Laman

Selasa, 24 Mei 2011

DEMOKRASI YANG SOBEK


DEMOKRASI YANG SOBEK
Ironi Demokrasi di Indonesia
Realitas sejarah mencatat bahwa perjalanan dan penjelajahan bangsa dan negara indonesia dalam dunia demokrasi mengalami kontradiksi akut antara tatanan nilai ideal dan nilai faktul yang terkandung didalamnya. Demokrasi sebagai alat dan jalan untuk mengarahkan bangsa ini menjadi bangsa yang menjunjung tinggi kesetaraan, kebebasan, keadilan, kebenaran, persatuan, dan musyawarah mufakat kekeluargaan menuju tujuan republik sebagaimana yang ditercantum dalam pembukaan UUD 1945 yakni “ melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial” begitu brilian ditataran retorika proposisi-argumentataif tapi sangat lemah dan tumpul ditataran strategi praksis sektor rill dalam semua lini kehidupan kebangsaan mulai dari tingkat makro, messo serta mikro entah disisi pendidikan, politik, ekonomi, hukum hingga agama. Prototif demokrasi yang tadi-nya merupakan alternatif  solusi terhadap sebuah masalah justru melahirkan masalah baru diinternal-nya sendiri. Bukankah ini adalah ironi demokrasi ditangan bangsa yang haus kebanggaan dan kemuliaan?
Segelintir individu dan golongan yang merupakan bagian organ tubuh dari bangsa dan negara ini (penguasa) menikmati iklim demokrasi yang seperti ini untuk melakukan onani kekuasaan dengan limpahan kemegahan materi dan prestise yang menjanjikan melahirkan preseden buruk untuk membuat sebagian besar masyarakat direpublik ini harus mengeluskan dada sebagai tanda ke-ilfil-an dan mulai sanksi terhadap janji demokrasi.
Dari penjelajahan inteleqtual (mengamati, meneliti, menganalisis dengan kontemplatif, serta menyimpulkan), nampaknya ruang dan waktu demokrasi ala Indonesia dalam menancapkan pengaruhnya terhadap wawasan nusantara jika disaksikan dari jarak jauh maupun dekat, diperjuangkan dengan mengorbankan darah dan keringat, dengan mudah terdeteksi untuk kemudian merazia bahwa ada kepingan-kepingan konspirasi dari arsitektur konstruksi politik kenegaraan yang sudah akut. Sejak jaman pra kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga tragedi Reformasi yang sudah sekian tahun terlewati, slogan demokrasi selalu menjadi topik hangat diperbincangkan, didiskusikan hingga diperdebatkan oleh semua kalangan mulai dari pejabat teras hingga masyarakat awam, mulai dari para pakar hingga tukang becak. Nampaknya demokrasi ala indonesia ibarat pakaian robek yang tidak bisa ditambal bahkan dijahit lagi, melahirkan berbagai rangkaian masalah yang kalau-pun masalah yang satu sudah bisa ter-atasi, masalah yang lain sudah siap menanti untuk ditemukan formula penyelesaiannya ibarat sebuah benang kusut yang sangat sulit untuk diurai.
Implikasi negatif yang ditimbulkan dari demokrasi yang sobek tersebut dapat dengan mudah dilihat dan didengar entah secara langsung maupun lewat media cetak maupun eletronik. Dari Sabang di-barat sampai Merauke di-timur, dari pulau Mianggas sampai pulau Rote, dari danau Sentani di Papua hingga danau Toba di Sumatra Utara, kesucian dan kebeningan air kebijaksanaan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik demokrasi yang sobek tersebut kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kesejahteraan dan kebudayaan.
Bukankah ini adalah sebuah ironi mengingat indonesia adalah hasil pertautan komplementer paham yang ideal yang telah disaring dari keberagaman paham pemikiran, keyakinan, dan budaya?. Lantas mengapa negara ini tidak mampu berdiri diatas kaki sendiri dalam mendesain tata kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara diatas kaki sendiri (berdikari) sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno (proklamator republik)?
Penegasan Integrasi dan Kekeluargaan
Perlu diingat bahwa Indonesia lebih merupakan state-nation (bangsa-negara) ketimbang nation-state (negara-bangsa). Berarti eksistensi dari negara ini adalah artikulasi eksistensi kebangsaan. Negara indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan agama,budaya serta etnisitas melainkan karena adanya bangsa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menampung cita-cita politik bersama. Jika kemudian negara merupakan artikulasi dari persatuan kebangsaan maka tidak menutup kemungkinan negara jualah yang menjadi artikulasi pemecah belah bangsa. Dengan demikian politik kenegaraan merupakan sesuatu yang sangat vital dan urgen untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.
Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat guna sanggup mengelaborasi kemajemukan Indonesia sebagai nation-in-nation adalah desain negara kekekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa dengan keragaman ideologis-nya memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan (keluarga besar bangsa indonesia).
Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi merupakan perpaduan dari banyak unsur yakni paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi Jawa, konsepsi kekeluargaan hakko itjiu Jepang, konsepsi islam tentang keterpisahan antara individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), konsepsi sosialis kristiani, pluralisme radikal ala Sukarno, maupun demokrasi sosialisme ala bung Hatta,dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.
Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar dan karakter ideal kemanusiaan. Ini bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun kearah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Bung Karno kekeluargaan adalah meja statis dan leitstar dinamis yang mempersatukan dan memadukan. Tetapi perlu diingat bahwa kekeluargaan disini bukanlah kekeluargaan bangsa mayoritas atau paham mayoritas. Negara ini bukan miliki keluarga besar suku tertentu, bukan pula miliki kelurga besar teritorial tertentu apalagi milik keluarga besar agama tertentu. Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung ke-Indonesia-an, maka kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan merupakan kehilangan segala-galanya alias negara menuju kehancuran. Kehilangan yang membuat mesin pesawat kebangsaan indonesia macet ketika meng-udara, terbuai oleh kencangnya angin dan kuatnya daya tarik gravitasi perubahan tanpa parasut terbang. Jika kemudian demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tidak lain karena perkembangan demokrasi yang cenderung mengalami krisis jiwa kekeluargaan.
Penyanderaan Demokrasi Pancasila
Sungguh ironis menyaksikan kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, ketika peraturan perundang-undangan berbasis eksklusifisme keagamaan bersetubuh menikam jiwa ketuhanan yang maha esa, lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan menginterupsi bahkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab, trilogi penyakit negarawan (korupsi,kolusi dan nepotisme) dan penciptaan dinasti kekuasaan dari pemerintah pusat (geo-politik O)  hingga daerah (geo-politik pribumi) serta klaim kebenaran tunggal komunitas sosial turut melemahkan persatuan kebangsaan, demokrasi liberal prosedural dalam pemilihan umum dengan segala variannya membunuh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. penguasa ( eksekutif, legislatif dan yudikatif) berjamaah menjarah keuangan rakyat, penegak hukum menciderai asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan efek jera, ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar turut menjegal keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan justru berlawanan dengan arah jarum jam kemerdekaan sesungghnya, rakyat dibawah pada periode pra-politik saat terkungkung dalam hukum besi sejarah penjanjahan kolonial.
Ada jarak yang lebar antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan, persamaan, kebebasan, persaudaraan dan kekeluargaan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat. Distorsi ini terjadi disebabkan karena lembaga negara dijadikan industri komersil tempat mencari kerja sehingga lembaga negara diinterpretasikan sebagai lemabaga profesi. Wakil rakyat tidak lagi bekerja untuk politik melainkan bekerja dari politik. Disinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha dan politisi dalam proses institusionalisasi dan legal drafting, mereka melegalisasi proyek kepentingan pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan proyek pembangunan infrastruktur untuk kemaslahatan rakyat. Suatu gerakan mafia melakukan penyanderaan demokrasi. Adagium “akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik” yang merupakan pernyataan Pra Moedya Ananta Toer dalam RUMAH KACA nampaknya telah menemukan tempatnya dalam realitas perpolitikan nasional indonesia hari ini.
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa dan negara ini selain melakukan tobatan-nasuha politik oleh semua steackholder dalam hirarki kekuasaan...! Jika tidak, maka revolusi kerakyatan harus sudah dalam tahap geladi bersih strategi penggulingan kekuasaan dan penyusunan reformasi disemua lini lembaga negara.
Oleh : Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ,kader Hi (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar