Laman

Jumat, 22 Juli 2011

Ketika Politisi Menjadi Selebritis

Merupakan suatu hal yang wajar jika kemudian seluruh lapisan masyarakat, beberapa dekade ini, menyebut politisi atau politikus sebagai warga negara dan profesi yang paling patut bersyukur dan bahagia akhir-akhir ini.
Proposisi diatas bukanlah pepesan kosong yang kering makna, apalagi beberapa minggu terakhir ini, Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat), yang juga merupakan salah satu politisi senayan, menjadi pusat perhatian masyarakat luas lewat pemberitaan media massa. Lewat kasus dugaan suap terhadap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, politisi yang terkenal kalem tesebut ternyata melarikan diri keluar negeri. Yang lebih menghebohkan lagi ketika beliau membombardir partainya sendiri dengan wacana partai korup. Hal tersebut tidak hanya merontokkan citra partai berkuasa pengusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, sebab siapa sangka kasus tersebut juga memfaksionalisasi kader partai untuk gontok-gontokan wacana.
Melalui Black Barry, Nazarudin menari dan menyanyi khas strategi manufer politik politisi teraniaya. Hal tersebut dilakukan terkesan untuk mengancam rekan se-institusinya agar tidak menjadikannya seorang diri sebagai korban politik. Wacana-wacana yang dilemparkannya mampu mempengaruhi media massa untuk menjadikannya pusat pemberitaan. 
Terlepas dari semua problem yang ada entah itu bersifat pribadi, keluarga, pekerjaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan bernegara, Nazarudin telah hadir bak sebagai malaikat penghibur bagi negeri yang haus akan sosok pahlawan politik di tengah kondisi perpolitikan yang edan ini.
Sejenak untuk berpikir secara kontemplatif, akal akan senantiasa memberikan pengarahan bahwa negara ini telah mengidap sindrom krisis Figur dan Tokoh yang akut. Setali tiga uang, fenomena diatas suka tidak suka telah melahirkan implikasi sosial dan politik yang serius.
Ada beberapa hal yang saat ini patut untuk menjadi sorotan publik dan harus segera mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah khususnya Institusi yang selama ini mengalami krisis kepercayaan publik. 
Pertama, stigma pencitraan yang melekat kuat pada pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah adalah aktor pencitraan. Walaupun memang, pada awalnya pencitraan mempunyai artian dan konteks yang positif, yaitu sebuah upaya untuk menerjemahkan komitmen,etiket yang baik, dan kompetensi dalam melaksanakan kinerja pemerintahan yang berorientasi kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, orientasi tersebut pada perjalanan selanjutnya melenceng jauh dari rel dan dianggap telah mengantarkan pencitraan pemerintah ke dalam jurang kebangkrutan strategi, tehnik dan taktik.
Stigma ini semakin kuat, karena pemerintah terutama pada dekade terakhir ini banyak mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan yang kurang mendapat simpati dari rakyat bahkan kadang kala mendapatkan hujatan yang serius. 
Memang tidak fair mensimplifikasikan infra struktur politik seperti partai politik dan politisinya sedemikian besar hanya dengan orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaan mengingat jumlah anggota yang sangat banyak. Akan tetapi, hal ini cukup bisa dipahami karena di sanalah “sebagian sangat kecil” dari anggota-anggota itu melakukan “peranan yang sangat besar” dalam menentukan arah gerak institusi ini dengan policy yang ada di tangan mereka. Karena itu, institusi pemerintah tidak boleh menolak mentah-mentah kalau dikatakan sebagai aktor utama pencitraan dan seharusnya tetap melakukan refleksi dari gugatan-gugatan yang dialamatkan kepadanya.
Kedua, mesin politik pemerintah dalam hal ini partai Demokrat pada masa-masa awalnya sejak menjadi kontestan politik kekuasaan tahun 2004 adalah benar-benar sebuah organisasi yang mempunyai semangat besar dalam memperjuangkan perlindungan dan pengayoman terhadap masyarakat luas, sehingga pada masa lalu stigma yang terbangun di masyarakat cukup positif bahkan tidak jarang terdengar bahwa partai Demokrat merupakan alternatif pertama dan utama saluran komunikasi politik bagi masyarakat, khususnya kaum pecinta demokrasi sebagai sistem politik. Akan tetapi, kekuasaan telah berhasil menggoda parpol ini dan membuat orientasi kerakyatannya menjadi semakin menipis dan bahkan menghilang. Partai yang berlambang bintang bersegi tiga tersebut beserta sekutu dari parpol lainnya, hanya sibuk mengurusi persoalan-persoalan pencitraan elite dan parpol serta melupakan hubungan simbiosisnya dengan rakyat. Jarang sekali kubu partai pemenang pemilu memperlihatkan kepeduliannya dalam upaya memberdayakan masyarakat.
Ketiga, format rekruitmen anggota partai politik mengalami stagnasi yang sangat serius. Dari dulu hingga sekarang format rekruitmen tidak ada perubahan signifikan. Pada masa awal eksistensinya, format rektuitmen mungkin adalah yang the best of the best. Akan tetapi ketika perubahan yang terjadi selama sekian puluh tahun terjadi sedemikian gencar, institusi politik ini, nampak tergagap-gagap karena sudah jauh ketinggalan dengan pola-pola rekruitmen yang digunakan oleh institusi lain seperti pegawai negeri pemerintah yang sudah mengambil spesialisasi dan mengelolanya secara lebih profesional. Apabila disejajarkan dengan institusi pemerintahan yang lain seperti dinas pemerintah mulai dari perikanan,penerbangan, perhubungan hingga dinas pemerintahan dalam negeri. Partai politik terkesan tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi realitas sosial yang terjadi sekarang ini. Yang lebih memprihatinkan lagi sudah menjadi rahasia umum bahwa rekruitmen yang dilakukan syarat dengan KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Dari pada sibuk dengan pencitraan yang terkesani elitis dan institusional sebaiknya institusi politik ini segera berbenah diri dengan merubah budaya rekruitmen anggota dengan mencari pola baru yang lebih humanis dan dibutuhkan untuk menjalankan amanah kedaulatan rakyat sebagaimana mestinya.
Keempat, lembaga infrastruktur politik (parpol) ini tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat. Masyarakat awam sekalipun yang kurang paham tentang institusi politik dan hanya mengetahui sedikit melalui argumentasi polemik (kata orang banyak) berharap banyak bahwa institusi ini akan berbenah diri terutama berkaitan dengan spesialisasi tugas dan fungsinya. Sudah banyak kekecewaan yang mereka dapatkan ketika berhubungan langsung dengan institusi ini.
Kelima, institusi ini kehilangan cirinya sebagai institusi penampung, penyalur, pelindung dan pengayom kepentingan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh budaya yang mengarah kepada rekruitmen anggota dan kinerja yang secara lambat tapi pasti selalu mengalami degradasi yang cukup drastis. Mereka hanya disibukkan dengan rutinitas pencitraan atau bahkan lebih parah lagi disibukkan oleh konflik internal antar elit yang kontraproduktif dan hanya buang-buang energi saja. Di tambah lagi, institusi ini terlalu bangga dengan kiprah dan perjuangannya melalui retorika podium, seolah mereka telah menghipnotis masyarakat dengan menggumbar janji-janji palsu.
Keenam, Institusi ini kering Moralitas-spiritual. Partai politik memang adalah sebuah institusi yang tidak pernah mendoktrin anggotanya untuk memahami agama secara konprehensif. Tetapi bukankah setiap lembaga negara senantiasa berpedoman kepada pancasila dimana sila pertama, kedua, dan kelima serta UUD 1945 pasal 29 cukup untuk menegaskan dasar setiap kebijakan dan tindakan yang seyogiyanya dilakukan. Bukankah Ini adalah sesuatu yang positif. Keringnya moralitas spiritualitas para politikus, merupakan indikasi bahwa ada yang salah dalam proses bimbingan dan peneguhan nilai keagamaan. Inilah yang menyebabkan institusi agung ini tidak begitu baik dimata masyarakat. Partai politik dan elitenya juga nampaknya kurang berminat lagi untuk mengurusi anggotanya yang bermasalah dalam tataran moral spiritual untuk memahami agama dengan arif dan bijak sehingga mereka kemudian lebih mementingkan simbolitas kegagahan dan kekuatan fisik.
Hal yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil saja yang membuat institusi politik khususnya partai politik dan elitenya pantas dikritik. Masih banyak yang lain yang tidak mungkin ditulis dalam ruang yang terbatas ini.
Di tengah krisis kepercayaan publik dan degradasi yang sedemikian parah terjadi, tinggal beberapa hal yang dapat diandalkan dan diharapkan mampu mengembalikan vitalistasnya institusi ini yang kemudian harus benar-benar dijaga agar tidak semakin tenggelam oleh hujatan dan gugatan publik.
Pertama, perteguh nilai moral-spiritual. Artinya bahwa Partai politik dan elitenya harus selalu menunjukkan pemihakannya terhadap kebenaran. Pada saat-saat tertentu, kadang institusi ini dihadapkan pada beberapa pilihan yang harus dipilih salah satu. Dengan menggunakan hukum-hukum berpikir yang benar dalam ilmu logika maka ketika ada dua hal atau sesuatu yang berbeda, maka hanya ada tiga kemungkinan jawabannya, yaitu semuanya salah, ataukah salah satunya benar dan salah satunya salah. Di sinilah institusi politik ini dituntut untuk melakukan ijtihad dan melakukan pembelaan dengan berpedoman kepada khittah awal tujuan dari lembaga tersebut dan lebih kepada nilai kemanusiaan dan keadilan dimana pembelaan itu haruslah selalu diarahkan pada kebenaran.
Kedua, mesin politik ini tidak dibenarkan berafiliasi secara institusional kepada kepentingan individu atau golongan tertentu saja, sebab meski lembaga ini adalah lembaga politis tetapi jabatan sebagai politisi bukanlah jabatan kaum munafik. Partai politik bukan underbow dari kelompok tertentu atau organisasi masyarakat tertentu, sehingga segala hal entah itu kebijakan maupun pelakaksanaan kebijakan yang akan ditempuh oleh institusi dan elitenya bukanlah tindakan penerjemahan kepentingan dari kelompok kepentingan atau ormas tertentu bahkan tidak pula untuk kepentingan elit apalagi untuk kepentingan pejabat institusi.
Ketiga, instutisi politik ini harus melakukan reformasi internal dengan sungguh-sungguh. Pada tataran rekruitmen anggota, institusi harus mampu keluar dari main streem pola rekruitmen yang selama ini syarat dengan KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme). Stigma yang terbangun di masyarakat bahwa untuk masuk jadi anggota partai politik maka harus bersiap-siap merogoh kecek minimal miliaran juta hingga triliunan juta, harus di-reduksi sehingga melahirkan efek domino yang tidak tanggung-tanggung. Disatu pihak, masyarakat yang punya kompetensi menjadi politisi harus mengurunkan niatnya karena persoalan biaya. Apabila memang masyarakat tersebut punya tekat yang kuat untuk masuk parpol, maka sawah ladang bahkan rumah sekalipun siap untuk digadaikan, bahkan tidak jarang ada yang menjual rumah kediamannya. Hal inilah yang menyebabkan paradigma berpikir yang terbangun kemudian setelah menjadi anggota adalah bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dipakai. Maka tidak heran jika kemudian ada politisi yang diketemukan dilapangan, menghalalkan segala cara untuk memanipulasi kejahatan demi seikat rupiah. Dipihak lain masyarakat yang memang punya modal banyak meskipun kurang memiliki kompetensi, melenggang begitu saja untuk diterima tanpa tedeng aling-aling, sehingga lahirlah karakter politisi yang berpikir fragmatis dalam menjalankan peran dan fungsinya, sebab mereka berpikir bahwa di dunia ini yang berkuasa adalah uang dan jabatan, maka yang harus dibela dan dilindungi adalah yang memiliki kedua modal tersebut.
Terlepas dari semua hal diatas, seluruh lapisan masyarakat patut mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Nazarudin, sebab selain telah menjadi idola baru dalam kanca dunia hiburan tanah air bagi masyarakat, dia juga sedikit lagi menjadi pahlawan di tenggah krisis kepercayaan publik terhadap partai politik dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat dalam menciptakan keadilan dan kesahteraan umum.
Semoga seluruh lapisan masyarakat khususnya partai politik dan elitenya senantiasa melakukan pembenahan diri secara total. Bahwa melakukan sesuatu yang baik, berguna dan bermanfaat apalagi mengayomi masyarakat bisa mndongkrak popularitas dan menaikkan citra individu dan institusi tersebut. Semoga kedepan citra yang kemudian terbangun dari pihak politisi adalah bukan karena kontroversi, tetapi lebih karena kinerja yang baik dan profesional serta selalu berorientasi kepada kemaslahan masayarakat.
Oleh : Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)