Laman

Jumat, 03 Juni 2011

NEGARA “Katanya”

Katanya negara Indonesia adalah negara merdeka. Katanya negara Indonesia adalah negara ketuhanan yang maha esa. Katanya negara Indonesia adalah negara kemanusiaan. Katanya negara Indonesia adalah negara persatuan. Katanya negara Indonesia adalah negara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan perwakilan. Katanya negara Indonesia adalah negara keadilan. Tetapi mengapa negara ini selalu saja dirundung duka, problema dan konflik. Ini belum lagi jika kita sebutkan satu per satu term katanya yang lainnya, pasti semakin menambah penderitaan dan sakit hati bagi rakyat seantero republik.
Genealogi Berdirinya Sebuah Bangsa
Alasan Berdirinya Sebuah Bangsa dan Pemerintahan Negara para pemimpin perjuangan nasional Indonesia, dalam merumuskan cita-cita Indonesia merdeka, sebagaimana kemudian tersurat dalam Pembukaan UUD 1945, memandang kemerdekaan dari empat hal. Pertama. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa (self determination rights); Kedua. Kemerdekaan adalah Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (anti kolonialisme dan anti imperialisme), karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan (hak asasi manusia universal) dan perikeadilan; Ketiga. Kemerdekaan adalah pintu gerbang Negara Indonesia, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila. Inti makna dari sebuah kemerdekaan nasional adalah agar sebuah negara bangsa (nation state) dapat mengelola sumber-sumber agraria (kekayaan alam) yang dimilikinya untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, sebagai upaya menghapuskan eksploitasi manusia ”yang kuat” kepada manusia ”yang lemah” (exploitattion de l-’homme par l’homme), perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Alasan berdirinya bangsa Indonesia bukan sekedar konsolidasi primordial tetapi juga konsolidasi nasional ekonomi politik yang harus maju dan muncul karena kalau gagal akan hilang selamnya di tengah kekuatan besar ekonomi, politik, budaya, dan militer negara-negara besar. UUD 1945 mengamanatkan: Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan. Tetapi nilai ideal diatas justru bersinggungan dengan realitas. Ketuhanan yang maha esa di negara ini telah dikebiri atas dasar persinggungan kepentingan setiap pihak khususnya kaum beragama untuk saling mengkafirkan. Setiap komunitas beragama mengklaim dirinya yang paling benar, yang paling mulia serta paling suci. Kekerasan atas nama agama menjadi pemandangan sehari-hari, menjamur ibarat tumbuhnya jamur dimusim hujan. Retorika podium kaum agamawan mengaku bertuhan tetapi dalam pikiran perkataan dan perbuatan justru mendiskreditkan nilai ketuhanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan. Realitas justru berbicara lain bahwa Kemanusiaan yang adil dan beradab di republik ini hanya milik para penguasa. Pejabat publik dengan santainya memporak-porandakan nilai kemanusiaan. Hal ini tergambarkan dengan jelas dalam setiap kebijakan dan keputusan politik yang dibuat. Regulasi dilegalisasi untuk menciderai nilai kemanusiaan.Berbicara di tataran konkret, berbagai kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah ada satu pun yang habis dituntaskan. Katanya Indonesia adalah Negara hukum, tetapi kita saksikan berbagai kasus kekerasan, pelanggaran HAM terhadap para aktivis gerakan perubahan seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus Trisakti, Malari, Tanjung Priok dll serta pelanggaran dan kasus kekerrasan yang terjadi di Aceh, Papua dan lainnya sampai hari ini tidak pernah dituntaskan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukum hanya berpihak pada penguasa, militer dan pengusaha. Itu mencerminkan rezim yang anti dengan kebenaran hukum (HAM), karena takut kebenaran membuka kebusukan-kebusukan yang selama ini ditutupi agar tidak tercium oleh dunia internasional.
Tidak ada hukum bagi masyarakat awam, tidak ada HAM bagi masyarakat marginal, tidak ada pendidikan bagi rakyat miskin apalagi yang tinggal dipedalaman.
Negara “katanya” ini dikuasai oleh sekelompok orang saja, biasanya cita-cita penegakan hukum, cita-cita demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa hanya kamuflase. Ya... Itulah realitas di Indonesia, negeri yang hanya menjadi bayangan dari negara kapitalis. Walaupun sudah merdeka, rakyatnya masih terjajah, karena cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk penegakan hukum, menjalankan demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa tidak sepenuhnya berjalan baik. Sepertinya hanya sebuah cita-cita yang barangkali menjadi utopia saja. Belum tercapai, kecuali untuk segelintir elit empunya negara ini (penguasa).
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya. Tetapi sungguh ironis menyaksikan beberapa dekade terakhir ini bahwa, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya .
Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalampermusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya.
Setelah jatuhnya otoritarianisme Orde Baru, sebuah gejala baru muncul dalam kehidupan politik Indonesia, yakni menguatnya kekerabatan dalam politik (kinship politics) atau kerap disebut politik dinasti. Gejala ini banyak ditemukan dalam politik lokal, penandanya adalah posisi-posisi penting dalam institusi politik seperti pemerintahan dan legislatif diduduki oleh mereka yang berada dalam satu garis keturunan. Sejumlah studi menunjukkan bagaimana jaringan hubungan kekerabatan menjadi landasan penguasaan politik di tingkat lokal (lihat Vedi Hadiz (2010), Marcus Mietzner (2009), Michael Buehler dan Paige Tan (2007), Edward Aspinall dan Greg Fealy (2003).
Politik kekerabatan atau politik dinasti telah lama muncul di alam demokrasi. Ia menyita perhatian dalam kaitannnya dengan ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik sebagai refleksi dari ketaksempurnaan sistem demokrasi representasi. Jika dirujuk ke belakang, filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980) menyatakan bahwa “setiap kelas menunjukkan tendensi untuk membangun suatu tradisi turun-menurun di dalam kenyataan, jika tidak bisa di dalam aturan hukum”. Bahkan dalam organisasi demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, ia akan membuat kekuasaannya sedemikian mapan agar sulit untuk digeser atau digantikan,bahkan menggerus prinsip-prinsip demokrasi di lapangan permainan politiknya (Robert Michels, 1962).
Gejala yang sama berlangsung di dalam partai-partai politik nasional di Indonesia. Partai Demokrat (PD), misalnya, jalinan keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki posisi-posisi kunci dalam partai. Sebut saja Edhie Baskoro Yudhoyono (anak) menduduki posisi sekjen dan anggota DPR, Hartanto Edhie Wibowo (ipar) menduduki salah satu ketua departemen dan juga anggota DPR, Hadi Utomo (ipar) mantan ketua umum dan sekarang duduk di dewan pembina, Agus Hermanto (ipar) sebagai Ketua Komisi Pemenangan Pemilu dan Nurcahyo Anggorojati (keponakan) sebagai Sekretaris Komisi Pemenangan Pemilu. Demikian juga di dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), keluarga Megawati Soekarnoputri duduk di dalam posisi kunci dalam partai, seperti Puan Maharani (anak) menduduki Ketua Bidang Politik dan anggota DPR, Taufik Kiemas (suami) sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) dan Ketua MPR.
Bahaya dari politik dinasti adalah hasratnya untuk mengekalkan diri dan melembagakannya dalam kepolitikan. Sifat alamiahnya adalah kekuasaan politik hendak dijalankan secara turun-temurun di atas garis trah dan kekerabatan, bukan didasarkan pada kualitas kepemimpinan, tujuan-tujuan bersama, keputusan dan kerja-kerja asosiatif.
Pengekalan dan pelembagaan politik dinasti dimungkinkan dengan merajalelanya politik-uang. Demokrasi diubah teksturnya sedemikian rupa bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, porgram dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.
Robert Michels menilai bahwa kecenderungan oligarkis yang dibangun atas dasar hubungan keluarga dalam tubuh partai politik juga akan terus terbawa ke dalam pemerintahan. Kecenderungan oligarkis dalam partai merupakan hukum besi yang tak terhindarkan, bahkan ketika partai tersebut menjadi partai yang berkuasa maka model oligarkis akan juga diberlakukan dalam pemerintahan. Bahkan anggota parlemen akan menjadi arogan dan membuat kesepakatan dengan partai lain tanpa mempertimbangkan prinsip ideologis partai mereka dan dukungan dari parapemilih mereka. Dalam partai yang demikian, para pemimpinnya akan menilai dan memperlakukan dirinya di atas para anggota atau pengikut, tidak lagi dalam hubungan keanggotaan yang setara.
Kekuasaan politik seharusnya diperebutkan dengan tujuan untuk menciptakan suatu tatanan yang baik bagi semua, dan partai politik merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sementara partai kekerabatan dibangun untuk tujuan-tujuan personal atau pribadi, dalam hal ini sang pemimpin dengan keluarga dan kerabatnya. Dalam kondisi politik yang demikian, telos politik yakni menciptakan common good atau kemaslahatan bagi semua menjadi usang.
Politik dinasti di dalam partai politik dimungkinkan tumbuh saat cuaca demokrasi bersifat semu. Demokrasi semu lebih berupa pasar transaksi kepentingan pribadi, namun dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti: partai politik, lembaga dan institusi negara, serta media massa. Peralatan sistem demokrasi tersebut digunakan bukan untuk menopang sistem demokrasi, melainkan memanipulasinya menjadi penopang sistem oligarki.
Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarkis, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat pemilu, pilkada dan aksi-aksi protes lainnya. Di titik ini, cuaca demokrasi hanya bisa dicerahkan dengan membangun politik yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki integritas dibutuhkan untuk membuka selubung kepalsuan demokrasi yang
selama ini dipraktikkan sekaligus penghancuran oligarki.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.
Semua hal diatas hanyalah pepesan kosong yang tiada arti. Betapa tidak kemiskinan masih menjamur dalam negeri yang kaya akan SDA ini. Sebagai mana maklum, menjadi miskin pasti bukanlah pilihan. Berangkat dari persoalan tentang akses terhadap keadilan dimanapemerintah lebih berpihak kepada pemodal (investor) daripada rakyatnya yang semakin hari semakin miskin.Rakyat menjadi miskin bukan karena malas, melainkan karena daya ekonomi dan sosialnya tidak diberikan oleh negara. Kesempatan kerja sangat minim, ruang kerja informal sangat sedikit sementara upah kerja juga minim. Hal ini membuat rakyat hidup miskin dan serba kekurangan. Sementara negara tidak pernah selesai dengan masalah korupsi dan nepotisme, kebijakan yang dikeluarkan negara dikriminatif dan represif, dan kurangnya partisipasi publik dalam setiap pembuatan kebijakan.
Tidak sulit untuk mengenali kemiskinan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kehidupan keluarga miskin, apalagi yang sangat miskin, terlihat berbeda dengan yang tidak miskin. Pakaian yang dikenakan dan rumah yang ditinggali memperlihatkan ciri menyolok dari kondisi miskin mereka. Ketidakcukupan pangan dan gizi adalah soal yang kadang tidak terlihat namun bisa dipastikan dihadapi mereka. Soal kekurangan lain yang bisa diduga adalah lemahnya akses kepada layanan kesehatan dan pendidikan karena tidak memiliki dana yang cukup. Sedangkan soal yang samar namun terasa adalah kondisi psikologis mereka yang sebagiannya sudah berevolusi menjadi sikap budaya sebagai orang miskin.
Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara “katanya” yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik, yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat umum.Oleh sebab itu, diperlukan kontrol yang lebih kuat dan ketat lagi dari berbagai kelompok kepentingan seperti organisasi sosial-kemasyarakatan, LSM, media massa, komunitas kampus, intelektual independen, dan aneka ragam kelompok kritis lainnya. Sebab, mereka inilah yang mempunyai kemampuan dalam mengartikulasikan pandangan dan sikap kritisisme terhadap isu-isu penting dan persoalan krusial di masyarakat. Kontrol publik ini sangat penting terutama untuk mencegah berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, yang mengingkari cita-cita dan perjuangan pencapaian tujuan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar