Laman

Jumat, 30 Desember 2011

Perang Dunia Ke 3

Hiruk pikuk hidup dan kehidupan manusia entah sebagai individu maupun masyarakat atau sebagai suku, ras, bangsa, negara dan agama sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah luput dari yang namanya perang. Entah dikaji melalui pendekatan kekerasan maupun non kekerasan. Dan entah dikaji dalam domain sejarah klasik (pra sejarah dan sejarah) maupun sejarah postmodernisme (hari ini dan masa depan).
Hal ini lebih disebabkan karena manusia senantiasa memiliki kepentingan yang sebagian besar sering kali dan selalu berbenturan satu sama lain.
Di jaman neo-hibrida postmodernisme seperti sekarang ini, perang memang merupakan sebuah wacana yang sangat kental dengan nuansa propokatif linguistik yang tentunya berimplikasi pada pikiran, mental dan spiritual masing-masing. Apalagi wacana perang sudah jauh-jauh hari tertanam dalam mainset sebagian besar manusia sebagai sesuatu yang bersifat destruktif. Sehingga tidak salah jika kemudian banyak kalangan yang sangat alergi dan ilfil terhadapnya.
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dilain pihak sering kali dijadikan pembenaran sikap dan laku manusia (individu dan masyarakat) untuk merubah (mendekonstruksi dan merekonstruksi) peradaban sesuai dengan ideologi dan cita-cita masing-masing.
Dalam percaturan politik global misalnya, perang sering kali dijadikan azhimat politik bagi negara adidaya (Blok Barat dan Blok Timur) untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi peradaban kebangsaan, kenegaraan dan hubungan internasional. Perang dunia I, II dan dingin, merupakan fakta sejarah yang mengamini realitas tersebut. Dan sering kali pula dijadikan seruan moral, inteleqtual dan spiritual bagi negara dunia ketiga serta kelompok fundamentalis (kiri, tengah maupun kanan) untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi peradaban yang diciptakan oleh negara adidaya yang mereka anggap sebagai peradaban yang edan dan murtad.
Jika ditinjau dari kontur dan tekstur konstalasi kausalitasnya, maka perang yang dikumandangkan dan diikhtiarkan dua kelompok diatas memiliki modus dan motif yang serupa tapi tidak sama, meski intensitas dan frekwensi perangnya berbeda. Dari segi modus, kedua kelomppok diatas sama-sama melakukan perang melalui pendekatan kekerasan maupun non kekerasan. Sedangkan dari segi motif, keduanya mengamini perang dengan motif kekuasaan (mempertahankan dan merebut) yang digarap dalam domain politik, ekonomi, budaya, agama maupun ideologi.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah jika kemudian perang senantiasa masih dan akan terus bersemayam dalam etalase perbendaharaan hidup dan kehidupan manusia dimasa sekarang maupun masa depan, maka bagaimana kontur dan teksturnya? Dan sejauh mana perkembangannya?
Disatu sisi, dalam hal untuk memdeteksi perang yang terjadi dimasa sekarang, tentu kita hanya bisa menguraikan serpihan demi serpihan aksidennya dengan hukum kausalitas untuk kemudian memantiq modus dan motifnya. Sehingga wacana bahwa jaman sekarang masih dalam keadaan perang menemui titik sentral realitasnya. Sedangkan disisi yang lain, dalam hal mendeteksi dan memprediksi perang yang akan terjadi dimasa depan, tentu kita juga hanya bisa menguraikannya melalui pendekatan konsteks metamorfosa perang yang terjadi dimasa sekarang.
Perang dunia lanjutan (ketiga)
Telah disinggung dibagian awal tulisan ini bahwa perang masih tetap eksis sampai dijaman sekarang dan kemungkinan besar dimasa depan. Hal ini disebabkan karena manusia senantiasa memiliki kepentingan (hasrat menguasai) yang sebagian besar sering kali dan selalu berbenturan satu sama lain, kecuali mungkin dunia sudah kiamat, inipun bagi mazhab pemikiran materialisme mekanik maupun materialisme dialektik masih diragukan alih-alih ditolak. Sehingga termonologi perang dunia yang hanya berhenti pada icon perang dunia II dan dingin kemungkinan besar akan bermetamorfosa kearah perang selanjutnya, bukan hanya dijaman sekarang tetapi kemungkinan besar terjadi dimasa depan, meski intensitas dan frekwensi perangnya yang berbeda.
Sebagaimana perang tidak bisa dipisahkan dari perebutan kekuasaan dengan segala variannya dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari orientasi kekuasaan, maka ideologi pun tidak bisa dipisahkan dari pandangan dunia. Artinya kekuasaan sangat menentukan bentuk dan model perang, orientasi kekuasaan sangat menentukan apakah modus dan motif perang dalam berebut kuasa berpretensi dekstruktif ataukah konstruktif, tersentral pada kebenciaan ataukah kecintaan kemanusiaan dan peradabannya, dikomandoi oleh kredo yang bebas nilai ataukah sarat nilai serta diikrarkan demi kepentingan kemaslahatan ataukah kemudharatan dan pandangan dunia sangat menentukan apakah ideologi yang dijadikan azhimat politik perang tersebut bercokol pada wilayah nilai ketauhidan dan kemanusiaan atauakah kematerian dan kebendaan. Sehingga meskipun perang terjadi lebih karena untuk menggoalkan kepentingan dengan perebutan kekuasaan, tetapi sebenarnya inti dari perang adalah sebuah pertarungan pandangan dunia dan orientasi kekuasaan.
Perang dunia ke-3 yang dimaksud disini bukanlah analisis wacana yang pernah dikhittahkan oleh Samuel Huntington mengenai benturan peradaban antara Islam dan Barat, tetapi lebih merupakan sekuelisasi terminologi perang dunia I dan II plus perang dingin yang pernah terjadi dimasa lalu. Dimana kontennya bersumber atas analisis kedua entitas di atas (orientasi kekuasaan dan pandangan dunia. .
Berangkat dari sebuah deskripsi sejarah perang dunia yang pernah terjadi di abad ke 19 yang lalu dan deskripsi sebab, implikasi, bobot dan muatan perangnya, terdeteksi bahwa perang dunia I, II, dan dingin hanyalah perang yang bermotif ideologi yang terkonsentrasi pada domain Ekosop (ekonomi, sosial dan politik) dan tentunya masih dalam spiral perebutan kekuasaan. Bukan persoalan pertarungan ideologi yang sesungguhnya apalagi pertarungan pandangan dunia dan bukan pula mengenai orientasi kekuasaan. Sebab pandangan dunia bagi aktor yang berperang pada saat itu sama-sama mengusung materialisme sebagai pandangan dunianya. Sehingga orientasi kekuasaan dalam perangnya pun tentu karena tuntutan entitas material dan kebendaan.
Berdasarkan hal diataslah, maka kemudian kita mendeteksi bahwa perang yang terjadi sekarang ini lebih terkonsentrasi pada pandangan dunia.
Perang pandangan dunia
Tidak dapat dipungkiri dan dinafikan bahwa tidak satupun aktivitas hidup dan kehidupan manusia tanpa pengaruh kepentingan dan kekuasaan. Mulai dari kelahiran manusia hingga kematiannyapun tak luput dari tendensi dan atensi kepentingan dan kekuasaan yang tentunya berdasarkan kadar dan intensitas fase ruang dan waktu hidup dan kehidupannya. Mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal yang memiliki skala dan frekuwensi yang besar tidak luput dari dominasi politik. Sebab sebab kepentingan dan kekuasaan adalah cara manusia (individu, masyarakat, bangsa, negara, dan umat) untuk memenuhi naluri dan fitrawinya. Kepentingan tersebutpun tentunya berpariasi mulai dari tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Dalam kepentinganpun pasti ada motif nilai yang diusung, motif kekuasaan serta motif pemberdayaan sumberdaya (SDM dan SDA)
Mengingat perang merupakan desain metode dan tata kelola hidup dan kehidupan manusia dalam mencipta peradabannya yang bercorak dekonstruksi dan rekonstruksi dan bermodus kekerasan maupun non kekerasan, maka pandangan dunia merupakan neukleus dan episentum yang sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya peradaban manusia tersebut dikonstruksi melalui perang.
Jika pandangan dunianya berasal dari oase mazhab materialisme, maka peradaban dan tata dunia yang terciptapun pastilah sarat dengan aksesoris materialis. Masyarakat, negara, ekonomi, kekuasaan, sosial, pendidikan, agama, budaya dan Tuhan sekalipun tentunya akan dimaknai dengan barometer materialis. Akhirnya entitas-entitas yang disebutkan tersebut tentunya hanya dijadikan komoditas politik yang bersifat materialistik. Sehingga jangan heran ketika agama dijadikan azhimat politik kekuasaan, aksesoris serta legitimasi kesalehan. Jadi jangan heran jika Agama menjadi entitas komersialisasi kepentingan politik, karena memang sudah menjadi sesuatu yang lumrah dalam hidup dan kehidupan manusia.
Bukan hanya agama yang menjadi entitas politik materilis tersebut. Pendidikanpun tidak luput dari garapan pandangan dunia tersebut. Sudah menjadi budaya pendidikan kita sehari-hari, jika lembaga pendidikan entah yang didirikan oleh negara maupun swasta tidak lain hanya dijadikan pabrik ijazah dan pencetak tenaga kerja. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah usia didik yang punya kemampuan potensial baik terpaksa harus mengurunkan niatnya untuk mengenyam pendidikan didalam lembaga pendidikan karena tidak punya materi. Sehingga anekdot inteleqtual eko prasetyo tentang “orang miskin dilarang sekolah “ layak kita amini. Standar orang berpendidikan atau tidak, dapat dideteksi dari tingkat pekerjaan dan penghasilan yang dia dapatkan, dan tergantung strata sosial, politik, ekonomi, dan agama dimasyarakat.
Dalam domain ekonomi dan budaya nampaknya tidak perlu panjang lebar untuk diuraikan, sebab sebagai masyarakat kita tentunya sudah hapal luar kepala bagaimana sistem ekonomi kapitalisme (neo-liberalisme) dan budaya western menghancurkan kemapanan nilai kemanusiaan. Dalam domain budaya, disatu sisi, putra dan putri bangsa, mulai dari usia 12 tahun keatas sudah gengsi keluar rumah jika memakai pakaian tertutup, tidak gaul jika masih virgin, tidak kren jika tidak mengkonsumsi narkoba, tidak afdal jika tidak pakai BB, tidak metropolis jika tidak nongkrong di Mall, malu memakai pakaian tradisional, malu berbahasa daerah dan tidak cerdas jika tidak berdialek menggunakan bahasa Inggris dan Amerika. sementara disisi yang lain, ibarat cacing kepanasan ketika Negara tetangga Malaysia mencaplok wilayah, tarian adat, bahasa daerah dan mengeksploitasi TKI.
Ekonomi neo-liberalisme yang diadopsi semakin hari semakin menunjukkan wajah beringasnya. Mengeksploitasi SDA tanpa peduli lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, mendiskreditkan zona ekonomi rumahan masyarakat, menggadaikan perusahan sentral milik negara kepada swasta, menghancurkan harapan hidup buruh industri, menjadikan seks, pengangguran dan kemiskinan sebagai komuditas komersialisasi pariwisata dan masih banyak lagi kerusakan kemanusiaan yang ditorehkannya.
Pandangan dunia materialis dalam domain penyelenggaraan politik, khususnya menyangkut masalah tata kelola pemerintahan dan kekuasaan senantiasa akan diwarnai oleh kebijakan dan keputusan politik yang berorientasi materi. Memperoleh kekuasaan dengan materi, menggunakan kekuasaan dengan materi, mempertahankan kekuasaan dengan materi dan mempertanggungjawabkan kekuasaanpun pada tarap materialis pula. Sehingga peradaban yang tercipta kemudian adalah peradaban primitif-biologi yang hanya mementingkan urusan perut, seks dan fashion.
Pandangan dunia politik yang bermazhab materialisme juga meniscayakan menciptakan paradaban politik yang Atheistik. Segala aktivitas politik yang dijalankan dan dilakonkan hanyalah kemauan dan keinginan subyektifitas manusia, sehingga Tuhan ditenggelamkan dalam kubangan persepsi dan pengetahuan, perkataan dan tindakan politik.
Berdasarkan hal diatas, maka jika tata dunia hari terdeteksi dan terindikasi menerapkan teori dan praktis perang yang orientasinya hanya dititik beratkan pada hal-hal bersifat material, maka negara, bangsa, kelompok pemberontakan dan lain-lain, pastilah mengadopsi pandangan dunia materialisme pula dan peradaban yang diciptakannya kemungkinan besar peradaban Atheistik, meski dalam tataran simbolisme mengaku mengadosi dan mendeklarasikan teori dan praktis politik yang menjunjungtinggi nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi mazhab pemikiran pandangan dunia non-material (ketauhidan) dari berbagai klan keagamaan untuk mendeklarasikan perang melawan pandangan dunia yang dianggap bejat dan murtad tersebut. Sehingga cukup bijak untuk mengatakan bahwa peperangan sesungguhnya diabad ini bukanlah perang yang dikumandangkan melalui pendekatan kekerasan bersenjata oleh kelompok-kelompok pengusung nilai keagamaan atau humanisme, melainkan peperangan dalam dunia pemikiran yang terkonsentrasi pada pandangan dunia antara pandangan dunia materialisme dan non-materialisme (ketauhidan), yang teraktual melalui pertarungan politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan pendidikan hari ini.
Tetapi perlu diingat bahwa perang pandangan dunia tidak hanya terjadi antara dua entitas pandangan dunia diatas, tetapi juga perang ditubuh pandangan dunia masing-masing. Sebab baik pandangan dunia materialisme maupun pandangan dunia non-materialisme (ketauhidan) dititik kulminasinya sedang melakukan peperangan melawan hawa nafsu masing-masing. Sehingga kadangkala pandangan dunia ketauhidan memakai jubah materialisme dan pandangan dunia materialisme memakai jubah ketahidan meski dalam tataran sksesoris simbolis.
Bagi orang Islam entah dalam keadaan sadar maupun tidak, pesan perang tersebut jauh-jauh hari sudah pernah disampaikan oleh nabi besar utusan tuhan Muhammad SAW pasca perang Badar, bahwa “peperangan yang lebih besar bukanlah perang badar, melainkan perang melawan hawa nafsu”. Inilah perang yang tidak pernah lapuk dimakan usia ruang dan waktu dunia baik masa lalu, sekarang dan yang akan datang (masa depan) yang bisa menjadi penutup segala perang alias Perang Dunia Ke-4.
Oleh: Subiran
Pemerhati Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar