Laman

Kamis, 05 Juli 2012

MAHASISWA DAN PROBLEM IDENTITAS

 Oleh: Subiran (Ketua Umum LPM FISIP UMJ) 
Ditengah menjamurnya berbagai problem kebangsaan, mahasiswa seringkali mengalami problem identitas yang berpotensi menggiring pada melemahnya ikatan-ikatan sosial mereka dengan masyarakat. Mereka mengalami gejala disorientasi sosial-politik terhadap fungsi dan perannya sebagai agent of change ( agen perubahan), sehingga mahasiswa mejadi kelompok masyarakat yang mudah sekali diprovokasi dan dimobilisasi untuk kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok tertentu. 
Identitas yang tereduksi 
Problem identitas merupakan gejala umum terjadi didunia kampus dewasa ini. Mahasiswa sebagai aktor politik sering kali kehilangan tumpuan, arah dan tujuan yang hendak mereka capai, Apalagi iklim perpolitikan nasional sangat mempengaruhi dinamika kampus. Munculnya gelombang modernisasi dan globalisasi dalam domain yang sangat luas telah membawa ragam identitas baru yang berpotensi mengancam identitas-identitas dasar dari sebuah masyarakat kamupus. Seperti disebut oleh filsuf postmodernisme Jean Baudrillard bahwa masyarakat kini hidup dalam sebuah identitas hibrida, dimana identitas masyarakat saat ini adalah gambaran dari percampuran antara identitas-identitas yang sangat kompleks. Tokoh ini mengandaikan bahwa masyarakat tidak ada yang memiliki identitas tunggal dan baku. 
Dalam proses percampuran ini, mahasiswa menjadi kelompok potensial mengalami problem identitas, karena kelompok ini paling rentan terhadap perubahan. Hanya saja perubahan identitas akan mengarah pada peneguhan identitas baru dan akan menghilangkan sama sekali identitas yang telah lama dimilikinya. Dari situasi ini, tentu saja kita menginginkan perubahan yang mengarah pada peneguhan identitas mahasiswa yang kukuh terhadap berbagai ancaman apapun. Adaalah sebuah keprihatinan kita bersama terhadap munculnya ancaman identitas yang lama kelamaan semakin tergerus pada perubahan zaman. 
Gejala ini diperlihatkan pada kemunculan mahasiswa-mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan karakter asli dari pemuda indonesia. Mahasiswa menjadi pemuda yang lemah, cengeng, tidak berani bersaing, kurang produktif, serta apatis terhadap rangkaian problem sosial kemasyarakatan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat dipengaruhi oleh paradigma berpikir (memandang realitas sebagaimana adanya) atau biasa disebut sebagai pandangan dunia yang cenderung shofis, serta ideologi (memandang realitas sebagaimana mestinya) sangat rapuh. Mahasiswa menjadi bagian yang dikendalikan oleh perubahan, bukanmenjadi kelompok pengendali perubahan, sehingga jangan heran ketika mahasiswa hari ini tidak mampu memberikan sumbangsih terhadap pembangunan nasional. 
Dalam situasi yang seperti ini, penting kiranya sebagai generasi penerus bangsa, agent of change dan sosial of control, mahasiswa kembali berbenah diri meneguhkan kembali karakter pemikiran, perkataan dan tindakan yang ideal agar mampu menciptakan peradaban yang lebih manusiawi berdasarkan nilai spiritual dan inteleqtual yang mempuni, apalagi ditengah situasi dan kondisi bangsa yang penuh dengan tumpukan kesulitan dan masalah. Bersamaan dengan itu, mahasiswa hari ini juga dihadapkan pada hilangnya figur atau tokoh yang dapat diteladani. Parahnya dewasa ini mahasiswa mengalami krisis kepercayaan figur yang sangat akut sehingga menyisakan pilihan untuk apatis dan persetan dengan perubahan. 
Hal tersebut semakin terlegitimasi ketika mahasiswa diperhadapkan pada sebuah realitas bahwa tokoh yang selama ini di idolakan dalam perbendaharaan intelektualnya di kampus ternyata tidak lebih sebagai intelektual komprador. Misalnya tokoh seperti ulama yang sering kali menampilkan perangai tidak ubahnya seperti selebritis, politisi kadang kala memakai jubah ulama untuk melegalisasi kepentingannya, akademisi sibuk melakukan plagiat serta melacurkan diri diketiak penguasa, penegak hukum mencabik-cabik hukum dan keadilan, pengusaha menjadi sutradara kebijakan publik, para mantan aktivis hanya bisa berdongeng tentang kiprah yang pernah dimainkannya sementara ikut andil dalam memuluskan kepentingan politik kolega atau seniornya untuk menjarah kepentingan rakyat dan lain-lain adalah sebagian saja dari simpuli grand desain kiprah tokoh yang membuat mahasiswa semakin apatis dan ilfil terhadap dunia politik. 
Kampus dan probem identitas kemahasiswaan 
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, kampus memiliki fungsi strategis serta tanggung jawab yang sangat penting untuk membina dan menuntun mahasiswa kearah peneguhan paradigma berpikir dan ideologi kemahasiswaan khas jiwa muda untuk melakukan perubahan. Organisasi kemahasiswaan entah itu intra maupun ekstra kampus juga menjadi lokomotif pemberdayaan menuju terbinanya mahasiswa yang akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan nilai spritualitas, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai oleh tuhan yang maha esa. 
Bukankah tidak salah dengan slogam bahwa generasi muda adalah generasi harapan bangsa? Hal itu memiliki dalilnya sendiri ketika kita kembali melihat masa lalu, dimana setiap pergerakan sejarah, mahasiswalah ynag selalu menjadi tumpuan harapan. Begitu banyak perubahan-perubahan penting yang terjadi direpublik ini yang merupakan implikasi dari kiprah perjuangan mahasiawa. Sebut saja mulai dari zaman pra kemerdekaan (1908.1928,1945), pasca kemerdekaan (1966,1974,77/78, 1998) hingga saat ini, mahasiswa selalu memegang peranan penting ketika terjadi momen-momen penting. 
Budaya baca buku, aktivitas diskusi, pers kampus, serta pada tataran aksi langsung (demonstrasi) sampai kerja-kerja sosial seperti menjadi relawan untuk membantu wilayah dan korban bencana turut mewarnai kiprah perjuangan tersebut. Adalah sebuah kerancuan dan kelancungan yang luar biasa jika kemudian mahasiswa UMJ justru menjadi martir pemutus rantai kiprah mahasiswa hanya karena asyik beromantisme dengan nama besar pendiri ormas dan ormas itu sendiri atas kontribusinya dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan bangsa dan umat dimasa lalu. 
Mahasiswa UMJ mustahil bermetamorfosis menjadi sentral pergerakan mahasiswa apalagi menjadi tokoh dan kampus yang besar seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyahnya jika memiliki kualitas seperti kualitas bayi yang hanya bisa merengek jika lapar dan haus, serta bersuara lantang jika sudah bersolek. Jika tidak ingin dikatakan demikian, maka sudah saatnya seluruh sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Jakarta merenung dan berbenah diri untuk BERTAJDID menuju DAHLAN, dalam hal ini meluruskan kembali paradigma berpikir (reorientasi) dan ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai spritual dan inteleqtual. 
Caranya bagaimana? Budayakan membaca buku atau literatur keilmuan lainnya, aktifkan forum diskusi keilmuan antar mahasiswa mulai dari tingkat jurusan, fakultas, universitas hingga antar kampus, aktifkan pers kampus sebagai saluran penerjemah pikiran pembaharuan dan perubahan, aktifkan lembaga kemahasiswaan sebagaimana mestinya agar mampu menginstal sistem pemerintahan kampus yang baik sebagai geladi bersih untuk terjun kedalam tata kehidupan bernegara yang lebih komplek, buka saluran pergerakan aksi langsung entah itu dalam bentuk demonstrasi, advokasi masyarakat sipil marginal maupun kerja-kerja sosial seperti bencana alam dll. 
Sebelum penulis mengakhiri tulisan ini ada baiknya pembaca secara umum dan penulis secara khusus merenungi substansi dari pernyataan yang pernah disampaikan oleh sahabat Rasulullah Saw. Ali bin abi thalib yang berbunyi “ penindasan terjadi karena adanya kerja sama antara sipenindas dan yang ditindas. Kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan atau keburukan yang terorganisir”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar