Laman

Kamis, 09 Juni 2011

Memerdekakan Kemerdekaan

Mendorong perlunya demokratisasi atas demokrasi (democratizing democracy) yang cenderung semu seharusnya diletakkan seruang dan sebangun denganmemerdekakan kemerdekaan. Memerdekakan kemerdekaan, yaitu upaya membebaskan kemerdekaan dari belenggu identitas simbolis artifisial sehingga warga (rakyat) bisa menemukan jati dirinya bukan hanya sebatas warga negara, tetapi lebih kepada warga bangsa.
Pasca robohnya benteng kekuasaan orde baru, bangsa ini mengami tantangan baru, pendulum demokrasi terlalu kencang bergerak ke ‘kanan’. Sistem dan nilai demokrasi hanya menerapkan demokrasi pada tataran permukaan (semu). Lewat amandemen UUD 1945 rakyat memegang kuasa penuh untuk memilih pemimpinnya secara langsung baik pada tingkat nasional maupun daerah. Fenomena inilah yang kemudian mengundang banyak lembaga internasional untuk mengalungkan medali penghargaan dengan melabeli Indonesia sebagai salah satu negara terbesar yang demokratis. Namun fenomena terbukanya ‘keran’ kebebasan seluas-luasnya atas nama demokrasi diatas ternyata hanya melahirkan iklim perebutan kekuasaan yang tidak jarang menerapkan politik bebas nilai.Term ‘politik dagang sapi’pun menjadi buah bibir masyarakat ditengah kekecewaan terhadap wakil mereka yang mendua terhadap kepentingan rakyat.
Dalam iklim demokrasi yang seperti sekarang, sudah menjadi rahasia umum bahwa uang, jabatan dan relasilah yang memainkan peran utama dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Sehingga wajar jika kemudian masalah-masalah pelik muncul sebagai konsekuensi logis dari praktek-praktek seperti ini. Salah satu masalah pelik yang paling menonjol adalah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu yang legitimate ternyata hanya cenderung memanfaatkan posisinya untuk memperjelas pretise, dan mempertegas kemuliaan simbolis dengan memperkaya diri dan golonganya. Alhasil, korupsi menjadi musuh utama di era yang katanya demokrasi. Betapa tidak, para pejabat publik di setiap tingkatan mulai dari tingkat pusat hingga daerah ,mulai dari pejabat eksekutif hingga yudikatif, serta mulai dari anggota DPR hingga ketua RT,semuanya melakukan korupsi. Fenomena ini semakin mengafirmasi pendapat Antony Gidden, bahwa” walaupun optimisme terhadap demokrasi tetap tinggi, namun telah terjadi penurunan kepercayaan yang signifikan terhadap para pejabat/politisi”.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah dengan adanya pemilihan langsung kepala daerah, konflik horizontal di masyarakat menjadi suatu budaya laten yang hampir mencapai titik klimaksnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya atau bahkan ketiadaan kearifan dan kedewasaan berpolitik dari semua elemen masyarakat alih-alih kurang pemahaman tentang politik akibat pendidikan politik yang tidak terdistribusi secara signifikan. Ketidakdewasaan dalam berpolitik terwujud dengan sikap yang tidak siap kalah, karena para calon pimpinan yang gagal meraih kemenangan lebih sering mengorganisir warga untuk melakukan protes terbuka terhadap otoritas penyelenggara Pemilu dengan berbagai alasan khususnya; manipulasi data, tak jarang perilaku ini berakhir dengan tindakan anarkis. Parahnya lagi, para calon pimpinan khususnya di daerah, menjadikan basis pendukungnnya berdasarkan kaitan kesukuan dan etnisitas, serta agama. Sehingga pemilu yang awalnya menjadi momentum bulan madu demokrasi rakyat dalam memilih pemimpin yang ideal, justru memungkinkan berakhir dengan konflik sosial yang bernuansa SARA.
Bukankah akal sehat kita mengkonklusikan bahwa kondisi yang demikiantidaklah dalam posisi ideal?. Konklusi yang semacam itu bukanlah pemikiran sempalan yang lahir dari ruang yang kosong, karena berdasarkan nilai idealnya, demokrasi memberikan landasan nilai tentang persamaan derajat, harkat, dan martabat manusia yang tentunya secara praksis terwujud dalam kondisi tanpa adanya penindasan dan pembantaian antar manusia.
Dari persaksian kita mengenai perkembangan praktek demokrasi di Indonesia belakangan ini, tentunya dapat disimpulkan bahwa telah terjadi dominasi kaum kaya yang bermodal terhadap kaum miskin yang tidak memiliki sumber daya. Demokrasi hanya milik kaum segelintir elite yang memiliki kapital berdasarkan konsep yang diadopsi oleh Guetanomosca dan Vilfredo Fareto mungkin layak kita amini. Atau mungkin ada baiknya kita kembali memikirkan secara kontemplatif tentang apa yang pernah dinyatakan oleh HOS, Tjokroaminoto tentang kondisi diatas. Beliau mengemukakan bahwa “Akan tetapi pada zaman modern sekarang, cara-cara memproduksi hasil-hasil keperluan dan kebutuhan hidup manusia ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan dan paham kapitalisme (kapitalistische productie wijze), yang semakin lama semakin mendekati puncak ketinggiannya, sedangkan dalam aspek yang lain pertentangan antara keperluan kaum modal (kapitalist) dengan kaum miskin dan melarat (terutama kaum buruh rendahan) semakin bertambah tajam. Karena itu terjadilah krisis berulang-ulang terutama krisis yang menyangkut kepentingan hidup orang banyak dan produksi….”
Meskipun jaman telah berganti tetapi beliau dengan jelas dan tegas menganalisis bahwa kapitalisme adalah sumber dari permasalahan yang ada di masyarakat. Inilah yang kemudian lebih lanjut disebut sebagai ironi demokrasi atau bisa disebut sebagai demokrasi “semu”.
Dalam konteks ilmu politik, istilah “semu” sering dikaitkan dengan demokrasi yang mengacu pada capaian teknis berupa suksesi dan perebutan kursi semata. Sementara itu, rakyat (demos) hanya berperan sebatas penggembira yang dimobilisasi dalam sebuah kontestasi. Kalau merujuk pada konsep tersebut, kemerdekaan negara ini mengalami hal yang sama. Kemerdekaan yang kita capai masih bersifat artifisial, karena sebatas hengkangnya kaum kolonial dari Bumi Pertiwi dan tampilnya bumiputra sebagai penguasa. Yang lebih parahnya lagi, bumi putra yang menjadi penguasa justru menjadi penjajah baru terhadap negeri sendiri.Seperti demokrasi, kemerdekaanpun kiniditandai oleh pesta dan ritual (hari kemerdekaan) tanpa kepastian arah dan tujuan.
66 tahun sudah negara ini merdeka, 103 tahun kebangkitan nasional, 83 tahun terbentuknya bangsa melalui manifesto politik sumpah pemuda serta 13 tahun reformasi, semerbak eksistensi bangsa dan negera ini belum mampu dinikmati oleh warganya sendiri sebagai pemilik sah kedaulatan. Dan yang paling menonjol dari kepahitan penderitaan rakyat adalah persepsi hambar atas institusi partai politik, yang tidak jarang menciptakan budaya ilfil atau alergi politik dari masyarakat. Hal tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat dalam sistem demokrasi, partai politik adalah industri politik paling legitimate dan berpengaruh sebagai penyalur pejabat publik di lembaga suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang beberapa dekade ini terkesan mendua terhadap demokrasi. Kepentingan rakyat yang direduksi dan didiskreditkan menjadi kepentingan partai dan elite partai, telah memacetkan pelayanan publik.
Dari Sabang dibarat hingga Merauke ditimur, dari pulau Mianggas hingga pulau Rote, dari danau Sentani di Papua hingga danau Toba di Sumatra Utara, kesucian dan kebeningan air kebijaksanaan demokrasi memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik demokrasi yang semu tersebut kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kesejahteraan dan kebudayaan.
Sungguh sebuah ironi, mengingat desain demokrasi Indonesia adalah hasil pertautan komplementer pahamideal yang telah disaring dari keberagaman paham pemikiran, keyakinan, dan budaya yang kemudian tertuang dalam PANCASILA sebagai ideologi negara.
Penyanderaan Demokrasi Pancasila
Sungguh ironis menyaksikan kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, ketika peraturan perundang-undangan berbasis eksklusifisme keagamaan bersetubuh menikam jiwa ketuhanan yang maha esa, lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan menginterupsi bahkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab, trilogi penyakit negarawan (korupsi,kolusi dan nepotisme) dan penciptaan dinasti kekuasaan dari pemerintah pusat (geo-politik O) hingga daerah (geo-politik pribumi) serta klaim kebenaran tunggal komunitas masyarakat tertentu turut melemahkan persatuan kebangsaan, demokrasi liberal prosedural dalam pemilihan umum dengan segala variannya membunuh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Suprastruktur politik ( eksekutif, legislatif dan yudikatif) berjamaah menjarah keuangan rakyat, penegak hukum menciderai asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan efek jera. Ekspansi neoliberalisme, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin meluas dan melebar yang turut pula turut menjegal keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan justru berlawanan dengan arah jarum jam kemerdekaan sesungghnya, rakyat dibawah pada periode pra-politik saat terkungkung dalam hukum besi sejarah penjanjahan kolonial.
Ada jarak yang lebar antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan, persamaan, kebebasan, persaudaraan dan kekeluargaan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat. Distorsi ini terjadi disebabkan karena lembaga negara dijadikan industri komersil tempat mencari kerja sehingga lembaga negara diinterpretasikan sebagai lemabaga profesi. Wakil rakyat tidak lagi bekerja untuk politik melainkan bekerja dari politik. Disinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha dan politisi dalam proses institusionalisasi dan legal drafting, mereka melegalisasi proyek kepentingan pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan proyek pembangunan infrastruktur untuk kemaslahatan rakyat. Suatu gerakan mafia melakukan penyanderaan demokrasi. Adagium “akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik” yang merupakan pernyataan Pra Moedya Ananta Toer dalam RUMAH KACA nampaknya telah menemukan tempatnya dalam realitas perpolitikan nasional Indonesia hari ini.

Pelembagaan Konstitusi
Keberhasilan negara merekonstruksi dirinya melalui revisi konstitusi (purikasi UUD) seharusnya diikuti pelembagaan (ketaatan) konstitusi itu sendiri. Namun, semua itu masih mimpi. Karena itu, pencapaian agenda pada era reformasi ini tak jauh berbeda dengan pencapaian awal kemerdekaan, yaitu pergulatan membangun konstitusi. Sementara itu, penguatan nilai-nilai konstitusi berjalan lambat dan cenderung involutif. Akibatnya, kegaduhan politik terus mengalir dari dulu sampai sekarang.
Kita bisa menyaksikan carut-marut relasi antarlembaga negara yang sering berujung pada kegaduhan politik yang tak produktif. Walaupun konstitusi sudah mengatur tata interaksi dan pola relasi antarinstitusi, tarik-menarik kepentingan elitis di antara lembaga-lembaga negara tak pernah mati. Percaloan di Dewan Perwakilan Rakyat, mafia peradilan, dan sepak terjang lembaga penegak hukum dengan segala kontroversinya menjadi catatan lemahnya budaya mematuhi. Begitu juga DPR dan Dewan Perwakilan Daerah yang berebut kuasa, walau dalam konstitusi mereka memiliki posisi yang sama.
Belum lagi orientasi kekuasaan kaum politikus yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada rakyat. Semua ini akibat pengabaian terhadap konstitusi sebagai landasan dasar interaksi. Konsekuensinya, tatanan kenegaraan menjadi amburadul dan bergerak menurut tafsirnya masing-masing. Karena itu, diperlukan proses pelembagaan konstitusi dalam kesadaran diri anak bangsa.
Yang perlu ditekankan adalahwalaupun secara konstitusi semua lembaga negara memiliki kedudukan yang sama, dalam sistem presidensial, eksistensi kepala negara (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi penting untuk menegakkan kembali kepatuhan seluruh komponen masyarakat terhadap aturan main yang ada. Dan fungsi ini akan maksimal apabila masing-masing lembaga negara bekerja sesuai dengan aturan dan menjadi abdi rakyat.
Tentu ini bukan agenda mudah, karena pada kenyataannya para pejabat negara masih banyak yang abai, bahkan belum sadar konstitusi, apalagi menjalankannya. Inilah ironi kemerdekaan sebuah bangsa dan negara yang selama ini dikultuskan sebagai bangsa yang besar untuk menutupi kondisi riil sebagaimana adalanya bahwa negara kita sebenarnya baru sebatas belajar untuk memahami demokrasi. Jadi jangan heran jika kemudian ditataran implementasi demokrasi masih amburadul.
Inilah kemerdekaan semu dan prosedural yang sewaktu-waktu dapat mengancam kohesivitas kebangsaan yang multikultural. Karena itu, perlu kitanya semua elemen bangsa dan negara khususnya pemerintah, untuk kembali meluruskan orientasi penyadaran diri sebagai komando untuk meramu sistem yang bisa menunjang proses “pemerdekaan kemerdekaan”. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah penguasa harus bekerja keras demi, oleh dan untuk rakyat agar sematan lencana tanda jasa menjadi sesuatu yang akan diabadikan oleh tinta sejarah.
Oleh: Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar