Laman

Jumat, 03 Juni 2011

Politik Mafia

Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkanberkaitan dengan sistem Eduard Bernsteinbahwa teori terkadang merupakan gambaran-gambaran yang diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha menggambarkan realitas perpolitikan sebagaimana mestinya dengan cara reformasi sosio-poltik di tengah kemandegan total era transisi demokrasi di Indonesia. Pikirkanlah sebuah teori Partai politik yang merupakan anak emas yang lahir dari rahim demokrasi di tengah kenyataan pemasungan kedaulatan rakyat.
Politik mafia merupakan term (istilah) yang dipakai oleh penulis untuk memaparkan cerminan realitas kiprah partai politik yang selama ini telah berselingkuh terhadap tujuan dan cita-cita kelahirannya.
Politik Mafia Dalam Teori
Teori politik mafia menggunakan konsep mafia untuk menggambarkan suatu kelompok elite Parpol, yang bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Teori ini menjelaskan model Parpol “mafia” sebagai kelanjutan dari model Parpol “oligarki”, Parpol “massa”, Parpol “kader”. Karakteristik Parpol menurut Teori mafia antara lain:Hilangnya peran ideologi, mengutamakan Koalisibukan Oposisi, Janji-Janji Tidak Direalisasikan, memperoleh Dana Ilegal.
Hilangnya Peran Ideologi sebagai Penentu Prilaku Politik Parpol.
Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye. Fenomena koalisi Parpol bukan berdasarkan kesamaan ideologis menunjukkan karakteristik fenomena politik mafia ini.
Lazimnya ideologi Parpol tercantum dalam AD/ART, platform, visi dan misi, juga kode etik Parpol bersangkutan, terjelma ke dalam kehidupan sehari-hari Parpol dan menjadi penuntun bagi perjuangan Parpol, termasuk dalam hubungan antar Parpol. Parpol sangat memerlukan ideologi agar mampu menjembatani persepsi masing-masing individu, sehingga memunculkan persepsi tunggal merupakan basis perjuangan. Melalui komunikasi ideologi, Parpol akan membantu masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan di antara banyak pilihan. Parpol harus mampu menanamkan ideologi ke dalam alam pikiran dan ingatan pemilih dan sekaligus mungkin mengurangi situasi ketidakpastian di dalam pikiran pemilih.
Dalam perspektif kelembagaan, Ideologi harus mewarnai struktur organisasi, mekanisme kerja, perilaku personil, manajemen keuangan, perangkat keras dan lunak Parpol, sistem informasi manajemen dan program kerja/rencana kegiatan Parpol. Ideologi juga harus mewarnai pola pikir dan perilaku politik personil dan kader dalam pengelolaan Parpol, terutama kelangan pengurus Parpol.
Dalam era politik mafia, kalangan pengurus dan politisi Parpol di pemerintahan, berperilaku lebih berorientasi pada “pertahanan kekuasaan (status quo)”, ketimbang “perubahan kehidupan lebih baik”. Ideologi tercantum di dalam dokumen tertulis AD/ART cenderung sekedar “aksesoris” administrasi kelembagaan.
Menghilangnya dan degradasi ideologi Parpol menggiring politik kepartaian sekarang dan ke depan lebih didasarkan pada “kebendaan dan uang”, bukan hal-hal seperti keyakinan atau sistem nilai dan norma perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan perbedaan berarti antara satu Parpol dengan Parpol lain. Pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik yang diperkuat oleh politik lebih mementingkan pencitraan “kaya retorika podium tetapi miskin implementasi” dan bukan rekam jejak sang tokoh. Besarnya biaya politik ini telah membuat “persaingan” antar Parpol hanya terjadi saat penyelenggaraan Pemilu. Seusai Pemilu, “persaingan” juga berakhir dan muncul koalisi pelangi melebihi ukuran merangkum hampir semua Parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi. Kelompok Parpol bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis, ditambah ketidakhadiran kekuatan oposisi. Politik dagang sapi yang dijadikan spirit persaingan antar Parpol seusai Pemilu telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam “persaingan” seperti adanya kontrol Parpol-parpol kalah terhadap perilaku politik kekuasaan Parpol-parpol pemenang dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada (check and balance).
BahwaParpol telah kehilangan ideologi dan lebih mengedepankan kepentingan pragmatisme, tidak konsisten dalam mempertahankan ideologi,sudah lama menjadi buah bibir para pakar, pengamat dan ilmuwan politik terlebih lagi pemberitaan media massa. Hilangnya peran ideologi Parpol juga diakui masyarakat. Hasil beberapa lembaga survei menunjukkan hal tersebut. Jangankan pengamat, pakar dan ilmuwan politik, tukang becakpun berpikiran seperti itu.
Mengutamakan Koalisi, Bukan Oposisi
Karakteristik kedua yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.
Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol yang mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PAN, PPP, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat .
Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.
Janji-Janji Tidak Direalisasikan
Karakteristik ketiga politik mafia yang melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Elite parpol terkesan hanya kaya retorika (janji-janji) podiumtetepi sangat miskin implementasi. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus pasca pemilu. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri, dan parpol masing-masing.
Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah jikakemudian cita-cita dan tujuan pendirian parpol justruhanya sebatas menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif, memenangi pemilu presiden, bahkan bergerombolan membentuk koalisi pelangi untuk mendapatkan jabatan Menteri. Setelah semua hal tersebut tercapai, maka setiap Parpol cenderungan merumuskan dan menjalankan tujuan yang sarat dengan kepentingan dirinya sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen yang diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi ibarat sesuatu yang hilang ditelan bumi dan terhisab ruang dan waktu.
Terjadi keterputusan bahkan persinggungan antara harapan, kehendak, kebutuhan dan kepentingan konstituen dan elite Parpol. Saat akan mengkalkulasi dan mengestimasi suara konstituen, Parpol berupaya dan terus bergumam tentang apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, suku, kelas sosial atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, setelah memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun berlomba lari maraton mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain melakukan ijab kabul politik untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol yang berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu presiden dan legislatif, parpol dan elite Parpol yang menang maupun kalah, melakukan STRATAK (strategi, tehnik dan taktik) politik barter untuk menentukan siapa yang akan menjadi menteri, dan Dirjen departemen ( disektor eksekutif),Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR (sektor legislatif).
Ketidakpercayaan masyarakat seantero Republik Indonesiaterhadap janji-janji Parpol sudah mencapai titik klimaksnya. Hasilnya, sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat inteleqtual dan masyarakat miskin (kota dan desa) tidak percaya terhadap Parpol sebagai penyalur aspirasi politik dan sosial mereka. Dan yang lebih mencengangkan lagi, bahwa masyarakat lebih memilih media massa, LSM, dan organisasi kemasyarakatan sebagai penyalur aspirasi. Jadilah negeri ini ibarat tidak bertuan.
Memperoleh Dana Ilegal
Karakteristik keempat yakni agar dapat mempertahankan kesinambungan eksistensi Parpol, para elite yang menduduki jabatan di dalam pemerintahan maupun di parlemen berusaha mendapatkan dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)yang diduga dilakukan dengan cara melegalisasi dan merekayasa melalui regulasi. Parpol dalam realitas obyektif tidak mampu menggalang dana untuk menghidupi Parpol secara mandiri dari iuran/sumbangan anggota maupun amal usaha . Parpol juga tidak memiliki badan hukum (korporasi/perusahaan) bergerak di dunia usaha yang dapat mendanai Parpol dari hasil usaha badan hukum dimaksud. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol. Apalagi ditambah oleh pola hidup elite yang mengadopsi budaya hidup kapitalis yang senantiasa bermewah-mewahan. Akibatnya, Parpol dan elite parpol yang diharapkan memberantas virus korupsi melalui fungsinya ( legislasi, pengawasan dan anggaran) justru menjadi sarang dan aktor mafia legislasi, anggaran maupun pengawasan. Sungguh sebuah malapetaka politik di era reformasi dan demokrasi !!!.
Meracik Kapasitas dan Integritas
Prospek partai politik kedepan terutama pada suksesi pemilihan umum 2014 diperkirakan akan mengalami kapasitas dan integritas yang semakin menurun dalam konteks perolehan suara pemilih (sebagian besar masyarakat terkena sindrom ilfil parpol dan elite parpol) jika tidak disusun dan diimplementasikan suatuStrategi peracikan jitu Kapasitas PARPOL berdasarkan penegakan konsistensi ideologi antara apa yang dijanjikan kepada konstituen dalam Pemilu dan perilaku politik kader partai yang telah duduk di dalam jabatan pemerintahan (legislatif dan eksekutif).
Sebuah pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah bagaimana meracik kapasitas dan integritas PARPOL agar mampu mewujudkan ideologi, platform, visi dan misi ke dalam kehidupan konkrit dan menghasilkan manfaat bagi rakyat, khususnya masyarakat pemilih.
Di dalam Strategi peracikan kapasitas dan integritas PARPOL yang dimaksud, harus terdapat identifikasi permasalahan dan potensi PARPOL yang mencerminkan realitas obyektif kepartaian di Indonesia, yakni berlakunya fenomena politik mafia dengan karakteristik: menghilangnya peran ideologi; mengutamakan koalisi, bukan oposisi; janji-janji tidak direalisasikan; dan, memperoleh dana ilegal. Kiprah PARPOL dalam dinamika politik mafia ini ternyata mengalami perolehan suara pemilih yang terus menurun (fenomena golput). Konsistensi atas komitmen ideologi PARPOL harus betul-betul ditegakkan oleh kader-kader partai khususnya pejabat penyelenggara pemerintahaan (legislatif & eksekutif). Strategi yang dimaksud adalah Pertama, deskripsi PARPOL (analisis swot PARPOL dalam bentuk pemetaan permasalahan dan potensi yang dihadapi partai).Kedua, rekruitmen kader partai yang berdasarkan prinsip proporsionalitas dan profesionalitas.Ketiga, sasaran strategis jangka pendek, menengah dan panjang berdasarkan permasalahan dan potensi yang dihadapi.Keempat alternatif strategis (rencana kegiatan/program kerja) untuk pencapaian sasaran jangka pendek,menengah dan panjang yang telah dirumuskan.Kelima, Komponen/kendali strategis untuk melaksanakan alternatif strategis.Keenam, manajemen informasi sistem (monitoring dan evaluasi strategis).Ketujuh, pembenahan diri secara total dari elite. Taubatan nasuha politik oleh elite politik yang telah mendua terhadap reformasi dan demokrasi sangat diharapkan meski ibarat mengharap buah jatuh dari pohonnya dimusim berbunga.Parpol dan elite parpol sudah waktunya meski terkesan terlambat untuk fokus pada bagaimana memperbaiki cacat politik di Indonesia, karena mereka punya kontribusi besar dalam menciderai kedaulatan rakyat. Sejenak berkaca pada revolusi yang pernah terjadi di Iran atau yang masih menjadi hot news akhir-akhir ini tentang revolusi di timur tengah yang berbasis agama layak untuk direnungkan. Minimal untuk membenahi elite politik yang krisis moral. Steaphen l carter (salah satu pemikir sipil disobedience) pernah menyatakan bahwa “hanya dengan kebangkitan disemua lini keyakinan umat beragama yang mampu menyelamatkan peradaban negara, karena tidak adanya orang-orang yang berkata jujur atau bervisi lebih bijak tentang persamaan daripada persamaan yang dikhittahkan Tuhan.
Jika kemudian tidak ada upaya serius untuk berbenah diri sembari menyiapkan strategi yang jelas dan tegas dalam rangka menyelamatkan republik yang belajar berdemokrasi ini, maka tinggal menunggu waktu saja negara ini akan menjadi negara yang gagal berdemokrasi. PARPOL dan ELITEnya sangat berperan penting akan hal tersebut.
Oleh:Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar