Laman

Jumat, 22 Maret 2013

Cincin Eyang Menyatukan Kami



Perjalanan ekspedisi PENTARA 1 LPM News FISIP UMJ menyisakan banyak tragedi dan peristiwa menakjubkan. Salah satunya adalah cerita-cerita luar biasa yang kami dapatkan dari sosok kakek yang memiliki segudang ilmu pengetahuan. Eyang Karno biasa kami memanggilnya.
Sepanjang ekspedisi,tak jarang kami melibatkan Eyang Karno dalam pencarian kami tentang berbagai informasi dan pengetahuan mengenai kebudayaan dan sejarah. Sesekali kami mengunjungi kediamannya,semata berguru pada sesepuh di kelurahan Serengan, kota Surakarta Solo tersebut.
Entah apa yang beliau rasakan atas kehadiran kami di kota Solo. Merepotkannya adalah hal yang selalu terbesit di benak kami. Namun sambutan hangat yang selalu kami terima.
Hari terakhir perjalanan  ekspedisi kami,Eyang Karno memberikan cendramata berupa koleksi cincin-cincinnya. Yang menurut pengakuannya, tak mudah cincin-cincin itu beliau dapatkan.
Selain memperindah jemari,cincin juga menandakan kedewasaan pada setiap orang yang memakainya. Namun setiap cincin memiliki makna yang berbeda-beda. Cincin yang di berikan Eyang Karno kepada kami memang menarik dan berbeda bentuk antara cincin untuk laki-laki dan perempuan. Merupakan kebanggaan bagi kami,menerima kenang-kenangan dari Eyang Karno. Padahal ilmu yang kami dapatkan dari beliau secara gratispun sudah banyak kami tampung.
Setelah tugas ekspedisi PENTARA 1 kami selesaikan,cincin darinya segera kami lingkarkan di jemari kami. Kata Eyang,hanya sekedar cincin sebagai kenang-kenangan. Tapi rasanya ini sebuah kehormatan bagi kami bisa menerima benda koleksinya.
Dengan bangga kami memakai cincin kenangan ini,lalu kami saling memamerkan satu sama lain,dan cincin ini mampu menciptakan canda tawa di antara kami. Seolah mampu memperkuat jalinan kekeluargaan teman-teman wartawan LPM news.
“Eyang Karno,terima kasih atas kenang-kenangannya,kami bangga mengenakannya. Cincin ini sebagai simbol bahwa Serengan kota Solo pernah menerima pijakkan kaki kami dengan keramah tamahan,sebagai ciri khasnya.”
(Ning Rahayu, Wartawan LPM FISIP UMJ)

Solo, dan Kejawen


 Oleh: Dwi Fusti Hana Pertiwi


Sejak pertama tiba di Solo terlihat sebuah kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya sangat kental sejarah kebudayaan, kepercayaan yang bersifat kejawen dan sebuah tatanan kehidupan yang saling toleran terhadap agama, dimana masyarakat Solo sendiri terdapat beberapa kepercayaan seperti nasrani, islam, kejawen bahkan hindu dan budha yang hidup dan menjalani relasi sosial secara harmonis dan saling menghargai.

Tetapi tidak bisa dipungkiri, sebagai pendatang atau turis lokal tetap saja menyaksikan kehidupan masyarakat Kejawen lebih menonjol ketimbang yang lain. Mungkin karena adat dan kultur Jawa sehingga sebuah kehidupan bermasyarakat yang berbeda agama di daerah tersebut tidak terlihat secara langung, Semuanya seakan tertutupi oleh kebudayaan  yang menjadi simbol masyarakat Solo.
Melihat masyarakat yang mayoritas berkultur Jawa dengan adat serta perilaku keramah tamahan yang tercipta dari setiap individu, nampak jelas terlihat bahwa sebagian besar wilayah mulai dari pemukiman pusat kota sampai pemukiman Kraton sendiri memiliki wacana dan perilaku yang seragam.
Sejak hari pertama, team Ekspedisi LPM FISIP UMJ telah mencoba menyusuri kehidupan masyarakat kota Surakarta, Solo mulai dari Pendidikan, Kemiskinan, Kebudayaan sampai Keagamaan. Mulai dari hari pertama hingga hari ke lima menggelar ekspedisi, Team peliputan LPM FISIP UMJ telah banyak menyaksikan masyarakat yang begitu melestarikan kebudayaannya, sebagai contoh setiap pemukiman terdapat industri perumahan yang memproduksi batik, blangkon, dan shuttle cock.
Selain itu pelestarian akan budaya lain seperti Keroncong, Tarian, Gamelan, Wayang dll, menjadi sebuah rutinitas masyarakat dalam keseharian, dimulai dari rutinitas kelurahan, kecamatan sampai pendidikan dari SD sampai SMA yang dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler diseluruh sekolah yang ada daerah Solo, yang terlihat jelas antusias serta keseriusan untuk mempelajarinya.
Saking banyaknya pengalaman yang didapat, seakan tidak akan ada habisnya untuk membahas adat serta kultur dari tanah Solo, apalagi membahs tentang peninggalan sejarah Kraton yang berbeda serta unik antara Kraton Kesunanan Surakarta dengan Kraton Mangkunegara yang memiliki cerita serta filosofi yang berbeda tetapi masih berhubungan dan berpengaruh besar dalam perjalanan cerita kebudayaan Jawa khususnya Kota Solo. Selain menjadi Cagar Budaya serta Objek Budaya Kota Solo ternyata Kraton dimanfaatkan juga oleh masyarakat sekitar Kraton untuk dijadikan mata pencaharian atau hanya sebagai penyambung kebutuhan ekonomi serta sebagai wahana pembelajaran tari mulai dari anak SD hingga orang Dewasa. Tidak hanya itu, para turis baik Lokal maupun Mancanegara biasanya juga memanfaatkan waktu wisatanya untuk belajar banyak semua varian aktivitas pendidikan di Kraton tersebut, mulai dari belajar tari, bahasa Jawa, hingga penelitian.
Tidak ada kata lain selain kekaguman melihat kehidupan di Kota Solo yang penuh dengan segudang Kebudayaan dan Keserasian Masyarakat dalam melestarikannya sekaligus Keaktifan masyarakat untuk memperdayaan kesejahteraan kehidupannya.[]

Mengukur dan Mengukir Jejak Peradaban



Jika mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap manusia, sehingga dalam tataran agama pun ia terhikumi sebagai sesuatu yang wajib untuk dilakukan karena ia dasar dari segala-galanya, maka tidak ada salahnya jika kita mengatakan bahwa dengan ilmu seseorang bisa melakukan apa saja yang ia kehendaki terlepas apapun orientasinya, baik menjurus ke hal yang positif maupun negatif. Akan halnya untuk membentuk suatu peradaban yang siap memberikan pencerahan intelekual bagi seluruh umat manusia secara umum dan diri kita sendiri secara khusus, semuanya tidak terlepas dari belenggu ilmu pengetahuan sebagai tahap awalnya.
Namun untuk membentuk peradaban seperti itu tidaklah mudah, butuh niat yang baik serta jerih payah yang keras untuk mewujudkannya. Sama halnya dengan kita melihat kader-kader lembaga pers mahasiswa (LPM) FISIP UMJ yang saat ini berusaha keras untuk mewujudkan hal itu sesuai dengan apa yang mereka dapat dari konsep teoritis hingga dalam tataran praksis mereka tidak kaku lagi untuk melakukannya.
Usaha dan jerih payah mereka terlihat ketika beranjak ke kota Surakarta, Solo. Dan tidak salah jika kita mengatakan bahwa setiap langkah yang menggiring mereka kesana dapat dikatakan sebagi “jejak peradaban” dalam bingkai Ekspedisi Pena Nusantara yang menjadi tema utamanya.
Dalam kegiatan yang diadakan di kota Surakarta, Solo tersebut, khususnya di kelurahan Serengan , semuanya tersusun dalam dua hal yang menjadi fokus kegiatan. Yaitu pertama melakukan peliputan yang mencakup masalah kemiskinan, keagamaan, kebudayaan serta pendidikan. Kedua mengadakan Bina Desa Jurnalis yang konsen Citizen Jurnalisme sebagai upaya mengubah cara berfikir masyarakat setempat bahwa tidak mesti jika kita berbicara tentang peliputan dan berita, maka semua yang wajib mengerjakannya adalah wartawan yang memiliki kartu identitas yang lengkap saja. Tetapi masyarakat pun bisa langsung melakukannya sendiri dengan modal pengetahuan yang mereka dapat, baik itu melalui kegiatan-kegiatan seperti bina Desa Jurnalis yang diadakan oleh kader-kader LPM dan lain sebagainya yang tentunya fokus membahas persoalan tersebut.
Dan adalah kenyataan bahwa mereka (seluruh kader LPM) berhasil melakukannya dengan baik. Ini tidak terlepas dari niat yang tulus, Do’a serta usaha mereka dalam mewujudkan hal itu meskipun tak bisa dipungkiri bahwa begitu banyak halang rintang yang berusaha menghambat kegiatan mulia itu.
Jika kita sedikit saja mau merenung, maka hal ini patut untuk dijadikan pembelajaran bagi sebagian dari kita yang mungkin kerjanya hanya memiliki hobi menampung ilmu di perpustakaan akal tanpa mau sedikit barbagi kepada orang lain melalui kegiatan-kegiatan, diskusi dan lain sebagainya. Karena hal yang tak dapat disembunyikan bahwa saat ini masih banyak dari kita yang hanya pandai dalam tataran wacana tetapi ketika disuruh untuk berbuat sesuatu dalam konteks yang rill adanya, maka akibatnya tidak sedikit juga dari kita yang kelabakan untuk melukukan hal tersebut hingga sampai pada tahap kebingungan harus memulainya dari mana.
Perjalanan tim ekspedisi pena nusantara kekota kota Surakarta, Solo, nyatanya mampu menggugurkan proposisi diatas secara terang-terangan. Bahwa apa mereka dapat selama berkelut di lembaga pers mahasiswa, kini dapat kita saksikan langsung dalam konteks yang rill adanya. Meskipun sebelum memulai kegiatan ini masih banyak orang-orang yang skeptis, apa mereka bisa melakukannya dengan baik atau bahkan sebaliknya.
Dan akhirnya semua keraguan itu bisa terjawab dengan sendirinya., yang tentu dengan melihat langsung hasil yang didapatkan selama melakukan ekspedisi di kota yang cukup terkenal dengan sebutan kota budaya itu. Dan salah satu contoh yang nyata adalah apa sedang anda baca sekarang ini.[]
Ismail Samad, Wartawan LPM News FISIP UMJ

Ketika Kraton menjadi Obyek Wisata


Sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno dan Muh. Hatta di jalan Pegangsaan Timur atau Jalan Imam Bonjol, Jakarta 67 tahun yang lalu, praktis seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan di wilayah nusantara khususnya di tanah Jawa menjadi vakum. Sebab seluruh kerajaan secara langsung mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai sebuah negara modern yang menaungi seluruh wilayah kerajaan di nusantara.
Meski di awal kemerdekaan, pusat pemerintahan dipusatkan di kota Yogyakarta yang merupakan tempat kerajaan kraton kesultanan NgaYogyakarta dibawah kepemimpinan Hamengkubuwono ke IX, tetapi aktivitas pemerintahan tetaplah berada ditangan Soekarno, Presiden Republik Indonesia ketika itu. Aktivitas pemerintahan kesultanan pada saat itu hanya bersifat ritual seremonial untuk melestarikan budaya dan ritus leluhur, dan hal tersebut berlangsung hingga kini.
Proses pemakuman pemerintahan kerajaan tersebut tentu tidak hanya berlaku bagi kraton Yogyakarta sebagai entitas politik yang pertama kali mengakui kedaulatan Republik indonesia, Kraton Kasunanan Surakarta dan Mangkunegoro yang terletak di kota Solo pun melakukan hal yang sama.
Sebagai obyek kebudayaan yang vital, dan memiliki peninggalan ritus dan situs budaya yang terbilang sangat tua ditanah Jawa, Kraton NgaYogyakarta, Kasunanan dan Mangkunegoro tentu merupakan tiga kerajaan yang diera modern ini sangat memancing adrenalin keingintahuan masyarakat dunia untuk melihat dan mengenalnya dari dekat. Apalagi legitimasi globalisasi yang menyambungkan koneksi kemanusiaan dan kemasyarakatan seluruh negara dunia dengan teknologi informasi dan komunikasi yang menuntut ruang keterbukaan lebih, turut pula menyokong hal tersebut. Dan pada akhirnya, ketiga kerajaan yang semula hanya dikenali dan diketahui penduduknya masing-masing, kini telah menjadi pengetahuan kolektif masyarakat dunia entah secara langsung maupun tidak langsung.
Sejak gagasan pendirian kementerian pariwisata digembor-gemborkan oleh para pemangku jabatan tinggi dipemerintahan negeri ini, gagasan menjadikan pusat-pusat kebudayaan semisal kraton, masjid dan makam sebagai obyek pariwisatapun menggema diseluruh pelosok negeri. Proses menjadikan Kraton sebagai obyek pariwisata tentu bukan tanpa alasan, dan persoalan kevakuman pemerintahan disatu sisi dan pelestarian budaya dengan cara mengenalkan kepada dunia seputar eksistensi kerajaan disisi yang lain menjadi alasan paling populer yang sering kita dengar untuk melegitimasi kebijakan tersebut.
Di kota Solo, setidaknya ada dua Kraton (Kasunanan dan mangkunegoro) serta beberapa Masjid semisal masjid kuno Lawean, dan masjid Agung Surakarta dan beberapa Makam kuno yang sekarang telah menjadi cagar budaya yang dijadikan oleh pemerintah daerah dan pusat sebagai obyek wisata.
Menjadikan peninggalan budaya kuno sebagai obyek wisata tentu memiliki implikasi positif disatu sisi dan implikasi negatif disisi yang lain. Tergantung dari sudut tembak pengetahuan mana yang kita jadikan rujukan serta standar dan tolak ukur untuk menilainya.
Dilihat dari segi kebudayaan, menjadikan peninggalan budaya sebagai obyek wisata tentu merupakan sebuah upaya pelestarian dan pemeliharaan peninggalan kebudayaan yang bisa menghasilkan tukar serta share data dan informasi seputar kebudayaan yang beragam tidak hanya untuk menambah perbendaharaan kebudayaan wawasan dan pengetahuan di wilayah nusantara tetapi juga untuk wilayah kebudayaan dunia. Tetapi kadang kala niat, upaya dan cara untuk melestarikan peninggalan tersebut dengan cara mengenalkan kebudayaan yang satu kepada khalayak selain pemilik kebudayaan tersebut, terkadang menimbulkan petanda dan penanda bahwa kita hanya mampu mengkultuskan budaya masa lalu yang dipenuhi dan disesaki dengan cerita kejayaan sembari vakum dalam ruang kosong keapatisan dengan tidak berupaya untuk menjelaskan dan memposisikannya sebagai bagian dari proses pencarian jati diri dalam proses menghadapi peradaban kontemporer dan mutakhir seperti sekarang ini.
Parahnya kita hanya menjadikan peninggalan budaya tersebut sebagai narasi romantisme masa lalu tanpa mau mengintip peradaban masa depan yang hendak dibangun dan ditata melalui kearifan dan hikmah kejayaan masa lalu tersebut. Anehnya karena kitapun juga tersugesti untuk menjadikan dan mengarahkan peradaban masa depan generasi kita serupa dengan puncak kejayaan yang pernah dialami dan dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu.
Bahkan tidak jarang, implikasi dari penelanjangan budaya melalui program pariwisata tersebut justru memberikan potensi pencaplokan kebudayaan yang menyerupai pengimitasian produk peninggalan budaya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semakin banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang mengetahui produk-produk peninggalan kebudayaan tersebut, maka akan semakin besar pula potensi pencaplokan dan pencangkokan kebudayaan kuno tersebut melalui permentasi dan eksperimentasi pihak luar khususnya pelancong luar negeri untuk mengelaborasikannya dengan produk teknologi dan informasi yang semakin populer dewasa ini. Misalnya saja adanya upaya dewasa ini untuk mengeksperimenkan produk kesenian kuno semisal gamelan dengan alat mosik modern demi tuntunan komersial. Contoh lain, benda-benda kuno dan antik hasil imitasi banyak kita dapatkan diberbagai daerah dan luar negeri yang dipasarkan secara membabibuta demi tuntutan kapitalisme, serta budaya karawitan ditampilkan dalam bentuk Pop khas ala industri musik dan pertelevisian nasional dan dunia yang juga demi tuntutan komersial yang bersifat pragmatis. Bahkan pembuatan batik dan balngkon yang awalnya memiliki nilai filosofis dengan proses pembuatan penuh estetika imajinasi pembuatnya dipaksa untuk menuruti logika industrialisasi yang dipercepat demi tuntutan pasar. Mirisnya lagi karena, batik dan blangkon yang awalnya dibuat dari bahan alami oleh para pembuatnya di daerah asalnya, sering kali kita jumpai didaerah atau negara lain dilakukakan dengan memanfaatkan bahan kimia dengan motif, corak dan desain yang tidak mengedepankan nilai filosofi batik itu sendiri.
Dari segi pendidikan, proses menjadikan produk peninggalan budaya sebagai obyek wisata memang tidak bisa dipungkiri memberikan sinyalemen terpelihara dan terpetakannya regenerasi wawasan bagi generasi muda untuk mengenal dekat sejarah kebudayaannya. Selain itu, melalui pendidikan mulai dari yang bersifat formal, imformal, hingga nonformal, pengenalan dan penyebarluasan wawasan dan gagasan kebudayaan bisa berlangsung secara masif dan permisif kepada orang asing untuk menghargai dan menghormati kebudayaan suatu masyarakat secara arif dan bijaksana. Salah satu contoh rillnya adalah banyaknya wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang belajar menari, bahasa Jawa, tata krama, kesenian karawitan, pembuatan batik, hingga penelusuran jejak perpustakaan Kraton melalui penelitian turut memberikan kontribusi dalam melestariakan nilai-nilai luhur produk kebudayaan masa lalu untuk diperkenalkan kepada masyarakat senatero dunia melalui jalur pendidikan dengan memanfaatkan konsep dan desain program pariwisata. Dilain pihak juga, melalui pendidikan, nilai filosofi dan sejarah kebudayaan yang awalnya hanya diketahui masyarakat setempat tidak lagi dimitoskan atau diasumsikan dengan prasangka ketidaktahuan oleh orang asing dalam memandang peninggalan kebudayaan tersebut. bahkan memali pendidikan pula, akan semakin banyak penelitian yang pada akhirnya menghasilkan puluhan hingga ribuan karya tulis baik melalui majalah, jurnal hingga buku yang berkaitan dengan kebudayaan kuno tersebut. Harapannya adalah proses memperkenalkan kebudayaan bisa lebih massif lagi.
Tetapi, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa melalui pendidikan pula, nilai, tektur, kontur, estetika dan artistika sebuah kebudayaan bisa menjadi bias ketika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai investasi wawasan dan gagasan untuk menelanjangi kebudayaan masa lalu dengan warna dan motif kebudayaan modern yang identik dengan teknologi dan informasi. Misalnya reduksi bahasa Jawa asli kedalam bahasa modern baik Indonesia mapun bahasa asing (Luar Negeri) melalui proses penyerapan makna, eksperimentasi akulturasi tarian modern atau asing dengan tarian tradisional yang tidak jarang mengurangi nilai filosofi tarian tradisional tersebut, percampuran instrumen musik tradisional dengan instrumen musik modern yang juga tidak jarang mengurangi nilai esensialitas makna dari instrumen musik tradisional tersebut, peniruan benda-benda kebudayaan melalaui industri modern demi tuntutan kapitalis dan masih banyak contoh lain.
Dari segi perekonomian, menjadikan peninggalan kebudayaan tradisional sebagai obyek wisata tentu memberikan dampak positif bagi pendapatan daerah dan devisa negara yang tentu akan berimplikasi posisitf bagi perkembangan dan pertumbuhan perekonomian sebuah daerah dan negara. Bahkan potensi pengangguran masyarakat bisa dipangkas melalui hal tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, kalau para pejabat tinggi baik daerah maupun negara, hingga perusahaan swasta kadang kala menjadikan obyek wisata sebagai investasi politik dan ekonomi pribadi dan atau kelompok untuk menguasai sektor perekonomian dan pendapatan. Bahkan tidak jarang peninggalan kebudayaan sering dimanfaatkan untuk sekedar memenuhi syahwat dan kerakusan kapitalis untuk mengkomersialisasi segala hal yang berkaitan dengan penggalan budaya tersebut. Sehingga tidak jarang kita menyaksikan maraknya penawaran (menjual) obyek wisata yang berkaitan dengan peninggalan kuno kebudayaan kepada para investor hanya karena tuntutan pragmatisme komersial. Disisi lainnya, bahwa problem klasik relevansi dan implikasi positif bagi masyarakat secara umum dengan dijadikannya peninggalan kebudayaan semisal Kraton, Makam dan Masjid  sebagai obyek wisata senantiasa berbanding terbalik dan sangat jauh dari harapan pemerataan perekonomian dikalangan masyarakat. Padahal jika dikalkulasi secara matematis, seharusnya dengan banyaknya pendapatan yang dihasilkan dari komersialisasi obyek wisata tersebut, bisa mensejahterakan seluruh masyarakat tanpa memandang kasta dan tingkatan strata sosial dan politik. 

Kamis, 15 November 2012

Republik Semu, Reformasi Mati Suri



Hiruk pikuk problema ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan politik yang menggerogoti bangsa dan Negara ini nampaknya menyisahkan banyak pertanyaan, khususnya berkaitan dengan agenda reformasi pasca tumbang rezim orde baru.
Reformasi telah berusia 13 tahun, usia yang terbilang muda jika dikomparasikan dengan usia manusia. Dengan usia yang masih remaja tersebut, tentunya masih ada tekad untuk menaruh sepercik harapan akan cita-cita serta tujuan kelahirannya.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, Masihkah tersisa spirit reformasi dan nasionalisme yang rasional di tengah situasi dan kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang terindikasi edan ini?
Kembali kenukleus persoalan, Iklim dan kelembaban republik yang mulai bersemi, pasca tumbangnya rezim Orba ternyata tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah terkebumikan. Wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang juga ternyata tidaklah lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan cerita dongeng yang setiap hari diperdengarkan khususnya kepada generasi muda inteleqtual, tetapi defisit arah dan tujuan pencapaian. Reformasi kini MATI SURI.
Bibit masalah
Secara sederhana masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Definisi simpel ini nampaknya sebangun dengan konteks reformasi di Indonesia. Reformasi yang harapannya bertujuan membangun sistem politik demokratis, kenyataan yang muncul di lapangan justru tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik yang bersifat kultural maupun struktural. Tampak jelas betapa agenda reformasi tak dapat direalisasikan dengan baik, sementara gerakan reformasi itu sendiri telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas bahkan telah kehilangan roh perjuangannya (mati suri). Yang lebih memprihatinkan lagi, kini ada kecenderungan bahwa kekuatan lama mulai bangkit kembali, yang potensial menjadi penghalang utama bagi gerakan reformasi ke depan. Jika diidentifikasi, kekecewaan dan frustrasi sosial akibat kegagalan gerakan reformasi dalam membangun demokrasi itu meliputi beberapa sektor pokok: ekonomi, politik, dan sosial yang saling bertali-temali dan membawa implikasi luas dalam kehidupan masyarakat.
Di tahun 2012 ini, keadaan seakan tidak makin membaik. Desentralisasi yang semula diharapkan menciptakan balance of fower dan pemerataan, malah melahirkan firaun-firaun kecil yang siap dan tegas bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal. Yang lebih memprihatinkan lagi politik oligarki semakin hari kian menancapkan kuku liarnya. Selain itu, Pengangguran masih menjadi pemandangan sehari-hari, angka kemiskinan masih meningkat meski klaim pemerintah menurun, TKI yang katanya pahlawan devisa masih saja menjadi komoditas eksploitasi, biaya pendidikan semakin mahal, penguasaan asing atas SDA semakin mencengangkan, KKN masih menjadi hobi bagi pejabat publik dan sudah menjadi rahasia umum yang semakin menggelikan untuk disaksikan, DPR masih terindikasi sebagai industri mafia (anggaran, legislasi, pengawasan), aparat penegak hukum masih tunggang langgang mendiskreditkan hukum dan keadilan masyarakat, terorisme masih menjadi komuditas politik yang asyik dilakonkan oleh kelompok tertentu, kekerasan atas nama SARA masih menancapkan akar kekerasannya, dekadensi dan dekonstruksi moral bangsa semakin mendapatkan legitimasi westernisasi.
Tepat rasanya jika kemudian muncul ungkapan beberapa kalangan bahwa ”reformasi telah mati suri”. Reformasi tinggal coretan pena sang sejarah.
Biang keladi
Mati surinya reformasi seharusnya menjadi perhatian serius dan analisis yang mendalam oleh semua stakeholder baik suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Ada beberapa hal pokok penyebab mati surinya reformasi.
Pertama, kesalahan konsepsi, tafsiran dan penilaian dalam merumuskan akar masalah serta solusi krisis yang menghujani republik. Para aktivis gerakan perubahan, termasuk gerakan mahasiswa sebagai hardware perubahan, mengkonsepsikan, menafsirkan dan menilai akar masalah dari segala krisis bangsa adalah kusut dan semrawutnya perangkat penunjang sistem, antara lain penegakan hukum yang lemah, budaya KKN dan lemahnya demokratisasi. Dari sini, dimunculkanlah solusi instan seperti penghujatan dan penggulingan pejabat publik yang mendua terhadap reformasi dengan opini publik dan aksi demonstrasi. Padahal jika kita mau sedikit jujur dan mengkaji secara lebih mendalam, hal tersebut bukanlah akar masalah.
Berdasarkan analisa pengamat dan para pakar, krisis 1997 yang pernah menimpa Indonesia dipicu oleh adanya gerakan pengungsian dolar ke luar negeri yang akhirnya menyebabkan kegoncangan luar biasa pada makro ekonomi Indonesia. Sedangkan rupiah berposisi sebagai mata uang yang lemah dan tidak memiliki nilai intrinsik, sehingga sangat mudah terguncang oleh faktor ekonomi maupun politik. Disamping itu, sektor non-riil (finansial) di Indonesia lebih dominan dibandingkan sektor riil, padahal yang dapat mensejahterakan rakyat adalah sektor riil. Pemerintah lalu menyelesaikan krisis ini dengan utang luar negeri dan privatisasi aset-aset publik yang memunculkan krisis berulang. Perlu diigat dan dicamkan baik-baik, bahwa walaupun saat ini makro ekonomi kita dinilai membaik dengan pertumbuhan ekonomi positif, fakta sebenarnya hanyalah kamuflase. Sebab pertumbuhan tersebut hanyalah pertumbuhan sesaat, yang sewaktu-waktu dapat memunculkan krisis serupa tahun 1997. Persoalan ini adalah ciri khas diterapkannya sistem politik-ekonomi neoliberalis. Neoliberalisme sebagai paham sistem politik ekonomi yang mendominasi dunia saat ini, telah diindoktrinasikan oleh negara Barat Kapitalis ke berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan slogan globalisasi, bantuan luar negeri, dan pasar bebas, padahal misinya sangat jelas yaitu menjarah dan mengeksploitasi konstruksi SDA dan SDM Negara dunia ketiga.
Berdasarkan salah satu dari sekian banyak problem diatas, tidak perlu menjadi pakar atau ilmuwan politik dan ekonomi untuk dapat menyimpulkan bahwa akar masalah krisis multidimensi di Indonesia adalah penerapan sistem yang salah. Pengadopsian sistem asing secara monolitik telah memporakporandakan ”negeri tongkat kayu dan batu jadi tanaman” ini. Sistem yang diadopsi selama ini sangat tidak bisa terlepas dari penerapan ideologi negara neo-liberalis kapitalis yang diterapkan oleh negara ini.
Konklusinya, solusi yang tepat dari berbagai problem di atas adalah tidak sekedar menata ulang sistem (reformasi), tetapi kita harus punya kemauan, lebih arif dan bijak, iktikad yang baik serta berani untuk melakukan pembenahan dan melakukan perubahan secara menyeluruh sistem kenegaraan di negeri ini dan menggantinya dengan sistem yang lebih sesuai dengan dasar negara yaitu PANCASILA.
Kedua, disorientasi gerakan mahasiswa. Sejak 1998 sampai sekarang, aksi-aksi mahasiswa cenderung hanya ritual seremonial semata. Berbagai aksi muncul sekedar respon yang spontanitas (reaksioner) tentang berbagai isu yang sedang populer di masyarakat. Saat isu tidak lagi banyak diperbincangkan masyarakat karena termakan waktu dan akibat pengalihan isu politik, walaupun masalah tersebut sesungguhnya belum menemui penyelesaian, maka pudar pulalah suara lantang mahasiswa. Wajarlah jika kemudian gerakan mahasiswa hari ini sering dimanfaatkan sebagai alat permainan isu dan manajemen konflik oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Hal ini terjadi karena lemahnya budaya berpikir politis mahasiswa dalam menganalisis berbagai masalah dan solusi sehingga gerakan mahasiswa lebih terkesan reaksioner dibandingkan gerakan yang inteleq, analitis dan politis. Ditambah lagi media massa lebih cenderung mempublikasikan aksi-aksi mahasiwa yang anarkis sehingga memunculkan citra buruk gerakan mahasiswa.
Ketiga, ikatan dan sinergi antar organ gerakan masyarakat yang sangat cair terkesan hanya bersifat kepentingan sesaat dan emosional. Sudah menjadi rahasia umum, gerakan mahasiswa mengalami perpecahan. Perpecahan ini dipicu oleh perbedaan kepentingan dan kemanfaatan jangka pendek, terutama terkait dengan tokoh (fatsun politik) yang akan didukung dalam memimpin masa transisi menuju arah reformasi yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ketidaksamaan pola pikir dan visi perjuangan. Oleh karena itu, model gerakan yang akan melakukan perubahan sistem, bukan sekedar gerakan kepentingan politik jangka pendek, tetapi dibutuhkan gerakan yang memiliki kesamaan pemikiran dan visi perjuangan (ideologi) tentang arah perubahan. Untuk itu, diperlukan upaya terus-menerus dan intensif dalam menyatukan pemikiran dan visi perjuangan mahasiswa sehingga terwujud kesatuan kesadaran dan opini umum.
Keempat, penghianatan kaum inteleqtual terhadap reformasi. Hal tersebut ditandai dengan maraknya gerakan mahasiswa yang terkooptasi dengan kepentingan elite penguasa dalam menyuarakan aspirasi, mantan aktivis 98 yang semula bersuara lantang dalam ranah parlemen jalanan, justru menjadi kambing basah ketika duduk sebagai wakil rakyat di perlemen. Yang lebih menggelitikkan lagi adalah ulah sebagian pakar, pengamat dan ilmuwan politik yang mendua terhadap reformasi, teralienasi oleh arus kekuatan dan kepentingan politik penguasa. Maka tidak jarang kita menyaksikan parodi politik pengamat, dan pakar yang terkesan kuat berkoar-koar di media massa dengan analisis ABS (asal bapak senang)
Kontrol masyarakat
Demikianlah, gerakan reformasi telah melewati masa 13 tahun, namun kita belum juga mampu membangun sistem politik demokratis yang kuat dan tangguh. Tampak jelas bahwa elemen-elemen sistem demokrasi tak berfungsi normal dan tak bekerja secara efektif. Saksikan, betapa suprastruktur politik yang menjadi pilar utama demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah mengalami disfungsi yang akut. Format politik dan tatanan kelembagaan demokrasi yang bagi negara lain sudah dianggap kedaluwarsa, justru kita masih terus bereksperimen dengan sesuatu yang baru sama sekali. Di masa transisional ini, kita memang menghadapi situasi yang teramat sulit, dengan berbagai persoalan kebangsaan yang demikian kompleks. Semula kita mempercayakan secara penuh kepada elite-elite politik untuk merealisasikan agenda-agenda besar reformasi dan sekaligus memandu masa transisi agar proses transformasi politik dapat berjalan dengan baik dan lancar. Namun, kita sangat kecewa ketika menyaksikan bahwa ternyata mereka telah melakukan perselingkuhan terhadap gerakan reformasi dan menjadi pelacur politik ketika berlangsung perubahan politik dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Mereka dengan amat lihai telah memanipulasi gerakan reformasi demi kepentingan mereka sendiri. Para elite politik yang menempati pos-pos strategis baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga perwakilan, yang memiliki akses ke dalam proses perumusan kebijakan publik, dengan mudah merekayasa dan melegalisasi suatu keputusan politik berdasarkan kepentingan individual, kelompok, dan golongan mereka sendiri. Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.
Oleh sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat dari berbagai kelompok kepentingan seperti organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, media massa, komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis lainnya. Sebab, tinggal ini saja harapan yang mempunyai kemampuan dalam mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan persoalan krusial di tengah masyarakat. Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan reformasi.

Oleh:Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ)