Laman

Jumat, 03 Juni 2011

Kealfaan Terhadap Penyelesaian Kasus Korupsi Kelas Kakap


Sejak terpilihnya Busyro muqadas sebagai ketua KPK yang baru menggantikan Antasari Azhar, harapan sebagian besar masyarakat terhadap KPK untuk kembali membuka kran kasus korupsi kelas kakap seperti BLBI, century, Buloq, penyuapan pada pemilihan deputi senior gubernur BI, hingga dugaan kasus suap partai demokrat melalui Muhammad Nazaruddin (bendahara partai demokrat) dalam bentuk pemberian uang sebesar 120.000 dollar Singapura kepada Sekretaris Jenderal MK Djanedri Gaffar kembali mencuat hingga sampai pada titik klimaksnya.
Disorientasi
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.
Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.
Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat, dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada. Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
KPK harus bekerja keras
Mengacu pada ego kelembagaan, mau tidak mau serta suka tidak suka, KPK harus menyiapkan langkah strategis untuk menangani dan mengungkap aktor utama di balik semua kasus diatas. Upaya penyelesaian kasus korupsi kelas kakap secara profesional dan konprehensip merupakan langkah yang baik, tidak hanya untuk mengembalikan pamor lembaga independen tersebut (setelah dirundung musibah atas kasus yang menimpa ketuanya yang lalu) tetapi lebih untuk memberi rasa keadilan, dan juga memberi sinyal tentang kepastian hukum dan yang lebih penting adalah tujuan pembentukan lembaga tersebut untuk memberantas korupsi hingga keakar-akarnya. Namun, penyelesaian kasus korupsi tersebut tentu perlu melihat secara keseluruhan motif, sumber, penyaluran dan penggunaannya. Penyelesaian dugaan kasus korupsi seperti BLBI, BULOQ, CENTURY yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tersebut memang perlu menghormati keputusan yang sudah dibuat oleh pemerintah dengan memperhatikan berbagai pendekatan dan landasan hukum waktu itu. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa penyelesaian kasus tersebut tidak bisa menggunakan pendekatan sepotong-sepotong berdasarkan pesanan atas nama kepentingan kelompok tertentu, atau selera dari berbagai kalangan yang terkadang imajinatif dan membingungkan logika hukum oleh penegak hukum.
Hal ini penting mengingat informasi dan pemberitaan tentang kasus korupsi diatas, semakin hari kian tenggelam oleh isu politik yang semakin mamanas. Apalagi terkesan pemberitaan pada waktu lalu cenderung membingungkan dan terkadang sarat dan rawan ditunggangi kepentingan, bahkan mengarah ke sentimen politik yang bisa berdampak buruk. Apalagi banyak kalangan yang sebenarnya tidak paham tentang kasus korupsi kakap diatas pun ikut-ikutan bersuara sangat keras, mengomentari bahkan menganalisis dengan data yang simpang siur dan terkesan emosional.
Namanya saja kasus korupsi kelas kakap. Berarti sumber, penyalur, motif, penggunaan serta implikasinya juga luar biasa. Tidak heran jika kemudian kita sering mendengar pernyataan yang sering mensinonimkan antara korupsi kelas kakap dengan genosida. Bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang telah membantai warga negara.
Pejabat tinggi negara yang berperan penting dalam mengkonversi dukungan dan tuntutan masyarakat menjadi kebijakan dan keputusan politik dalam suprastruktur politik seharusnya bermurah hati terhadap keinginan, kebutuhan dan kepentingan rakyat. Tapi, sungguh ironis memang bahwa dalam kehidupan profesionalnya, mereka melakukan sesuatu lebih karena didorong semata-mata oleh upaya mengejar keuntungan yang tidak henti-hentinya.
Sebagian besar publik yakin bahwa pejabat negara yang hobi korupsi tidak memiliki kepedulian terhadap nasib wong cilik, apalagi berkontribusi terhadap pemberdayaan dan pembangunan masyarakat.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dengan tegas mengamanatkan kepada KPK untuk memiliki integritas moral dan reputasi yang baik. Selain itu lembaga itu juga harus mempuni dalam kecakapan intelektual, wawasan, serta pengetahuan. Syarat-syarat ini menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar, karena tugas KPK begitu berat. Bayangkan, berdasarkan amanat fungsionalnya, misi KPK jelas, mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Itu berarti segala permasalahan yang menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dituntaskan. Visinya pun tidak main-main. KPK ditugasi menjadi penggerak perubahan, supaya bangsa ini menjadi bangsa yang antikorupsi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah nahkoda KPK sekarang ini bisa mewujud-nyatakan visi, misi, dan amanat undang-undang tersebut pada tataran operasional? Pertanyaan ini relevan, karena problem besar menghadang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Kita mulai dengan fakta bahwa negara kita selalu ikut-ikutan dalam klasemen sepuluh besar negara terkorup di dunia. Ini tidak berlebihan, karena praktek korupsi telah menyebar dan berlangsung di wilayah eksekutif, legislatif, dan aparat penegak hukum. Fakta korupsi yang telah melembaga dan menstruktur ini tentu saja menyulitkan usaha pemberantasan korupsi.
Saat ini memang lumayan banyak pejabat tinggi, tokoh politik, tokoh agama, dan jebolan kapitalis yang sudah (dan sedang) diperiksa aparat penegak hukum karena diduga melakukan korupsi. Namun, banyak kalangan menilai upaya itu masih bersifat tebang pilih. Koruptor kelas teri saja yang ditindak, sementara yang kelas kakap tidak disentuh. Mengapa ini terjadi? Aparat penegak hukum justru ikut melebur dan bahkan menjadi bagian dari sistem koruptif itu. Logikanya sederhana, bila mereka gagal entah itu karena intervensi politis atau konflik kepentingan lainnya dalam menindak dan menjerat koruptor yang jelas-jelas bisa dipidanakan, itu berarti mereka bersikap permisif dan kompromistis, sehingga turut menyuburkan praktek korupsi yang seharusnya mereka tentang.
Keterperangkapan aparat penegak hukum dalam sistem yang koruptif itu secara tak langsung mengungkapkan sisi personalitas mereka. Inilah problem berikutnya, mereka menjadi aparat yang bertindak sesuai dengan petunjuk eksternal dan mengabaikan keputusan dan kesadaran personal. Dalam bahasa politis, mereka bekerja dan bertindak berdasarkan “peran yang ditentukan” lingkaran setan koruptif struktur atau sistem. Ketakberdayaan aparat penegak hukum berhadapan dengan lingkaran koruptif itu memudarkan kualitas kejujuran, reputasi, dan integritas moral personal mereka. Ini berakibat langsung pada mandeknya upaya pemberantasan korupsi.
Amanat undang-undang di atas tentu menjadi acuan dalam setiap upaya pengungkapan kasus korupsi. Bila kita takar dari bentuk dan prosesnya, KPK selama ini telah berupaya menemukan figur pimpinan yang memiliki kualitas seperti kecakapan intelektual, wawasan yang luas, pengetahuan yang mumpuni, serta reputasi dan integritas moral yang baik. Itu artinya, pemimpin yang ada sekarang seharusnya adalah orang yang bermutu baik dari segi kognitif, konatif, maupun afektif.
Namun, kita juga harus menggaris bawahi bahwa mutu, kualitas, serta berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak bisa diukur hanya dari keterpilihan pemimpin yang ideal diatas, karena itu hanya langkah awal. Bukti bahwa pimpinan benar-benar orang yang tepat baru bisa dinilai dan diketahui ketika mereka sudah mulai bekerja. Artinya, kemampuan mereka untuk merealisasi visi dan misi KPK menjadi ukuran kualitas mereka yang sesungguhnya. Inilah yang diharapkan dan ditunggu-tunggu publik.
Pertimbangan
Untuk mewujudkan harapan ini memang tidak mudah. Dengan berkaca pada problem besar lingkaran setan sistem koruptif di atas, minimal, ada dua hal yang perlu ditumbuh-kembangkan.
Pertama, pemimpin KPK perlu menjaga kualitas dan integritas moral personal. Ini dilakukan dengan, dalam tuturan Giddens, selalu membina dan membangun kesadaran diskursif, yaitu kemampuan untuk merefleksikan setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Tuntutan ini harus mengaktual dalam kemauan untuk terus berintrospeksi dan mawas diri. Dengan demikian, sensitivitas hati nurani terhadap nilai kejujuran dan keadilan selalu terasah dan benar-benar terjaga.
Kedua, sebagaimana demokrasi tidak bisa hidup tanpa partisipasi publik, penegakan hukum dan pengasahan nurani aparat penegak keadilan juga tidak bisa terjadi tanpa pengawasan dan tekanan publik. Itu berarti kita tidak bisa sepenuhnya hanya berharap pada kesadaran pribadi para pemimpin KPK. Peran pengawasan ini tentu saja diharapkan muncul dari media, pers, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, intelektual, atau masyarakat pada umumnya, sehingga personel KPK selalu diingatkan dan responsif terhadap tuntutan agar usaha pemberantasan korupsi itu benar-benar dijalankan dan membawa hasil.
Ketiga, aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) harus membuat agenda strategis pemberantasan korupsi yang diformat berdasarkan kesepakatan dan kesepahaman bersama, dengan prioritas pada masing-masing isu yang saling mendukung. Hal ini penting dilakukan untuk memaksimalkan energi yang dimiliki, sekaligus menepis anggapan public tentang kuatnya rivalitas antar aparat penegak hukum yang tidak produktif bagi agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.
Keempat, pemerintah harus mengevaluasi secara sungguh-sungguh implementasi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) yang telah berjalan selama ini. Evaluasi itu diarahkan khususnya pada agenda pencegahan (reformasi birokrasi) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Hal ini penting dilakukan mengingat tanpa ada dorongan untuk melakukan reformasi birokrasi, maka korupsi akan selalu terjadi dan berulang-ulang, meskipun upaya penegakan hukum gencar dilakukan.
Kelima, Partai politik harus memiliki aksi konkret untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi mengingat aktor korupsi yang dominan adalah para politisi, baik yang menjabat pada lembaga eksekutif maupun pada lembaga legislative dan yudikatif. Hal itu dapat dilakukan dengan mereformasi sistem akuntabilitas dan transparansi kepada publik dalam kaitannya dengan isu rekrutmen politik dan pendanaan politik.
Keenam, pengadilan harus menjadi inspirasi bagi tumbuhnya rasa ketakutan (efek jera) bagi siapapun untuk melakukan korupsi. Hal itu dilakukan dengan memberikan putusan yang berat dan tegas bagi koruptor sebagaimana mulai diperlihatkan dalam lingkup pengadilan Tipikor.

Agenda penegakan hukum pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun ini mengalami beberapa perkembangan yang cukup berarti dengan ditanganinya beberapa kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat tinggi negara, dimana hal ini tidak terjadi pada periode kekuasaan sebelumnya. Akan tetapi agenda pemberantasan korupsi tidak ditunjang oleh sikap yang bulat dan perspektif yang sama dari berbagai elemen penegak hukum sehingga dalam prakteknya memunculkan sejumlah kontroversi sebagaimana terjadi pada penanganan kasus century, BLBI, dan kasus bulog .
Pembiaran terhadap praktek korupsi yang bermotif politik-ekonomi akan mendistorsi agenda pembangunan karena alokasi anggaran lantas diarahkan pada proyek-proyek mercusuar yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan real masyarakat. Proyek-proyek tersebut sengaja didisain untuk rentan dengan korupsi karena dirumuskan tanpa pendekatan yang partisipatif dan dipenuhi oleh selubung kepentingan dari para pemburu rente (rent seeker). Akibatnya persoalan-persoalan dasar masyarakat seperti kemiskinan dan kesehatan tidak dapat diselesaikan karena berada pada prioritas yang nomor sekian, dikalahkan oleh proyek-proyek mercusuar yang menjadi ajang pesta pora anggaran oleh para koruptor.
Pengadilan umum belum memberikan dukungan yang cukup bagi upaya pemberantasan korupsi. Banyak vonis yang berujung bebas. Jikapun kemudian divonis bersalah, rata-rata hukumannya ringan. Sebaliknya arus dukungan mulai nampak di pengadilan Tipikor. Seolah bergerak berlawanan, pengadilan tipikor tampaknya memiliki sikap yang tegas terhadap koruptor sehingga vonis yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi cukup berat. Harapannya, trend ini akan diikuti oleh para hakim yang bekerja di pengadilan umum.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar