Nampaknya
mempolitisasi wacana dan tindakan politik adalah candu bagi sebagian besar
aktor politik lembaga supra struktur politik di republik ini.
Proposisi
di atas layak dialamatkan atas insiden penamparan sipir di LP Pekanbaru oleh
Wamenkumham Denny Indrayana dan politik dua kaki yang dimainkan oleh PKS dalam
rapat paripurna DPR RI mengenai isu BBM.
Kecaman
dan hujatan berbagai kalangan terhadap wacana dan tindakan Wamenhukam yang
menampar sipir di LP Pekanbaru pada saat sidak pemberantasan narkoba nampaknya
terlalu dipolitisir. Pasalnya, pisau analisa yang dikemukakan untuk menghakimi
dan menghukumi fenomena tersebut hanya berangkat dari kacamata implikasi
arogansi jabatan, sementara substansi wacana dan tindakan politiknya kurang
diapresiasi.
Benar
bahwa seorang pejabat harus memberikan contoh dan perilaku yang baik dihadapan
bawahannya dan bukan bertindak semena-mena dalam menjalankan tugas. Tetapi
hujatan dan kecaman yang dialamatkan pada wamen tersebut terlalu didramatisir
dan terkesan adanya skenario dari kelompok tertentu yang tidak menginginkan
perbaikan Lapas di Indonesia.
Justru
yang harus dipertanyakan jika mau obyektif menelaah persoalan penamparan di
atas adalah orientasi penamparannya. Apakah karena arogansi jabatan, ataukah
memang ada hal lain. Beberapa waktu lalu, menteri BUMN Dahlan Iskan mengamuk di
pintu tol demi melancarkan arus lalu lintas tol yang macet. Tapi mengapa tidak
ada yang mengecam dengan dalih arogansi jabatan. Tindakan yang dilakukan oleh
Denny Indrayana juga demikian, tetapi yang patut disesalkan karena harus
menampar petugasnya.
Pemberitaan
media massa yang terlalu menggemborkan isu penamparan ketimbang substansi
persoalan (isu mafia narkoba di LP) memang sangat mengandung magnetisme
pertarungan politik para elite yang berkepentingan terhadap persoalan tersebut.
Dan logika paradigm tersebut harus
diluruskan bersama agar tidak terjadi penyesatan wacana terhadap masyarakat.
Sehingga pendidikan politik bagi masyarakat bisa berjalan tegak lurus atas
kebenaran politik yang diagungkan dalam skop Negara yang menjadikan etika
politik sebagai panglima.
Pembentukan
tim pencari fakta yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM dalam memberantas
sindikat pengedar dan pemakai narkoba di Lembaga pemasyarakatan merupakan
suplemen political wiil penegakan hukum yang tepat di tengah kecaman dan
hujatan sebagian besar rakyat Indonesia terhadap kinerja penegak hukum selama
ini. Kita seharusnya mendukung upaya pembenahan lembaga pemasyarakatan yang
dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Kondisi pengelolaan dan
pengawasan sejumlah Lapas yang sudah bobrok memang membutuhkan pembenahan
secara ektra ordiinary. Kita sudah muak setiap hari disuguhkan berita dan opini
yang menjelaskan dan menegaskan bahwa di Lapas begitu mudah beredar norkoba,
pungli di mana-mana, tindakan diskriminatif yang dilakukan petugas Lapas atas
warga binaan, tindak kekerasan dan lain-lain. Bukankah hal tersebut adalah
penyakit social yang harus membutuhkan political will baik wacana dan tindakan
secara komprehensip?.
Langkah
yang dilakukan Denny Indrayana dalam melakukan inspeksi mendadak terhadap
sejumlah Lapas di daerah adalah terobosan positif yang terbukti telah
membuahkan hasil. Dalam sidak di Lapas Pekanbaru tersebut, Denny dan tim
ternyata mendapati tiga bandar dan seorang sipir yang terlibat perdagangan
narkoba. Padahal sebelumnya Dirjen LP selalu meyakinkan kementerian bahwa LP sudah
disidak dan tidak diketemukan adanya Bandar narkoba. Kita patut curiga bahwa
isu penamparan sipir merupakan bagian politisasi wacana politik dari kelompok
tertentu yang tidak menginginkan perbaikan di Lapas. Hal tersebut semakin
terlegitimasi karena isu penamparan tersebut telah menenggelamkan fakta
peredaran narkoba di dalam penjara.
Selain
politisasi isu penamparan yang dilakukan oleh Wamenhukam di atas, isu politik
dua kaki yang dimainkan oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dalam sidang
paripurna DPR RI juga sangat didramatisir. Tidak tanggung-tanggung PKS bahkan
terancam pisah ranjang dengan partai koalisi akibat persoalan tersebut.
Hujatan
dan kecaman dari berbagai kalangan baik diinternal setgab maupun diluar setgab
juga sangat sarat kepentingan politik elite dan partai. Sebab, perbedaan
pendapat baik dalam sebuah koalisi pemerintahan maupun oposisi sekalipun adalah
hal yang biasa dan tidak haram hukumnya. Sebab, sistem kepartaian, pemilu,
maupun politik dan pemerintahan Indonesia tidak melegalkan dalam UU posisi
koalisi dan oposisi untuk hitam putih dalam menilai sebuah persoalan politik. Sehingga,
tidak ada UU yang kemudian mengatur format, mekanisme dan grand design posisi
koalisi dan oposisi secara baku.
Dilain
pihak, wacana dan laku politik PKS yang berbeda dengan partai pendukung atau
penyokong pemerintah seharusnya disikapi secara arif dan bijak oleh partai
demokrat dan SBY. Sebab, tidak selamanya PKS akan berseberangan dengan
pandangan politik pemerintah. Lagi pula jika kita mau merulut kebelakang,
partai lain pun pernah tidak sependapat atau sehaluan politik dengan pemerintah
dalam beberapa kebijakan politik, misalnya kasus century gate dimana Partai
Golkar pada saat itupun berseberangan dengan demokrat. Artinya, perbedaan
pendapat dalam hal pandangan politik didalam koalisi pemerintahan seharusnya
dijadikan momentum bagi Demokrat untuk lebih mengintensifkan komunikasi dengan
sesama partai koalisi. Agar segala isu politik yang berkaitan dengan rencana
kebijakan pemerintah bisa dikomunikasikan dulu secara intens melalui meja
runding Setgab (secretariat gabungan). Sehingga potensi perbedaan pandangan
politik diluar setgab (parlemen) bisa diminimalisir. Dengan demikian, perbedaan
pendapat atau pandangan politik partai koalisi dalam beberapa isu politik
sebenarnya lebih menjelaskan dan menegaskan ketidaksolidan koalisi pemerintah,
ketimbang politik pencitraan yang dialamatkan kepada PKS.
Justru
yang lebih kental dalam hal politisasi isu politik dua kaki PKS adalah
perebutan jabatan menteri oleh partai-partai lain di dalam koalisi. Sebab,
paradigma politik yang terbangun pasca pengingkaan politik PKS di DPR RI
beberapa waktu lalu justru lebih mengarah pada reshuffle cabinet. Artinya,
permainan isu politik yang mendiskreditkan PKS selama ini justru lebih
disebabkan oleh orientasi perebutan kekuasaan politik dikabinet pemerintahan.
Sebab, sebagaimana mafhum bahwa saat ini partai PKS menempatkan tiga kadernya
di kabinet, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri
Sosial Salim Segaf Aljufri, dan Menteri Pertanian Suswono. Dan ini merupakan ladang
empuk bagi partai politik lain untuk mengisi jabatan tersebut. Hal ini tentu
merupakan angin segar bagi partai lain khususnya Golkar dan PAN untuk menambah
jumlah kadernya dalam cabinet. Karena posisi tawar politik golkar dan PAN lebih
tinggi ketimbang partai lain.
Keputusan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengambil sikap tegas mengeluarkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari koalisi
beberapa waktu lalu justru akan menciptakan musibah politik bagi partai
Demokrat dan Presiden SBY kedepan. Sebab, tidak ada jaminan kedepan bahwa
partai yang sekarang bercokol dalam koalisi juga tidak menunjukkan sikap yang
sama dan serupa dengan PKS. Artinya, dengan format pengawal
posisi dan kebijakan pemerintah yang sekarang hanya berjumlah lima partai justru
akan semakin merepotkan posisi tawar politik bagi presiden dan partai Demokrat kedepan
dan dengan format 5 partai minus PKS tersebut jelas akan semakin melemahkan
kekuatan politik Demokrat dan presiden, apalagi jika kedepan ada salah satu
partai dari kelima partai tersebut yang membangkang dari kebijakan pemerintah.
Politik Pengalihan Isu
yang transaksional.
Dua
fenomena politik di atas sebenarnya lebih merupakan pengalihan isu politik
kerakyatan. Sebab, lokus wacana dan laku sangat didominasi oleh isu elite
ketimbang isu kerakyatan. Sehingga isu politik diatas lebih merupakan
pengalihan isu politik yang berkaitan dengan persoalan efek domino dari rencana
kenaikan BBM yang ditunda oleh DPR RI beberapa waktu disatu sisi dan isu
korupsi yang menggurita dihampir semua lembaga Negara disisi yang lain.
Mengenai
yang pertama. harga kebutuhan pokok dilapangan ternyata masih terus merangkak
naik meski kebijakan kenaikan harga BBM sudah ditunda oleh DPR. Artinya, shok
politik dimasyarakat tidak bisa dihindarkan. Sehingga salah satu upaya
cemerlang yang harus dilakukan oleh para actor politik adalah mengalihkan isu
di internal elite dan partai politik. Sehingga isu kenaikan harga bisa
ditutup-tutupi.
Sedangkan
mengenai persoalan yang kedua adalah persoalan korupsi yang meraja lela
direpublik ini. Bahwa sudah menjadi rahasia umum jika seberapa kuatpun isu
pemberantasan korupsi digalakkan oleh pemerintah, tetapi nyatanya sampai hari
ini korupsi malah tetap tumbuh subur dihampir semua lembaga Negara. Artinya,
isu korupsi sebenarnya juga merupakan isu kerakyatan yang disunat oleh
kepentingan elite politik. Dan salah satu cara untuk mendiamkan persoalan
tersebut adalah dengan mengalihkan pandangan politik masyarakat dari korupsi
kepada pertarungan elite politik dilembaga suprastruktur politik. Hal ini
dilakukan untuk menghindari pandangan stereotif masyarakat terhadap semua
kekuatan actor politik dilembaga supra struktur politik yang hampir sebagian
besar bermasalah dengan kasus korupsi.
Sebagai
masyarakat Indonesia, tentunya kita memiliki harapan agar teori dan praktis
politik pengalihan isu yang selama ini dilakonkan oleh para aktor politik kita
entah di senayan maupun di istana bisa segera ditinggalkan. Mengingat implikasi
yang ditimbulkan dari politik semacam itu sangatlah luar biasa dekonstruktifnya
terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Implikasinya
yang tidak tanggung-tanggung menjarah semua bangunan hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegera kita, mulai dari yang bersifat kultural hingga yang
bersifat struktural dan fungsional.
Dari
domain kultural misalnya, agama dan budaya sering kali dijadikan azhimat
politik para elite dalam rangka memperoleh kekuasaan. Ironisnya agama dan
budaya kadang kala dijadikan komuditas politik yang siap dikomersialisasi.
Persaksian kita terhadap maraknya para politikus mengumbar ayat suci ketika
menjalankan kampanye hingga mengeluarkan sebuah regulasi yang mendiskreditkan
nilai kedaulatan rakyat, merupakan sebuah marketing politik yang membajak agama
dan buaaya itu sendiri. Parahnya agama kadang kala dijadikan batu loncatan
untuk melakukan manufer politik kekuasaan dengan pendekatan kekerasan dan
konflik. Maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat
dengan dalih agama dan budaya tidak luput dari politik transaksional yang
dilakonkan oleh para elite kita. Hal ini terdeteksi ketika setiap momentum,
modus dan motif konflik dan kekerasan tersebut selalu terjadi ketika suhu
politik nasional sedang memanas.
Dari
sudut struktural, birokrasi pemerintahan mulai dari tingkat pusat hingga daerah
sama-sama mengidap sindrom penyakit kawanan pejabat publik (KKN). Hal ini
terjadi akibat, politik yang diadopsi dan diterapkan mulai dari rekruitmen
birokrat hingga pelaksanaan program kerja dalam rangka pemberdayaan masyarakat
dilakukan sarat dengan transaksional. Akibatnya program kerja tidak satupun
yang menyentuh substansi kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sebab mulai dari
BLT, JAMKESMAS, hingga proyek pembangunan infrastruktur pedesaan pun turut dikorupsi.
Belum lagi ketika kita berbicara tentang mafia yang menggurita dihampir semua
lembaga negara, mulai dari mafia hukum, anggaran, regulasi, pendidikan, hingga
seksual.
Sementara
dalam domain fungsional, hampir semua elemen negara, mulai dari suprastruktur
politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hingga infrastruktur politik
(Partai Politik, LSM, Ormas dan lain-lain) sama-sama mengalami krisis peran dan
fungsi. Eksekutif menjarah wewenang legislatif dan yudikatif, legislatif
memposisikan diri sebagai eksekutif dan yudikatif, yudikatif menjadi
bulan-bulanan eksekutif dan legislatif karena intervensi politik berkenaan
dengan masalah hukum yang menjerat kadernya, Parpol menjadi penentu segala
kebijakan dan keputusan politik di senayan maupun istana, LSM kehabisan
strategi sebagai derbong gerakan ekstra parlemen, Ormas menjadi penyambung
lidah kepentingan Partai dan elite, Mahasiswa menjadi apatisdan lain
sebagainya.
Dengan
tekstur dan kontur politik diemikian, maka unjung-ujungnya rakyat jugalah yang
menjadi korbannya. Pertikaian dan konflik horiontal semakin menggila,
kemiskinan semakin termateraikan, pengangguran semakin melimpah, busung lapar
semakin menumpuk, agama dan budaya semakin menjadi tidak punya taring,
mahasiswa semakin apatis dan hedonis, LSM dan Ormas semakin kehilangan
kepercayaan dan lain sebagainya. Itulah sekelumit implikasi yang ditimbulkan
dari dikultuskannya politik transaksional di republik tercinta ini. Ironisnya
politik transaksional tersebut sudah menjadi tren dan budaya yang mendarah
daging ditengah masyarakat. Sampai-sampai anak SMA dan mahasiswa pun
ikut-ikutan melanggengkan politik transaksional dalam menjalankan roda
organisasi sekolah dan lembaga kemahasiswaan sebagai akibat dari budaya dan
penerapan kurikulum pendidikan yang memang merupakan hasil dari politik
transaksional pula. Artinya spiral lingkaran setan yang menggerogoti politik
kita dewasa ini sudah begitu menggurita, sehingga hampir dikatakan mustahil
untuk diperbaiki.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar