Laman

Kamis, 15 November 2012

Selamat Tinggal Politik Transaksional. Mungkinkah???

Banyak kalangan yang menilai bahwa keputusan rapat paripurna DPR RI beberapa waktu lalu tidak bisa dilepaskan dari yang namanya politik transaksional. Sebab, mulai dari proses rapat hingga keputusan, wacana dan laku para politikus senantiasa mendasarkan pada kalkulasi posisi tawar citra dan popularitas dimata rakyat. Seolah-oleh berdebat demi rakyat banyak, padahal substansi keputusan mereka tetap saja menaikkan BBM, meski proposisinya “ditunda” untuk sementara waktu.
Sebagai masyarakat Indonesia, tentunya kita memiliki harapan agar teori dan praktis politik transaksional yang selama ini dilakonkan oleh para aktor politik kita entah di senayan maupun di istana bisa segera ditinggalkan. Mengingat implikasi yang ditimbulkan dari politik semacam itu sangatlah luar biasa dekonstruktifnya terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Implikasinya yang tidak tanggung-tanggung menjarah semua bangunan hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegera kita, mulai dari yang bersifat kultural hingga yang bersifat struktural dan fungsional.
Dari domain kultural misalnya, agama dan budaya sering kali dijadikan azhimat politik para elite dalam rangka memperoleh kekuasaan. Ironisnya agama dan budaya kadang kala dijadikan komuditas politik yang siap dikomersialisasi. Persaksian kita terhadap maraknya para politikus mengumbar ayat suci ketika menjalankan kampanye hingga mengeluarkan sebuah regulasi yang mendiskreditkan nilai kedaulatan rakyat, merupakan sebuah marketing politik yang membajak agama dan buaaya itu sendiri. Parahnya agama kadang kala dijadikan batu loncatan untuk melakukan manufer politik kekuasaan dengan pendekatan kekerasan dan konflik. Maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat dengan dalih agama dan budaya tidak luput dari politik transaksional yang dilakonkan oleh para elite kita. Hal ini terdeteksi ketika setiap momentum, modus dan motif konflik dan kekerasan tersebut selalu terjadi ketika suhu politik nasional sedang memanas.
Dari sudut struktural, birokrasi pemerintahan mulai dari tingkat pusat hingga daerah sama-sama mengidap sindrom penyakit kawanan pejabat publik (KKN). Hal ini terjadi akibat, politik yang diadopsi dan diterapkan mulai dari rekruitmen birokrat hingga pelaksanaan program kerja dalam rangka pemberdayaan masyarakat dilakukan sarat dengan transaksional. Akibatnya program kerja tidak satupun yang menyentuh substansi kesejahteraan dan keadilan rakyat. Sebab mulai dari BLT, JAMKESMAS, hingga proyek pembangunan infrastruktur pedesaan pun turut dikorupsi. Belum lagi ketika kita berbicara tentang mafia yang menggurita dihampir semua lembaga negara, mulai dari mafia hukum, anggaran, regulasi, pendidikan, hingga seksual.
Sementara dalam domain fungsional, hampir semua elemen negara, mulai dari suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hingga infrastruktur politik (Partai Politik, LSM, Ormas dan lain-lain) sama-sama mengalami krisis peran dan fungsi. Eksekutif menjarah wewenang legislatif dan yudikatif, legislatif memposisikan diri sebagai eksekutif dan yudikatif, yudikatif menjadi bulan-bulanan eksekutif dan legislatif karena intervensi politik berkenaan dengan masalah hukum yang menjerat kadernya, Parpol menjadi penentu segala kebijakan dan keputusan politik di senayan maupun istana, LSM kehabisan strategi sebagai derbong gerakan ekstra parlemen, Ormas menjadi penyambung lidah kepentingan Partai dan elite, Mahasiswa menjadi apatisdan lain sebagainya.
Dengan tekstur dan kontur politik demikian, maka unjung-ujungnya rakyat jugalah yang menjadi korbannya. Pertikaian dan konflik horiontal semakin menggila, kemiskinan semakin termateraikan, pengangguran semakin melimpah, busung lapar semakin menumpuk, agama dan budaya semakin menjadi tidak punya taring, mahasiswa semakin apatis dan hedonis, LSM dan Ormas semakin kehilangan kepercayaan dan lain sebagainya. Itulah sekelumit implikasi yang ditimbulkan dari dikultuskannya politik transaksional di republik tercinta ini. Ironisnya politik transaksional tersebut sudah menjadi tren dan budaya yang mendarah daging ditengah masyarakat. Sampai-sampai anak SMA dan mahasiswa pun ikut-ikutan melanggengkan politik transaksional dalam menjalankan roda organisasi sekolah  dan lembaga kemahasiswaan sebagai akibat dari budaya dan penerapan kurikulum pendidikan yang memang merupakan hasil dari politik transaksional pula. Artinya spiral lingkaran setan yang menggerogoti politik kita dewasa ini sudah begitu menggurita, sehingga hampir dikatakan mustahil untuk diperbaiki.
Selamat Tinggal
Ada empat hal yang mesti dilakukan setiap kali kita mendengar istilah “selamat tinggal”. Pertama, kita wajib memastikan bahwa yang tinggalkan benar-benar layak untuk ditinggalkan. Artinya hal yang ditinggalkan tersebut betul-betul lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Jika memang kita punya niatan dan harapan untuk meninggalkan politik transaksional, maka sebagai warga masyarakat, kita semua harus menyadari secara kolektif (bukan individual) bahwa politik transaksional memang telah layak di tinggalkan karena lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh karena itu perubahan paradigma mengenainya mutlak dilakukan. Hal ini harus dimulai dari lembaga pendidikan, budaya dan agama. Sebab spirit perjuangan pembebasan terhadap politik transaksional yang paling efektif adalah melalui tiga jalur ini, karena sumber nilai (etika, moral dan spritual) banyak didisputasikan dalam tiga jalur ini.
Kedua, kita harus memastikan bahwa kita bukan bagian dari yang ditinggalkan. Setelah kesadaran kolektif terbangun, maka kita harus memastikan sekali lagi bahwa kita bukan bagian dari produk politik transaksional yang selama ini dikultuskan tersebut. Artinya semua kroni-kroni yang terkait dan terlibat dalam politik transaksional tersebut harus diamputasi dari proyek “selamat tinggal” tersebut, mulai dari paham pemikirannya, spiritnya, simbolnya hingga individu-individunya.
Ketiga, kita membutuhkan pemimipin yang tidak terkooptasi oleh politik transaksional tersebut. Kita membutuhkan simpul pengorganisir kesadaran kolektif akan penting dan perlunya pembumihangusan politik transaksional. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah perubahan, bahwa pemimpin selalu mutlak dibutuhkan, karena dialah simbol pemersatu, simbol komando, simbol teladan, pembimbing, dan pemerhati perubahan. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang memang mulai dari pikiran, mental, perilaku hingga spritualnya memang tidak pernah dan dijamin bersih dari politik transaksional. 
Keempat, kita wajib memohon bimbingan dan petunjuk dari Tuhan, agar proyek “selamat tinggal transaksional” tersebut di tahun-tahun mendatang senantiasa dalam ridha dan rahmatnya. Sebab sudah menjadi keniscayaan sejarah pula, bahwa ketika ada sekelompok manusia yang menginginkan perubahan, maka pasti ada gerakan reaksioner dari kelompok yang tidak menginginkan perubahan tersebut. Mengingat hari-hari kedepan di tahun mendatang diprediksi sebagai tahun yang penuh power struggle, penuh kekerasan akibat semakin ketatnya persaingan politik yang sekali lagi akan bersentuhan dengan politik transaksional. Sebab wahana politik yang cenderung liberal meniscayakan semakin tumbuh suburnya politik transaksional yang bersifat material.
Sebagai warga masyarakat yang punya tekad, berusaha setengah matipun adalah tekad kita bersama, tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa ikhtiar tersebut belum tentu meraih harapan dan cita-cita sebagaimana yang diinginkan. Apalagi kalau ternyata cara-cara yang kita lakukan justru menjauhakn kita dari tujuan tersebut. Hanya dengan restu, petunjuk, dan pertolongan Tuhan setelah berikhtiar yang mampu menyelamatkan kita dari berbagai efek samping negatif ketatnya pertarungan politik melawan para mafia di dalam sebuah republik yang sedikit lagi menjadi negeri entah berantah yang dikuasai oleh mafia.
Harapan kita sebagai warga masyarakat yang selama ini menjadi korban politik mafia seharusnya termateraikan oleh kematangan yang ditandai dengan kesadaran meninggalkan pola hidup konsumerisme dari politik transaksional ke pola hidup yang jujur, adil dan tenggang rasa, mulai dari level pola hidup individu, keluarga, suku, agama, kelompok profesi, pergaulan hingga terminal. Sebab usaha dan upaya yang besar tdak akan berhasil jika tidak dimulai dari yang kecil.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakartas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar