Laman

Kamis, 15 November 2012

IRAN, AS dan Krisis Minyak INDONESIA

Disputasi ekopol (ekonomi dan politik) mengenai harga BBM (bahan bakar minyak) yang final pada keputusan pemerintah untuk melakukan penundaan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu sedikit banyak sangat dipengaruhi ketidakstabilan harga minyak dunia. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu proposisi yang paling laris akhir-akhir ini ketika membicarakan BBM.  
Menengok Kebelakang. 
Dahulu, Indonesia memang terkenal sebagai salah satu Negara yang kaya minyak mentah dan merupakan salah satu Negara pengimpor minyak terbesar para masa orde baru yang tergabung dalam organisasi OPEC. Tetapi sejak beberapa tahun yang lalu khususnya pasca reformasi ternyata Negara kita telah menjadi salah satu Negara pengimpor minyak dari Negara lain, baik dari Negara timur tengah, India maupun amerika latin, sebagai akibat ketidakmampuan kita dalam mengelola sumber daya alam sendiri. 
Hal tersebut semakin diperparah oleh interpensi asing terhadap roda perekonomian nasional disektor migas yang ironisnya dilegalisasi oleh pemerintah kita sendiri. Akhirnya Indonesia tidak mampu lagi memaksimalkan atau mengoptimalkan eksploitasi sumber daya alam sector migas (minyak dan gas) untuk memenuhi kepentingan nasionalnya (kebutuhan dalam negeri dan ekspor). Sehingga untuk keperluan dalam negeri saja, Indonesia harus menggantungkan kebutuhan minyak melalui kebijakan impor minyak dari Negara lain. 
 Dengan demikian, situasi dan kondisi harga minyak dunia akan sangat mempengaruhi tekstur dan kontur APBN Indonesia yang tentunya akan berimplikasi negative pada kesejahteraan mayarakat. Akibatnya, jika kondisi harga minyak dunia mengalami fluktuasi, maka Indonesia mau tidak mau pasti kecipratan getah krisisnya. Sehingga wajar saja jika kemudian pemerintah begitu mendramatisir masalah krisis harga minyak tersebut dengan upaya pengetatan APBN melalui kebijakan menaikkan harga BBM untuk menekan laju subsidi. Hal tersebut tentu akan berimplikasi negative pada pengetatan dana pelaksanaan progmam pemberdayaan masyarakat dalam domain kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 
Kausa Awal 
Dalam domain ekomoni-politik Internasional, disatu sisi perseteruan Iran dan Amerika serikat mengenai persoalan nuklir merupakan salah satu penyebab mengapa kemudian minyak dunia mengalami fluktuasi. 
Perseteruan kedua Negara tersebut kemudian memantiq saluran ekspor dan impor minyak dunia mengalami degradasi krusial yang pada akhirnya akan berimplikasi pada meningkatnya laju harga minyak dunia khususnya dalam kegiatan impor. Ini tentunya merupakan pukulan telak bagi Negara-negara pengimpor minyak, termasuk Indonesia. Sementara disisi yang lain, perseteruan kedua Negara tersebut meniscayakan memiliki potensi implikasi ekosop (ekonomi, sosial dan politik) yang tidak hanya menyentuh kepentingan kedua negara tersebut, tetapi memiliki potensi besar untuk merembet keseluruh segi dan sudut kepentingan-kepentingan negara lain di dunia termasuk Indonesia. 
Hal tersebut didasari karena disatu sisi selain Iran merupakan negara pemasok minyak terbesar kedua di dunia yang sangat dibutuhkan dalam roda perekonomian baik negara industri maju seperti AS dan Uni Eropa maupun Negara industri baru berkembang seperti Indonesia (menyusul krisis minyak yang melanda Libya pasca ditumbangkannya rezim Khadafi), juga disisi lain karena posisi geo strategis Iran dalam kancah politik internasional memang sangat memberikan kontribusi besar kepada negara-negara dunia ketiga dalam menghadapi hegemoni politik Barat dengan misinya untuk menguasai sumber daya alam (minyak, uranium dan lain-lain) dan sumber daya manusia (ideologi) serta keinginan kuat barat untuk mengamankan basis investasi ekonomi di Negara timur tengah termasuk Indonesia yang konon katanya sangat besar. 
 Sementara disisi lain, AS sebagai negara industri maju, memiliki posisi ekonomi strategis yang tidak bisa dinafikan dalam konteks perekonomian dunia, mengingat negara ini merupakan target ekspor bahan mentah terbesar bagi negara-negara dunia ketiga dan target impor bagi produk teknologi informasi dan segala instrument pendukung kemajuan industri Negara dunia ketiga. Artinya, anomali dan paceklik hubungan internasional kedua Negara tersebut akan menggtarkan bangunan ekonomi-politik dunia secara umum.  
Egosentris Politik Internasional. 
Berangkat dari tekanan dan ancaman sanksi internasional yang dikomandoi oleh AS dan sekutunya mengenai tuduhan pengembangan senjata nuklir (Iran tetap mengklaim bahwa program nuklirnya untuk tujuan damai dan merupakan langkah atau upaya Iran untuk mengembangkan teknologinya agar menjadi negara maju sederajat dengan negara barat), Iran kemudian menganggap bahwa tuduhan miring mengenai motif program nuklir dalam rangka menciptakan senjata atau bom Nuklir dari pihak Amerika Serikat dan sekutunya tersebut hanyalah bentuk alibi politik untuk mengintervensi dan menghegemoni kedaulatan negaranya khususnya berkaitan dengan ekosop (ekonomi, sosial dan politik). 
Tuduhan yang dipertegas dengan sanksi hukum internasional untuk mengembargo ekonomi negeri para mullah tersebut, direspon Iran dengan manufer politik yang tidak tanggung-tanggung. Iran kemudian menghentikan ekspor minyaknya kedaratan Eropa dan Amerika Serikat. Lebih ekstrimnya lagi, militer Iran bahkan akan dan telah memboikot selat hormuz yang merupakan jalur distribusi minyak dunia khususnya jalur distribusi yang mengarah ke Eropa dan Amerika. Hal tersebut jelas lebih merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat dan Sekutunya ketimbang presure politik terhadap Iran di tengah upaya mereka mengantisipasi dan menyelematkan krisis yang menimpa perekonomian mereka akibat krisis utang beberapa negara Eropa seperti Yunani, Italia, fortugal dan Spanyol. 
 Konsekuensi logis yang kemudian terjadi dewasa ini akibat Iran benar-benar menghentikan secara total ekspor minyaknya sebagai bentuk respon atas kesepakatan UE dan AS untuk menghentikan semua import minyak dari Iran adalah krisis ekonomi global secara umum dan krisis minyak dunia secara khusus. Hal tersebut tentu merupakan pukulan telak khususnya bagi Eropa dan Amerika yang menggunakan instrumen politik egosentris yang pada akhirnya menjadi kontributor utama dalam memuluskan laju krisis harga minyak dunia yang juga merembet keseluruh dunia termasuk Indonesia. Implikasi yang kemudian lahir dalam domain konstalasi ekonomi politik minyak dunia adalah: 
Pertama, Jika dilihat dari perspektif ekonomi, maka manufer politik yang dilakukan oleh AS dan UE sebenarnya ibarat senjata makan tuan. Artinya, ancaman embargo untuk menghentikan impor minyak dari Iran justru sangat merugikan tidak hanya AS dan UE, tetapi juga Negara pengimpor minyak dari kawasan lain seperti Indonesia, meski Arab Saudi beberapa waktu lalu bersedia memenuhi pasokan minyak keseluruh Negara pengimpor khususnya kedua Negara kawasan adikuasa tersebut. Parahnya karena niatan Arab Saudi tersebut ternyata tereduksi oleh ketidaksepakatan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) atas usulan Arab Saudi yang ingin mengenjot produksi minyaknya hanya untuk memenuhi pasokan minyak bagi AS dan UE. 
Kedua, jika dilihat dari perspektif strategi politik, langkah yang dilakukan Iran dalam menghentikan ekspor minyaknya ke daratan eropa dan Amerika merupakan politik mendahului tindakan Uni Eropa (UE) yang sepakat menghentikan impor minyak Iran. Artinya, AS dan UE sebenarnya telah berkontribusi besar terhadap potensi krisis harga minyak dunia karena mengedepankan politik embargo kepada Tehran, apalagi mengingat negara-negara Asia dan sebagian negara Amerika Latin masih sangat membutuhkan ekspor minyak Iran. Memang penghentian ekspor minyak ke AS dan UE justru akan membuat kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin kebagian jatah ekspor lebih. Hanya saja dengan krisis minyak yang melanda Amerika dan Eropa meniscayakan berefek domino terhadap sirkulasi harga minyak dunia yang akan mengarah ke kawasan Asia dan sekitarnya. 
Artinya, krisis ekonomi minyak di kawasan UE dan AS tentu akan mempengaruhi harga minyak dunia, terutama yang mengarah kedaratan Asia dan Afrika. Atas dasar pertimbangan posisi strategis kedua negara di ataslah, maka perseteruan kedua Negara yang sampai pada titik klimaks pertamanya (embargo) tersebut pelahan meruntuhkan konstuksi tatanan ekonomi dunia yang pada akhirnya akan mengalami kemacetan total, termasuk yang saat ini dihadapi oleh Indonesia.  
Egosentris Politik Domestik 
Dalam domain ekonomi-politik dalam negeri, rencana pemerintah yang ingin menaikkan harga BBM sebagai solusi pencegahan devisitnya APBN ditengah krisis minyak dunia akibat perseteruan Iran dan Amerika Serikat, isu BBM kemudian menjadi sentral isu yang mendiskreditkan segala isu yang berkaitan dengan penyakit kawanan pejabat public yang beberapa dekade ini sedang mendapatkan perhatian serius segala lapisan masyarakat. Aksi demontrasi dan forum debat ilmiah dan kusir di media massa akhirnya menjadi tontonan lain yang meramaikan wacana tersebut. Sehingga isu BBM akhirnya menjadikan pikiran, mental dan spiritual masyarakat Indonesia seolah terhipnotis oleh magnetisme kemaslahatan dan kemudharatan ekonomi-politiknya. 
Parahnya adalah karena masyarakat kita dibingungkan dan disesatkan oleh fakta fenomena yang dibumbui oleh aksesoris pertarungan kepentingan politik antara elite dan partai politik. Sebab, kedua kubuh sama-sama mengklaim memiliki data yang valid sebagai pendukung argumentasi masing-masing. Bagi pemerintah, kebijakan tersebut merupakan political will untuk melindungi kemaslahan masyarakat, tetapi bagi kubuh oposisi baik diparlemen maupun diluar parlemen bersikukuh bahwa kebijakan tersebut merupakan pengingkaran dan pengkhianatan politik pemerintah akan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya masyarakat kita kemudian menjadi pusing dan bingung dengan kondisi yang ada, apakah mau mendukung kebijakan tersebut atau menolaknya. 
Disatu sisi kenaikan BBM selain bisa menjadikan APBN terselamatkan dari resesi ekonom (devisit), juga memberikan subsidi kepada masyarakat untuk meminimalisir dampak ekonomi-politik bagi mereka, tetapi disisi yang lain kenaikan BBM dipandang merupakan politik pemerintah yang tidak empati terhadap kondisi masyarakat ditengah sengketa pemenuhan kebutuhan yang serba membelit karena kekosongan implementasi janji pemerintah dalam konteks pemberdayaan masyarakat selama ini. 
Banyak kalangan yang menilai bahwa salah satu indikasi kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah dan penolakan kubuh oposisi terhadap kenaikan tersebut hanyalah merupakan permainan politik yang sarat tendensi kepentingan elite dan partai politik yang sikut-sikutan merebut kekuasaan rakyat. Sebab disatu sisi, pemerintah selama ini tidak pernah menyampaikan argumentasi yang disertai bukti-bukti filosofis-empiris secara terbuka apa yang menjadi penyebab APBN bisa devisit atau kolaps, serta hubungan antara kenaikan BBM dan penyehatan APBN. Belum lagi misalnya devisitnya APBN dikaitkan dengan maraknya korupsi yang melibatkan pejabat public mulai dari politisi baik di senayan maupun istana hingga birokrat yang menguras APBN. 
Sementara disisi yang lain kubuh oposisi juga tidak pernah mengeluarkan semacam klarifikasi data dan fakta yang mendukung pandangan politik mereka tentang tidak perlunya menaikkan harga BBM ditengah kondisi harga minyak dunia yang tidak stabil. Hal lain yang tidak kalah ironis lagi adalah disatu sisi solusi yang ditawarkan pemerintah untuk meminimalisir dampak social, ekonomi dan politik kenaikan harga BBM bagi masyarakat melalui subsidi dalam bentuk bantuan langsung sementara berupa pemberian uang kepada masyarakat dan peningkatan sarana produksi ekonomi masyarakat secara gradual baik kepada petani, nelayan, pedagang kecil dan buruh di seluruh Indonesia dengan total nilai Rp15 triliun untuk tahun 2012. Sebab, jika kita memakai logika terbalik, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa hal tersebut tidak dilakukan ketika APBN kita masih dalam keadaan sehat. Sementara disisi yang lain, diduga kubuh oposisi justru terkesan hanya bermain dibelakang layar menghujat pemerintah tetapi tidak pernah memiliki tawaran program alternative yang konkret sebagai pengganti kebijakan yang tidak populis di atas demi kemaslahatan masyarakat. Padahal jika kita menengok idealisasi system politik demokrasi, maka baik kubuh pemerintah maupun oposisi seharusnya sama-sama berupaya mendesain program kebijakan yang pro terhadap kepentingan masyarakat. 
Jika perdebatan antara kubuh yang menginginkan kenaikan harga BBM dan kubuh yang menolak entah itu yang berada didalam suprastruktur politik (eksekutif, legislative dan yudikatif) itu sendiri maupun kelompok yang berada diluar suprastruktur politik tersentral pada APBN, maka baik kubuh yang pro maupun kubuh yang kontra khususnya mereka yang berada disuprastruktur politik (pemerintah maupun oposisi) sama-sama menjadi beban APBN alias biang keladi mengapa kemudian APBN terancam devisit ditengah resesi ekonomi harga minyak dunia yang mengalami kenaikan akibat perseteruan Iran dan Amerika Serikat. Sebab, kedua entitas politik tersebut sama-sama menikmati lebih dari separuh dana APBN hasil darah dan keringat masyarakat. Lihat dan saksikan saja bahwa lebih dari separuh dana APBN yang seharusnya digunakan untuk menjalankan program pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, malah dihabiskan untuk membiayai aparatur Negara yang gemuk (gaji dan sarana dan prasana pejabat public dan pegawai negeri dan lain-lain), itu belum termasuk yang dikorupsi oleh pejabat public kita. Parahnya dana korupsi tersebut disunat dari dana pemberdayaan ekonomi dan social masyarakat. 
Dalam posisi demikian, sudah menjadi rahasia umum bahwa baik kubuh pemerintah maupun kubuh oposisi sama-sama terjerat kasus hukum berkaitan dengan korupsi. Itu artinya, secara substansial, dua entitas politik tersebut pada dasarnya sama-sama berkontribusi dalam menggoncang APBN yang pada akhirnya sama-sama menjadi factor penyebab dalam menaikkan harga BBM. 
Jawaban politis yang bisa dideteksi dari ketidakempatian kebijakan pemerintah disatu sisi dan kebijaksanaan kubuh oposisi yang terkesan membela kepentingan rakyat selama ini pada sadar dan dasarnya tidak terlepas dari kans pencitraan politik yang menunjang instrument penggoalan kepentingan politik masing-masing elite atau partai politik. Ketika APBN kita sedang sehat-sehatnya, pemerintah (koalisi maupun oposisi) selalu menunjukkan angka-angka statistic tentang pertumbuhan ekonomi yang melangit, tetapi faktanya pertumbuhan ekonomi yang melangit tersebut tidak berbanding lurus dalam konteks pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Dan ketika APBN berpotensi devisit sebagai akibat melonjaknya harga minyak dunia yang akan mempengaruhi APBN (dana APBN bisa terkuras jika mengimpor minyak dengan harga yang tinggi), barulah pemerintah mengeluarkan jurus pamungkas politiknya dengan mengeluarkan kebijakan subsidi sebagai bentuk (tekstur dan kontur) political will terhadap kesejahteraan masyarakat. Akhirnya fakta bahwa pemerintah (koalisi dan oposisi) hanya menjadikan isu kenaikan BBM sebagai senjata pengalihan isu politik dari hiruk pikuk wacana dan laku politik para elite yang cenderung murtad dari role etika politik, misalnya maraknya pejabat public yang tersandung kasus korupsi akhirnya terlegitimasi meski hanya dalam taraf prasangka politik memang layak diamini. 
Dengan demikian, alibi yang dipakai oleh pemerintah terkait BBM dengan menjadikan APBN sebagai tameng pada sadar dan dasarnya hanyalah bentuk penyesatan politik yang sangat kering hati nurani untuk mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat. Subsidi yang kemudian dijadikan sebagai solusi dari dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) juga lebih merupakan politik pencitraan untuk menghibur masyarakat yang setiap hari disesaki oleh kemiskinan, pengangguran dan busung lapar. Kondisi di ataslah yang kemudian membenarkan proposisi politik bahwa ada upaya politisasi dari pemerintah (koalisi dan oposisi) dalam melakukan penyesuaian APBN 2012 termasuk menaikkan atau tidak menaikkan harga bahan bakar minyak subsidi. 
Isu tersebut saat ini telah berkembang dengan cepat dan sangat politis serta jauh menyimpang dari hakikat dan permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Jadi, disatu sisi, situasi dan kondisi kebijakan ekonomi Indonesia saat ini termaksud rencana pemerintah dalam menaikkan harga BBM hanyalah bias politik dari politik egosentris yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan UE dalam mengintervensi Iran. Semenatara disisi yang lain juga dipengaruhi oleh bias politik egosentris pemerintah dalam negeri (koalisi dan oposisi) yang mengedepankan kepentingan elite dan partai ketimbang kepentingan kemaslahatan rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar