Laman

Kamis, 15 November 2012

Berpolitik Yang Bermartabat. Mungkinkah???

Hadir dan lahirnya politisi (bukan politikus) yang bermartabat mungkin menjadi idaman setiap rakyat. Sebab rakyat memiliki keyakinan bahwa setiap aspirasinya kemungkinan besar akan mendapatkan perhatian dan dukungan yang berarti melalui kebijakan politik mereka.
Rakyat yang secara alamiah memahami politik melalui proses pemilihan umum, akan sadar dan bertanggung jawab untuk memberikan kesempatan, mengawasi dan menilai setiap kegiatan politik dari para politisi baik yang mereka dukung atau tidak.
Seorang politisi yang bermartabat adalah seorang yang secara konsisten akan komitmennya membawa aspirasi masyarakat dalam setiap kebijakan politiknya. Politisi yang seperti ini adalah mereka yang berpolitik dengan mengedepankan pendekatan proses politik, bukan hasil politik. Seorang yang memahami politik dengan pendekatan etika dan moral sebagai tonggak visi dan misinya sebagai warga bangsa dan negara.
Politik mereka pahami sebagai prinsip dan cara yang mewajibkan setiap warga negara untuk menggapai jabatan publik dan institusi sosial politik sebagai perangkat untuk mengupayakan hidup dan kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera bukan untuk satu orang satau kelompok tertentu, melainkan untuk semua warga negara.
Nurani Politisi vs Politisi Yang Berhati Nurani
Salah satu faktor utama yang menjadi masalah terbesar yang di hadapi bangsa ini pasca reformasi adalah hilangnya hati nurani para politisi.
Kebangkrutan etika politik para politikus kita dewasa ini merupakan implikasi logis dari tidak diberdayakannya hati nurani dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sehingga kebangkrutan tersebut turut andil dalam memerosotkan wacana dan laku politik mereka melulu diranah kakulasi material dan prestise.
Absennya hati nurani dalam politik tersebut ditandai dengan semakin mengguritanya penyakit kawanan para politisi (KKN) dihampir semua sektor kehidupan berbangsa mulai darri domain politik, sosial, hukum, pendidikan hingga agama. Parahnya, patologi politik tersebut menghinggapi hampir semua lembaga negara mulai dari suprastruktur politik seperti lembaga kepresidenan dan kementerian (eksekutif), DPR (legislatif) dan lembaga penegak hukum (yudikatif), hingga lembaga infrastruktur politik semisal partai politik. Akhirnya tatanan politik dan pemerintahan mengalami kemacetan parah, ibarat kemacetan transfortasi di Jakarta. Akibatnya sebagian besar waktu dan energi politik para aktor politik terkuras dalam percaturan politik kekuasaan yang cenderung ugal-ugalan atau tidak memperhatikan aturan main yang populis dan humanis sebagaimana yang dikhittahkan oleh pancasila dan UUD.
Kondisi demikian kemudian berlanjut dengan politik saling sandera kekuasaan. Eksekutif menyandera yudikatif, legislatif menyedera eksekutif, yudikatif menyandera legislatif dan partai politik menyandera ketiganya. Akibatnya tatanan pemerintahan, masyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengedepankan dan mengusung kekuasaan sebagai amanah untuk mengelola sumber daya (manusia dan alam) secara adil, arif dan bijaksana dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, prinsip persamaan, persatuan, dan kesejahteraan rakyat menjadi terlupakan .
Di dalam panggung teori dan praktis politik demikian, yang dikultuskan kemudian adalah uang dan jabatan. Parahnya uang dan jabatan menjadi tolak ukur kemuliaan manusianya (politisi), bukan manusianya yang menjadi tolak ukur uang dan jabatan tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah pendikotomian (pemisahan) antara etika dan politik. Akibatnya penindasan, pemaksaan, menghalalkan segala cara, kekerasan, KKN, pembantaian, penipuan dan pengkhianatan terhadap konstitusi menjadi hal yang berada dalam oase kewajaran. Ironisnya baik dan buruk, halal dan haram, serta layak dan tidak layaknya wacana dan perilaku politik ditentukan oleh legitimasi di atas.
Politik Yang Beretika
Jika dalam ilmu agama, etika dideskripsikan untuk menerangkan antara kebaikan dan kejahatan, maka dalam perbendaharaan ilmu politik, menguraikan etika politik berarti menjelaskan dan mengaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya.
Mengingat interpretasi kebaikan dan kejahatan masing-masing individu berbeda-beda, maka pelurusan pandangan seputaran standar dan tolak ukur kebaikan itu sendiri sangat diperlukan. Pelurusan pendekatan tersebut berkaitan dengan, Apakah standar dan tolak ukur tersebut bersumber dari agama, budaya, ataukah nilai universal?
Dalam disputasi ilmu politik, standar dan tolak ukur kebaikan adalah bagaimana politik diarahkan. Artinya, Apakah politik diarahkan untuk memajukan kepentingan dan kebaikan umum ataukah untuk memajukan kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Dengan demikian, jika politik sudah diarahkan pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, maka etika politik tersebut dapat dinilai buruk.
Selain itu, politik yang beretika adalah politik yang berjalan dengan penghormatan terhadap ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat dasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam mengurai makna etika dan moral politik bangsa sebagaimana yang tertuang dalam dasar negara kita Pancasila.
Ketidakjelasan pemahaman dan keyakinana mengenai konsep prasyarat di atas itulah yang kemudian melahirkan berbagai perilaku para aktor politik yang menyimpang dan akhirnya mengalami kesemrawutan. Keadaban perilaku politik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah politik, ekonomi, hukum, budaya, pendidikan, bahkan agama. Hancur leburnya segi dan sudut prasyarat di atas itu pula yang membuat wajah masa depan bangsa dan negara ini menjadi semakin tidak jelas dan tidak pasti.
Pendiskreditan Pancasila dan UUD sebagai basis etika politik kebangsaan dan kenegaraan,merupakan salah satu bentuk perselingkuhan terbesar para aktor politik terhadap filosofi bernegara. Parahnya filosofi negara tersebut didiskreditkan oleh uang dan jabatan yang maha kuasa. Akibatnya etika politik diukur dengan standar dan tolak ukur uang dan jabatan. Akhirnya uang dan jabatan menjadi pembunuh konstitusi, sistem politik serta sistem pemerintahan yang paling mematikan yang pernah ada. Parahnya uang dan jabatan menjadi penentu segala-galanya dalam ruang publik.
Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya pikiran, mental dan srpitual dalam kehidupan manusia Indonesia yang katanyaterkenal religius. Bangunan spritual tidak lagi menjadi sumber inspirasi pikiran, mental dan tindakan manusianya dalam menjalankan hidup dan kehidupannya entah sebagai individu atau sebagai masyarakat. Bangunan spirtual tersebut akhirnya hanya sekedar simbol lahiriah yang menjelma dalam ritus dan upacara simbolis. Akibatnya spritual tidak terkait lagi dengan tata kehidupan. Akibatnya spirit fitrawi kemanusiaan tersebut tidak lagi bahkan hilang dalam jiwa kehidupan publik. Dengan demikian, maka sila pertama, kedua dan kelima Pancasila berkaitan dengan ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan menjadi proposisi dongeng yang sarat dengan simbolisme utofia. Artinya Pancasila telah lama dikubur hidup-hidup di atas bumi Indonesia yang sudah edan dan murtad tersebut.
Di era yang katanya demokrasi ini, khususnya pasca reformasi, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi bertanya-tanya, ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini?.
Mengingat praktik keseharian para aktor politik kita seringkali menginterpretasikan politik sebagai kekuasaan yang serba bersifat elitis ketimbang populis, maka di samping menata ulang aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika yang memaksa, dalam artian tertuang dalam aturan main politik mulai dari aturan pemilu, sistem kepartaian hingga format partai politik itu sendiri. Dengan harapan , aturan main tersebut bisa digunakan untuk membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi dalam berpolitik.
Hanya dengan dasar dan upaya seperti inilah (meski terkesan berorientasi jang pendek) nilai etis politik bisa memaksulkan nilai yang mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Semisal, harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang, dan keadilan dan kebenaran diukur dengan standar uang dan jabatan tertentu.
Disisi lain, guna menghindari politik yang  sarat dengan etika bebas nilai, maka salah satu solusi yang harus dijadikan atensi kita bersama adalah pemberdayaan masyarakat.
Harus ada transformasi besar-besaran tentang aktivitas politik masyarakat yang hanya sekedar berkaitan dengan keterlibatan dalam pemberian voting dalam pemilu, kearah pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan politik. Harapannya adalah supaya tercipta suatu masyarakat yang kritis dalam menyikapi berbagai fenomena-fenomena politik yang ada. Pendidikan politik yang masif diperlukan guna memperbaiki kesadaran politik rakyat agar mampu memahami makna politik yang sebenarnya. Dengan demikian, rakyat memiliki kesempatan untuk berhadapan dengan pemerintah manakala terjadi penyimpangan kekuasaan.
Dalam pembentukan kebijakan publik misalnya, rakyat akan senantiasa mengawasi, mengontrol dan mengeksekusi setiap kebijakan politik yang merupakan dominasi dari sekelompok elit politik yang berkuasa, semisal persoalan yang terkait dengan pembebasan tanah dan penggusuran.
Selain itu, kesadaran politik tersebut juga akan mampu menciptakan insting politik untuk melakukan penyeleksiaan terhadap elite-elite yang akan berlaga muali dari pentas partai politik, pemilu hingga panggung parlemen. Pada titik ini, penilaian tentang kualifikasi para politisi yang layak dan tidak layang bertarung dalam percaturan politik akan bersifat selektif dan proporsional.
Dengan demikian, maka budaya politik yang tadinya bersifat pragmatis-materialistis bisa berubah menjadi holistik-humanis. Artinya patologi politik pejabat publik (KKN) mulai dari dalam internal parpol, hingga ruang parleman bisa dibumihanguskan.
Oleh: Subiran
Pemerhati Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar