dan masih ada perilaku lain yang masuk kategori korupsi.
Apakah kita harus berpangku tangan sembari menunggu campur tangan birokrasi langit atau dewi fortuna untuk merubah keadaan dari sebagaimana adanya (disesaki skandal korupsi) menjadi sebagai mestinya (menghapuskan korupsi) ?. TIDAK. kita tidak boleh kehilangan harapan.
Terasa mual dan menggelikan memang, jika menyaksikan sepak terjang para pejabat publik atau wakil rakyat kita yang tak lagi peduli pada etika, dan moral. Karenanya, tuntutan mereformasi lembaga negara tak bisa tidak, mesti segera didesakkan.
Walhasil, perang melawan korupsi mestinya bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, sejumlah upaya dibentuk guna menjebloskan koruptor ke penjara. Orde Baru kerap melahirkan lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi pada 1967, Komisi Empat pada 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, dan Opstib di 1977. Nyatanya, penangkapan koruptor tidak membuat jera yang lain. Justru semakin hari kader-kader koruptor junior terus bermunculan. Gugur satu tumbuh seribu, kata pepatah.
Itulah kekeliruan upaya pemberantasan korupsi. Fokus yang sangat tertuju pada upaya menindak koruptor, sedangkan sedikit sekali perhatian pada usaha pencegahan korupsi. Beruntung, KPK, yang selain diserahi tugas penindakan, diberi tugas mencegah korupsi. Salah satu pencegahan korupsi adalah pendidikan antikorupsi pada masyarakat, terutama pendidikan antikorupsi bagi siswa sekolah. Menyadari hal ini, pengamat, pakar maupun ilmuwan pendidikan terlintas gagasan memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sebagai bentuk nyata pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri?
Jauh hari pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, siswa sekolah mulai tingkat SD, sekolah menengah pertama, hingga SMA, sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.
Menyikapi kesulitan tersebut, pendidikan antikorupsi lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Materi pendidikan antikorupsi nantinya diselipkan dalam mata pelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, matematika, bimbingan karier, bahasa, dan sebagainya. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.
Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMA akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi itu yang menopang nilai-nilai kebaikan dan yang mendukung orientasi nilai. Mengutip Franz Magnis Suseno,Pendidikan yang mendukung orientasi nilaiadalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda melakukan korupsi dan marah bila ia menyaksikannya.
Menurut beliau, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Beliau lebih lanjut mengemukakan, bersikap baik tapi melanggar keadilan tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Adapun tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan, menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.
Pendidikan anti korupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman serta tidak sekadar menghafal. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan antikorupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik, yakni membentuk sikap dan perilaku antikorupsi pada siswa, menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai antikorupsi.
Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemerintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembagaeksekutif, lembaga legislatif, komisi  independen dalembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa  serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini di lingkungan masyarakat internasional.
Namun,walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup komprehensif  telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (communitycorruption  watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan  tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yangcukup berarti dalam upaya pemberantasan tindak korupsi perlu waktu .Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem (sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan system administrasi) yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi.
Gerakan pemberantan KKN yang direncanakan dan laksanakan oleh Pemerintah melalui lembaga KPK (komisi pemberantasan korupsi) memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam. Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil, menangkap koruptor kelas teri dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar sawah untuk  menangkap tikus. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah merugikan Negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran.
Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi.
Reformasi aparatur Negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta sistem ekonomi yang dapat menciptakan keadilan social bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu Negara tidak dapat diterapkan begitu saja diIndonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan sistem ekonomi  yansosio-demokratis, dianggap paling sesuai dengan budaya bangsa. Para pendiri Negara menganggap corak bangsa Indonesia yang menunjung tinggi sifat dan sikap gotongroyong atau kekeluargaan seharusnya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut.
Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini, terutama selama hampir 2 tahun Pemerintahan KIB jilid dua belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi  kelembagaan yang telah dilakukan bukannya           menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semakin kuat untuk melaksanakan pemerintahan buat mencapai cita-citbangsa. Justru sebaliknya, komplikasbaru timbul yaitu ancaman kerapuhan pemerintahan nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan pemerintahan KIB jilid 2.
Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan penanganan secara menyeluruh dan besar-besaran pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk  penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebirasional, sistem rekruitmen yang lebih proporsional dan profesional serta penerapan aplikasi teknologi informasi moderen dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Romantisme Kedaulatan Rakyat

Dalam Rentetan sejarah yang mengayomi  negeri ini menuju kemerdekaan kedaulatan, ada sebuah tabir terjal dalam perkembangan pemikiran seluruh actor yang menjadi konsumen perjuangan para founding father negeri ini, yang selalu senang beromantisme dengan keberhasilan kemerdekaan masa lalu yang disikapi secara fanatik tanpa mampu mengklasifikasikannya kedalam tataran makna yang kontemplatif.
Kemerdekaan dipandang dan dimaknai secara simbolistik dengan menghilangkan dan menafikan  makna substantivenya. Sebelum, sejak, dan pasca kemerdekaan negeri ini diproklamirkan oleh para proklamator yang disaksikan seluruh rakyat sebagai suatu keberhasilan yang tiada tara untuk menunjukan kepada seluruh manusia didunia ini bahwa rakyat Indonesia menjunjung tinggi kedaulatan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Kalau dimaknai dan diaplikasikan secara substantive dan kontemplatif mungkin itulah  platform dan paradigma yang merupakan prodak paling bermutu untuk menggapai kesejahteraan dan kemakmuran dinegara ini.        
Tapi seiring berjalannya waktu manusia Indonesia semakin menggelepar dalam ingatan untuk meningkatkan paradikma  pemikiran sebagai modal dasar dalam menjalani perputaran peradaban yang semakin hari, semakin berkembang dan berubah. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian apakah manusia Indonesia dapat membawa alam pemikirannya kearah rotasi yang seharusnya tidak keluar dari koridor kedaulatan rakyat tersebut ?.   
Realita hari ini membuktikan bahwa paradikma pemikiran dan aplikasinya telah keluar dari platform tersebut dengan kondisi negara kita hari ini yang melahirkan tatanan sisten kenegaraan yang durhaka terhadap arah perjuangan bangsa ini karena para actor pentingnya hanya beromantisme dengan posisinya sebagai konsumen kemerdekaan negeri ini tanpa punya etika untuk tetap mempertahankan makna substantifnya atau kalau perlu memajukannya kearah yang lebih baik, tidak terlalu naïf kalau kita mengansumsikan para petinggi Negara ini seperti itu, betapa tidak mereka adalah actor-akror yang selama  ini senantiasa dipercaya rakyat mulai dari tingkat legislative, eksekutif bahkan juga yudikatif sedikit keluar atau boleh ekstrim kita katakan telah keluar dari arah perjuangan bangsa dan Negara ini yagni mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera yang diridhai tuhan yang maha kuasa.
Mungkinkah para petinggi kurang memiliki kompetensi, integritas  dan kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintahan selama ini ? ataukah mereka tidak punya etiket yang baik untuk menjalankan arah perjuangan bangsa ini, ataukah mereka tidak memaknai arti kedaulatan rakyat secara universal, ataukah mereka terisolir dalam romantisme  jabatan dan kekuasaan atas nama kedaulatan rakyat ? ataukah mereka telah kehilangan jati diri sebagai bagian dari negeri ini ?, ataukah para petinggi bangsa ini terlalu asyik berpolitik dogma ( makna sempit ), yang memandang jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok?.
Kedaulatan rakyat / demokrasi ( dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ) selama ini hanya diartikan dalam konteks pemilihan umum ( demokrasi electoral ), rakyat seakan hanya punya andil pada pemilihan umum yagni memiliki hak untuk dipilih dan memilih untuk menentukan wakilnya diposisi pemerintahan dengan harapan amanah, mandat serta aspirasi mereka bisa diwujudkan dan di implementasikan oleh mereka yang mendapatkan kepercayaan tersebut, sebaliknya para actor politik yang telah mendapatkan kepercayaan tersebut seolah kehilangan misi utama arah perjuangan kedaulatan rakyat tersebut (menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahter, adil dan makmur ). Padahal kalau kita mengkaji, memaknai dan merenungkan kembali arti kedaulatan rakyat ( demokrasi ) secara universal dan kontemplatif, term diatas hanyalah salah satu bagian dan proses dari demokrasi itu sendiri.
Semua Negara didunia ini ingin menjadikan negaranya sebagai penganut system demokrasi. Mungkin karena konsep inilah yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk tuhan yang otonom serta memiliki kecenderungan fitrawi yagni sebagai mahkluk individu dan social. Pekerjaan rumah yang sangat besar bagi Negara ini yang mencoba menerapkan sistem kedaulatan rakyat yang memiliki kultur kebangsaan yang sangat majemuk, untuk tidak terjerembab dalam konsep demokrasi Negara lain yang memiliki kultur yang berbeda dari Negara kita.   
Tujuan hakiki dari system damokrasi adalah kemerdekaan yang otonom, bukan semata kemerdekaan kedaulatan secara de jure dan de fakto. kita seharusnya bangga terhadap Negara ini karena telah terlepas dari penjajahan bangsa lain, berbeda dengan sebagian Negara-negara lain yang masih terbelenggu oleh penjajahan dan penindasan Negara lain.satu kebanggaan yang tiada tara pula karena Negara ini memiliki sumber daya alam yang memadai untuk mensejahterakan rakyat, serta memiliki kemajemukan yang merupakan modal begitu beranekaragamnya budaya yang berefek kepada kondisi social yang beragam pula, ibarat pelangi yang memiliki warna beranekararagam tetapi tetap satu kesatuan. Tapi kemudian mampukah kondisi yang begitu ideal ini bisa kita manfaatkan dengan baik.
Para actor negeri ini begitu larut dalam uforia kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita ( founding father ), seakan telah terbiasa menjadi konsumen atau penikmat sejarah tanpa mau membuka lembaran baru, mambawa negari ini kepada arah perjuangan yang telah diperjuangkan para pendahulu kita, terlalu bangga kalau kita mengatakan dan mengkonsepsikan bahwa Negara ini telah menerapkan system demokrasi secara procedural, normative dan substantive. Kita terlalu terisolir kepada pemahaman yang pragmatis yang selalu mengasumsikan bahwa dengan adanya pemilu meniscayakan Negara ini telah menerapkan system demokrasi, kalaupun pemilu merupakan satu-satunya indicator system pemerintahan demokrasi, Negara ini masih terkatung-katung dalam utofia pemilu yang selalu menyisakan sengketa, pelanggaran, ketidakadilan, serta yang lebh memprihatinkan hak rakyat untuk menentukan pilihannya terkebiri oleh aturan adminisrtasi yang selalu ditinggikan dari pada hak otonom untuk menentukan pilihan tersebut akibatnya banyak masyarakat yang sudah memenuhi kriteri pemilih tidak dapat menentukan pilihannya pada saat pemilihan umum berlangsung, maerka dipaksa untuk menjadi golput padahal mereka punya harapan besar untuk memiliki wakil rakyat yang nantinya bisa membawa aspirasi mereka menuju cita-cita yang diharapkan dalam hal ini kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran.
    
Pasca reformasi tahun 1989 hanya menghasilkan runtuhnya rezim otoriter ala Suharto, dengan tidak ada pengawalan secara massif terhadap proses tentang kearah mana bangsa ini kedepan, yang selama ini bertopengkan symbol demokrasi. Mungkin lebih tepat kalau kita kosepsikan, memaknai secara kontemplatif bahwa pasca jatuhnya rezim Suharto justru melahirkan wajah pemerintahan baru yang tidak jauh beda dengan pemerintahan ala Suharto tersebut.      
Sudah cukup lama Negara ini merdeka tapi masih banyak saudara kita ( rakyat kecil ) yang terisolir dalam kemiskinan, tidak bisa mencium aroma pendidikn formal, pengangguran merajalela, tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, hak asasi manusia terabaikan,tidak bisa mendapatkan pelayanan hukum yang jujur dan adil, serat masih banyak lagi kasus- kasus lain yang melengakapi penderitaan rakyat dinegeri ini, sebaliknya para actor penting dalam roda pemerintahan ini hanya asyik berpolitik untuk berlomba-lomba merebut jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan yang lebih para lagi jabatan dan kekuasaan itu dijadikan asset untuk meraup keuntungan pribadi dan kelompok. System pemerintahan yang dijalankan atas nama demokrasi mungkian lebih tepat dikatakan system opemerintahan WIROSABLENG 212 yagni 2 ( dua ) tahun tahap perencanaan dan penyusunan program kerja, 1 ( satu ) tahun menjalankan pemerintahan itupun tidak jelas arah perjuangan kemana, 2 ( dua ) tahunnya lagi perencanaan scenario perebutan kekuasaan agar bisa terpilh kembali dipemerintahan pada tahap berikutnya / mempertahankan status quo.
Aturan yang dibuat selama ini hanyalah repfleksi dari nilai-nilai yang di inginkan dan mengakomodir kekuasaan meyoritas / status quo. Lantas apakah rakyat harus pasrah melihat, mendengar dan merasakan kondisi yang seperti ini ?, ketika ada rakyat yang mengkritisi konstalasi kenegaraan yang seperti ini dianggap sebagai pemberontak dan pembangkang aturan yang harus dikenai sanksi pidana atau sanksi perdata, padahal jelas-jelas aturan yang dibuat dan dijalankan tidak pro rakyat. Mending tidak ada aturan daripada ada aturan tapi tidak pro terhadap kepentingan rakyat, seakan rakyat dan kondisi sosialnya hanya dijadikan isu dan konsumsi politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Haruskah kondisi Negara ini berlarut-larut ketidak pastian arah dan tujuan ? perlu ada kesadaran dan taubatan nasuha seluruh actor dalam negara ini terutama aktor yang selama ini menjalankan roda pemerintahan. Semoga rakyat tidak berselimtkan rasa yang pesimis dan pasrah diri menerima penderitaan yang selama ini dialami. Pekerjaan rumah ini harus dijawab dengan REVOLUSI mulai dari cara kita memahami agama, social, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, keilmuan, serta kesehatan, untuk kembali kepada poros arah perjuangan dan tujuan hakiki berbangsa, bernegara dan bertanah air.