Sejak Proklamasi kemerdekaan
Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno dan Muh. Hatta di jalan Pegangsaan Timur
atau Jalan Imam Bonjol, Jakarta 67 tahun yang lalu, praktis seluruh aktivitas
pemerintahan kerajaan di wilayah nusantara khususnya di tanah Jawa menjadi
vakum. Sebab seluruh kerajaan secara langsung mengakui kedaulatan Republik
Indonesia sebagai sebuah negara modern yang menaungi seluruh wilayah kerajaan
di nusantara.
Meski di awal kemerdekaan, pusat
pemerintahan dipusatkan di kota Yogyakarta yang merupakan tempat kerajaan
kraton kesultanan NgaYogyakarta dibawah kepemimpinan Hamengkubuwono ke IX,
tetapi aktivitas pemerintahan tetaplah berada ditangan Soekarno, Presiden
Republik Indonesia ketika itu. Aktivitas pemerintahan kesultanan pada saat itu
hanya bersifat ritual seremonial untuk melestarikan budaya dan ritus leluhur,
dan hal tersebut berlangsung hingga kini.
Proses pemakuman pemerintahan
kerajaan tersebut tentu tidak hanya berlaku bagi kraton Yogyakarta sebagai
entitas politik yang pertama kali mengakui kedaulatan Republik indonesia,
Kraton Kasunanan Surakarta dan Mangkunegoro yang terletak di kota Solo pun
melakukan hal yang sama.
Sebagai obyek kebudayaan yang
vital, dan memiliki peninggalan ritus dan situs budaya yang terbilang sangat
tua ditanah Jawa, Kraton NgaYogyakarta, Kasunanan dan Mangkunegoro tentu
merupakan tiga kerajaan yang diera modern ini sangat memancing adrenalin
keingintahuan masyarakat dunia untuk melihat dan mengenalnya dari dekat.
Apalagi legitimasi globalisasi yang menyambungkan koneksi kemanusiaan dan
kemasyarakatan seluruh negara dunia dengan teknologi informasi dan komunikasi
yang menuntut ruang keterbukaan lebih, turut pula menyokong hal tersebut. Dan
pada akhirnya, ketiga kerajaan yang semula hanya dikenali dan diketahui penduduknya
masing-masing, kini telah menjadi pengetahuan kolektif masyarakat dunia entah
secara langsung maupun tidak langsung.
Sejak gagasan pendirian
kementerian pariwisata digembor-gemborkan oleh para pemangku jabatan tinggi
dipemerintahan negeri ini, gagasan menjadikan pusat-pusat kebudayaan semisal
kraton, masjid dan makam sebagai obyek pariwisatapun menggema diseluruh pelosok
negeri. Proses menjadikan Kraton sebagai obyek pariwisata tentu bukan tanpa
alasan, dan persoalan kevakuman pemerintahan disatu sisi dan pelestarian budaya
dengan cara mengenalkan kepada dunia seputar eksistensi kerajaan disisi yang
lain menjadi alasan paling populer yang sering kita dengar untuk melegitimasi
kebijakan tersebut.
Di kota Solo, setidaknya ada dua
Kraton (Kasunanan dan mangkunegoro) serta beberapa Masjid semisal masjid kuno
Lawean, dan masjid Agung Surakarta dan beberapa Makam kuno yang sekarang telah
menjadi cagar budaya yang dijadikan oleh pemerintah daerah dan pusat sebagai
obyek wisata.
Menjadikan peninggalan budaya
kuno sebagai obyek wisata tentu memiliki implikasi positif disatu sisi dan
implikasi negatif disisi yang lain. Tergantung dari sudut tembak pengetahuan
mana yang kita jadikan rujukan serta standar dan tolak ukur untuk menilainya.
Dilihat dari segi kebudayaan,
menjadikan peninggalan budaya sebagai obyek wisata tentu merupakan sebuah upaya
pelestarian dan pemeliharaan peninggalan kebudayaan yang bisa menghasilkan
tukar serta share data dan informasi seputar kebudayaan yang beragam tidak
hanya untuk menambah perbendaharaan kebudayaan wawasan dan pengetahuan di
wilayah nusantara tetapi juga untuk wilayah kebudayaan dunia. Tetapi kadang
kala niat, upaya dan cara untuk melestarikan peninggalan tersebut dengan cara
mengenalkan kebudayaan yang satu kepada khalayak selain pemilik kebudayaan
tersebut, terkadang menimbulkan petanda dan penanda bahwa kita hanya mampu
mengkultuskan budaya masa lalu yang dipenuhi dan disesaki dengan cerita
kejayaan sembari vakum dalam ruang kosong keapatisan dengan tidak berupaya untuk
menjelaskan dan memposisikannya sebagai bagian dari proses pencarian jati diri
dalam proses menghadapi peradaban kontemporer dan mutakhir seperti sekarang
ini.
Parahnya kita hanya menjadikan
peninggalan budaya tersebut sebagai narasi romantisme masa lalu tanpa mau
mengintip peradaban masa depan yang hendak dibangun dan ditata melalui kearifan
dan hikmah kejayaan masa lalu tersebut. Anehnya karena kitapun juga tersugesti
untuk menjadikan dan mengarahkan peradaban masa depan generasi kita serupa
dengan puncak kejayaan yang pernah dialami dan dilakukan oleh nenek moyang kita
dahulu.
Bahkan tidak jarang, implikasi
dari penelanjangan budaya melalui program pariwisata tersebut justru memberikan
potensi pencaplokan kebudayaan yang menyerupai pengimitasian produk peninggalan
budaya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semakin banyak wisatawan
baik domestik maupun mancanegara yang mengetahui produk-produk peninggalan
kebudayaan tersebut, maka akan semakin besar pula potensi pencaplokan dan
pencangkokan kebudayaan kuno tersebut melalui permentasi dan eksperimentasi
pihak luar khususnya pelancong luar negeri untuk mengelaborasikannya dengan
produk teknologi dan informasi yang semakin populer dewasa ini. Misalnya saja
adanya upaya dewasa ini untuk mengeksperimenkan produk kesenian kuno semisal
gamelan dengan alat mosik modern demi tuntunan komersial. Contoh lain,
benda-benda kuno dan antik hasil imitasi banyak kita dapatkan diberbagai daerah
dan luar negeri yang dipasarkan secara membabibuta demi tuntutan kapitalisme,
serta budaya karawitan ditampilkan dalam bentuk Pop khas ala industri musik dan
pertelevisian nasional dan dunia yang juga demi tuntutan komersial yang
bersifat pragmatis. Bahkan pembuatan batik dan balngkon yang awalnya memiliki
nilai filosofis dengan proses pembuatan penuh estetika imajinasi pembuatnya
dipaksa untuk menuruti logika industrialisasi yang dipercepat demi tuntutan
pasar. Mirisnya lagi karena, batik dan blangkon yang awalnya dibuat dari bahan
alami oleh para pembuatnya di daerah asalnya, sering kali kita jumpai didaerah
atau negara lain dilakukakan dengan memanfaatkan bahan kimia dengan motif,
corak dan desain yang tidak mengedepankan nilai filosofi batik itu sendiri.
Dari segi pendidikan, proses
menjadikan produk peninggalan budaya sebagai obyek wisata memang tidak bisa
dipungkiri memberikan sinyalemen terpelihara dan terpetakannya regenerasi
wawasan bagi generasi muda untuk mengenal dekat sejarah kebudayaannya. Selain
itu, melalui pendidikan mulai dari yang bersifat formal, imformal, hingga
nonformal, pengenalan dan penyebarluasan wawasan dan gagasan kebudayaan bisa
berlangsung secara masif dan permisif kepada orang asing untuk menghargai dan
menghormati kebudayaan suatu masyarakat secara arif dan bijaksana. Salah satu
contoh rillnya adalah banyaknya wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang
belajar menari, bahasa Jawa, tata krama, kesenian karawitan, pembuatan batik,
hingga penelusuran jejak perpustakaan Kraton melalui penelitian turut
memberikan kontribusi dalam melestariakan nilai-nilai luhur produk kebudayaan
masa lalu untuk diperkenalkan kepada masyarakat senatero dunia melalui jalur
pendidikan dengan memanfaatkan konsep dan desain program pariwisata. Dilain
pihak juga, melalui pendidikan, nilai filosofi dan sejarah kebudayaan yang
awalnya hanya diketahui masyarakat setempat tidak lagi dimitoskan atau
diasumsikan dengan prasangka ketidaktahuan oleh orang asing dalam memandang
peninggalan kebudayaan tersebut. bahkan memali pendidikan pula, akan semakin
banyak penelitian yang pada akhirnya menghasilkan puluhan hingga ribuan karya
tulis baik melalui majalah, jurnal hingga buku yang berkaitan dengan kebudayaan
kuno tersebut. Harapannya adalah proses memperkenalkan kebudayaan bisa lebih
massif lagi.
Tetapi, ada satu hal yang tidak
boleh dilupakan, bahwa melalui pendidikan pula, nilai, tektur, kontur, estetika
dan artistika sebuah kebudayaan bisa menjadi bias ketika dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai investasi
wawasan dan gagasan untuk menelanjangi kebudayaan masa lalu dengan warna dan
motif kebudayaan modern yang identik dengan teknologi dan informasi. Misalnya
reduksi bahasa Jawa asli kedalam bahasa modern baik Indonesia mapun bahasa
asing (Luar Negeri) melalui proses penyerapan makna, eksperimentasi akulturasi
tarian modern atau asing dengan tarian tradisional yang tidak jarang mengurangi
nilai filosofi tarian tradisional tersebut, percampuran instrumen musik
tradisional dengan instrumen musik modern yang juga tidak jarang mengurangi
nilai esensialitas makna dari instrumen musik tradisional tersebut, peniruan
benda-benda kebudayaan melalaui industri modern demi tuntutan kapitalis dan
masih banyak contoh lain.
Dari segi perekonomian,
menjadikan peninggalan kebudayaan tradisional sebagai obyek wisata tentu
memberikan dampak positif bagi pendapatan daerah dan devisa negara yang tentu
akan berimplikasi posisitf bagi perkembangan dan pertumbuhan perekonomian
sebuah daerah dan negara. Bahkan potensi pengangguran masyarakat bisa dipangkas
melalui hal tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, kalau para pejabat
tinggi baik daerah maupun negara, hingga perusahaan swasta kadang kala
menjadikan obyek wisata sebagai investasi politik dan ekonomi pribadi dan atau
kelompok untuk menguasai sektor perekonomian dan pendapatan. Bahkan tidak
jarang peninggalan kebudayaan sering dimanfaatkan untuk sekedar memenuhi
syahwat dan kerakusan kapitalis untuk mengkomersialisasi segala hal yang
berkaitan dengan penggalan budaya tersebut. Sehingga tidak jarang kita
menyaksikan maraknya penawaran (menjual) obyek wisata yang berkaitan dengan
peninggalan kuno kebudayaan kepada para investor hanya karena tuntutan
pragmatisme komersial. Disisi lainnya, bahwa problem klasik relevansi dan
implikasi positif bagi masyarakat secara umum dengan dijadikannya peninggalan
kebudayaan semisal Kraton, Makam dan Masjid
sebagai obyek wisata senantiasa berbanding terbalik dan sangat jauh dari
harapan pemerataan perekonomian dikalangan masyarakat. Padahal jika dikalkulasi
secara matematis, seharusnya dengan banyaknya pendapatan yang dihasilkan dari
komersialisasi obyek wisata tersebut, bisa mensejahterakan seluruh masyarakat
tanpa memandang kasta dan tingkatan strata sosial dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar