Laman

Kamis, 15 November 2012

Republik Semu, Reformasi Mati Suri



Hiruk pikuk problema ekonomi, sosial, pendidikan, budaya dan politik yang menggerogoti bangsa dan Negara ini nampaknya menyisahkan banyak pertanyaan, khususnya berkaitan dengan agenda reformasi pasca tumbang rezim orde baru.
Reformasi telah berusia 13 tahun, usia yang terbilang muda jika dikomparasikan dengan usia manusia. Dengan usia yang masih remaja tersebut, tentunya masih ada tekad untuk menaruh sepercik harapan akan cita-cita serta tujuan kelahirannya.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, Masihkah tersisa spirit reformasi dan nasionalisme yang rasional di tengah situasi dan kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang terindikasi edan ini?
Kembali kenukleus persoalan, Iklim dan kelembaban republik yang mulai bersemi, pasca tumbangnya rezim Orba ternyata tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah terkebumikan. Wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang juga ternyata tidaklah lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Wacana reformasi kini cuma menjadi retorika semata dan cerita dongeng yang setiap hari diperdengarkan khususnya kepada generasi muda inteleqtual, tetapi defisit arah dan tujuan pencapaian. Reformasi kini MATI SURI.
Bibit masalah
Secara sederhana masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Definisi simpel ini nampaknya sebangun dengan konteks reformasi di Indonesia. Reformasi yang harapannya bertujuan membangun sistem politik demokratis, kenyataan yang muncul di lapangan justru tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik yang bersifat kultural maupun struktural. Tampak jelas betapa agenda reformasi tak dapat direalisasikan dengan baik, sementara gerakan reformasi itu sendiri telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas bahkan telah kehilangan roh perjuangannya (mati suri). Yang lebih memprihatinkan lagi, kini ada kecenderungan bahwa kekuatan lama mulai bangkit kembali, yang potensial menjadi penghalang utama bagi gerakan reformasi ke depan. Jika diidentifikasi, kekecewaan dan frustrasi sosial akibat kegagalan gerakan reformasi dalam membangun demokrasi itu meliputi beberapa sektor pokok: ekonomi, politik, dan sosial yang saling bertali-temali dan membawa implikasi luas dalam kehidupan masyarakat.
Di tahun 2012 ini, keadaan seakan tidak makin membaik. Desentralisasi yang semula diharapkan menciptakan balance of fower dan pemerataan, malah melahirkan firaun-firaun kecil yang siap dan tegas bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal. Yang lebih memprihatinkan lagi politik oligarki semakin hari kian menancapkan kuku liarnya. Selain itu, Pengangguran masih menjadi pemandangan sehari-hari, angka kemiskinan masih meningkat meski klaim pemerintah menurun, TKI yang katanya pahlawan devisa masih saja menjadi komoditas eksploitasi, biaya pendidikan semakin mahal, penguasaan asing atas SDA semakin mencengangkan, KKN masih menjadi hobi bagi pejabat publik dan sudah menjadi rahasia umum yang semakin menggelikan untuk disaksikan, DPR masih terindikasi sebagai industri mafia (anggaran, legislasi, pengawasan), aparat penegak hukum masih tunggang langgang mendiskreditkan hukum dan keadilan masyarakat, terorisme masih menjadi komuditas politik yang asyik dilakonkan oleh kelompok tertentu, kekerasan atas nama SARA masih menancapkan akar kekerasannya, dekadensi dan dekonstruksi moral bangsa semakin mendapatkan legitimasi westernisasi.
Tepat rasanya jika kemudian muncul ungkapan beberapa kalangan bahwa ”reformasi telah mati suri”. Reformasi tinggal coretan pena sang sejarah.
Biang keladi
Mati surinya reformasi seharusnya menjadi perhatian serius dan analisis yang mendalam oleh semua stakeholder baik suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Ada beberapa hal pokok penyebab mati surinya reformasi.
Pertama, kesalahan konsepsi, tafsiran dan penilaian dalam merumuskan akar masalah serta solusi krisis yang menghujani republik. Para aktivis gerakan perubahan, termasuk gerakan mahasiswa sebagai hardware perubahan, mengkonsepsikan, menafsirkan dan menilai akar masalah dari segala krisis bangsa adalah kusut dan semrawutnya perangkat penunjang sistem, antara lain penegakan hukum yang lemah, budaya KKN dan lemahnya demokratisasi. Dari sini, dimunculkanlah solusi instan seperti penghujatan dan penggulingan pejabat publik yang mendua terhadap reformasi dengan opini publik dan aksi demonstrasi. Padahal jika kita mau sedikit jujur dan mengkaji secara lebih mendalam, hal tersebut bukanlah akar masalah.
Berdasarkan analisa pengamat dan para pakar, krisis 1997 yang pernah menimpa Indonesia dipicu oleh adanya gerakan pengungsian dolar ke luar negeri yang akhirnya menyebabkan kegoncangan luar biasa pada makro ekonomi Indonesia. Sedangkan rupiah berposisi sebagai mata uang yang lemah dan tidak memiliki nilai intrinsik, sehingga sangat mudah terguncang oleh faktor ekonomi maupun politik. Disamping itu, sektor non-riil (finansial) di Indonesia lebih dominan dibandingkan sektor riil, padahal yang dapat mensejahterakan rakyat adalah sektor riil. Pemerintah lalu menyelesaikan krisis ini dengan utang luar negeri dan privatisasi aset-aset publik yang memunculkan krisis berulang. Perlu diigat dan dicamkan baik-baik, bahwa walaupun saat ini makro ekonomi kita dinilai membaik dengan pertumbuhan ekonomi positif, fakta sebenarnya hanyalah kamuflase. Sebab pertumbuhan tersebut hanyalah pertumbuhan sesaat, yang sewaktu-waktu dapat memunculkan krisis serupa tahun 1997. Persoalan ini adalah ciri khas diterapkannya sistem politik-ekonomi neoliberalis. Neoliberalisme sebagai paham sistem politik ekonomi yang mendominasi dunia saat ini, telah diindoktrinasikan oleh negara Barat Kapitalis ke berbagai negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan slogan globalisasi, bantuan luar negeri, dan pasar bebas, padahal misinya sangat jelas yaitu menjarah dan mengeksploitasi konstruksi SDA dan SDM Negara dunia ketiga.
Berdasarkan salah satu dari sekian banyak problem diatas, tidak perlu menjadi pakar atau ilmuwan politik dan ekonomi untuk dapat menyimpulkan bahwa akar masalah krisis multidimensi di Indonesia adalah penerapan sistem yang salah. Pengadopsian sistem asing secara monolitik telah memporakporandakan ”negeri tongkat kayu dan batu jadi tanaman” ini. Sistem yang diadopsi selama ini sangat tidak bisa terlepas dari penerapan ideologi negara neo-liberalis kapitalis yang diterapkan oleh negara ini.
Konklusinya, solusi yang tepat dari berbagai problem di atas adalah tidak sekedar menata ulang sistem (reformasi), tetapi kita harus punya kemauan, lebih arif dan bijak, iktikad yang baik serta berani untuk melakukan pembenahan dan melakukan perubahan secara menyeluruh sistem kenegaraan di negeri ini dan menggantinya dengan sistem yang lebih sesuai dengan dasar negara yaitu PANCASILA.
Kedua, disorientasi gerakan mahasiswa. Sejak 1998 sampai sekarang, aksi-aksi mahasiswa cenderung hanya ritual seremonial semata. Berbagai aksi muncul sekedar respon yang spontanitas (reaksioner) tentang berbagai isu yang sedang populer di masyarakat. Saat isu tidak lagi banyak diperbincangkan masyarakat karena termakan waktu dan akibat pengalihan isu politik, walaupun masalah tersebut sesungguhnya belum menemui penyelesaian, maka pudar pulalah suara lantang mahasiswa. Wajarlah jika kemudian gerakan mahasiswa hari ini sering dimanfaatkan sebagai alat permainan isu dan manajemen konflik oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Hal ini terjadi karena lemahnya budaya berpikir politis mahasiswa dalam menganalisis berbagai masalah dan solusi sehingga gerakan mahasiswa lebih terkesan reaksioner dibandingkan gerakan yang inteleq, analitis dan politis. Ditambah lagi media massa lebih cenderung mempublikasikan aksi-aksi mahasiwa yang anarkis sehingga memunculkan citra buruk gerakan mahasiswa.
Ketiga, ikatan dan sinergi antar organ gerakan masyarakat yang sangat cair terkesan hanya bersifat kepentingan sesaat dan emosional. Sudah menjadi rahasia umum, gerakan mahasiswa mengalami perpecahan. Perpecahan ini dipicu oleh perbedaan kepentingan dan kemanfaatan jangka pendek, terutama terkait dengan tokoh (fatsun politik) yang akan didukung dalam memimpin masa transisi menuju arah reformasi yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ketidaksamaan pola pikir dan visi perjuangan. Oleh karena itu, model gerakan yang akan melakukan perubahan sistem, bukan sekedar gerakan kepentingan politik jangka pendek, tetapi dibutuhkan gerakan yang memiliki kesamaan pemikiran dan visi perjuangan (ideologi) tentang arah perubahan. Untuk itu, diperlukan upaya terus-menerus dan intensif dalam menyatukan pemikiran dan visi perjuangan mahasiswa sehingga terwujud kesatuan kesadaran dan opini umum.
Keempat, penghianatan kaum inteleqtual terhadap reformasi. Hal tersebut ditandai dengan maraknya gerakan mahasiswa yang terkooptasi dengan kepentingan elite penguasa dalam menyuarakan aspirasi, mantan aktivis 98 yang semula bersuara lantang dalam ranah parlemen jalanan, justru menjadi kambing basah ketika duduk sebagai wakil rakyat di perlemen. Yang lebih menggelitikkan lagi adalah ulah sebagian pakar, pengamat dan ilmuwan politik yang mendua terhadap reformasi, teralienasi oleh arus kekuatan dan kepentingan politik penguasa. Maka tidak jarang kita menyaksikan parodi politik pengamat, dan pakar yang terkesan kuat berkoar-koar di media massa dengan analisis ABS (asal bapak senang)
Kontrol masyarakat
Demikianlah, gerakan reformasi telah melewati masa 13 tahun, namun kita belum juga mampu membangun sistem politik demokratis yang kuat dan tangguh. Tampak jelas bahwa elemen-elemen sistem demokrasi tak berfungsi normal dan tak bekerja secara efektif. Saksikan, betapa suprastruktur politik yang menjadi pilar utama demokrasi yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah mengalami disfungsi yang akut. Format politik dan tatanan kelembagaan demokrasi yang bagi negara lain sudah dianggap kedaluwarsa, justru kita masih terus bereksperimen dengan sesuatu yang baru sama sekali. Di masa transisional ini, kita memang menghadapi situasi yang teramat sulit, dengan berbagai persoalan kebangsaan yang demikian kompleks. Semula kita mempercayakan secara penuh kepada elite-elite politik untuk merealisasikan agenda-agenda besar reformasi dan sekaligus memandu masa transisi agar proses transformasi politik dapat berjalan dengan baik dan lancar. Namun, kita sangat kecewa ketika menyaksikan bahwa ternyata mereka telah melakukan perselingkuhan terhadap gerakan reformasi dan menjadi pelacur politik ketika berlangsung perubahan politik dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Mereka dengan amat lihai telah memanipulasi gerakan reformasi demi kepentingan mereka sendiri. Para elite politik yang menempati pos-pos strategis baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga perwakilan, yang memiliki akses ke dalam proses perumusan kebijakan publik, dengan mudah merekayasa dan melegalisasi suatu keputusan politik berdasarkan kepentingan individual, kelompok, dan golongan mereka sendiri. Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.
Oleh sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat dari berbagai kelompok kepentingan seperti organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, media massa, komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis lainnya. Sebab, tinggal ini saja harapan yang mempunyai kemampuan dalam mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan persoalan krusial di tengah masyarakat. Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan reformasi.

Oleh:Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FISIP UMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar