Hiruk pikuk problema ekonomi, sosial, pendidikan,
budaya dan politik yang menggerogoti bangsa dan Negara ini nampaknya
menyisahkan banyak pertanyaan, khususnya berkaitan dengan agenda reformasi
pasca tumbang rezim orde baru.
Reformasi
telah berusia 13 tahun, usia yang terbilang muda jika dikomparasikan dengan
usia manusia. Dengan usia yang masih remaja tersebut, tentunya masih ada tekad
untuk menaruh sepercik harapan akan cita-cita serta tujuan kelahirannya.
Tetapi
yang menjadi pertanyaan, Masihkah tersisa spirit reformasi dan nasionalisme
yang rasional di tengah situasi dan kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang
terindikasi edan ini?
Kembali
kenukleus persoalan, Iklim dan kelembaban republik yang mulai bersemi, pasca tumbangnya
rezim Orba ternyata tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah terkebumikan.
Wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga
sekarang juga ternyata tidaklah lantas memberikan hasil yang positif bagi
rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan cerita
dongeng yang setiap hari diperdengarkan khususnya kepada generasi muda
inteleqtual, tetapi defisit arah dan tujuan pencapaian. Reformasi kini MATI SURI.
Bibit masalah
Secara
sederhana masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Definisi
simpel ini nampaknya sebangun dengan konteks reformasi di Indonesia. Reformasi
yang harapannya bertujuan membangun sistem politik demokratis, kenyataan yang
muncul di lapangan justru tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik
yang bersifat kultural maupun struktural. Tampak jelas betapa agenda reformasi
tak dapat direalisasikan dengan baik, sementara gerakan reformasi itu sendiri
telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas bahkan telah kehilangan roh
perjuangannya (mati suri). Yang lebih memprihatinkan lagi, kini ada
kecenderungan bahwa kekuatan lama mulai bangkit kembali, yang potensial menjadi
penghalang utama bagi gerakan reformasi ke depan. Jika diidentifikasi,
kekecewaan dan frustrasi sosial akibat kegagalan gerakan reformasi dalam
membangun demokrasi itu meliputi beberapa sektor pokok: ekonomi, politik, dan
sosial yang saling bertali-temali dan membawa implikasi luas dalam kehidupan
masyarakat.
Di
tahun 2012
ini,
keadaan seakan tidak makin membaik. Desentralisasi yang semula diharapkan
menciptakan balance of fower dan pemerataan, malah melahirkan firaun-firaun
kecil yang siap dan tegas bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal.
Yang lebih memprihatinkan lagi politik oligarki semakin hari kian menancapkan
kuku liarnya. Selain itu, Pengangguran masih menjadi pemandangan sehari-hari,
angka kemiskinan masih meningkat meski klaim pemerintah menurun, TKI yang
katanya pahlawan devisa masih saja menjadi komoditas eksploitasi, biaya pendidikan
semakin mahal, penguasaan asing atas SDA semakin mencengangkan, KKN masih
menjadi hobi bagi pejabat publik dan sudah menjadi rahasia umum yang semakin
menggelikan untuk disaksikan, DPR masih terindikasi sebagai industri mafia
(anggaran, legislasi, pengawasan), aparat penegak hukum masih tunggang langgang
mendiskreditkan hukum dan keadilan masyarakat, terorisme masih menjadi
komuditas politik yang asyik dilakonkan oleh kelompok tertentu, kekerasan atas
nama SARA masih menancapkan akar kekerasannya, dekadensi dan dekonstruksi moral
bangsa semakin mendapatkan legitimasi westernisasi.
Tepat
rasanya jika kemudian muncul ungkapan beberapa kalangan bahwa ”reformasi telah mati suri”. Reformasi
tinggal coretan pena sang sejarah.
Biang keladi
Mati
surinya reformasi seharusnya menjadi perhatian serius dan analisis yang
mendalam oleh semua stakeholder baik suprastruktur politik maupun infrastruktur
politik. Ada beberapa hal pokok penyebab mati surinya reformasi.
Pertama,
kesalahan konsepsi, tafsiran dan penilaian dalam merumuskan akar masalah serta
solusi krisis yang menghujani republik. Para aktivis gerakan perubahan,
termasuk gerakan mahasiswa sebagai hardware perubahan, mengkonsepsikan,
menafsirkan dan menilai akar masalah dari segala krisis bangsa adalah kusut dan
semrawutnya perangkat penunjang sistem, antara lain penegakan hukum yang lemah,
budaya KKN dan lemahnya demokratisasi. Dari sini, dimunculkanlah solusi instan
seperti penghujatan dan penggulingan pejabat publik yang mendua terhadap
reformasi dengan opini publik dan aksi demonstrasi. Padahal jika kita mau sedikit
jujur dan mengkaji secara lebih mendalam, hal tersebut bukanlah akar masalah.
Berdasarkan
analisa pengamat dan para pakar, krisis 1997 yang pernah menimpa Indonesia
dipicu oleh adanya gerakan pengungsian dolar ke luar negeri yang akhirnya
menyebabkan kegoncangan luar biasa pada makro ekonomi Indonesia. Sedangkan
rupiah berposisi sebagai mata uang yang lemah dan tidak memiliki nilai
intrinsik, sehingga sangat mudah terguncang oleh faktor ekonomi maupun politik.
Disamping itu, sektor non-riil (finansial) di Indonesia lebih dominan
dibandingkan sektor riil, padahal yang dapat mensejahterakan rakyat adalah
sektor riil. Pemerintah lalu menyelesaikan krisis ini dengan utang luar negeri
dan privatisasi aset-aset publik yang memunculkan krisis berulang. Perlu diigat
dan dicamkan baik-baik, bahwa walaupun saat ini makro ekonomi kita dinilai
membaik dengan pertumbuhan ekonomi positif, fakta sebenarnya hanyalah
kamuflase. Sebab pertumbuhan tersebut hanyalah pertumbuhan sesaat, yang
sewaktu-waktu dapat memunculkan krisis serupa tahun 1997. Persoalan ini adalah
ciri khas diterapkannya sistem politik-ekonomi neoliberalis. Neoliberalisme
sebagai paham sistem politik ekonomi yang mendominasi dunia saat ini, telah
diindoktrinasikan oleh negara Barat Kapitalis ke berbagai negara dunia ketiga
termasuk Indonesia dengan slogan globalisasi, bantuan luar negeri, dan pasar
bebas, padahal
misinya sangat jelas yaitu menjarah dan mengeksploitasi konstruksi SDA dan SDM
Negara dunia ketiga.
Berdasarkan
salah satu dari sekian banyak problem diatas, tidak perlu menjadi pakar atau
ilmuwan politik dan ekonomi untuk dapat menyimpulkan bahwa akar masalah krisis
multidimensi di Indonesia adalah penerapan sistem yang salah. Pengadopsian
sistem asing secara monolitik telah memporakporandakan ”negeri tongkat kayu dan batu jadi
tanaman” ini. Sistem yang diadopsi selama ini sangat tidak bisa
terlepas dari penerapan ideologi negara neo-liberalis kapitalis yang diterapkan
oleh negara ini.
Konklusinya,
solusi yang tepat dari berbagai problem di atas adalah tidak sekedar menata
ulang sistem (reformasi), tetapi kita harus punya kemauan, lebih arif dan
bijak, iktikad yang baik serta berani untuk melakukan pembenahan dan melakukan
perubahan secara menyeluruh sistem kenegaraan di negeri ini dan menggantinya
dengan sistem yang lebih sesuai dengan dasar negara yaitu PANCASILA.
Kedua,
disorientasi gerakan mahasiswa. Sejak 1998 sampai sekarang, aksi-aksi mahasiswa
cenderung hanya ritual seremonial semata. Berbagai aksi muncul sekedar respon
yang spontanitas (reaksioner) tentang berbagai isu yang sedang populer di
masyarakat. Saat isu tidak lagi banyak diperbincangkan masyarakat karena
termakan waktu dan akibat pengalihan isu politik, walaupun masalah tersebut sesungguhnya
belum menemui penyelesaian, maka pudar pulalah suara lantang mahasiswa.
Wajarlah jika kemudian gerakan mahasiswa hari ini sering dimanfaatkan sebagai
alat permainan isu dan manajemen konflik oleh berbagai pihak yang
berkepentingan. Hal ini terjadi karena lemahnya budaya berpikir politis
mahasiswa dalam menganalisis berbagai masalah dan solusi sehingga gerakan
mahasiswa lebih terkesan reaksioner dibandingkan gerakan yang inteleq, analitis dan politis. Ditambah
lagi media massa lebih cenderung mempublikasikan aksi-aksi mahasiwa yang
anarkis sehingga memunculkan citra buruk gerakan mahasiswa.
Ketiga,
ikatan dan sinergi antar organ gerakan masyarakat yang sangat cair terkesan hanya bersifat
kepentingan sesaat dan emosional. Sudah menjadi rahasia umum, gerakan mahasiswa
mengalami perpecahan. Perpecahan ini dipicu oleh perbedaan kepentingan dan
kemanfaatan jangka pendek, terutama terkait dengan tokoh (fatsun politik) yang
akan didukung dalam memimpin masa transisi menuju arah reformasi yang
sebenarnya. Hal ini terjadi karena ketidaksamaan pola pikir dan visi
perjuangan. Oleh karena itu, model gerakan yang akan melakukan perubahan
sistem, bukan sekedar gerakan kepentingan politik jangka pendek, tetapi
dibutuhkan gerakan yang memiliki kesamaan pemikiran dan visi perjuangan
(ideologi) tentang arah perubahan. Untuk itu, diperlukan upaya terus-menerus
dan intensif dalam menyatukan pemikiran dan visi perjuangan mahasiswa sehingga
terwujud kesatuan kesadaran dan opini umum.
Keempat,
penghianatan kaum inteleqtual terhadap reformasi. Hal tersebut ditandai dengan
maraknya gerakan mahasiswa yang terkooptasi dengan kepentingan elite penguasa
dalam menyuarakan aspirasi, mantan aktivis 98 yang semula bersuara lantang dalam ranah
parlemen jalanan, justru menjadi kambing basah ketika duduk sebagai wakil
rakyat di perlemen. Yang lebih menggelitikkan lagi adalah ulah sebagian pakar, pengamat dan ilmuwan politik yang
mendua terhadap reformasi, teralienasi oleh arus kekuatan dan kepentingan
politik penguasa. Maka tidak jarang kita menyaksikan parodi politik pengamat,
dan pakar yang terkesan kuat berkoar-koar di media massa dengan analisis ABS
(asal bapak senang)
Kontrol masyarakat
Demikianlah,
gerakan reformasi telah melewati masa 13 tahun, namun kita belum juga mampu
membangun sistem politik demokratis yang kuat dan tangguh. Tampak jelas bahwa
elemen-elemen sistem demokrasi tak berfungsi normal dan tak bekerja secara
efektif. Saksikan, betapa suprastruktur politik yang menjadi pilar utama
demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah mengalami disfungsi
yang akut. Format politik dan tatanan kelembagaan demokrasi yang bagi negara
lain sudah dianggap kedaluwarsa, justru kita masih terus bereksperimen dengan
sesuatu yang baru sama sekali. Di masa transisional ini, kita memang menghadapi situasi
yang teramat sulit, dengan berbagai persoalan kebangsaan yang demikian
kompleks. Semula kita mempercayakan secara penuh kepada elite-elite politik
untuk merealisasikan agenda-agenda besar reformasi dan sekaligus memandu masa transisi
agar proses transformasi politik dapat berjalan dengan baik dan lancar. Namun,
kita sangat kecewa ketika menyaksikan bahwa ternyata mereka telah melakukan
perselingkuhan terhadap gerakan reformasi dan menjadi pelacur politik ketika
berlangsung perubahan politik dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Mereka
dengan amat lihai telah memanipulasi gerakan reformasi demi kepentingan mereka
sendiri. Para elite politik yang menempati pos-pos strategis baik di instansi
pemerintahan maupun di lembaga perwakilan, yang memiliki akses ke dalam proses
perumusan kebijakan publik, dengan mudah merekayasa dan melegalisasi suatu
keputusan politik berdasarkan kepentingan individual, kelompok, dan golongan
mereka sendiri. Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara yang tidak berkaitan langsung dengan
kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.
Oleh
sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat dari berbagai kelompok
kepentingan seperti organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, media massa,
komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis
lainnya. Sebab, tinggal ini saja harapan yang mempunyai kemampuan dalam
mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan
persoalan krusial di tengah
masyarakat.
Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk
penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan reformasi.
Oleh:Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ)