Laman

Jumat, 22 Maret 2013

Ketika Kraton menjadi Obyek Wisata


Sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno dan Muh. Hatta di jalan Pegangsaan Timur atau Jalan Imam Bonjol, Jakarta 67 tahun yang lalu, praktis seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan di wilayah nusantara khususnya di tanah Jawa menjadi vakum. Sebab seluruh kerajaan secara langsung mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai sebuah negara modern yang menaungi seluruh wilayah kerajaan di nusantara.
Meski di awal kemerdekaan, pusat pemerintahan dipusatkan di kota Yogyakarta yang merupakan tempat kerajaan kraton kesultanan NgaYogyakarta dibawah kepemimpinan Hamengkubuwono ke IX, tetapi aktivitas pemerintahan tetaplah berada ditangan Soekarno, Presiden Republik Indonesia ketika itu. Aktivitas pemerintahan kesultanan pada saat itu hanya bersifat ritual seremonial untuk melestarikan budaya dan ritus leluhur, dan hal tersebut berlangsung hingga kini.
Proses pemakuman pemerintahan kerajaan tersebut tentu tidak hanya berlaku bagi kraton Yogyakarta sebagai entitas politik yang pertama kali mengakui kedaulatan Republik indonesia, Kraton Kasunanan Surakarta dan Mangkunegoro yang terletak di kota Solo pun melakukan hal yang sama.
Sebagai obyek kebudayaan yang vital, dan memiliki peninggalan ritus dan situs budaya yang terbilang sangat tua ditanah Jawa, Kraton NgaYogyakarta, Kasunanan dan Mangkunegoro tentu merupakan tiga kerajaan yang diera modern ini sangat memancing adrenalin keingintahuan masyarakat dunia untuk melihat dan mengenalnya dari dekat. Apalagi legitimasi globalisasi yang menyambungkan koneksi kemanusiaan dan kemasyarakatan seluruh negara dunia dengan teknologi informasi dan komunikasi yang menuntut ruang keterbukaan lebih, turut pula menyokong hal tersebut. Dan pada akhirnya, ketiga kerajaan yang semula hanya dikenali dan diketahui penduduknya masing-masing, kini telah menjadi pengetahuan kolektif masyarakat dunia entah secara langsung maupun tidak langsung.
Sejak gagasan pendirian kementerian pariwisata digembor-gemborkan oleh para pemangku jabatan tinggi dipemerintahan negeri ini, gagasan menjadikan pusat-pusat kebudayaan semisal kraton, masjid dan makam sebagai obyek pariwisatapun menggema diseluruh pelosok negeri. Proses menjadikan Kraton sebagai obyek pariwisata tentu bukan tanpa alasan, dan persoalan kevakuman pemerintahan disatu sisi dan pelestarian budaya dengan cara mengenalkan kepada dunia seputar eksistensi kerajaan disisi yang lain menjadi alasan paling populer yang sering kita dengar untuk melegitimasi kebijakan tersebut.
Di kota Solo, setidaknya ada dua Kraton (Kasunanan dan mangkunegoro) serta beberapa Masjid semisal masjid kuno Lawean, dan masjid Agung Surakarta dan beberapa Makam kuno yang sekarang telah menjadi cagar budaya yang dijadikan oleh pemerintah daerah dan pusat sebagai obyek wisata.
Menjadikan peninggalan budaya kuno sebagai obyek wisata tentu memiliki implikasi positif disatu sisi dan implikasi negatif disisi yang lain. Tergantung dari sudut tembak pengetahuan mana yang kita jadikan rujukan serta standar dan tolak ukur untuk menilainya.
Dilihat dari segi kebudayaan, menjadikan peninggalan budaya sebagai obyek wisata tentu merupakan sebuah upaya pelestarian dan pemeliharaan peninggalan kebudayaan yang bisa menghasilkan tukar serta share data dan informasi seputar kebudayaan yang beragam tidak hanya untuk menambah perbendaharaan kebudayaan wawasan dan pengetahuan di wilayah nusantara tetapi juga untuk wilayah kebudayaan dunia. Tetapi kadang kala niat, upaya dan cara untuk melestarikan peninggalan tersebut dengan cara mengenalkan kebudayaan yang satu kepada khalayak selain pemilik kebudayaan tersebut, terkadang menimbulkan petanda dan penanda bahwa kita hanya mampu mengkultuskan budaya masa lalu yang dipenuhi dan disesaki dengan cerita kejayaan sembari vakum dalam ruang kosong keapatisan dengan tidak berupaya untuk menjelaskan dan memposisikannya sebagai bagian dari proses pencarian jati diri dalam proses menghadapi peradaban kontemporer dan mutakhir seperti sekarang ini.
Parahnya kita hanya menjadikan peninggalan budaya tersebut sebagai narasi romantisme masa lalu tanpa mau mengintip peradaban masa depan yang hendak dibangun dan ditata melalui kearifan dan hikmah kejayaan masa lalu tersebut. Anehnya karena kitapun juga tersugesti untuk menjadikan dan mengarahkan peradaban masa depan generasi kita serupa dengan puncak kejayaan yang pernah dialami dan dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu.
Bahkan tidak jarang, implikasi dari penelanjangan budaya melalui program pariwisata tersebut justru memberikan potensi pencaplokan kebudayaan yang menyerupai pengimitasian produk peninggalan budaya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semakin banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang mengetahui produk-produk peninggalan kebudayaan tersebut, maka akan semakin besar pula potensi pencaplokan dan pencangkokan kebudayaan kuno tersebut melalui permentasi dan eksperimentasi pihak luar khususnya pelancong luar negeri untuk mengelaborasikannya dengan produk teknologi dan informasi yang semakin populer dewasa ini. Misalnya saja adanya upaya dewasa ini untuk mengeksperimenkan produk kesenian kuno semisal gamelan dengan alat mosik modern demi tuntunan komersial. Contoh lain, benda-benda kuno dan antik hasil imitasi banyak kita dapatkan diberbagai daerah dan luar negeri yang dipasarkan secara membabibuta demi tuntutan kapitalisme, serta budaya karawitan ditampilkan dalam bentuk Pop khas ala industri musik dan pertelevisian nasional dan dunia yang juga demi tuntutan komersial yang bersifat pragmatis. Bahkan pembuatan batik dan balngkon yang awalnya memiliki nilai filosofis dengan proses pembuatan penuh estetika imajinasi pembuatnya dipaksa untuk menuruti logika industrialisasi yang dipercepat demi tuntutan pasar. Mirisnya lagi karena, batik dan blangkon yang awalnya dibuat dari bahan alami oleh para pembuatnya di daerah asalnya, sering kali kita jumpai didaerah atau negara lain dilakukakan dengan memanfaatkan bahan kimia dengan motif, corak dan desain yang tidak mengedepankan nilai filosofi batik itu sendiri.
Dari segi pendidikan, proses menjadikan produk peninggalan budaya sebagai obyek wisata memang tidak bisa dipungkiri memberikan sinyalemen terpelihara dan terpetakannya regenerasi wawasan bagi generasi muda untuk mengenal dekat sejarah kebudayaannya. Selain itu, melalui pendidikan mulai dari yang bersifat formal, imformal, hingga nonformal, pengenalan dan penyebarluasan wawasan dan gagasan kebudayaan bisa berlangsung secara masif dan permisif kepada orang asing untuk menghargai dan menghormati kebudayaan suatu masyarakat secara arif dan bijaksana. Salah satu contoh rillnya adalah banyaknya wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang belajar menari, bahasa Jawa, tata krama, kesenian karawitan, pembuatan batik, hingga penelusuran jejak perpustakaan Kraton melalui penelitian turut memberikan kontribusi dalam melestariakan nilai-nilai luhur produk kebudayaan masa lalu untuk diperkenalkan kepada masyarakat senatero dunia melalui jalur pendidikan dengan memanfaatkan konsep dan desain program pariwisata. Dilain pihak juga, melalui pendidikan, nilai filosofi dan sejarah kebudayaan yang awalnya hanya diketahui masyarakat setempat tidak lagi dimitoskan atau diasumsikan dengan prasangka ketidaktahuan oleh orang asing dalam memandang peninggalan kebudayaan tersebut. bahkan memali pendidikan pula, akan semakin banyak penelitian yang pada akhirnya menghasilkan puluhan hingga ribuan karya tulis baik melalui majalah, jurnal hingga buku yang berkaitan dengan kebudayaan kuno tersebut. Harapannya adalah proses memperkenalkan kebudayaan bisa lebih massif lagi.
Tetapi, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa melalui pendidikan pula, nilai, tektur, kontur, estetika dan artistika sebuah kebudayaan bisa menjadi bias ketika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai investasi wawasan dan gagasan untuk menelanjangi kebudayaan masa lalu dengan warna dan motif kebudayaan modern yang identik dengan teknologi dan informasi. Misalnya reduksi bahasa Jawa asli kedalam bahasa modern baik Indonesia mapun bahasa asing (Luar Negeri) melalui proses penyerapan makna, eksperimentasi akulturasi tarian modern atau asing dengan tarian tradisional yang tidak jarang mengurangi nilai filosofi tarian tradisional tersebut, percampuran instrumen musik tradisional dengan instrumen musik modern yang juga tidak jarang mengurangi nilai esensialitas makna dari instrumen musik tradisional tersebut, peniruan benda-benda kebudayaan melalaui industri modern demi tuntutan kapitalis dan masih banyak contoh lain.
Dari segi perekonomian, menjadikan peninggalan kebudayaan tradisional sebagai obyek wisata tentu memberikan dampak positif bagi pendapatan daerah dan devisa negara yang tentu akan berimplikasi posisitf bagi perkembangan dan pertumbuhan perekonomian sebuah daerah dan negara. Bahkan potensi pengangguran masyarakat bisa dipangkas melalui hal tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, kalau para pejabat tinggi baik daerah maupun negara, hingga perusahaan swasta kadang kala menjadikan obyek wisata sebagai investasi politik dan ekonomi pribadi dan atau kelompok untuk menguasai sektor perekonomian dan pendapatan. Bahkan tidak jarang peninggalan kebudayaan sering dimanfaatkan untuk sekedar memenuhi syahwat dan kerakusan kapitalis untuk mengkomersialisasi segala hal yang berkaitan dengan penggalan budaya tersebut. Sehingga tidak jarang kita menyaksikan maraknya penawaran (menjual) obyek wisata yang berkaitan dengan peninggalan kuno kebudayaan kepada para investor hanya karena tuntutan pragmatisme komersial. Disisi lainnya, bahwa problem klasik relevansi dan implikasi positif bagi masyarakat secara umum dengan dijadikannya peninggalan kebudayaan semisal Kraton, Makam dan Masjid  sebagai obyek wisata senantiasa berbanding terbalik dan sangat jauh dari harapan pemerataan perekonomian dikalangan masyarakat. Padahal jika dikalkulasi secara matematis, seharusnya dengan banyaknya pendapatan yang dihasilkan dari komersialisasi obyek wisata tersebut, bisa mensejahterakan seluruh masyarakat tanpa memandang kasta dan tingkatan strata sosial dan politik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar