Laman

Minggu, 29 Mei 2011

Romantisme Kedaulatan Rakyat

Dalam Rentetan sejarah yang mengayomi  negeri ini menuju kemerdekaan kedaulatan, ada sebuah tabir terjal dalam perkembangan pemikiran seluruh actor yang menjadi konsumen perjuangan para founding father negeri ini, yang selalu senang beromantisme dengan keberhasilan kemerdekaan masa lalu yang disikapi secara fanatik tanpa mampu mengklasifikasikannya kedalam tataran makna yang kontemplatif.
Kemerdekaan dipandang dan dimaknai secara simbolistik dengan menghilangkan dan menafikan  makna substantivenya. Sebelum, sejak, dan pasca kemerdekaan negeri ini diproklamirkan oleh para proklamator yang disaksikan seluruh rakyat sebagai suatu keberhasilan yang tiada tara untuk menunjukan kepada seluruh manusia didunia ini bahwa rakyat Indonesia menjunjung tinggi kedaulatan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Kalau dimaknai dan diaplikasikan secara substantive dan kontemplatif mungkin itulah  platform dan paradigma yang merupakan prodak paling bermutu untuk menggapai kesejahteraan dan kemakmuran dinegara ini.        
Tapi seiring berjalannya waktu manusia Indonesia semakin menggelepar dalam ingatan untuk meningkatkan paradikma  pemikiran sebagai modal dasar dalam menjalani perputaran peradaban yang semakin hari, semakin berkembang dan berubah. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian apakah manusia Indonesia dapat membawa alam pemikirannya kearah rotasi yang seharusnya tidak keluar dari koridor kedaulatan rakyat tersebut ?.   
Realita hari ini membuktikan bahwa paradikma pemikiran dan aplikasinya telah keluar dari platform tersebut dengan kondisi negara kita hari ini yang melahirkan tatanan sisten kenegaraan yang durhaka terhadap arah perjuangan bangsa ini karena para actor pentingnya hanya beromantisme dengan posisinya sebagai konsumen kemerdekaan negeri ini tanpa punya etika untuk tetap mempertahankan makna substantifnya atau kalau perlu memajukannya kearah yang lebih baik, tidak terlalu naïf kalau kita mengansumsikan para petinggi Negara ini seperti itu, betapa tidak mereka adalah actor-akror yang selama  ini senantiasa dipercaya rakyat mulai dari tingkat legislative, eksekutif bahkan juga yudikatif sedikit keluar atau boleh ekstrim kita katakan telah keluar dari arah perjuangan bangsa dan Negara ini yagni mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera yang diridhai tuhan yang maha kuasa.
Mungkinkah para petinggi kurang memiliki kompetensi, integritas  dan kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintahan selama ini ? ataukah mereka tidak punya etiket yang baik untuk menjalankan arah perjuangan bangsa ini, ataukah mereka tidak memaknai arti kedaulatan rakyat secara universal, ataukah mereka terisolir dalam romantisme  jabatan dan kekuasaan atas nama kedaulatan rakyat ? ataukah mereka telah kehilangan jati diri sebagai bagian dari negeri ini ?, ataukah para petinggi bangsa ini terlalu asyik berpolitik dogma ( makna sempit ), yang memandang jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok?.
Kedaulatan rakyat / demokrasi ( dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ) selama ini hanya diartikan dalam konteks pemilihan umum ( demokrasi electoral ), rakyat seakan hanya punya andil pada pemilihan umum yagni memiliki hak untuk dipilih dan memilih untuk menentukan wakilnya diposisi pemerintahan dengan harapan amanah, mandat serta aspirasi mereka bisa diwujudkan dan di implementasikan oleh mereka yang mendapatkan kepercayaan tersebut, sebaliknya para actor politik yang telah mendapatkan kepercayaan tersebut seolah kehilangan misi utama arah perjuangan kedaulatan rakyat tersebut (menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahter, adil dan makmur ). Padahal kalau kita mengkaji, memaknai dan merenungkan kembali arti kedaulatan rakyat ( demokrasi ) secara universal dan kontemplatif, term diatas hanyalah salah satu bagian dan proses dari demokrasi itu sendiri.
Semua Negara didunia ini ingin menjadikan negaranya sebagai penganut system demokrasi. Mungkin karena konsep inilah yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk tuhan yang otonom serta memiliki kecenderungan fitrawi yagni sebagai mahkluk individu dan social. Pekerjaan rumah yang sangat besar bagi Negara ini yang mencoba menerapkan sistem kedaulatan rakyat yang memiliki kultur kebangsaan yang sangat majemuk, untuk tidak terjerembab dalam konsep demokrasi Negara lain yang memiliki kultur yang berbeda dari Negara kita.   
Tujuan hakiki dari system damokrasi adalah kemerdekaan yang otonom, bukan semata kemerdekaan kedaulatan secara de jure dan de fakto. kita seharusnya bangga terhadap Negara ini karena telah terlepas dari penjajahan bangsa lain, berbeda dengan sebagian Negara-negara lain yang masih terbelenggu oleh penjajahan dan penindasan Negara lain.satu kebanggaan yang tiada tara pula karena Negara ini memiliki sumber daya alam yang memadai untuk mensejahterakan rakyat, serta memiliki kemajemukan yang merupakan modal begitu beranekaragamnya budaya yang berefek kepada kondisi social yang beragam pula, ibarat pelangi yang memiliki warna beranekararagam tetapi tetap satu kesatuan. Tapi kemudian mampukah kondisi yang begitu ideal ini bisa kita manfaatkan dengan baik.
Para actor negeri ini begitu larut dalam uforia kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu kita ( founding father ), seakan telah terbiasa menjadi konsumen atau penikmat sejarah tanpa mau membuka lembaran baru, mambawa negari ini kepada arah perjuangan yang telah diperjuangkan para pendahulu kita, terlalu bangga kalau kita mengatakan dan mengkonsepsikan bahwa Negara ini telah menerapkan system demokrasi secara procedural, normative dan substantive. Kita terlalu terisolir kepada pemahaman yang pragmatis yang selalu mengasumsikan bahwa dengan adanya pemilu meniscayakan Negara ini telah menerapkan system demokrasi, kalaupun pemilu merupakan satu-satunya indicator system pemerintahan demokrasi, Negara ini masih terkatung-katung dalam utofia pemilu yang selalu menyisakan sengketa, pelanggaran, ketidakadilan, serta yang lebh memprihatinkan hak rakyat untuk menentukan pilihannya terkebiri oleh aturan adminisrtasi yang selalu ditinggikan dari pada hak otonom untuk menentukan pilihan tersebut akibatnya banyak masyarakat yang sudah memenuhi kriteri pemilih tidak dapat menentukan pilihannya pada saat pemilihan umum berlangsung, maerka dipaksa untuk menjadi golput padahal mereka punya harapan besar untuk memiliki wakil rakyat yang nantinya bisa membawa aspirasi mereka menuju cita-cita yang diharapkan dalam hal ini kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran.
    
Pasca reformasi tahun 1989 hanya menghasilkan runtuhnya rezim otoriter ala Suharto, dengan tidak ada pengawalan secara massif terhadap proses tentang kearah mana bangsa ini kedepan, yang selama ini bertopengkan symbol demokrasi. Mungkin lebih tepat kalau kita kosepsikan, memaknai secara kontemplatif bahwa pasca jatuhnya rezim Suharto justru melahirkan wajah pemerintahan baru yang tidak jauh beda dengan pemerintahan ala Suharto tersebut.      
Sudah cukup lama Negara ini merdeka tapi masih banyak saudara kita ( rakyat kecil ) yang terisolir dalam kemiskinan, tidak bisa mencium aroma pendidikn formal, pengangguran merajalela, tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, hak asasi manusia terabaikan,tidak bisa mendapatkan pelayanan hukum yang jujur dan adil, serat masih banyak lagi kasus- kasus lain yang melengakapi penderitaan rakyat dinegeri ini, sebaliknya para actor penting dalam roda pemerintahan ini hanya asyik berpolitik untuk berlomba-lomba merebut jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan yang lebih para lagi jabatan dan kekuasaan itu dijadikan asset untuk meraup keuntungan pribadi dan kelompok. System pemerintahan yang dijalankan atas nama demokrasi mungkian lebih tepat dikatakan system opemerintahan WIROSABLENG 212 yagni 2 ( dua ) tahun tahap perencanaan dan penyusunan program kerja, 1 ( satu ) tahun menjalankan pemerintahan itupun tidak jelas arah perjuangan kemana, 2 ( dua ) tahunnya lagi perencanaan scenario perebutan kekuasaan agar bisa terpilh kembali dipemerintahan pada tahap berikutnya / mempertahankan status quo.
Aturan yang dibuat selama ini hanyalah repfleksi dari nilai-nilai yang di inginkan dan mengakomodir kekuasaan meyoritas / status quo. Lantas apakah rakyat harus pasrah melihat, mendengar dan merasakan kondisi yang seperti ini ?, ketika ada rakyat yang mengkritisi konstalasi kenegaraan yang seperti ini dianggap sebagai pemberontak dan pembangkang aturan yang harus dikenai sanksi pidana atau sanksi perdata, padahal jelas-jelas aturan yang dibuat dan dijalankan tidak pro rakyat. Mending tidak ada aturan daripada ada aturan tapi tidak pro terhadap kepentingan rakyat, seakan rakyat dan kondisi sosialnya hanya dijadikan isu dan konsumsi politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Haruskah kondisi Negara ini berlarut-larut ketidak pastian arah dan tujuan ? perlu ada kesadaran dan taubatan nasuha seluruh actor dalam negara ini terutama aktor yang selama ini menjalankan roda pemerintahan. Semoga rakyat tidak berselimtkan rasa yang pesimis dan pasrah diri menerima penderitaan yang selama ini dialami. Pekerjaan rumah ini harus dijawab dengan REVOLUSI mulai dari cara kita memahami agama, social, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, keilmuan, serta kesehatan, untuk kembali kepada poros arah perjuangan dan tujuan hakiki berbangsa, bernegara dan bertanah air.   
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar