Laman

Kamis, 15 November 2012

Demokrasi, Barat, Timur Tengah dan Islam

Kemenangan partai-partai baik berideologi Islam maupun berbasis Islam dalam pemilu yang diselenggarakan pasca gelombang revolusi di beberapa negara di kawasan timur tengah kembali membuat barat menjadi stereotif terhadap perkembangan demokrasi dikawasan tersebut. 
Revolusi yang pada awalnya diklaim oleh barat sebagai bagian dari political wiil masyarakat sivil timur tengah untuk mentransformasikan sistem politiknya dari monarki absolut yang terkesan tiran dan otoriter ke demokrasi justru hanya akan menggeser kekuasaan dari yang bersifat tirani sekuler menjadi tirani baru berdasarkan agama. 
Pandangan dan klaim tersebut tentunya lahir dari data empiris pemilu yang diselenggarakan dibeberapa negara kawasan yang memenangkan partai-partai yang berideologi dan berbasis Islam. Sehingga dengan kemenangan partai-partai Islam tersebut justru hanya akan mereview kekuasaan tirani dengan jubah agama yang kadar dan frekwensi refresifnya seruang dan sebangun dengan monarki yang tiran dan otoriter. Atas pandangan yang terkesan xenophobia dari barat tersebut itulah yang kemudian membuat para pemimpin baru negara arab meresponnya dengan memberikan klarifikasi yang bersifat penegasan bahwa Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas politik yang saling menegasikan. Hal tersebut disampaikan pada forum ekonomi dunia yang diselenggarakan di resor wisata olah raga ski salju Davos, Swiss (27 Januari 2012) beberapa waktu lalu. 
Gelombang Demokrasi ke Empat. 
Dalam perbendaharaan ilmu politik kontemporer, meskipun demokrasi pernah menjadi sistem politik yang begitu dikultuskan di jaman yunani kuno, tetapi sistem politik ini baru menjadi tren politik yang bersifat ideologis pasca revolusi Amerika Serikat 1776 dan revolusi Industri 1789 di Prancis. Dimana kedua revolusi ini merupakan bentuk perlawanan ideologi politik atas rezim monarkian yang dipandang telah memasung kebebasan, kesetaraan dan persamaan derajat antara kaum bangsawan dan masyarakat jelata. 
Tren baru sistem politik demokrasi tersebut pada dasarnya telah berkiprah dalam gelanggang panggung politik Internasional sekurang-kurangnya dalam 3 (tiga) gelombang atau periode. Dan di era tahun 1700-an tersebut di ataslah yang kemudian menandai lahirnya gelombang demokrasi tahap pertama yang dikomandoi oleh negera-negara Barat. 
Hal tersebut ditandai dengan transformasi total sistem politik dibeberapa negara di kawasan Eropa kecuali Inggris dan Amerika kecuali Amerika Latin. Gelombang tahap pertama ini berlangsung cukup lama hingga melewati tragedi perang dunia I, II dan perang Dingin. Gelombang demokrasi kedua terjadi pasca perang dunia II dan Dingin. Hal tersebut di tandai dengan berbondong-bondongnya negara-negara dunia ketiga mulai dari Amerika Latin hingga negara-negara komunis mengadopsi dan menerapkan demokrasi sebagai sistem politiknya yang sekuel dengan keinginan masyarakat sivil untuk meruntuhkan rezim diktator, satu partai dan militer dinegara-negara tersebut. 
Hanya saja gelombang demokrasi tersebut tidak bertahan lama, karena di tahun 1950-1970-an beberapa negara dunia ketiga kembali menerapkan dan mengadopsi sistem politik otoriter baik dengan genre rezim diktator perorangan, rezim satu partai maupun rezim militer. Nanti pada dekade tahun 1980-1990an, demokrasi kemudian menjadi gelombang pasang yang tidak terelakan oleh negara dunia ketiga. Periode inilah yang sering disebut sebagai gelombang demokrasi tahap ketiga. Dari ketiga gelombang demokrasi yang pernah terjadi, tidak satupun terjadi tanpa campur tangan dari Amerika Serikat dan sekutunya. 
Hal ini tentu dipengaruhi karena selain posisi mereka sebagai pelopor demokrasi, mereka juga diuntungkan kerena posisinya sebagai champion perang dunia II dan Dingin yang dalam hukum perang memberikan legitimasi kepada pemenang perang untuk menetapkan aturan main relasi internasional sesuai kehendak dan keinginannya termasuk program hegemoni ideologi politik. Dan apa yang terjadi dikawasan Timur Tengah dewasa ini, ditengarai oleh banyak kalangan sebagai bentuk lahirnya gelombang demokrasi keempat. Revolusi yang terjadi di kawasan timur tengah dewasa ini juga ditengai oleh banyak pihak dengan kehadiran AS dan sekutunya untuk menata ulang format politik dikawasan tersebut. 
Hal tersebut dilakukan tentu dengan motif dan kepentingan tertentu baik itu berkaitan dengan hegemoni ideologi politik dengan menjadikan demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang layak diterapkan dikawasan tersebut, juga berkaitan dengan motif ekonomi yang ingin mengeksplorasi dan mengeksplotasi sumber daya alam kawasan tersebut yang terkenal dengan kekayaan minyaknya. 
Demokrasi sebenarnya milik siapa? 
Dibalik fenomena yang terjadi dikawasan timur tengah dewasa ini, maka jika dipetakan dari domain geo politik Timur Tengah, tentunya ada dua persfektif analisis yang akan lahir. 
Pertama dari kaca mata gelombang demokrasi. Dianalisis dari kaca mata tersebut, maka revolusi yang mewabah di kawasan tersebut merupakan titik kulminasi yang paling ekstrim dari ruang dialektika antara penguasa disatu sisi yang terkesan otoriter dengan masyarakat yang menuntut partisipasi politik disisi yang lain. 
Sikap dan posisi kedua hal tersebut jelas meniscayakan benturan manakala penguasa tidak segera merevitalisasi sistem politik kearah yang lebih egaliter, mengingat pendidikan politik masyarakat semakin hari semakin bersifat kognitif, kritis dan evaluatif. Artinya revolusi di negara-negara Arab (Timur Tengah) dalam desain penggulingan rezim diktator lebih dipengaruhi oleh tidak adanya politicall will dari penguasa untuk memberikan ruang partisipasi politik masyarakat untuk mengetahui dan mengkritisi serta mengevaluasi kinerja dan program kerja pemerintah sebagai bagian dari check and balances dalam design tata kelola pemerintahan negara modern. Apalagi hal tersebut semakin diperparah oleh penggunaan cara-cara refresif dengan kekuatan militer untuk membendung aspirasi masyarakat tersebut. Kedua adalah dari kaca mata implikasi gelombang demokrasi. 
Pijakan analisis ini akan menciptakan wacana prediksi yang cenderung paradoksal. Maksudnya adalah fenomena demokratisasi melalui pemilihan umum pasca revolusi tersebut merupakan gelombang demokrasi yang akan melahirkan efek domino yang paralel bagi kepnetingan Barat. Artinya disatu sisi negara barat menginginkan proses demokrasi berjalan dengan baik dan lancar. Tetapi disisi yang lain Barat ketakutan jika yang menjadi pemenang pemilu adalah partai-partai Islam. Sebab hal tersebut akan memutus rantai kepentingan barat untuk mengintervensi bangunan politik dan ekonomi kenegaraan negara-negara Timur Tengah tersebut. 
Hal inilah yang kemudian menjadi paradoks bagi kubuh barat sendiri. Disatu sisi sebagai pengususng demokrasi, tetapi disisi yang lain justru sebagai pemasung demokratisasi. Sedangkan jika dipetakan dari domain geo politik internasional, maka ada dua persfektif analisis yang akan lahir. Pertama, dari kaca mata negara adidaya. Fenomena yang terjadi dikawasan tentu bertalian erat dengan kepentingan negara barat khususnya menyangkut sektor ekopol (ekonomi-politik). Itulah sebabnya, berdasarkan data empiris yang ada, Amerika serikat dan sekutunya begitu proaktif dalam mengintervensi dinamika politik di TimTeng, misalnya pengiriman pasuklan militer di Libya beberapa waktu lalu. Fenomena tersebut tentu semakin menguatkan argumentasi kebanyakan pihak bahwa AS dan sekutunya telah mendesain rekonstruksi ulang sistem politik dan pemerintahan di negara-negara TimTeng untuk melegitimasi kepentingan ekonomi dan politiknya. Artinya fenomena tersebut secara potensial akan menjadikan negara-negara TimTeng sebagai basis potensial penyambung lidah kepentingan negara maju dalam perburuan SDA (Minyak) dan hegemoni SDM (Ideologi ekonomi,sosial dan politik). 
Kedua, dari kaca mata negara berkembang. Negara-negara yang dalam kategori berkembang tentu akan belajar banyak dari fenomena tersebut. Sebab negara-negara berkembang merupakan negara yang sangat rawan konflik horizontal (penguasa dan rakyat). Bagi penguasa-penguasa (presiden dan perdana menteri) di negara-negara berkembang, fenomena tersebut merupakan lampu alarm peringatan untuk bersifat dan bersikap lebih hati-hati dalam mengartikulasikan dan mengaktualkan kekuasaan yang dimiliki. 
Mereka akan berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan, menerjemahkan dan memanifestasikan setiap kebijakan politik dan pemerintahan agar melahirkan kebijakan yang sepopulis mungkin. Sebab, mau tidak mau, atau suka tidak suka, fenomena diatas akan dan telah melahirkan sindrom paranoidisme terhadap pembangkangan sipil. Sehingga protes dan huru-hara gerakan masyarakat sivil akan diidentifikasi sebagai bagian dari gerakan penggulingan kekuasaan atau kudeta. 
Mau dibawah kemana Demokrasi? 
Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang dijaman neo-hibrida postmodernisme dewasa ini merupakan sistem politik yang begitu dipuja-puji, hingga mazhab keagamaan pun grasa-grusu mencari pembenaran maupun penolakan dalam dalil kitab suci. Seolah demokrasi adalah agama baru yang membutuhkan penguatan dan pelemahan dari berbagai sekte paham pemikiran. Bahkan ada sebuah doktrin yang mewahana dalam arus wacana internasional dewasa ini bahwa “jika ada negara didunia ini yang belum menjadikan demokrasi sebagai ideologi politiknya, maka negara tersebut masih berada dalam titik ordinat keprimitifan alias tradisonal” dan “demokrasi adalah sebuah sistem yang niscaya sebagaimana symbol yang diciptakan oleh Samuel Huntington tentang Demokrasi TINA (there not is alternative)”. 
Parahnya hal tersebut begitu di amaini oleh negara berkembang, seolah demokrasi adalah jalan kemajuan bagi Negara berkembang, jalan kedamaian bagi Negara konflik, jalan keharmonisan klan social bagi Negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk, jalan bagi toleransi umat beragama dan jalan bagi keselamatan peradaban manusia. Akhirnya demokrasi kini menjadi “Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral” sebagaimana yang dikemukakan Antony Gramsci dalam teori hegemoninya. 
Telah menjadi keyakinan universal bahwa demokrasi merupakan alternatif tunggal sistem politik, yang dapat mengantarkan kepada kesejahteraan umum. Demokrasi akan melahirkan sebuah tatanan pemerintahan yang lebih kuat atas dasar legitimasi populis dari rakyat, yang akan memberi kontribusi terhadap proses pembangunan di bidang lain: ekonomi, sosial, dan budaya Keyakinan ini bahkan sudah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik, yang dalam banyak hal memang tak terbantahkan. Kita pun menyaksikan betapa sepanjang abad ke-21, fenomena gerakan demokratisasi telah menjadi gejala mondial dan merupakan puncak pencapaian tertinggi ketika satu demi satu sebuah negara dengan sistem politik totaliter berguguran dan berganti dengan sistem politik demokratis. 
Hanya saja keyakinan akan kemapanan demokrasi kini telah dideteksi bermuka dua, bermakna ambigu dan paradoksal. Disatu sisi, demokrasi menjanjikan perubahan, persamaan, kebebasan, pembebasan, HAM, toleransi, kemajuan dan lain-lain yang segunung dan sedanau dengannya. Tetapi disisi yang lain hal yang disebutkan diatas hanya dinikmati oleh Negara maju seperti pengusungnya (AS). Disatu sisi mengutuk penjajahan, tetapi disisi yang lain justru melanggengkan penjajahan. 
Disatu sisi menjanjikan HAM, tetapi disisi yang lain menggerus HAM itu sendiri. Disatu sisi mengkultuskan persamaan, tetapi sisi yang lain merendahkan bangsa dan Negara lain. Disatu sisi menjanjikan kemajuaan, tetapi disisi yang lain menghambat bahkan menolak kemajuan itu sendiri. Akhirnya demokrasi yang begitu dipuja-puji dan terkesan begitu dipertuhankan, telah membawa negara bangsa khususnya negara dunia ketiga (berkembang) terjebak dalam dunia istilah. 
Seolah-olah ketika Negara sudah memakai aksesoris demokrasi, maka Negara tersebut pasti menjalankan pemerintahan yang demokratis, pasti menjunjung tinggi HAM, pasti peduli terhadap penganguran dan kemiskinan, pasti menghargai perbedaan, masti memposisikan rakat sebagai pemilik kedaulatan, pasti membumihanguskan penyakit kawanan pejabat publik (KKN), pasti menghargai perbedaan, dan pasti-pasti yang lain. Impian-impian ideal yang dijanjikan dapat terwujud di bawah sistem politik demokrasi ternyata tak mudah direalisasikan. Semula diyakini bahwa dengan membangun sistem demokrasi yang tangguh, partisipasi politik masyarakat akan berkembang meluas dan terbuka, pembangunan ekonomi dapat tumbuh dan akan mengantarkan pada keadilan sosial, dan berbagai konflik sosial di masyarakat dapat diatasi tanpa disertai kekerasan. Akan tetapi, ide-ide mempesona yang terkandung dalam konsep demokrasi itu ternyata menyisakan sejumlah persoalan serius dan kompleks, yang berpotensi menciptakan destabilisasi sosial politik. Sebab, kaum yang mengatasnamakan dirinya demokrat ternyata tak mampu menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat secara instan, tuntas, dan menyeluruh. Maka, tak mengherankan bila demokrasi kemudian menjadi sebatas metafora yang diilmiahkan dan diempiriskan, sebatas berada dalam titik koordinat term “katanya”. 
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah demokrasinya yang salah? Tentu kurang bijak jika mengatakan bahwa demokrasilah yang menjadi penyebab. Sebab sistem sebaik apapun yang diadopsi dan diaktualkan dalam hidup dan kehidupan, tidaklah berarti apa-apa, jika manusia yang menjadi penggeraknya tidak memiliki political wiil dan pre political virtues dalam memahami dan menjalankannya. Walau bagaimanapun demokrasi dalam konteks kebebasan merupakan fitrawi manusia sebagai mahluk tuhan. Artinya tidak seorang atau kelompok orang pun didunia ini yang tidak menghendaki dan menginginkan kebebasan dalam menentukan dan mengurai hidup dan kehidupannya.  

Oleh: Subiran Paridamos Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa FISIP UMJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar