Banyak kalangan yang menilai bahwa keputusan rapat
paripurna DPR RI beberapa waktu lalu tidak bisa dilepaskan dari yang namanya
politik transaksional. Sebab, mulai dari proses rapat hingga keputusan, wacana
dan laku para politikus senantiasa mendasarkan pada kalkulasi posisi tawar
citra dan popularitas dimata rakyat. Seolah-oleh berdebat demi rakyat banyak, padahal
substansi keputusan mereka tetap saja menaikkan BBM, meski proposisinya
“ditunda” untuk sementara waktu.
Sebagai
masyarakat Indonesia, tentunya kita memiliki harapan agar teori dan praktis
politik transaksional yang selama ini dilakonkan oleh para aktor politik kita
entah di senayan maupun di istana bisa segera ditinggalkan. Mengingat implikasi
yang ditimbulkan dari politik semacam itu sangatlah luar biasa dekonstruktifnya
terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Implikasinya
yang tidak tanggung-tanggung menjarah semua bangunan hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegera kita, mulai dari yang bersifat kultural hingga yang
bersifat struktural dan fungsional.
Dari
domain kultural misalnya, agama dan budaya sering kali dijadikan azhimat
politik para elite dalam rangka memperoleh kekuasaan. Ironisnya agama dan
budaya kadang kala dijadikan komuditas politik yang siap dikomersialisasi.
Persaksian kita terhadap maraknya para politikus mengumbar ayat suci ketika menjalankan
kampanye hingga mengeluarkan sebuah regulasi yang mendiskreditkan nilai
kedaulatan rakyat, merupakan sebuah marketing politik yang membajak agama dan
buaaya itu sendiri. Parahnya agama kadang kala dijadikan batu loncatan untuk
melakukan manufer politik kekuasaan dengan pendekatan kekerasan dan konflik.
Maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat dengan dalih
agama dan budaya tidak luput dari politik transaksional yang dilakonkan oleh
para elite kita. Hal ini terdeteksi ketika setiap momentum, modus dan motif
konflik dan kekerasan tersebut selalu terjadi ketika suhu politik nasional
sedang memanas.
Dari
sudut struktural, birokrasi pemerintahan mulai dari tingkat pusat hingga daerah
sama-sama mengidap sindrom penyakit kawanan pejabat publik (KKN). Hal ini
terjadi akibat, politik yang diadopsi dan diterapkan mulai dari rekruitmen
birokrat hingga pelaksanaan program kerja dalam rangka pemberdayaan masyarakat
dilakukan sarat dengan transaksional. Akibatnya program kerja tidak satupun
yang menyentuh substansi kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sebab mulai dari
BLT, JAMKESMAS, hingga proyek pembangunan infrastruktur pedesaan pun turut
dikorupsi. Belum lagi ketika kita berbicara tentang mafia yang menggurita
dihampir semua lembaga negara, mulai dari mafia hukum, anggaran, regulasi,
pendidikan, hingga seksual.
Sementara
dalam domain fungsional, hampir semua elemen negara, mulai dari suprastruktur
politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hingga infrastruktur politik
(Partai Politik, LSM, Ormas dan lain-lain) sama-sama mengalami krisis peran dan
fungsi. Eksekutif menjarah wewenang legislatif dan yudikatif, legislatif
memposisikan diri sebagai eksekutif dan yudikatif, yudikatif menjadi
bulan-bulanan eksekutif dan legislatif karena intervensi politik berkenaan
dengan masalah hukum yang menjerat kadernya, Parpol menjadi penentu segala
kebijakan dan keputusan politik di senayan maupun istana, LSM kehabisan
strategi sebagai derbong gerakan ekstra parlemen, Ormas menjadi penyambung
lidah kepentingan Partai dan elite, Mahasiswa menjadi apatisdan lain
sebagainya.
Dengan
tekstur dan kontur politik demikian, maka unjung-ujungnya rakyat jugalah yang
menjadi korbannya. Pertikaian dan konflik horiontal semakin menggila,
kemiskinan semakin termateraikan, pengangguran semakin melimpah, busung lapar
semakin menumpuk, agama dan budaya semakin menjadi tidak punya taring, mahasiswa
semakin apatis dan hedonis, LSM dan Ormas semakin kehilangan kepercayaan dan
lain sebagainya. Itulah sekelumit implikasi yang ditimbulkan dari
dikultuskannya politik transaksional di republik tercinta ini. Ironisnya
politik transaksional tersebut sudah menjadi tren dan budaya yang mendarah
daging ditengah masyarakat. Sampai-sampai anak SMA dan mahasiswa pun
ikut-ikutan melanggengkan politik transaksional dalam menjalankan roda
organisasi sekolah dan lembaga kemahasiswaan
sebagai akibat dari budaya dan penerapan kurikulum pendidikan yang memang
merupakan hasil dari politik transaksional pula. Artinya spiral lingkaran setan
yang menggerogoti politik kita dewasa ini sudah begitu menggurita, sehingga
hampir dikatakan mustahil untuk diperbaiki.
Selamat
Tinggal
Ada
empat hal yang mesti dilakukan setiap kali kita mendengar istilah “selamat
tinggal”. Pertama, kita wajib memastikan bahwa yang tinggalkan benar-benar
layak untuk ditinggalkan. Artinya hal yang ditinggalkan tersebut betul-betul
lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Jika memang kita punya niatan
dan harapan untuk meninggalkan politik transaksional, maka sebagai warga
masyarakat, kita semua harus menyadari secara kolektif (bukan individual) bahwa
politik transaksional memang telah layak di tinggalkan karena lebih banyak
mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu perubahan paradigma
mengenainya mutlak dilakukan. Hal ini harus dimulai dari lembaga pendidikan,
budaya dan agama. Sebab spirit perjuangan pembebasan terhadap politik transaksional
yang paling efektif adalah melalui tiga jalur ini, karena sumber nilai (etika,
moral dan spritual) banyak didisputasikan dalam tiga jalur ini.
Kedua,
kita harus memastikan bahwa kita bukan bagian dari yang ditinggalkan. Setelah
kesadaran kolektif terbangun, maka kita harus memastikan sekali lagi bahwa kita
bukan bagian dari produk politik transaksional yang selama ini dikultuskan
tersebut. Artinya semua kroni-kroni yang terkait dan terlibat dalam politik
transaksional tersebut harus diamputasi dari proyek “selamat tinggal” tersebut,
mulai dari paham pemikirannya, spiritnya, simbolnya hingga
individu-individunya.
Ketiga,
kita membutuhkan pemimipin yang tidak terkooptasi oleh politik transaksional
tersebut. Kita membutuhkan simpul pengorganisir kesadaran kolektif akan penting
dan perlunya pembumihangusan politik transaksional. Sebab sudah menjadi
keniscayaan sejarah perubahan, bahwa pemimpin selalu mutlak dibutuhkan, karena
dialah simbol pemersatu, simbol komando, simbol teladan, pembimbing, dan pemerhati
perubahan. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang memang mulai dari
pikiran, mental, perilaku hingga spritualnya memang tidak pernah dan dijamin
bersih dari politik transaksional.
Keempat,
kita wajib memohon bimbingan dan petunjuk dari Tuhan, agar proyek “selamat
tinggal transaksional” tersebut di tahun-tahun mendatang senantiasa dalam ridha
dan rahmatnya. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah pula, bahwa ketika ada
sekelompok manusia yang menginginkan perubahan, maka pasti ada gerakan
reaksioner dari kelompok yang tidak menginginkan perubahan tersebut. Mengingat
hari-hari kedepan di tahun mendatang diprediksi sebagai tahun yang penuh power
struggle, penuh kekerasan akibat semakin ketatnya persaingan politik yang
sekali lagi akan bersentuhan dengan politik transaksional. Sebab wahana politik
yang cenderung liberal meniscayakan semakin tumbuh suburnya politik
transaksional yang bersifat material.
Sebagai
warga masyarakat yang punya tekad, berusaha setengah matipun adalah tekad kita
bersama, tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa ikhtiar tersebut belum
tentu meraih harapan dan cita-cita sebagaimana yang diinginkan. Apalagi kalau
ternyata cara-cara yang kita lakukan justru menjauhakn kita dari tujuan
tersebut. Hanya dengan restu, petunjuk, dan pertolongan Tuhan setelah
berikhtiar yang mampu menyelamatkan kita dari berbagai efek samping negatif
ketatnya pertarungan politik melawan para mafia di dalam sebuah republik yang
sedikit lagi menjadi negeri entah berantah yang dikuasai oleh mafia.
Harapan
kita sebagai warga masyarakat yang selama ini menjadi korban politik mafia seharusnya
termateraikan oleh kematangan yang ditandai dengan kesadaran meninggalkan pola
hidup konsumerisme dari politik transaksional ke pola hidup yang jujur, adil
dan tenggang rasa, mulai dari level pola hidup individu, keluarga, suku, agama,
kelompok profesi, pergaulan hingga terminal. Sebab usaha dan upaya yang besar
tdak akan berhasil jika tidak dimulai dari yang kecil.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas
Muhammadiyah Jakartas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar