Laman

Selasa, 24 Mei 2011

PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN


PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN
Marginalisasi dan Subordinasi perempuan di wilayah politik dari waktu ke waktu senantiasa menjadi buah bibir di kalangan aktivis perempuan Indonesia secara khusus dan masyarakat secara umum mulai dari pejabat teras hingga tukang becak. Betapa tidak, setiap kali Pemilu dilaksanakan, ternyata partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal tidak pernah menunjukkan perubahan yang signifikan. Merupakan sebuah fakta bahwa perbandingan antara anggota legislatif laki-laki dan wanita menunjukkan perbedaan yang sangat tajam. Apalagi mencermati kebijakan dan keputusan politik yang dihasilkan oleh lembaga tinggi negara mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif sangat mengandung konotasi reduksi kemaslahatan perempuan. Belum lagi membicarakan kualitas perempuan di ranah politik, maka persoalannya akan bertambah rumit lagi.
Dalam percaturan politik di-republik ini, laki-laki masih sangat mendominasi lembaga-lembaga negara yang sangat strategis dalam pengambilan kebijakan. Ironisnya adalah bukan hanya masalah jumlah, tetapi juga masalah kualitas dan kemampuan politik perempuan yang ada di lembaga negara tersebut ternyata juga masih sangat rendah. Dengan jumlah mereka yang sedikit ditambah ketidakmampuan mereka dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan menjadi pekerjaan rumah utama bagi gerakan-gerakan perempuan di Indonesia untuk segera melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi demi mengentaskan kemiskinan politik perempuan khususnya pemberantasan buta huruf politik sekaligus merumuskan strategi pemberdayaan politik bagi mereka. Hal ini sangat penting mengingat perempuan adalah kelompok strategis yang punya potensi besar untuk memperbaiki kualitas kehidupan bangsa.
Semestinya negara mengambil porsi peran yang besar dalam melakukan pemberdayaan politik perempuan, sebab Negara meminjam istilah John Locke (filosof Empirisme) adalah lembaga atau institusi yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebebasan, penghidupan yang layak, jaminan keamanan termasuk pendidikan dan kesehatan, sehingga perempuan punya peluang besar untuk memperbaiki kualitas dan kuantitasnya dalam politik.
Tulisan ini merupakan keprihatinan penulis dalam menyaksikan kiprak politik perempuan di Indonesia yang syarat dengan marginalisasi dalam arti memarginalisasi dan mengalienasi diri. Salah satu persoalan mendasar perempuan adalah kemiskinan mereka di bidang politik khususnya masalah pendidikan politik. Serta mereduksinya peran besar yang bisa dilakukan negara dalam memberdayakan mereka. Ketika perempuan mampu terjun di bidang politik dan menunjukkan kontribusi dan prestasinya terutama dalam hal kemaslahatan perempuan maka sesungguhnya salah satu persoalan mendasar perempuan telah terjawab.
Keterwakilan perempuan menjadi sangat penting karena lembaga politik formal adalah tempat penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak, tak terkecuali perempuan. Sehingga dengan adanya partisipasi perempuan di lembaga politik formal, maka mereka diharapkan bisa mengatasi dan membuat kebijakan-kebijakan yang banyak kaitannya dengan perempuan. Satu hal yang perlu diingat dan seharusnya menjadi pikiran kontemplatif kita bersama adalah bahwa dunia perempuan adalah dunia yang berbeda dengan dunia laki-laki. Sehingga kebutuhannyapun pasti berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Sehingga solusi dari setiap permasalahan perempuan hanya bisa dijawab oleh perempuan sendiri, bukan laki-laki. Karena laki-laki jelas tak akan pernah mampu memahami persoalan dan kebutuhan perempuan secara tepat dan konprehensip.
Sebab musabab
Untuk memahami problemantika perempuan di bidang politik, paling tidak menurut penulis, ada empat hal yang bisa menjadi fokus perhatian kita. Keempat hal ini merupakan permasalahan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ketiga akar masalah tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama Dis-persefsi Gender dan Subordinasi Perempuan dalam Politik. Marginalisasi dan ketidakadilan sosial-politik selalu menjadi tema menarik dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang perempuan dari jaman dahulu, hingga sekarang mungkin juga masa yang akan datang. Dari pergolakan sejarah, ketidakdilan sosial-politik ini telah memunculkan banyak teori dan analisis sosial yang hingga detik ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem sosial di masyarakat kita.
Ketidakadilan dalam aspek hubungan antar jenis kelamin merupakan salah satu dari berbagai macam gugatan yang diajukan para ilmuwan sosial. Salah satu konsep penting yang perlu dipahami dalam membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Hal ini cukup penting untuk memahami persoalan kaum perempuan. Karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan pembedaan gender (ketidakadilan gender/gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat.
Selama perputaran waktu dunia (mungkin terlalu naif term yang penulis gunakan) apalagi perputaran sejarah pemikiran kaum agamawan mayoritas entah itu dari kaum muslim maupun nasrani, sering masih terjadi kesalahpahaman dan ketidakjelasan tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan usaha emansipasi kaum perempuan. Hal ini karena belum ada uraian yang mampu menjelaskan mengenai konsep gender ( kalaupun ada sangat miskin pembaca) serta munculnya penafsiran agama yang merugikan perempuan dimana hal itu tentu dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, kecenderungan politik, dan faktor psikologis sang penafsir.
Untuk memahami konsep gender perlu dibedakan kata gender dengan seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen ini tidak dapat diubah dan merupakan ketentuan biologis, sering dikatakan sebagai kodrat atau sunnahtullah (Fakih, Mansour,Analisis Gender dan Transformasi Sosial). Sedangkan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, indah, pengasih (rahim) atau keibuan dan sensitif karena cenderung menggunakan perasaan dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri sebenarnya dapat dipertukarkan, maksudnya dibalik sifat jalal (perkasa atau kemurkaan) ada sifat jamal (pengasih dan penyang) seperti (meminjam istilah saudara saya Risal “satunya panas dan dingin dalam suhu). Artinya laki-laki bisa saja lemah lembut, menggunakan perasaannya dalam menghadapi dan menyelesaikan problem kehidupan, kebapakan/keibuan sementara tidak jarang kita temukan perempuan yang kuat dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain (Fakih, Mansour,Analisis Gender dan Transformasi Sosial hal. 8-9).
Sejarah perbedaan ini dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan ataupun negara. Dan akhirnya, dianggap sebagai ketentuan Tuhan dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan inilah yang pada rangkaian tingkat lanjutnya, melahirkan ketidakadilan sosial, terutama bagi wanita.
Sebenarnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah apabila tidak melahirkan gender inequality, tapi masalahnya, perbedaan gender ternya melahirkan persoalan rumit dimana laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sitem dan struktur ketidakadilan tersebut.
Ketidakadilan gender ini termanifestasikan dalam berbagai bentuk, yaitu marginalisasi/proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan perempuan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebi banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, Mansour,Analisis Gender dan Transformasi Sosial hal.3). Manifestasi ketidakadilan ini tidak bisa dipisah-pisah, saling berkaitan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satupun manifestasi yang lebih penting dan lebih esensial. Misalnya, anggapan bahwa pemiskinan perempuan di wilayah ekonomi adalah lebih penting dan mendasar sehingga harus dipecahkan terlebih dulu.
Manifestasi gender yang menimbulkan subordinasi pada perempuan. Terutama karena sifat-sifat yang melekat dan dikonstruksikan pada perempuan. Anggapan bahwa perempuan irrasional dan lemah lembut mengakibatkan perempuan tidak bisa dan mampu tampil sebagai pemimpin. Sehingga pada akhirnya, jarang sekali perempuan yang bisa tampil di ranah publik dan politik. Atau menduduki jabatan-jabatan strategis dalam partai politik atau lembaga politik formal lainnya.
Kedua Pengkultusan Budaya Politik Patriarkal dan pendiskreditan budaya politik matriarkal.  Subordinasi perempuan di bidang politik dan bidang lain seperti ketimpangan yang terjadi pada aspek kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi,hukum, serta hak asasi manusia juga diakibatkan karena adanya budaya politik patriarkal yang menjadi acuan dalam proses politik di Indonesia. Berbicara dan mengkaji budaya politik maka hakekatnya berpusat pada Sikap orientasi warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu (G. A. Almond dan S. Verba), Sikap dan orientasi warga  suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya (Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews), Suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan ketrampilan yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola-pola dan kecenderungan khusus serta pola-pola atau kebiasaan yang terdapat  kelompok kelompok masyarakat  (Almond dan Powell). Dari uraian ketiga ilmuwan politik diatas artinya Budaya politik merujuk pada orientasi dan tingkahlaku individu dan masyarakat terhadap  sistem politik. Orientasi politik tersebut terdiri dari 2 tingkat yaitu: di tingkat masyarakat dan di tingkat individu. Orientasi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari otientasi individu. Menurut Almond dan Verba, masyarakat mengidentifikasi dirinya dengan simbol-simbol lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang dimilikinya.
Masyarakat Indonesia yang secara sosio-kultural merupakan masyarakat plural yang mempunyai satu bentuk sistem politik yang spesifik karena adanya peran militer yang unik. Rezim militer memperlihatkan gaya laki-laki dan ini terpenetrasi dalam budaya dan etos politik formal. Budaya dan etos politik ini diwarnai oleh gaya hidup maskulin. Sehingga akhirnya laki-lakilah yang memformulasi aturan-aturan politik sesuai nilai dan norma laki-laki.
Ada dua kekhasan yang melekat pada budaya politik Indonesia (Muhaimin, dalam Musdah Mulia tentang “Menuju Kemandirian Politik Perempuan (Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia hal.187)). Pertama, struktur hubungan yang memperlihatkan adanya hubungan patron-klien (bapak-anak atau bawahan-atasan), dan kedua adanya rasa kekeluargaan dan persaudaraan. Meskipun dua hal tersebut adalah percampuran berbagai macam budaya, namun budaya dari Suku Jawalah yang paling dominan. Dominasi ini karena memang orang Jawa yang senantiasa mendominasi kehidupan politik di Indonesia.
Hubungan patron-klien pada akhirnya akan melahirkan dominasi laki-laki dan mengucilkan perempuan di dunia politik. Dalam hubungan keluarga misalnya, posisi ayah menempati urutan utama dan pertama, sedagkan ibu tidak mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan-keputusan dalam keluarga. Pada akhirnya, ayahlah yang menempati struktur sosial tinggi dalam masyarakat, sementara ibu hanya berada posisi ‘melegitimasi’ keputusan tersebut.
Dari fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik (Muhaimin, dalam Musdah Mulia tentang “Menuju Kemandirian Politik Perempuan (Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia hal. 189). Dalam hubungan sosial politik kelihatan bahwa masyarakat Jawa bersifat personal. Semua kecenderungan sosio kultural ini memperkental sistem patron-klien. Dan digunakan untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Ini diakibatkan oleh sistem pemerintahan jaman dulu yang bersifat sentralistik dimana seorang raja cenderung mewariskan kekuasaannya pada laki-laki. Dalam hal ini tidak ada bagian untuk perempuan, karena semuanya telah habis dibagi kepada laki-laki.
Ketiga problem SDM. Kualitas SDM perempuan masih rendah sebab sejak dini perempuan sudah dibesarkan dan dikondisikan untuk merasa tidak aman dan tidak nyaman terhadap dunia politik. Hal ini mengakibatkan perempuan menjadi tidak percaya diri dan tidak tertarik dengan politik. Faktor lain adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan, kurangnya akses terhadap informasi dan teknologi, termasuk pemahaman tentang sistem politik di Indonesia. Mutu dan kualitas SDM ini hanya bisa ditingkatkan manakala ada political will dari pemerintah pusat.
Keempat Hambatan Kelembagaan dan Struktural
Sikap maskulin dari sistem politik Indonesia, peraturan-peraturan yang diskriminatif dan bias gender, tindakan affirmatif tanpa sanksi di UU Pemilu, ini merupakan rintangan bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik dan kebijakan publik. Sistem Pendidikan Nasional yang tidak memberikan info cukup untuk pendidikan kesetaraan gender, misalnya terlihat dari banyaknya buku ajar untuk anak-anak sekolah yang masih bias gender. Sistem perencanaan pembangunan “top down’ yang bias gender, serta kurangnya pemahaman isu-isu gender dari pejabat pemerintah dan pembuat kebijakan dari pusat hingga daerah.
Sejarah gerakan perempuan Indonesia adalah sejarah atas realitas proses depolitisasi perempuan. Organisasi wanita hanya dijadikan sebagai alat politik/mobilisasi kekuasaan yang sangat efektif. Mulai dari Dharma Wanita, hingga majelis ta’lim dan lain-lain selalu menjadi instrumen kekuasaan.
Bukankah kontribusi mereka sangat besar Re-publik ini?, tetapi mengapa semua itu tidak pernah dihargai bahkan dibalas jasa-jasanya oleh negara?.
Dewasa ini, saat negara sedang mengalami transformasi sosial dan politik yang transparan dalam tahap konsolidasi dan transisi demokrasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru, ternyata disatu sisi masih banyak kekerasan dan marginalisasi perempuan di banyak sektor. Tetapi disisi yang lain kita patut bersyukur bahwa sedang dan telah berkembang organisasi-organisasi perempuan (LSM/NGO, Women Crisis Center) yang mulai berkonsentrasi pada penanganan permasalahan-permasalahan perempuan khususnya masalah pemberdayaan politik perempuan. Dan mudah-mudahan tetap konsisten akan komitmen dalam pemeberdayaan politik perempuan. Dan semoga negara mampu memberikan support dan bantuan kearah pemberdayaan politik perempuan yang lebih substansial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar