Laman

Selasa, 24 Mei 2011

REFLEKSI POLITIK LEMBAGA PERWAKILAN


REFLEKSI POLITIK LEMBAGA PERWAKILAN
Lembaga perwakilan atau keterwakilan murni anak kandung bahkan anak emas yang lahir dari rahim sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, rakyat memegang peran dan fungsi ganda, disatu sisi sebagai obyek dari negara tapi disisi yang lain memposisikan diri sebagai subyek. Warga negara (rakyat) jika dilihat dari kaca mata obyek, maka tujuan dibentuk dan didirikannya negara adalah lebih sebagai alat atau sarana untuk menciptakan, mewujudkan dan melindungi hak dasar dari warga negara. Sedangkan dilihat dari persfektif dimana warga negara sebagai subyek maka rakyatlah yang paling berhak menentukan segala sesuatu yang menunjang proses pencapaian tujuan dan cita-cita diatas. Mulai dari penentuan bentuk negara, dasar dan asas negara,pembentukan hukum (peraturan),pembentukan lembaga (pembuat/legislatif,pelaksana/eksekutif,dan pengawasan/yudikatif), hingga penentuan perwakilan-perwakilan yang layak untuk mewakili mereka dilembaga negara.
Mengingat bahwa rakyat terfragmentasi oleh stratifikasi sosial yang komplek, maka merupakan sesuatu yang wajar jika kemudian yang berhak menentukan segala aturan main diatas adalah rakyat (individu atau kelompok) yang memang punya kompetensi dan kemuliaan yang lebih ketimbang yang lain. Lembaga perwakilan yang nota benenya merupakan lembaga penampung, dan penerjemah kepentingan rakyat tersebut juga meniscayakan dihuni oleh warga negara yang punya kompetensi (inteleqtual,emosional dan spritual) yang lebih dibanding warga negara yang lain. Hal tersebut merupakan syarat utama sekaligus kriteria yang menjadi dasar dalam menentukan siapa-siapa yang layak untuk mendiami lembaga perwakilan tersebut dan hal itu pula yang menciptakan preseden bahwa lembaga perwakilan merupakan lembaga yang agung dan mulia. Oleh karenanya warga negara yang telah, sedang maupun akan menjadi wakil rakyat untuk duduk diaras lembaga agung tersebut haruslah memiliki pre-political-virtus (dasar-dasar karakter yang baik) atau paling tidak bisa berpikir, berkata dan berbuat jujur dan bervisi bijak untuk menampung dan menerjemahkan kepentingan (keinginan dan kebutuhan) masyarakat secara umum walaupun memang harus disadari bahwa manusia merupakan mahluk yang penuh dengan keterbatasan (kecuali nabi dan rasul) untuk bervisi lebih bijak tentang kebebasan dan persamaan ketimbang visi kebijakan dan kebijaksananan tentang kebebasan dan persamaan yang dititahkan tuhan. Tetapi jangan kemudian alasan diatas menjadi perisai untuk tidak menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Bukankah semua agama mengajarkan bahwa manusia pilihan itu adalah wakil tuhan dimuka bumi?
Sebuah ironi memang, jika kemudian menyaksikan realitas sejarah umat manusia dalam bernegara bahwa nilai ideal diatas tertinggal ditempat persemayamannya. Menjadi sebuah masalah ketika nilai faktual (realitas praktis) kontradiktif dengan nilai ideal (gagasan, cia-cita dan harapan). Pertanyaan “mengapa” pun lahir untuk mendeteksi apa yang menjadi penyebab kontradiktif tersebut. Pernyataan yang pernah diungkapkan bung Hatta dari proses pemaknaan pernyataan Nicollo Marchiaveli mungkin patut untuk kita renungkan guna menjawab pertanyaan diatas. Beliau mengatakan bahwa “semua manusia punya niatan dan tujuan yang baik tetapi cara-cara yang dilakukan untuk mencai tujuan tersebut senantiasa menjauhkan dia dari tujuannya”.
Negara indonesia pun ternyata kebagian sindrom krisis integritas lembaga perwakilan diatas. Perputaran roda sejarah dalam mendeteksi kiprah lembaga perwakilan kita ternyata sangat jauh dari telapak kaki nilai ideal yang seharusnya menjadi fatsun (pembimbing) dan nukleus (inti) dari sistem lembaga perwakilan kita mengingat dasar negara kita jelas-jelas dalam sila ke empat menegaskan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Lembaga yang seyogyanya sebagai penyambung lidah rakyat justru menjadi perampok dan pembunuh konstitusi kedaulatan rakyat yang paling mematikan. Selain itu ada sebuah sindrom lain yang tidak kalah mematikannya dari masalah diatas yang melahirkan kegamangan dan kekalutan ditubuh lembaga tersebut. Adalah sebuah keprihatinan yang luar biasa ketika sebagian besar wakil rakyat yang pernah, sedang atau akan mendiami lembaga tersebut salah dalam menafsirkan definisi dan esensi dari lembaga agung tersebut sehingga melahirkan paradigma berpikir fragmatis dan bersikap oportunistik dalam mengartikulasikan wewenang dan kebijakan. Lembaga agung ini didefinisikan sebagai lembaga profesi (suaka lapangan kerja) bagi para pemburu materi atau wahana penabur citra aktualisasi diri sebagai warga kelas satu yang haus untuk dimuliakan dan diagungkan. Maka adalah sebuah keniscayaan jika kemudian pola hidup dan tingkah laku para anggota lembaga perwakilan tersebut cenderung hedonis. Mereka gengsi jika mobil cuman satu apalagi kurang bermerek, gengsi jika pakaian bukan style impor, gengsi bila rumah kediaman tidak bertingkat, ber-AC serta tidak punya kolam renang, hingga gengsi turun kepelosok desa jika kantong tidak tebal. Akhirnya budaya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), gratifikasi dan suap merupakan hal yang biasa untuk dilakukan bahkan kadang-kala sering dilegalisasi. Hampir sebagian besar anggota lembaga perwakilan tersebut pandai berbisik-bisik dibalik kursi kekuasaan,melakukan lobi dan negosiasi dalam rangka bargaining isu kerakyatan untuk berjamaah merampok dana negara serta menikam konstitusi dengan retorika komulatif. Negara ini telah lama melahirkan penjanjah baru pasca kolonialisme belanda dalam bingkai birokrasi pemerintahan yang memanfaatkan segala fasilitas kenegaraan (kewenangan,jabatan,jaringan dan citra) untuk melegalisasi setiap tindakan mereka.
Jika kemudian realitas dari eksistensi lembaga tersebut sudah tidak lagi sinkron dengan nilai ideal (formal dan moral institusi) sebagai pengusungnya sehingga semakin jauh dari tujuan dan cita-cita pembentukannya, masikah ada alasan untuk percaya terhadap lembaga tersebut ? ataukah masyarakat awam harus menerima nasib sembari mengharapkan dan menunggu intervensi birokrasi langit agar menurunkan dewi keadilan untuk merubah keadaaan dari sebagaimana adanya menjadi sebagaimana mestinya? Ataukah masyarakat sipil sebagai kelas tertindas harus menggalang kekuatan dan mendoktrin diri untuk melakukan perlawanan terhadap kelas penindas dari golongan penguasa? Apakah teori Jose Forfiro Miranda tentang “apapun yang dilakukan oleh kaum tertindas adalah sah dan halal untuk dilakukan demi menggulingkan kekuasaan” harus dilakukan? Kalau kemudian langkah tersebut mutlak untuk dilakukan, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah siapa yang akan melakukannya?
Dari sekian ratus juta penduduk dinegeri ini dengan stratifikasi yang berbeda-deda, kaum inteleqtual khususnya mahasiswa telah terbukti dalam percaturan sejarah mampu menjadi penggerak perubahan dan pembaharuan. Hampir disetiap momentum perubahan, kaum inteleqtual khususnya mahasiswa selalu tampil terdepan sebagai aktornya baik itu sebagai soft ware maupun sebagai hard warenya untuk menggulingkan titisan-titisan iblis (penguasa sholim) yang asyik berenang dalam lautan kemewahan dan kemegahan yang diperoleh dari keringat dan darah masyarakat seantero republik ini. Tetapi hari ini tidak jelas kemana rimbanya. Lebih memprihatinkan lagi justru mahasiswa yang aktif dalam tataran gerakan mahasiswa justru terkooptasi oleh kepentingan elite politik. Tidak heran jika kemudian dikalangan masyarakat muncul pernyataan yang bernada hujatan misalnya pernyataan yang sudah menjadi rahasia umum bahwa mahasiswa turun aksi karena Rp 50.000 per kepala selaki turun. Kebanyakan mahasiswa hari ini juga tidak jeli dalam mengolah isu kenegaraan dan kebangsaan dikarenakan paradigma berpikir yang tidak terarah untuk merumuskan konsep gerakan yang lebih efektif.
Menginggat posisi lembaga perwakilan dalam pemerintahan yang sangat vital, maka jangan pernah bermimpi bahwa semua lini dan segi kehidupan kenegaraan akan berjalan baik jika lembaga ini masih tercebur dalam kubangan krisis moral dan terjerat dalam selubung kemunafikan dan kebodohan. Penulis tidaklah mengada-ada dalam hal ini sebab semua regulasi (aturan/UU) yang mengatur dan menentukan baik dan benar, halal dan haram,  serta baik dan buruk lahir dari rahim institusi ini. Jangankan rakyat, presiden sekalipun diatur oleh UU yang dibuat oleh lembaga ini.
Negara ini memang masih tahap belajar berdemokrasi tatapi jangan kemudian dengan serta merta langsung dijustifikasi agar menerima kesenjangan yang ada tanpa uapaya dan niatan baik an optimis untuk merubahnya. 66 tahun negara ini merdeka dan sebentar lagi menginjak usia 67 tahun yang jika dikalkulasi secara evolusi-politik tidaklah muda lagi apalagi kalau dihitung berdasarkan umum rata-rata manusia. Dengan usia yang terbilang tua tersebut sungguh memprihatinkan menyaksikan eksistnsi dan kiprah dari lembaga perwakilan kita jika dibandingkan dengan lembaga perwakilan negara lain yang usianya terbilang lebih muda dari kita sebut saja malaysia dan singapura yang merupakan negara tetangga kita. Peribahasa yang sering menjadi buah bibir dikalangan masyarakat “makin tua makin jadi” nampaknya tidak berlaku buat negara kita kecuali peribahasa itu dipleseti menjadi “makin tua makin kekanak-kanakan, makin dewasa makin berkalang kenistaan dan kebodohan”.
Sedikit intermezo mungkin arwah para pahlawan yang telah memperjuangkan dan menjaga kemerdekaan republik ini nampaknya sedang berdiskusi dengan kuasa hukum dialam kubur untuk mengajukan banding supaya dikembalika kedunia untuk berjuang kembali memerdekaan bangsa dan negara ini dari penjajahan yang dilakukan oleh penguasanya sendiri atau boleh jadi mereka sedang menangisi ketidakberhasilan mereka menjadi patron, panutan dan kiblat bagi generasi pelanjut.
Sistem yang membingkai negara ini telah terkena penyakit kronis hampir tidak bisa disembuhkan lagi. Lembaga perwakilan kita sedang sakratul maut, tidak ada jalan lain selain melakukan taubatan nasuha politik dan bertekat melakukan pembenahan diri seraya mengintropeksi diri dengan persiapan,perencanaan, dan pelaksanaan (visi dan misi) yang lebih bijak menuju revolusi total. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menginstal ulang lembaga perwakilan kita yang menurut penulis dengan kapasitas keilmuan yang masih rendah patut untuk dilakukan. Pertama melakukan amputasi terhadap anggota yang menjadi racun dan parasit lembaga tersebut. Koalisi kerakyatan independen yang terdiri dari kaum inteleqtual (akademisi), aktivis mahasiswa, ulama, dan masyarakat umum mutlak dibutuhkan untuk melakukan embargo partisipasi politik baik dalam pemilu maupun dalam pelaksanaan kebijakan (presure gerakan). Kedua pemotongan generasi. Generasi tua harus melakukan taubatan politik sedangkan generasi muda harus melakukan transformasi kesadaran dari kesadaran naif menjadi kesadaran kritis ala Faulo Preire bahwa merekalah penyambung estapet kekuasaan yang membutuhkan persiapan yang matang mulai dari peneguhan paradigma berpikir yang benar tentang kebangsaan dan kenegaraan hingga penegasan ideologi sebagai spirit untuk melakukan tindakan sebagaimana mestinya. Ketiga  jika langkah langkah terdahulu masih menemui jalan buntu,meskipun terkesani ekstrim revolusi total negara mutlak untuk diupayakan. Sejenak berkaca pada revolusi yang pernah terjadi di Iran atau yang masih menjadi hot news akhir-akhir ini adalah revolusi negara di timur tengah yang berbasis agama layak untuk direnungkan. Steaphen l carter (salah satu pemikir sipil disobedience) pernah menyatakan bahwa “hanya dengan kebangkitan disemua lini keyakina beragama yang mampu menyelamatkan peradaban negara, karena tidak adanya orang-orang yang berkata jujur atau bervisi lebih bijak tentang persamaan daripada persamaan yang dikhittahkan Tuhan.
Jika kemudian hal tersebut tidak dilakukan maka tinggal menunggu waktu saja negara ini akan menuju kegagalan sebagai negara dan akhirnya menuju kehancuran.
Oleh : Subiran 
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar