Hadir
dan lahirnya politisi (bukan politikus) yang bermartabat mungkin menjadi idaman
setiap rakyat. Sebab rakyat memiliki keyakinan bahwa setiap aspirasinya
kemungkinan besar akan mendapatkan perhatian dan dukungan yang berarti melalui
kebijakan politik mereka.
Rakyat
yang secara alamiah memahami politik melalui proses pemilihan umum, akan sadar
dan bertanggung jawab untuk memberikan kesempatan, mengawasi dan menilai setiap
kegiatan politik dari para politisi baik yang mereka dukung atau tidak.
Seorang
politisi yang bermartabat adalah seorang yang secara konsisten akan komitmennya
membawa aspirasi masyarakat dalam setiap kebijakan politiknya. Politisi yang
seperti ini adalah mereka yang berpolitik dengan mengedepankan pendekatan proses
politik, bukan hasil politik. Seorang yang memahami politik dengan pendekatan
etika dan moral sebagai tonggak visi dan misinya sebagai warga bangsa dan
negara.
Politik
mereka pahami sebagai prinsip dan cara yang mewajibkan setiap warga negara
untuk menggapai jabatan publik dan institusi sosial politik sebagai perangkat
untuk mengupayakan hidup dan kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera bukan
untuk satu orang satau kelompok tertentu, melainkan untuk semua warga negara.
Nurani Politisi vs Politisi Yang Berhati Nurani
Salah
satu faktor utama yang menjadi masalah terbesar yang di hadapi bangsa ini pasca
reformasi adalah hilangnya hati nurani para politisi.
Kebangkrutan
etika politik para politikus kita dewasa ini merupakan implikasi logis dari
tidak diberdayakannya hati nurani dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Sehingga kebangkrutan tersebut turut andil dalam memerosotkan wacana dan laku
politik mereka melulu diranah kakulasi material dan prestise.
Absennya
hati nurani dalam politik tersebut ditandai dengan semakin mengguritanya
penyakit kawanan para politisi (KKN) dihampir semua sektor kehidupan berbangsa
mulai darri domain politik, sosial, hukum, pendidikan hingga agama. Parahnya,
patologi politik tersebut menghinggapi hampir semua lembaga negara mulai dari
suprastruktur politik seperti lembaga kepresidenan dan kementerian (eksekutif),
DPR (legislatif) dan lembaga penegak hukum (yudikatif), hingga lembaga
infrastruktur politik semisal partai politik. Akhirnya tatanan politik dan
pemerintahan mengalami kemacetan parah, ibarat kemacetan transfortasi di
Jakarta. Akibatnya sebagian besar waktu dan energi politik para aktor politik
terkuras dalam percaturan politik kekuasaan yang cenderung ugal-ugalan atau
tidak memperhatikan aturan main yang populis dan humanis sebagaimana yang
dikhittahkan oleh pancasila dan UUD.
Kondisi
demikian kemudian berlanjut dengan politik saling sandera kekuasaan. Eksekutif
menyandera yudikatif, legislatif menyedera eksekutif, yudikatif menyandera
legislatif dan partai politik menyandera ketiganya. Akibatnya tatanan
pemerintahan, masyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengedepankan dan
mengusung kekuasaan sebagai amanah untuk mengelola sumber daya (manusia dan
alam) secara adil, arif dan bijaksana dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia, prinsip persamaan, persatuan, dan kesejahteraan rakyat menjadi
terlupakan .
Di
dalam panggung teori dan praktis politik demikian, yang dikultuskan kemudian
adalah uang dan jabatan. Parahnya uang dan jabatan menjadi tolak ukur kemuliaan
manusianya (politisi), bukan manusianya yang menjadi tolak ukur uang dan
jabatan tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah pendikotomian
(pemisahan) antara etika dan politik. Akibatnya penindasan, pemaksaan,
menghalalkan segala cara, kekerasan, KKN, pembantaian, penipuan dan
pengkhianatan terhadap konstitusi menjadi hal yang berada dalam oase kewajaran.
Ironisnya baik dan buruk, halal dan haram, serta layak dan tidak layaknya
wacana dan perilaku politik ditentukan oleh legitimasi di atas.
Politik Yang Beretika
Jika
dalam ilmu agama, etika dideskripsikan untuk menerangkan antara kebaikan dan
kejahatan, maka dalam perbendaharaan ilmu politik, menguraikan etika politik berarti
menjelaskan dan mengaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya.
Mengingat
interpretasi kebaikan dan kejahatan masing-masing individu berbeda-beda, maka pelurusan
pandangan seputaran standar dan tolak ukur kebaikan itu sendiri sangat
diperlukan. Pelurusan pendekatan tersebut berkaitan dengan, Apakah standar dan
tolak ukur tersebut bersumber dari agama, budaya, ataukah nilai universal?
Dalam
disputasi ilmu politik, standar dan tolak ukur kebaikan adalah bagaimana
politik diarahkan. Artinya, Apakah politik diarahkan untuk memajukan
kepentingan dan kebaikan umum ataukah untuk memajukan kepentingan pribadi dan
golongan tertentu. Dengan demikian, jika politik sudah diarahkan pada kepentingan
pribadi dan golongan tertentu, maka etika politik tersebut dapat dinilai buruk.
Selain
itu, politik yang beretika adalah politik yang berjalan dengan penghormatan
terhadap ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat dasar
yang perlu dijadikan acuan bersama dalam mengurai makna etika dan moral politik
bangsa sebagaimana yang tertuang dalam dasar negara kita Pancasila.
Ketidakjelasan
pemahaman dan keyakinana mengenai konsep prasyarat di atas itulah yang kemudian
melahirkan berbagai perilaku para aktor politik yang menyimpang dan akhirnya mengalami
kesemrawutan. Keadaban perilaku politik yang hancur inilah yang seringkali
merusak wajah politik, ekonomi, hukum, budaya, pendidikan, bahkan agama. Hancur
leburnya segi dan sudut prasyarat di atas itu pula yang membuat wajah masa depan
bangsa dan negara ini menjadi semakin tidak jelas dan tidak pasti.
Pendiskreditan
Pancasila dan UUD sebagai basis etika politik kebangsaan dan
kenegaraan,merupakan salah satu bentuk perselingkuhan terbesar para aktor
politik terhadap filosofi bernegara. Parahnya filosofi negara tersebut didiskreditkan
oleh uang dan jabatan yang maha kuasa. Akibatnya etika politik diukur dengan
standar dan tolak ukur uang dan jabatan. Akhirnya uang dan jabatan menjadi
pembunuh konstitusi, sistem politik serta sistem pemerintahan yang paling
mematikan yang pernah ada. Parahnya uang dan jabatan menjadi penentu
segala-galanya dalam ruang publik.
Hal
ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya pikiran, mental dan srpitual
dalam kehidupan manusia Indonesia yang katanyaterkenal religius. Bangunan
spritual tidak lagi menjadi sumber inspirasi pikiran, mental dan tindakan
manusianya dalam menjalankan hidup dan kehidupannya entah sebagai individu atau
sebagai masyarakat. Bangunan spirtual tersebut akhirnya hanya sekedar simbol
lahiriah yang menjelma dalam ritus dan upacara simbolis. Akibatnya spritual tidak
terkait lagi dengan tata kehidupan. Akibatnya spirit fitrawi kemanusiaan
tersebut tidak lagi bahkan hilang dalam jiwa kehidupan publik. Dengan demikian,
maka sila pertama, kedua dan kelima Pancasila berkaitan dengan ketuhanan,
kemanusiaan, dan keadilan menjadi proposisi dongeng yang sarat dengan
simbolisme utofia. Artinya Pancasila telah lama dikubur hidup-hidup di atas
bumi Indonesia yang sudah edan dan murtad tersebut.
Di
era yang katanya demokrasi ini, khususnya pasca reformasi, kemunduran etika
politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi
bertanya-tanya, ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para
politisi produk reformasi ini?.
Mengingat
praktik keseharian para aktor politik kita seringkali menginterpretasikan
politik sebagai kekuasaan yang serba bersifat elitis ketimbang populis, maka di
samping menata ulang aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut
praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika yang memaksa, dalam artian tertuang
dalam aturan main politik mulai dari aturan pemilu, sistem kepartaian hingga
format partai politik itu sendiri. Dengan harapan , aturan main tersebut bisa digunakan
untuk membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang
diperlukan dan mana yang dijauhi dalam berpolitik.
Hanya
dengan dasar dan upaya seperti inilah (meski terkesan berorientasi jang pendek)
nilai etis politik bisa memaksulkan nilai yang mengarah pada kompetisi yang
mengabaikan moral. Semisal, harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang, dan
keadilan dan kebenaran diukur dengan standar uang dan jabatan tertentu.
Disisi
lain, guna menghindari politik yang
sarat dengan etika bebas nilai, maka salah satu solusi yang harus
dijadikan atensi kita bersama adalah pemberdayaan masyarakat.
Harus
ada transformasi besar-besaran tentang aktivitas politik masyarakat yang hanya
sekedar berkaitan dengan keterlibatan dalam pemberian voting dalam pemilu,
kearah pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan politik. Harapannya
adalah supaya tercipta suatu masyarakat yang kritis dalam menyikapi berbagai
fenomena-fenomena politik yang ada. Pendidikan politik yang masif diperlukan
guna memperbaiki kesadaran politik rakyat agar mampu memahami makna politik
yang sebenarnya. Dengan demikian, rakyat memiliki kesempatan untuk berhadapan
dengan pemerintah manakala terjadi penyimpangan kekuasaan.
Dalam
pembentukan kebijakan publik misalnya, rakyat akan senantiasa mengawasi,
mengontrol dan mengeksekusi setiap kebijakan politik yang merupakan dominasi
dari sekelompok elit politik yang berkuasa, semisal persoalan yang terkait
dengan pembebasan tanah dan penggusuran.
Selain
itu, kesadaran politik tersebut juga akan mampu menciptakan insting politik
untuk melakukan penyeleksiaan terhadap elite-elite yang akan berlaga muali dari
pentas partai politik, pemilu hingga panggung parlemen. Pada titik ini,
penilaian tentang kualifikasi para politisi yang layak dan tidak layang
bertarung dalam percaturan politik akan bersifat selektif dan proporsional.
Dengan
demikian, maka budaya politik yang tadinya bersifat pragmatis-materialistis
bisa berubah menjadi holistik-humanis. Artinya patologi politik pejabat publik
(KKN) mulai dari dalam internal parpol, hingga ruang parleman bisa
dibumihanguskan.
Oleh: Subiran
Pemerhati Ilmu Politik FISIP Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar