Laman

Selasa, 14 Juni 2011

Negara Dirongrong Kejahatan Politik

Berjamaahnya para politikus Indonesia mengungsikan diri keluar negeri khusunya ke negera Swiss dan Singapura merupakan fenomena yang sudah menjadi tren glamour dalam wajah politik dan hukum negara kita. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka yang melarikan diri keluar negeri adalah politikus yang sementara diproses hukum karena tindak pidana korupsi. Logika untuk mengamini proposisi tersebut cukup sederhana. Kalau memang mereka tidak melakukan kejahatan (memang orang yang baik) ngapain sembunyi-sembunyi keluar negeri meski sudah mendapatkan izin pencegahan bepergian keluar negeri oleh lembaga Imigrasi?
Memang sangat memprihatinkan perilaku yang dipertontonkan oleh para pejabat publik kita tersebut, mengingat mereka adalah penyambung lidah masyarakat yang seharusnya tidak menjadi aktor penjahat politik dalam kondisi negera yang baru berekperimen untuk konsisten mengadopsi sistem politik demokrasi.
Yang menarik untuk dikaji adalah adalah apakah fenomena diatas bisa diklasifikasikan sebagai kejahatan politik?
Konsep kejahatan Politik
Kejahatan adalah term atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan tidak berbudi dan bermoral (menafikan nilai-nilai kemanusiaan). Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.
Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
Marshall B. Clinard dan Richard Quinney memberikan 8 tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu (1). karir penjahat dari si pelanggar hukum, (2). sejauh mana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok,(3). hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah, (4). reaksi sosial terhadap kejahatan.
Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah Pertama, Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminil seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya. Kedua, Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya. Ketiga Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari. Keempat, Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dansebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itu sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat. Kelima, Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas. Keenam, Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time- Carreer dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar. Ketujuh, Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal dilingkungan-lingkungan pemukiman yang baik. Kedelapan Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.
Dari segi istilah, kejahatan politik merupakan kata majemuk “kejahatan” dan “politik”. Namun apabila dilihat dari kata majemuk ini, kita akan menemui masalah, sebab begitu banyak pengertian yang kita dapatkan dari istilah kejahatan maupun istilah politik. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kejahatan dapat diberi pengertian berdasarkan Legal Definition of Crimes dan Social Definition of Crimes. Kejahatan dalam pengertian J D Crimes adalah perbuatan-perbuatan yang telah dirumuskan dalam Perundang-undangan pidana. Sementara kejahatan berdasarkan social Definition of crimes adalah definisi kejahatan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan sosial kemasyarakatan.
Demikian pula untuk istilah politik, terlalu banyak pengertian politik yang dapat kita temukan, sebab politik berkaitan erat dengan tujuan negara, kekuasaan dalam arti mendapatkan dan mempertahankannya, pengambilan keputusan, kebijakan pengambilan keputusan dan lain sebagainya. Menurut Yuwono Sudarsono, politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap lingkungan sosial budaya. Politik juga sering disalah artikan, misalnya larangan untuk berpolitik, deidiologisasi, deparpolitisasi yang hampir semua orang telah mengetahui bahwa pelarangan itu juga merupakan perbuatan politik.
Penjahat politik menghendaki pengakuan dari norma-norma yang diperjuangkan agar dapat diterima oleh tertib hukum yang berlaku. Sementara perbuatan politik dilakukan bukan semata-mata karena keberatan terhadap norma yang dilanggarnya, akan tetapi terutama keberatan terhadap norma-norma lain yang menjadi bagian dan tertib hukum atau berkeberatan terhadap situasi-situasi hukum yang dianggap tidak adil. Pembedaan ini penting untuk kualifikasi kejahatan politik dengan perbuatan politik yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Perbuatan politik tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kekacauan di masyarakat, tetapi semata-mata untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan perbuatan, antara lain demonstrasi, petisi, aksi protes dan lain sebagainya. Seorang pelaku perbuatan politik menolak melakukan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan hati nuraninya.
Ada juga term political refugee yakni mereka yang melarikan diri keluar negeri karena pemerintahnya berdasarkan perbedaan politik, ras, agama dan lain sebagainya. Seorang pengungsipolitik adalah seorang korban pasif dan suatu gejolak politik, tidak ikut aktif dalam suatu oposi di negerinya. Mereka tidak kembali ke negeri asalnya karena ada resiko akan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Berbeda halnya politikus yang melarikan diri keluar negeri untuk mengamankan diri dari jeratan hukum suatu negara setelah melakukan korupsi.
Definisi lain mengenai kejahatan politik adalah menurut konferensi internasional tentang hukum pidana. Konferensi tersebut memberi pengertian kejahatan politik sebagai kejahatan yang menyerang organisasi maupun hak penduduk yang timbul dari berfungsinya negara tersebut. Pengertian tersebut juga belum menjelaskan siapa yang menjadi subyek hukum dan delik politik, apakah individu, korporasi, ataukah negara. Demikian pula organisasi mana yang dimaksud, sebab begitu banyak organisasi yang didirikan di suatu negara.
Parameter Kejahatan Politik
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas yang belum secara tegas memberikan pengertian kejahatan politik, kiranya untuk menerapkan apakah terhadap pelaku perbuatan yang diindikasikan mempunyai unsur politik dapat diekstradisi ataukah tidak masih memerlukan pembahasan secara mendalam dan memerlukan keputusan politik dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Memang sulit untuk menentukan pengertian kejahatan politik. Penjelasan tersebut di atas hanya menunjukkan perbedaan antara pelaku pada kejahatan biasa dengan kejahatan politik serta sifat perbuatannya itu sendiri.
Walaupun demikian sekedar pegangan untuk menentukan apakah suatu kejahatan termasuk sebagai kejahtan politik, parameter yang dapat digunakan adalah (1). Perbuatan pidana tersebut ditujukan untuk mengubah tertib hukum yang berlaku di suatu negara; (2). Perbuatan pidana tersebut ditujukan kepada negara atau berfungsinya lembaga lembaga negara; (3). Perbuatan tersebut secara dominan menampakan motif dan tujuan politiknya; (4). Pelaku perbuatan mempunyai keyakinan bahwa dengan mengubah tertib hukum yang berlaku maka apa yang ingin dicapai adalah lebih baik dan keadaan yang berlaku sekarang.
Akan tetapi untuk menetapkan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan politik harus tetap hati-hati, karena demokratisasi politik dan penegakan hak asasi manusia telah menjadi isu global. Perjuangan berbagai bangsa untuk melepaskan diri dari kolonialisme telah menjadikan kejahatan politik menjadi semakin nisbi. Kejahatan politik adakalanya juga berkaitan dengan dimensi tempat dan waktu.
Hal ini dikarenakan apa yang dianggap sebagai kejahatan di suatu negara belum tentu dianggap sebagai kejahatan di negara lain. Kritik terhadap kekuasaan negara adakalanya dianggap sebagai kejahatan oleh penguasa penguasa totaliter, tetapi tidak disebut sebagai kejahatan bagi negara yang menganut paham demokrasi. Seorang freedom fighter juga disebut sebagai penjahat atau pemberontak oleh penguasa berdasarkan tertib hukum yang berlaku, tetapi ia dapat disebut sebagai pahlawan manakala tertib hukum yang dicitakan terwujud sesuai dengan idealita yang dianutnya.
Melihat parameter kejahatan politik tersebut di atas tampak sekali bahwa kejahatan politik sangat tipis dengan kejahatan umum. Dikatakan demikian sebab kejahatan politik dapat dilakukan secara terang-terangan melalui kejahatan umum seperti pembunuhan, perusakan, bahkan dengan teror dan lain sebagainya. Kejahatan politik juga dapat dilakukan secara connex dengan kejahatan biasa, misalnya pencurian. senjata untuk mendukung perjuangan politik.
Menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt kejahatan politik secara kriminologis dapat dibedakan dalam tiga bentuk. Pertama adalah kejahatan politik yang ditujukan kepada negara atau political crimes against the state. Kedua adalah kejahatan politik oleh negara atau domestic political crimes by the state. Ketiga adalah kejahatan politik internasional oleh negara atau internationalpo litical crimes by the state.
Ketiga bentuk kejahatan politik di atas dalam kaitannya dengan ekstradisi, hanya bentuk pertamalah yang relevan. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga yang menjadi subyek hukum adalah negara, sehingga tidak termasuk subyek yang dapat diekstradisi. Tipe ketiga atau internationalpolitical crimes by the state dapat meliputi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap negara lain maupun lembaga-lembaga internasional terhadap negara tertentu. Political crimes against the state meliputi violent political crimes against the state maupun nonviolent political crimes against the state. Sementara domestic political crimes by the state meliputi state corruption dan state politi cal repression.
Sebagaimana disebutkan di atas, kualifikasi kejahatan politik penting untuk menentukan apakah penjahat dapat diekstradisi ataukah tidak. Sudah barang tentu perihal ekstradisi ini terkait dengan masalah hak asasi manusia, yakni hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Ekstradisi adalah proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh negara kepada negara lain yang punyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Secara umum dalam studi ilmu hukum terdapat 4 (empat) asas hukum dalam pengaturan ekstradisi.
Pertama, double criminality principle atau asas kejahatan rangkap. Asas tersebut mengandung arti bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, baik menurut hukum negara yang meminta, maupun negara yang diminta dinyatakan sebagai kejahatan. Kedua, asas bahwa negara yang diminta berhak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri. Ketiga, asas bahwa jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan politik, maka permintaan ekstradisi ditolak. Keempat, asas bahwa suatu kejahatan yang seluruhnya atau sebagian diwilayahnya termasuk dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara mi dapat menolak permintaan ekstradisi ini.
Berdasarkan uraian diatas maka yang patut untuk menjadi renungan kita bersama adalah bahwa memang tidak bisa dinafikan kejahatan merupakan suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat (negara) itu ada, termasuk kejahatan politik. Kejahatan politik selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan politik hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan politik dan memperbaiki penjahat politik agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan politik , tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan suprastuktur politik dan infrasrtuktur poltik, tapi yang harus menjadi titik tekan adalah bagaimana menciptakan sebuah sistem politik dan pemerintahan yang diatur sedemikian rupa dalam regulasi yang menjamin kemungkinan kecil oknum tertentu untuk melakukan kejahatan politik.
Hal itu menjadi tugas dari setiap elemen bangsa dan negara ini khususnya para pembuat regulasi di DPR, karena mereka adalah penyambung lidah rakyat atau pelayan masyarakat.
Oleh: Subiran (Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar