Indonesia
adalah mungkin satu-satunya negara modern di dunia yang paling sulit dan rumit.
Mulai dari dasar negara, nama negara, bahasa negara, hingga masyarakat
negaranya begitu rumit jika dibandingkan dengan negara lain. Sehingga bagi
warga negara lain yang pernah berkunjung atau minimal pernah mendengar term
Indonesia melalui berbagai informasi pasti tahu (minimal sedikit) betapa
rumitnya negara ini.
Jika
kita ingin melukiskan dan menggambarkan kerumitan negara ini, maka hal yang paling
banter terdeteksi adalah relasi antara kelompok masyarakat dan wilayahnya. Masyarakat
yang terfragmentasi melalui puluhan bahkan ribuan klan kultural, sosial,
ekonomi, politik, agama (aliran), pendidikan, bahasa, karakter, dan lain-lain
yang dipersatukan dalam satu entitas politik bernama Indonesia merupakan sebuah
fenomena abad modern yang belum ada bandingan dan tandingannya dengan negara
modern manapun yang pernah ada, bahkan boleh jadi negara klasik sekalipun
(jaman kerajaan). Begitu pula halnya dengan wilayahnya. Bentangan pulau mulai
dari yang besar sampai yang kecil, mulai dari pulau Miangas di Utara sampai
pulau Rote di Selatan, mulai dari pulau Sumatra di barat hingga pulau Papua di
Timur, yang dipersatukan dalam satu tanah air bernama Indonesia juga merupakan
fenomena negara abad moderen yang tidak ada tandingan dan bandingannya oleh
negara manapun dimuka bumi ini. Sehingga, jangankan orang luar, kita sebagai
masyarakat Indonesia sendiri saja, kadang kala sanksi apakah relasi antar
masyarakat dan wilayah mampu terkoneksi dalam jaringan jargon senasib dan
sepenanggungan yang sama?. Apakah pemimpin yang mengkomandoi Indonesia
betul-betul mampu menjadi icon refresentasi segala kepentingan masyarakat dan
wilayahnya?
Jika
demikian halnya, maka rumah besar bangsa dan negara Indonesia, jika dikelola
dengan baik, maka tentu punya potensi menjadi patron peradaban diabad neo
hibrida post medernisme seperti sekarang ini bagi peradaban dunia, tetapi jika
dikelola dengan serampangan, maka tentu punya potensi domestikasi dan
disintegrasi. Kedua-duanya berakar dan menghendaki kebebasan dan kemerdekaan
yang sama dan seruang dan sebangun dengan tabiat manusia yang kadangkala
menjadikan kebebasan dan kemerdekaan untuk menjadi manusia yang paripurna
(baik) di satu sisi dan dengan dasar kebebasan dan kemerdekaan kadangkala menginginkan
menjadi manusia pariporno (buruk) disisi yang lain. Jika, manusia Indonesia
tidak menghendaki yang kedua dan menghendaki yang pertama, maka itu artinya, mau tidak mau manusia Indonesia
harus membangun sistem atau konstruksi politik dan pemerintahan yang meski
rumit, tetapi mampu mengakomodir seluruh bagian tubuh politik yang menyusun
tubuh keindonesiaan tersebut. Dan hal tersebut sebenarnya tidak sulit, tetapi
juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab kita punya dasar negara
(Pancasila) yang telah memberikan garis-garis besar bagaimana mengurai dan
mengaringi hidup dan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Hanya
saja, dasar negara yang sudah berusia 66 tahun tersebut (tertulis), ternyata
belum diterjemahkan dalam sistem politik dan pemerintahan sebagaimana yang
dikehendaki oleh dasar negara tersebut. Banyak mazhab pemikiran yang telah
mencoba mengurainya, termasuk para perumus dan pendirinya, tetapi belum juga
menemukan formulasi yang tepat sebagaimana keinginan dasar negara tersebut.
Banyak ilmuwan sosial dan politik yang telah mencoba menginterpretasikan
keinginan dan kemauan dasar negara tersebut, tetapi tidak satupun dari mereka
yang mampu memastikan interpretasinya sebagai representasi kemauan dan
keinginan dasar negara tersebut. Ironisnya, interpretasi yang menemui jalan
buntu tersebut, justru dialihkan untuk mengadopsi dan mengkopi-paste sistem
pemerintahan dan politik dunia luar yang pada dasarnya lahir, tumbuh dan berkembang
bukan dan tidak sesuai dengan pikiran, mental dan spritual manusia dan wilayah
Indonesia. Sistem politik dan pemerintahan yang kita adopsi pun tidak
tanggung-tanggung, mulai dari sistem yang dikultuskan oleh negara sayap kiri,
tengah, maupun kanan. Bahkan kita sudah memformulasinya melalui sistem gabungan
dan campuran dari ketiga sistem tersebut. Hal demikianlah yang kita lakukan
mulai dari jaman orde lama, orde baru, reformasi hingga post-reformasi sekarang
ini.
Sehingga
yang terjadi kemudian adalah dasar negara tersebut hanya dijadikan azhimat
politik untuk saling berebut kuasa, jabatan dan uang dalam rangka mencicipi
nikmatnya kemerdekaan. Itupun hanya dinikamati oleh segelintir manusia yang
mengatasnamakan dirinya sebagai manusia Indonesia. Akhirnya dasar negara
tersebut ibarat kitab suci yang diturunkan tanpa seorang pembimbing (nabi).
Bayangkan saja jika sekiranya dalam konteks beragama, kitab suci hadir tanpa
seorang pembimbing (nabi). Maka yang paling mungkin terjadi adalah semua
manusia bisa mengklaim dan menginterpretasikan kitab suci tersebut sesuai
dengan pemahaman, kemauan dan kepentingannya. Sehingga yang terjadi kemudian
adalah lahirnya relativisme kebenaran kitab suci. Yang pada akhirnya,
manusiapun akan dengan gampangnya mengkonklusikan bahwa yang menurunkan kitab
sucipun sudah barang tentu relative. Bukankah hal yang seperti ini sangat
berbahaya dalam proses membangun peradaban?
Jika
memang dasar negara tersebut betul-betul lahir dari bumi dan manusia Indonesia,
maka pasti ada manusia Indonesia yang mampu menginterpretasikan dasar negara
tersebut dalam bentuk keilmuan. Sehingga format sistem politik dan pemerintahan
yang seharusnya dijadikan rujukan dan patokan berbangsa dan bernegara bagi
Indonesia, betul-betul menemui titik kulminasinya. Tetapi pertanyaan
selanjutnya adalah siapa, kapan dan bagaimana menemukan manusia Indonesia yang
bisa menginterpretasikan dasar negara tersebut sebagaimana mestinya?.
Jawabannya tentu tidak semudah yang dibayangkan dan tidak semudah yang
dipikirkan? Tetapi hal yang paling banter kita deteksi adalah pasti manusia
Indonesia dan dalam format ruang dan waktu Indonesia. Sebab logika sederhananya
adalah hanya manusia Indonesia saja yang paling paham dan mengerti akan manusia
dan wilayah Indonesia itu sendiri. Tidak mungkin orang Afrika, China, Eropa,
terlebih lagi Amerika.
Suatu
bangsa dan negara benar-benar jelas, jika dan hanya jika dasar kebangsaan dan
kenegaraannya juga jelas. Begitu pula halnya dengan Indonesia. Negara dan
bangsanya benar-benar jelas, jika dan hanya jika dasar bangsa dan negaranya
juga benar-benar jelas. Jelas yang dimaksud bukan hanya berdiam dalam lokus
mitologi dan simbolisasi linguistik entah tertulis maupun tidak tertulis.
Tetapi jelas dalam artian mewujud dalam segala segi dan sudut hidup dan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia (sebuah pendahuluan buku)
Kita buka
halaman pendahuluan: Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang demokratis yang
dari segi wilayah, terdiri dari 9 pulau besar dan ratusan hingga puluhan ribu
pulau-pulau kecil. Dan dari segi manusianya (masyarakatnya) terdiri dari ribuan
hingga puluhan ribu, bahasa, karakter, budaya, dan lain-lain. Sehingga
pertanyaan selanjutnya yang lahir adalah apa itu negara Indonesia atau apa
artinya Indonesia?. Ternyata Indonesia tidak hanya rumit tetapi juga memiliki
sangat banyak sudut pandang. Indonesia adalah negara kepulauan mulai dari pulau
Mianggas hingga pulau Rote, Indonesia adalah negara hukum, Indonesia adalah
negara kesatuan mulai dari sabang sampai merauke, Indonesia adalah negara
budaya, mulai dari jawa hingga dayak, Indonesia adalah negara agraris,
Indonesia adalah negara maritim, dan masih banyak lagi. Tetapi apakah yang
dimaksud Indonesia sesederhana demikian?. Apakah yang dimaksud negara
sesederhana demikian?
Negara
bukanlah semata rakyat yang menjadi badan politik, meski tidak bisa dipungkiri
bahwa negara jelas terdiri dari para individu. Negara bukan hanya persoalan
orang-orang yang tinggal disuatu wilayah geografis, meski tidak bisa dinafikan
bahwa wilayah adalah salah satu unsur negara. Negara juga bukanlah semata
adanya pemerintahan, meski tidak bisa didiskreditkan bahwa negara membutuhkan
pemerintahan. Tetapi negara harus memiliki ikatan yang menyatukan antara
rakyat, wilayah dan pemerintahan secara bersama dalam asosiasi politik. Ikatan
yang dimaksud adalah keadilan. Dan atas dasar keadilan itulah manusia atau
rakyat dalam suatu negara bukanlah pion-pion di atas papan catur yang gampang
untuk ditata dan dikelola, tetapi suatu negara memiliki manusia yang memiliki
impian-impian, cita-cita dan hari depan manusia, yang tentunya tidak hanya
membutuhkan pemahaman kognitif tetapi juga political will untuk mengurusinya.
Indonesia punya cita‐cita (isi buku)
Bangsa
Indonesia yang sangat majemuk telah dipersatukan oleh penderitaan, keterhinaan
dan rasa senasib sepenanggungan dalam penjajahan selama ratusan tahun dan oleh
cita‐cita bersama kemasa
depan. Kita mencatat lahirnya sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah hari
kelahiran sebuah bangsa baru, bangsa Indonesia, kulminasi dari proses
pembentukan bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda, satu nusa, satu bangsa, dan satu
bahasa persatuan Indonesia, adalah rumusan singkat padat konsepsi modern bangsa
Indonesia. Bukan sebagai satu kesatuan politik berdasar kesamaan suku, kesamaan
agama, dan kesamaan premordial tertentu, tetapi akan kesadaran harkat
kemanusiaan untuk hidup bersama dalam kemajemukan dan mewujudkan cita‐cita bersama di masa
depan. Walau amat majemuk Indonesia telah dipersatukan oleh satu visi dan
harapan ke masa depan. Bhinneka Tunggal Ika.
Hal
tersebut secara jelas dan tegas termaktub dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 45,
yang berbunyi:
“Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang‐Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rayat Indonesia.”
Indonesia
memang rumit sehingga manusianya hanya akan memahaminya jika ia telah dipelajari dengan baik sebelumnya. Dipelajari
dalam artian tidak hanya dalam domain kognitif (inteleqtual), tetapi juga dalam
arti afektif dalam hal ini merasa memiliki, merasa menjadi diri sendiri, dan
merasa bahwa dialah jantung hidup dan kehidupan manusianya, dan dalam arti
spritual dalam hal ini menjadikannya sebagai ibadah kepada tuhan sebagai
khalifatun fil ard Indonesia. Jika tidak demikian, maka tidak ada jaminan bahwa
Indonesia tidak menjadi korban gulungan peradaban sebagaimana yang pernah
menimpa bangsa terdahulu.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar