Laman

Senin, 06 Juni 2011

Migrasi Politik Dan Korupsi

Fenomena perpindahan haluan politik beberapa kepala daerah yakni Gubernur, Bupati dan Wali kota kepartai politik lain khususnya partai politik penguasa (Partai Demokrat) dinilai banyak kalangan sebagai STRATAK (strategi, tehnik dan taktik) perlindungan dan pelanggengan kekuasaan.
Proteksi Politik
Pepindahan beberapa kader partai politik tertentu ke partai politik penguasa diduga kuat sebagai bentuk pragmatisme dan oportunisme politik kekuasaan. Partai politik terkesan krisis orientasi (ideologi) dan tidak memiliki mekanisme yang melembaga dalam hal rekruitmen kader partai. Hal tersebut sangat mudah terdeteksi karena saat ini, tidak jarang diketemukan para kepala daerah yang melakukan migrasi politik ke partai penguasa, sedang terkena skandal pidana korupsi dan bahkan ada yang baru pada tahap akan diusut karena diduga menyelewengkan APBD di daerah masing-masing. Fenomena tersebut cukup kronis dan mengkhawatirkan. Betapa tidak, fenomena migrasi politik lebih dilatar belakangi pencarian suaka proteksi politik atas skandal kejahatan korupsi dari jeratan hukum.
Jika kemudian asumsi proposisi dan argumentasi diatas cukup obyektif untuk dijadikan rujukan logika implikasi mate-matik (kausalitas), maka konklusi yang kemudian lahir adalah “partai politik yang menjadi suaka proteksi politik atas migrasi politik para kepala daerah yang sedang dan akan terkena skandal pidana korupsi, secara tidak langsung merupakan agen penyalur dan pelindung para koruptor”.
Pertimbangan lain
Selain persoalan urgen diatas, migrasi politik juga terjadi karena partai politik yang sebelumnya menjadi mesin politik para pemburu kekuasaan tersebut, tidak menembus ambang batas parlemen (parlementary treshold). Ditambah lagi, dalam UU No 20 tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik tidak disebutkan soal “tidak diizinkannya kader dari partai politik tertentu untuk pindah ke partai politik lain. Lagi pula jika dalam UU tersebut disebutkan maka secara tidak langsung terjadi pemasungan hak warga negara sebagaimana dijelaskan dan ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 28.
Rapuh dan bobroknya ideologisasi partai politik oleh kader partai turut pula memberikan kontribusi signifikan terhadap lahirnya fenomena migrasi politik. Politisi pindah partai bukan hanya karena persoalan kecocokan ideologi, tetapi lebih karena libidologi (libidokrasi). Libidologi yang dimaksud penulis merupakan hasrat berlebihan terhadap kekuasaan untuk berkiprah dalam pemerintahan. Hasrat berkuasa dilatarbelakangi oleh kecendurungan individu maupun kelompok untuk dimuliakan, dibanggakan, dihormati, disembah dan yang tak kalah penting lagi adalah untuk memburu rupiah. Sehingga politik menghalalkan segala cara nampaknya masih mempuni untuk dijadikan formula merebut dan mempertahankan kekuasaa termasuk melakukan KKN.
Lahirnya Suasana Apolitik
Fenomena migrasi politik yang tidak proporsional mengakibatkan timbulnya antipati terhadap politik oleh masyarakat. Antipati terhadap politk dipicu oleh fakta aktual seperti tingginya harga kebutuhan masyarakat, rendahnya pelayan publik, dan jaminan hak dasar rakyat seperti kesehatan dan pendidikan. Juga buruknya kinerja para “wakil rakyat” dan pemerintahan. Masyarakat mula-mula peduli terhadap problem publik tapi kemudian pasrah.
Suasana apolitik inilah yang sebenarnya tanpa disadari merupakan warisan rezim Soeharto. Antipolitik dan melihat politik sebagai ranah yang tabu dan kotor, penuh dengan hujatan, korup, dan perebutan kursi kekuasaan belaka. Kondisi ini sangat menguntungkan penguasa, karena rakyat yang apolitik akan lemah dalam mengontrol penguasa-sesuatu yang sebenarnya menjadi esensi dari demokrasi.
Rakyat yang gamang politik tak pernah mendapat jawaban dari para praktisi dan pakar politik. Padahal selama ini para pakar sudah mengkampanyekan bahwa proses politik demokratis di Indonesia dewasa ini sudah on the right track dengan adanya pemilihan umum dan instrumen demokrasi yang mendukungnya. Temuan-temuan riset Demos memperlihatkan pandangan yang meluas bahwa kaum elite politik telah menyesuaikan diri dengan demokrasi, memonopoli dan memanipulasinya untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk di tingkat lokal.
Jika keadaan ini tidak berubah, maka proyek reformasi dalam hal ini desentralisasi dan otonomi daerah bisa jadi malah hanya akan memfasilitasi ekspansi elite politik pusat itu ke tingkat lokal. Dalam situasi seperti ini, yang terjadi adalah desentralisasi oligarki yang dibangun di atas korupsi dan kolusi dan jaringan intra-elite. Mereka menguasai negara, memonopoli instrumen demokrasi, menyesuaikan diri dengan mekanisme prosedural demokrasi liberal, dan memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri.
Etika Politik, dan Moralitas Politikus
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Dalam kondisiperpolitikan negara yang semrawut seperti ini, etika politik menjadi makin relevan untuk di perhatikan dan implementasikan. Hal ini karena, Pertama, kasar dan tidak santunnya suatu politik sangat membutuhkan tindakan yangterlegitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban (musuh politik mauppun masyarakat awam). Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Perilaku Politik Menyimpang
Karena perilaku politik merupakan bagian dari perilaku sosial, dan perilakusosial sangat dipengaruhi oleh sistem sosial, maka Zimmerman dan Pollner (1970)merumuskan bahwa: Perilaku politik sama dengan fungsi (sistem sosial). Namun para ahli Psikologi Individual beranggapan bahwa oleh karena unsur individudan keunikannya lebih kuat pengaruhnya terhadap perilaku individu dibandingpengaruh unsur sosialnya, maka perilaku politik seseorang perlu lebih memperhatikanpada aspek-aspek yang terdapat pada dirinya dalam berperilaku politik itu.
Pandangan-pandangan diatas perlu digaris-bawahi dalam menelusuripengertian dan dinamika terjadinya perilaku politik menyimpang.Dalam pemahaman umum, psikologi mengaitkan unsur kesehatan mentaldalam merumuskan dan memahami tingkah laku menyimpang sebagai tingkah laku yang dirasakan sebagai mengganggu dirinya (complain) atau mengganggu lingkunganatau orang lain (sign atau symptom).
Dengan demikian perilaku politik menyimpang dapat diartikan sebagaiperilaku politik yang menimbulkan gangguan mental bagi dirinya sendiri atau oranglain; atau perilaku politik yang dirasakan sebagai gangguan oleh atau menimbulkangangguan pada orang lain: bukan semata-mata karena bertentangan atau melawanhukum. Hukum memang dibuat untuk memungkinkan diberikannya punishmentterhadap sesuatu yang menimbulkan gangguan psikis maupun fisik terhadapa manusia.Reward dan punishment dikenal dalam psikologi sebagai instrumen yang dibutuhkandalam proses pembentukan tingkah laku dan kepribadian.
Perilaku politik menyimpang juga dirasakan sebagai gangguan oleh yangbersangkutan sendiri karena menimbulkan dampak tekanan (stress), tension,maladjustment, dsb, terutama karena reaksi diri dan lingkungan terhadap perilakunya tersebut. Suatu proses rekrutmen yang keliru dalam kepemimpinan partai sehinggamenempatkan seseorang berkecerdasan rendah sebagai pimpinan partai, sementaramasalah politik yang dihadapinya memerlukan kecerdasan tinggi untuk mampumeyakinkan masyarakat akan gagasan dan keinginan partainya; akanmengakibatkannya mengalami gangguan psikis karena ketidakmampuannya itu. Dilain pihak, masyarakat akan merasa terganggu pula oleh karena masalah yangdihadapinya tidak mampu diatasi dengan cerdas dan baik yang berakibat penderitaanpadanya. Berdasarkan uraian singkat diatas maka migrasi politik oleh para politisi yang haus jabatan dan kekuasaan merupakan perilaku politik menyimpang yang perlu ditemukan vaksin pemberantasannya.
Politik Saling Sandera
Maraknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi yang tidak kunjung terungkap dan terselesaikan ditangan penegak hukum merupakan malapetaka politik yang perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan. Kasus korupsi yang satu belum terungkap dan terselesaikan, tiba-tiba bermunculan lagi kasus korupsi lain yang tidak kalah menghebohkannya. Ibarat kata pepatah “gugur satu tumbuh seribu”.
Ada indikasi bahwa penanganan dan penyelesaian hukum atas kasus korupsi di Indonesia mengalami kebuntuan dan kemacetan karena kasus pidana tersebut melibatkan banyak kalangan yang saling menyandera, baik antara politisi versus politisi maupun politisi versus penegak hukum. Penulis mengistilahkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia adalah “korupsi sistemik”.
Politik saling sandera baik antara politisi dan politisi maupun antara politisi dengan penegak hukum dalam bingkai “korupsi sistemik”, terjadi ketika oknum (politisi) A melakukan korupsi besar, di ungkap oleh politisi B (yang juga tersandung korupsi) dan ditangani oleh penegak hukum yang sebelumnya juga telah disuap. Nah, penegak hukum yang nota bene diharapkan mampu mengungkap dan menyelesaikan kasus tersebut (berdasarkan tugas dan fungsinya) terkena suap inilah yang kemudian mengakibatkan kemacetan penanganan dan penyelesaian kasus korupsi diranah hukum. Sedangkan politisi yang saling sandera diatas juga melahirkan implikasi kemacetan penanganan kasus korupsi di ranah politik, misalnya penanganan Century Gate di DPR RI beberapa waktu lalu. Sehingga lingkaran setan korupsi pun membudaya mulai dari level pusat hingga daerah dengan modus dan motif yang hampir mirip.
Dalam situasi dan kondisi yang demikian inilah maka hampir tidak ada lagi yang bisa diharapkan memiliki kekuatan untuk memutus rantai lingkaran setan tersebut. Olehnya itu jangan heran jika kemudian banyak kasus korupsi kelas kakap yang tidak terungkap dan terselesaikan di ranah hukum.
Bagaimana mungkin menyelesaikan kasus korupsi diranah hukum sementara hari ini hukum pun telah mampu dipolitisir oleh agen-egen koruptor yang nota benenya bercokol dilembaga penegak hukum. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika ekspos media massa dan sorotan publik terhadap kasus korupsi tertentu mengalami pengencangan, maka taktik pengalihan isu pun menjadi alternatif brilian bagi para politisi untuk menciptakan iklim dan spirit “lupa” kepada masyarakat sehingga kasus yang lama hilang dari peredaran pemberitaan dan akhirnya publik pun menjadi lupa. Di tenggah kondisi yang demikian, kasus lama yang tenggelam pun seketika tergantikan dengan kasus baru tanpa penyelesaian konkret. Akhirnya publik ibarat kesampret bom isu yang tak pandang ruang dan waktu. 
Oleh : Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar).