Laman

Kamis, 15 November 2012

Rumitnya Indonesia

Indonesia adalah mungkin satu-satunya negara modern di dunia yang paling sulit dan rumit. Mulai dari dasar negara, nama negara, bahasa negara, hingga masyarakat negaranya begitu rumit jika dibandingkan dengan negara lain. Sehingga bagi warga negara lain yang pernah berkunjung atau minimal pernah mendengar term Indonesia melalui berbagai informasi pasti tahu (minimal sedikit) betapa rumitnya negara ini.
Jika kita ingin melukiskan dan menggambarkan kerumitan negara ini, maka hal yang paling banter terdeteksi adalah relasi antara kelompok masyarakat dan wilayahnya. Masyarakat yang terfragmentasi melalui puluhan bahkan ribuan klan kultural, sosial, ekonomi, politik, agama (aliran), pendidikan, bahasa, karakter, dan lain-lain yang dipersatukan dalam satu entitas politik bernama Indonesia merupakan sebuah fenomena abad modern yang belum ada bandingan dan tandingannya dengan negara modern manapun yang pernah ada, bahkan boleh jadi negara klasik sekalipun (jaman kerajaan). Begitu pula halnya dengan wilayahnya. Bentangan pulau mulai dari yang besar sampai yang kecil, mulai dari pulau Miangas di Utara sampai pulau Rote di Selatan, mulai dari pulau Sumatra di barat hingga pulau Papua di Timur, yang dipersatukan dalam satu tanah air bernama Indonesia juga merupakan fenomena negara abad moderen yang tidak ada tandingan dan bandingannya oleh negara manapun dimuka bumi ini. Sehingga, jangankan orang luar, kita sebagai masyarakat Indonesia sendiri saja, kadang kala sanksi apakah relasi antar masyarakat dan wilayah mampu terkoneksi dalam jaringan jargon senasib dan sepenanggungan yang sama?. Apakah pemimpin yang mengkomandoi Indonesia betul-betul mampu menjadi icon refresentasi segala kepentingan masyarakat dan wilayahnya?
Jika demikian halnya, maka rumah besar bangsa dan negara Indonesia, jika dikelola dengan baik, maka tentu punya potensi menjadi patron peradaban diabad neo hibrida post medernisme seperti sekarang ini bagi peradaban dunia, tetapi jika dikelola dengan serampangan, maka tentu punya potensi domestikasi dan disintegrasi. Kedua-duanya berakar dan menghendaki kebebasan dan kemerdekaan yang sama dan seruang dan sebangun dengan tabiat manusia yang kadangkala menjadikan kebebasan dan kemerdekaan untuk menjadi manusia yang paripurna (baik) di satu sisi dan dengan dasar kebebasan dan kemerdekaan kadangkala menginginkan menjadi manusia pariporno (buruk) disisi yang lain. Jika, manusia Indonesia tidak menghendaki yang kedua dan menghendaki yang pertama, maka itu  artinya, mau tidak mau manusia Indonesia harus membangun sistem atau konstruksi politik dan pemerintahan yang meski rumit, tetapi mampu mengakomodir seluruh bagian tubuh politik yang menyusun tubuh keindonesiaan tersebut. Dan hal tersebut sebenarnya tidak sulit, tetapi juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab kita punya dasar negara (Pancasila) yang telah memberikan garis-garis besar bagaimana mengurai dan mengaringi hidup dan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Hanya saja, dasar negara yang sudah berusia 66 tahun tersebut (tertulis), ternyata belum diterjemahkan dalam sistem politik dan pemerintahan sebagaimana yang dikehendaki oleh dasar negara tersebut. Banyak mazhab pemikiran yang telah mencoba mengurainya, termasuk para perumus dan pendirinya, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat sebagaimana keinginan dasar negara tersebut. Banyak ilmuwan sosial dan politik yang telah mencoba menginterpretasikan keinginan dan kemauan dasar negara tersebut, tetapi tidak satupun dari mereka yang mampu memastikan interpretasinya sebagai representasi kemauan dan keinginan dasar negara tersebut. Ironisnya, interpretasi yang menemui jalan buntu tersebut, justru dialihkan untuk mengadopsi dan mengkopi-paste sistem pemerintahan dan politik dunia luar yang pada dasarnya lahir, tumbuh dan berkembang bukan dan tidak sesuai dengan pikiran, mental dan spritual manusia dan wilayah Indonesia. Sistem politik dan pemerintahan yang kita adopsi pun tidak tanggung-tanggung, mulai dari sistem yang dikultuskan oleh negara sayap kiri, tengah, maupun kanan. Bahkan kita sudah memformulasinya melalui sistem gabungan dan campuran dari ketiga sistem tersebut. Hal demikianlah yang kita lakukan mulai dari jaman orde lama, orde baru, reformasi hingga post-reformasi sekarang ini.
Sehingga yang terjadi kemudian adalah dasar negara tersebut hanya dijadikan azhimat politik untuk saling berebut kuasa, jabatan dan uang dalam rangka mencicipi nikmatnya kemerdekaan. Itupun hanya dinikamati oleh segelintir manusia yang mengatasnamakan dirinya sebagai manusia Indonesia. Akhirnya dasar negara tersebut ibarat kitab suci yang diturunkan tanpa seorang pembimbing (nabi). Bayangkan saja jika sekiranya dalam konteks beragama, kitab suci hadir tanpa seorang pembimbing (nabi). Maka yang paling mungkin terjadi adalah semua manusia bisa mengklaim dan menginterpretasikan kitab suci tersebut sesuai dengan pemahaman, kemauan dan kepentingannya. Sehingga yang terjadi kemudian adalah lahirnya relativisme kebenaran kitab suci. Yang pada akhirnya, manusiapun akan dengan gampangnya mengkonklusikan bahwa yang menurunkan kitab sucipun sudah barang tentu relative. Bukankah hal yang seperti ini sangat berbahaya dalam proses membangun peradaban?
Jika memang dasar negara tersebut betul-betul lahir dari bumi dan manusia Indonesia, maka pasti ada manusia Indonesia yang mampu menginterpretasikan dasar negara tersebut dalam bentuk keilmuan. Sehingga format sistem politik dan pemerintahan yang seharusnya dijadikan rujukan dan patokan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia, betul-betul menemui titik kulminasinya. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah siapa, kapan dan bagaimana menemukan manusia Indonesia yang bisa menginterpretasikan dasar negara tersebut sebagaimana mestinya?. Jawabannya tentu tidak semudah yang dibayangkan dan tidak semudah yang dipikirkan? Tetapi hal yang paling banter kita deteksi adalah pasti manusia Indonesia dan dalam format ruang dan waktu Indonesia. Sebab logika sederhananya adalah hanya manusia Indonesia saja yang paling paham dan mengerti akan manusia dan wilayah Indonesia itu sendiri. Tidak mungkin orang Afrika, China, Eropa, terlebih lagi Amerika.
Suatu bangsa dan negara benar-benar jelas, jika dan hanya jika dasar kebangsaan dan kenegaraannya juga jelas. Begitu pula halnya dengan Indonesia. Negara dan bangsanya benar-benar jelas, jika dan hanya jika dasar bangsa dan negaranya juga benar-benar jelas. Jelas yang dimaksud bukan hanya berdiam dalam lokus mitologi dan simbolisasi linguistik entah tertulis maupun tidak tertulis. Tetapi jelas dalam artian mewujud dalam segala segi dan sudut hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia (sebuah pendahuluan buku)
Kita buka halaman pendahuluan: Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang demokratis yang dari segi wilayah, terdiri dari 9 pulau besar dan ratusan hingga puluhan ribu pulau-pulau kecil. Dan dari segi manusianya (masyarakatnya) terdiri dari ribuan hingga puluhan ribu, bahasa, karakter, budaya, dan lain-lain. Sehingga pertanyaan selanjutnya yang lahir adalah apa itu negara Indonesia atau apa artinya Indonesia?. Ternyata Indonesia tidak hanya rumit tetapi juga memiliki sangat banyak sudut pandang. Indonesia adalah negara kepulauan mulai dari pulau Mianggas hingga pulau Rote, Indonesia adalah negara hukum, Indonesia adalah negara kesatuan mulai dari sabang sampai merauke, Indonesia adalah negara budaya, mulai dari jawa hingga dayak, Indonesia adalah negara agraris, Indonesia adalah negara maritim, dan masih banyak lagi. Tetapi apakah yang dimaksud Indonesia sesederhana demikian?. Apakah yang dimaksud negara sesederhana demikian?
Negara bukanlah semata rakyat yang menjadi badan politik, meski tidak bisa dipungkiri bahwa negara jelas terdiri dari para individu. Negara bukan hanya persoalan orang-orang yang tinggal disuatu wilayah geografis, meski tidak bisa dinafikan bahwa wilayah adalah salah satu unsur negara. Negara juga bukanlah semata adanya pemerintahan, meski tidak bisa didiskreditkan bahwa negara membutuhkan pemerintahan. Tetapi negara harus memiliki ikatan yang menyatukan antara rakyat, wilayah dan pemerintahan secara bersama dalam asosiasi politik. Ikatan yang dimaksud adalah keadilan. Dan atas dasar keadilan itulah manusia atau rakyat dalam suatu negara bukanlah pion-pion di atas papan catur yang gampang untuk ditata dan dikelola, tetapi suatu negara memiliki manusia yang memiliki impian-impian, cita-cita dan hari depan manusia, yang tentunya tidak hanya membutuhkan pemahaman kognitif tetapi juga political will untuk mengurusinya.
Indonesia punya citacita (isi buku)
Bangsa Indonesia yang sangat majemuk telah dipersatukan oleh penderitaan, keterhinaan dan rasa senasib sepenanggungan dalam penjajahan selama ratusan tahun dan oleh citacita bersama kemasa depan. Kita mencatat lahirnya sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah hari kelahiran sebuah bangsa baru, bangsa Indonesia, kulminasi dari proses pembentukan bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda, satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan Indonesia, adalah rumusan singkat padat konsepsi modern bangsa Indonesia. Bukan sebagai satu kesatuan politik berdasar kesamaan suku, kesamaan agama, dan kesamaan premordial tertentu, tetapi akan kesadaran harkat kemanusiaan untuk hidup bersama dalam kemajemukan dan mewujudkan citacita bersama di masa depan. Walau amat majemuk Indonesia telah dipersatukan oleh satu visi dan harapan ke masa depan. Bhinneka Tunggal Ika.
Hal tersebut secara jelas dan tegas termaktub dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 45, yang berbunyi:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rayat Indonesia.”
Indonesia memang rumit sehingga manusianya hanya akan memahaminya jika ia telah  dipelajari dengan baik sebelumnya. Dipelajari dalam artian tidak hanya dalam domain kognitif (inteleqtual), tetapi juga dalam arti afektif dalam hal ini merasa memiliki, merasa menjadi diri sendiri, dan merasa bahwa dialah jantung hidup dan kehidupan manusianya, dan dalam arti spritual dalam hal ini menjadikannya sebagai ibadah kepada tuhan sebagai khalifatun fil ard Indonesia. Jika tidak demikian, maka tidak ada jaminan bahwa Indonesia tidak menjadi korban gulungan peradaban sebagaimana yang pernah menimpa bangsa terdahulu.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar