Laman

Kamis, 15 November 2012

Candu Politik Pengalihan Isu

Nampaknya mempolitisasi wacana dan tindakan politik adalah candu bagi sebagian besar aktor politik lembaga supra struktur politik di republik ini.  
Proposisi di atas layak dialamatkan atas insiden penamparan sipir di LP Pekanbaru oleh Wamenkumham Denny Indrayana dan politik dua kaki yang dimainkan oleh PKS dalam rapat paripurna DPR RI mengenai isu BBM.
Kecaman dan hujatan berbagai kalangan terhadap wacana dan tindakan Wamenhukam yang menampar sipir di LP Pekanbaru pada saat sidak pemberantasan narkoba nampaknya terlalu dipolitisir. Pasalnya, pisau analisa yang dikemukakan untuk menghakimi dan menghukumi fenomena tersebut hanya berangkat dari kacamata implikasi arogansi jabatan, sementara substansi wacana dan tindakan politiknya kurang diapresiasi.
Benar bahwa seorang pejabat harus memberikan contoh dan perilaku yang baik dihadapan bawahannya dan bukan bertindak semena-mena dalam menjalankan tugas. Tetapi hujatan dan kecaman yang dialamatkan pada wamen tersebut terlalu didramatisir dan terkesan adanya skenario dari kelompok tertentu yang tidak menginginkan perbaikan Lapas di Indonesia.
Justru yang harus dipertanyakan jika mau obyektif menelaah persoalan penamparan di atas adalah orientasi penamparannya. Apakah karena arogansi jabatan, ataukah memang ada hal lain. Beberapa waktu lalu, menteri BUMN Dahlan Iskan mengamuk di pintu tol demi melancarkan arus lalu lintas tol yang macet. Tapi mengapa tidak ada yang mengecam dengan dalih arogansi jabatan. Tindakan yang dilakukan oleh Denny Indrayana juga demikian, tetapi yang patut disesalkan karena harus menampar petugasnya.
Pemberitaan media massa yang terlalu menggemborkan isu penamparan ketimbang substansi persoalan (isu mafia narkoba di LP) memang sangat mengandung magnetisme pertarungan politik para elite yang berkepentingan terhadap persoalan tersebut. Dan logika paradigm tersebut  harus diluruskan bersama agar tidak terjadi penyesatan wacana terhadap masyarakat. Sehingga pendidikan politik bagi masyarakat bisa berjalan tegak lurus atas kebenaran politik yang diagungkan dalam skop Negara yang menjadikan etika politik sebagai panglima.
Pembentukan tim pencari fakta yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM dalam memberantas sindikat pengedar dan pemakai narkoba di Lembaga pemasyarakatan merupakan suplemen political wiil penegakan hukum yang tepat di tengah kecaman dan hujatan sebagian besar rakyat Indonesia terhadap kinerja penegak hukum selama ini. Kita seharusnya mendukung upaya pembenahan lembaga pemasyarakatan yang dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Kondisi pengelolaan dan pengawasan sejumlah Lapas yang sudah bobrok memang membutuhkan pembenahan secara ektra ordiinary. Kita sudah muak setiap hari disuguhkan berita dan opini yang menjelaskan dan menegaskan bahwa di Lapas begitu mudah beredar norkoba, pungli di mana-mana, tindakan diskriminatif yang dilakukan petugas Lapas atas warga binaan, tindak kekerasan dan lain-lain. Bukankah hal tersebut adalah penyakit social yang harus membutuhkan political will baik wacana dan tindakan secara komprehensip?.
Langkah yang dilakukan Denny Indrayana dalam melakukan inspeksi mendadak terhadap sejumlah Lapas di daerah adalah terobosan positif yang terbukti telah membuahkan hasil. Dalam sidak di Lapas Pekanbaru tersebut, Denny dan tim ternyata mendapati tiga bandar dan seorang sipir yang terlibat perdagangan narkoba. Padahal sebelumnya Dirjen LP selalu meyakinkan kementerian bahwa LP sudah disidak dan tidak diketemukan adanya Bandar narkoba. Kita patut curiga bahwa isu penamparan sipir merupakan bagian politisasi wacana politik dari kelompok tertentu yang tidak menginginkan perbaikan di Lapas. Hal tersebut semakin terlegitimasi karena isu penamparan tersebut telah menenggelamkan fakta peredaran narkoba di dalam penjara.
Selain politisasi isu penamparan yang dilakukan oleh Wamenhukam di atas, isu politik dua kaki yang dimainkan oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dalam sidang paripurna DPR RI juga sangat didramatisir. Tidak tanggung-tanggung PKS bahkan terancam pisah ranjang dengan partai koalisi akibat persoalan tersebut.
Hujatan dan kecaman dari berbagai kalangan baik diinternal setgab maupun diluar setgab juga sangat sarat kepentingan politik elite dan partai. Sebab, perbedaan pendapat baik dalam sebuah koalisi pemerintahan maupun oposisi sekalipun adalah hal yang biasa dan tidak haram hukumnya. Sebab, sistem kepartaian, pemilu, maupun politik dan pemerintahan Indonesia tidak melegalkan dalam UU posisi koalisi dan oposisi untuk hitam putih dalam menilai sebuah persoalan politik. Sehingga, tidak ada UU yang kemudian mengatur format, mekanisme dan grand design posisi koalisi dan oposisi secara baku.
Dilain pihak, wacana dan laku politik PKS yang berbeda dengan partai pendukung atau penyokong pemerintah seharusnya disikapi secara arif dan bijak oleh partai demokrat dan SBY. Sebab, tidak selamanya PKS akan berseberangan dengan pandangan politik pemerintah. Lagi pula jika kita mau merulut kebelakang, partai lain pun pernah tidak sependapat atau sehaluan politik dengan pemerintah dalam beberapa kebijakan politik, misalnya kasus century gate dimana Partai Golkar pada saat itupun berseberangan dengan demokrat. Artinya, perbedaan pendapat dalam hal pandangan politik didalam koalisi pemerintahan seharusnya dijadikan momentum bagi Demokrat untuk lebih mengintensifkan komunikasi dengan sesama partai koalisi. Agar segala isu politik yang berkaitan dengan rencana kebijakan pemerintah bisa dikomunikasikan dulu secara intens melalui meja runding Setgab (secretariat gabungan). Sehingga potensi perbedaan pandangan politik diluar setgab (parlemen) bisa diminimalisir. Dengan demikian, perbedaan pendapat atau pandangan politik partai koalisi dalam beberapa isu politik sebenarnya lebih menjelaskan dan menegaskan ketidaksolidan koalisi pemerintah, ketimbang politik pencitraan yang dialamatkan kepada PKS.
Justru yang lebih kental dalam hal politisasi isu politik dua kaki PKS adalah perebutan jabatan menteri oleh partai-partai lain di dalam koalisi. Sebab, paradigma politik yang terbangun pasca pengingkaan politik PKS di DPR RI beberapa waktu lalu justru lebih mengarah pada reshuffle cabinet. Artinya, permainan isu politik yang mendiskreditkan PKS selama ini justru lebih disebabkan oleh orientasi perebutan kekuasaan politik dikabinet pemerintahan. Sebab, sebagaimana mafhum bahwa saat ini partai PKS menempatkan tiga kadernya di kabinet, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri, dan Menteri Pertanian Suswono. Dan ini merupakan ladang empuk bagi partai politik lain untuk mengisi jabatan tersebut. Hal ini tentu merupakan angin segar bagi partai lain khususnya Golkar dan PAN untuk menambah jumlah kadernya dalam cabinet. Karena posisi tawar politik golkar dan PAN lebih tinggi ketimbang partai lain.
Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan  mengambil sikap tegas mengeluarkan  Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari koalisi beberapa waktu lalu justru akan menciptakan musibah politik bagi partai Demokrat dan Presiden SBY kedepan. Sebab, tidak ada jaminan kedepan bahwa partai yang sekarang bercokol dalam koalisi juga tidak menunjukkan sikap yang sama dan serupa dengan PKS. Artinya, dengan format pengawal posisi dan kebijakan pemerintah yang sekarang hanya berjumlah lima partai justru akan semakin merepotkan posisi tawar politik bagi presiden dan partai Demokrat kedepan dan dengan format 5 partai minus PKS tersebut jelas akan semakin melemahkan kekuatan politik Demokrat dan presiden, apalagi jika kedepan ada salah satu partai dari kelima partai tersebut yang membangkang dari kebijakan pemerintah.
Politik Pengalihan Isu yang transaksional.
Dua fenomena politik di atas sebenarnya lebih merupakan pengalihan isu politik kerakyatan. Sebab, lokus wacana dan laku sangat didominasi oleh isu elite ketimbang isu kerakyatan. Sehingga isu politik diatas lebih merupakan pengalihan isu politik yang berkaitan dengan persoalan efek domino dari rencana kenaikan BBM yang ditunda oleh DPR RI beberapa waktu disatu sisi dan isu korupsi yang menggurita dihampir semua lembaga Negara disisi yang lain.
Mengenai yang pertama. harga kebutuhan pokok dilapangan ternyata masih terus merangkak naik meski kebijakan kenaikan harga BBM sudah ditunda oleh DPR. Artinya, shok politik dimasyarakat tidak bisa dihindarkan. Sehingga salah satu upaya cemerlang yang harus dilakukan oleh para actor politik adalah mengalihkan isu di internal elite dan partai politik. Sehingga isu kenaikan harga bisa ditutup-tutupi.
Sedangkan mengenai persoalan yang kedua adalah persoalan korupsi yang meraja lela direpublik ini. Bahwa sudah menjadi rahasia umum jika seberapa kuatpun isu pemberantasan korupsi digalakkan oleh pemerintah, tetapi nyatanya sampai hari ini korupsi malah tetap tumbuh subur dihampir semua lembaga Negara. Artinya, isu korupsi sebenarnya juga merupakan isu kerakyatan yang disunat oleh kepentingan elite politik. Dan salah satu cara untuk mendiamkan persoalan tersebut adalah dengan mengalihkan pandangan politik masyarakat dari korupsi kepada pertarungan elite politik dilembaga suprastruktur politik. Hal ini dilakukan untuk menghindari pandangan stereotif masyarakat terhadap semua kekuatan actor politik dilembaga supra struktur politik yang hampir sebagian besar bermasalah dengan kasus korupsi.
Sebagai masyarakat Indonesia, tentunya kita memiliki harapan agar teori dan praktis politik pengalihan isu yang selama ini dilakonkan oleh para aktor politik kita entah di senayan maupun di istana bisa segera ditinggalkan. Mengingat implikasi yang ditimbulkan dari politik semacam itu sangatlah luar biasa dekonstruktifnya terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Implikasinya yang tidak tanggung-tanggung menjarah semua bangunan hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegera kita, mulai dari yang bersifat kultural hingga yang bersifat struktural dan fungsional.
Dari domain kultural misalnya, agama dan budaya sering kali dijadikan azhimat politik para elite dalam rangka memperoleh kekuasaan. Ironisnya agama dan budaya kadang kala dijadikan komuditas politik yang siap dikomersialisasi. Persaksian kita terhadap maraknya para politikus mengumbar ayat suci ketika menjalankan kampanye hingga mengeluarkan sebuah regulasi yang mendiskreditkan nilai kedaulatan rakyat, merupakan sebuah marketing politik yang membajak agama dan buaaya itu sendiri. Parahnya agama kadang kala dijadikan batu loncatan untuk melakukan manufer politik kekuasaan dengan pendekatan kekerasan dan konflik. Maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat dengan dalih agama dan budaya tidak luput dari politik transaksional yang dilakonkan oleh para elite kita. Hal ini terdeteksi ketika setiap momentum, modus dan motif konflik dan kekerasan tersebut selalu terjadi ketika suhu politik nasional sedang memanas.
Dari sudut struktural, birokrasi pemerintahan mulai dari tingkat pusat hingga daerah sama-sama mengidap sindrom penyakit kawanan pejabat publik (KKN). Hal ini terjadi akibat, politik yang diadopsi dan diterapkan mulai dari rekruitmen birokrat hingga pelaksanaan program kerja dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan sarat dengan transaksional. Akibatnya program kerja tidak satupun yang menyentuh substansi kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sebab mulai dari BLT, JAMKESMAS, hingga proyek pembangunan infrastruktur pedesaan pun turut dikorupsi. Belum lagi ketika kita berbicara tentang mafia yang menggurita dihampir semua lembaga negara, mulai dari mafia hukum, anggaran, regulasi, pendidikan, hingga seksual.
Sementara dalam domain fungsional, hampir semua elemen negara, mulai dari suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hingga infrastruktur politik (Partai Politik, LSM, Ormas dan lain-lain) sama-sama mengalami krisis peran dan fungsi. Eksekutif menjarah wewenang legislatif dan yudikatif, legislatif memposisikan diri sebagai eksekutif dan yudikatif, yudikatif menjadi bulan-bulanan eksekutif dan legislatif karena intervensi politik berkenaan dengan masalah hukum yang menjerat kadernya, Parpol menjadi penentu segala kebijakan dan keputusan politik di senayan maupun istana, LSM kehabisan strategi sebagai derbong gerakan ekstra parlemen, Ormas menjadi penyambung lidah kepentingan Partai dan elite, Mahasiswa menjadi apatisdan lain sebagainya.
Dengan tekstur dan kontur politik diemikian, maka unjung-ujungnya rakyat jugalah yang menjadi korbannya. Pertikaian dan konflik horiontal semakin menggila, kemiskinan semakin termateraikan, pengangguran semakin melimpah, busung lapar semakin menumpuk, agama dan budaya semakin menjadi tidak punya taring, mahasiswa semakin apatis dan hedonis, LSM dan Ormas semakin kehilangan kepercayaan dan lain sebagainya. Itulah sekelumit implikasi yang ditimbulkan dari dikultuskannya politik transaksional di republik tercinta ini. Ironisnya politik transaksional tersebut sudah menjadi tren dan budaya yang mendarah daging ditengah masyarakat. Sampai-sampai anak SMA dan mahasiswa pun ikut-ikutan melanggengkan politik transaksional dalam menjalankan roda organisasi sekolah dan lembaga kemahasiswaan sebagai akibat dari budaya dan penerapan kurikulum pendidikan yang memang merupakan hasil dari politik transaksional pula. Artinya spiral lingkaran setan yang menggerogoti politik kita dewasa ini sudah begitu menggurita, sehingga hampir dikatakan mustahil untuk diperbaiki.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar