Laman

Jumat, 30 Desember 2011

Memimpikan hadirnya Muazin Hukum dan Politik

Andaikata suhu politik bisa diukur dengan alat ukur suhu materi (termometer), maka intensitas kenaikan suhu panas dalam termometer tersebut mungkin sudah mencapai 100̊ C (titik didih).
Perubahan dalam bentuk kenaikan intensitas suhu politik tentunya tidaklah lahir dari ruang yang kosong, sebab setiap perubahan (baik kenaikan atau penurunan) politik selalu dipengaruhi oleh faktor internal (suprastruktur ) dan eksternal (infrastruktur) dari sistem politik itu sendiri.
Perubahan suhu politik yang mengalami kenaikan derajat panas beberapa waktu terakhir ini sangat dipengaruhi oleh reshuffle kabinet, korupsi pejabat publik baik pusat maupun daerah, UU BPJS, pemilukada di beberapa wilayah, krisis libya, dll disatu sisi dan konflik papua, terorisme, peringatan hari pahlawan, hari anti korupsi dan hari HAM dan lain-lain disisi yang lain.
Dilihat dari kaca mata banalitas suatu wacana, isu farasit yang menghinggapi suprastruktur politik maupun infrastruktur politik diatas memang bukan lagi merupakan wacana dan isu yang seksi untuk didisputasikan, karena sudah terlalu sering telinga kita mendengar dan mata kita menyaksikan khususnya ketika suhu dan iklim perpolitikan dalam pemerintahan sedang mencapai klimaksnya. Apalagi mengingat isu tersebut sudah populer di tengah rutinitas hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dewasa ini. Sehingga bukan merupakan hal yang lumpah lagi, ketika isu-isu tersebut silih berganti tukar posisi dalam disputasi wacana dan laku perpolitikan kita hari ini. 
Jika kemudian isu yang satu mendapatkan kembali titik ordinatnya di tengah ketidakefektifan tata kelola pemerintahan, maka besok atau lusa bisa jadi isu yang lama akan menjadi baru kembali setelah dipoleh dengan wacana media. Apalagi jika isu tersebut mengenai korupsi, maka kemungkinan besar seluruh rakyat Indonesia pasti sudah mafhum akan persoalan kecuali bagi mereka yang kurang waras akalnya atau sudah almarhum. Isu yang satu ini sudah menjadi konsumsi pokok masyarakat kita. Bahkan kadangkala masyarakat kita sudah cerdas dalam mengklasifikasikan mana yang namanya korupsi dan mana yang namanya pencuri. Mereka bahkan sudah bisa mengidentifikasi bahwa korupsi memang sangat identik dengan pejabat publik, sedangkan pencuri identik dengan mayarakat yang lapar karena nasinya dicuri oleh para koruptor diatas. Salah satu parasit mematikannya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang melilit hampir semua kementerian. 
Terkuaknya kasus dugaan korupsi yang menghujani beberapa kementerian, aparat penegak hukum hingga kepala daerah merupakan serpihan kecil dari bangunan besar yang mengkonstruksi intensitas suhu politik kita yang semakin memanas. Bukannya mau stereotif, tetapi boleh jadi hampir semua lembaga negara (eksekutif, legislatif maupun yudikatif) juga punya potensi untuk terjebak kedalam kubangan lumpur yang sama alih-alih sudah terjerembab hanya saja belum diketahui atau diciduk oleh KPK.
Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa dinamika politik senantiasa mengalami pasang surut suhu wacana dan laku. Hanya saja jika yang terjadi justru timpang tindih atau berat sebelah, dimana suhu politiknya selalu memanas atau hanya menunjukkan ciri-ciri gelombang pasang. Langkah politik yang dilakukan dan dikembangkan pun turut menjadikan isu-isu tersebut semakin populer, sampai-sampai kita menangkap adanya persekongkolan untuk melanggengkan isu tersebut agar jualan politik senantiasa terpampang dalam kios politiknya. 
Bayangkan saja, jika isu-isu yang disebutkan di atas sudah menemui ajalnya, maka politikus kita akan kebingungan dalam mencari dan menawarkan jualan politik baru. Tujuan untuk memberantas atau menyelesaikan isu tersebut, jelas terdeteksi hanya omong kososng belaka. Sebab, kita tidak pernah melihat dan merasakan keseriusan pejabat publik kita dalam menyelesaikan perkara-perkara yang menyangkut kemaslahatan bangsa dan negara. Beda ceritanya jika yang dibahas adalah RUU PEMILU, maka semua politisi akan berjamaah mengkampanyekan idealisme mereka bahwa seolah-olah semua dilakukan agar kedaulatan berada kembali ditangan rakyat. Padahal niatan terselubungnya adalah bagaimana kekuasaan bisa dibagi secara proporsional bagi mereka saja.
Langkah politik yang selama ini ditempuh untuk menyejukkan suhu politik hanya sebatas ritual simbolis politik yang mengiming-imingkan kemaslahatan, tetapi yang menjadi persoalan adalah kemaslahatan siapa?.
Politik Muadzin
Dibalik disputasi mengenai tidak pernah tuntasnya isu-isu politik diatas diposkan kedalam kuburan realitas di atas, entah dalam kadarnya yang ilmah maupun dalam kadarnya yang alami, kredo hadirnya para “Muadzin Politik” ternyata tidak hanya berdiam dalam lokus potensial wacana dan laku politik, tetapi telah menemukan pijakan aktualnya. Hadirnya para muadzin politik merupakan penanda sekaligus petanda bahwa di tengah memanasknya tarik ulur kepentingan politik partial antar aktor politik dalam percaturan politik, mutlak dan niscaya membutuhkan para penyeru, pendakwah, dan pengusung nilai ideal politik praktis sebagai poros tengah baru.
Muadzin politik merupakan politik identitas aktor politik non-parlemen yang senantiasa memberikan seruan moral, analisis etika, artikulasi kebijakan imparsial, estetika pengambilan keputusan yang tepat, serta pembelaan terhadap konstitusi yang mapan. Biasanya muadzin politik diawaki para pengamat lintas keilmuan, pakar, akademisi, guru besar, ulama, mahasiswa, serta organisasi kemasyarakatan lainnya. 

Merekalah yang setiap momentum senantiasa memberikan seruan moral, analisis etika, artikulasi kebijakan imparsial, estetika pengambilan keputusan dan kebijakan yang tepat serta pembelaan terhadap konstitusi yang mapan kepada para politikus suprastruktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam melakonkan skenario dan manufer politiknya khususnya dalam mengartikulasikan kepentingan politik masing-masing. 
Mereka hadir sebagai gerakan identitas politik poros tengah baru yang mengusung nilai dengan mesin politik wacana dan analisis keilmuan. Mereka hadir sebagai gerakan ektra-parlemen, bergandengan dengan gerakan mahasiswa dan LSM untuk menegaskan identitas politik praktis yang tidak boleh mengesampingkan dan mendiskreditkan nilai moral dan etika. Sehingga dalam situasi dan kondisi politik yang kehilangan orientasi nilai tersebut, Para muadzin politik merupakan oposisi paling nyata dalam struktur politik. Merakalah yang senantiasa menekankan pentingnya etika dan estetika pengambilan keputusan suprastruktur politik, meskipun terkadang hanya dijadikan parodi lawakan politik oleh para penentu kebijakan tertinggi dalam pemerintahan.
Dibalik argumentasi yang serba optimis di atas, ada sebuah titik ordinat yang bisa menegasikan format politk muadzin tersebut. Sehingga muadzin politik yang semula bermakna tunggal, bisa bermetamorfosa menjadi makna yang ambigu. Disatu sisi, ia bisa menjadi harapan, tetapi disisi yang lain bisa menjadi ratapan.
Ia menjadi harapan, karena merupakan entitas politik yang memahami betul dasar, cara, tujuan serta implikasi dari setiap kebijakan dan keputusan yang diambil oleh para aktor politik di lembaga tinggi negara yang lain. Dan bisa menjadi ratapan, ketika terisolir dan berhenti pada romantisme gagasan dan wacana ideal.
Akan menjadi ratapan manakala muadzin politik yang disebutkan di atas melupakan bahwa politik bukanlah seperti kalkulasi matematis yang bersifat definitif, dan politik juga bukanlah sekedar urusan nilai ideal yang membumbung dilangit ketujuh tetapi juga nilai faktual yang membumi.
Akan menjadi ratapan, ketika entitas politik tersebut, melupakan bahwa politik bukan hanya urusan retorika podium tetapi lebih kepada aktualisasi dalam domain pemberdayaan kedaulatan rakyat.
Akan menjadi harapan, ketika muadzin politik tersebut bukan hanya bisa menyeru dan berda’wah melalui retorika pengeras suara atau karena sorotan dan bidikan kamera elektronik media massa menghujaninya, tetapi juga bisa menyeru dan mengartikulasikan kebijakan politik melalui tindak karya pemberdayaan masyarakat melalui advokasi dan monitoring setiap kegundahan hidup dan kehidupan masyarakat. Muadzin yang baik adalah menyeru dengan cara mengkolaborasikan kemampuan akal dan vokalnya dengan kemampuan tangannya. Artinya retorika podium harus disinergikan dengan laku politik pemberdayaan masyarakat.
Dalam rancang bangun perpolitikan Indonesia, aktor politik praktis di suprastruktur (lembaga tinggi negara) kadang kala pada awalnya merupakan para muadzin, hanya saja, setelah menduduki kursi jabatan dan kekuasaan, kadang kala, bahkan sering kali mereka menanggalkan identitasnya dan beralih profesi menjadi makmum politik.
Akan menjadi ironis, jika godaan dan hasutan jabatan, uang dan kekuasaan justru merontokkan citra dan identitas mereka. Sehingga wacana dan laku politik yang mereka artikulasikan dan aktualkan justru mengikuti dan sepenuhnya takliq buta terhadap keputusan dan kebijakan kepentingan politik partai politik dan elitenya.

Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian hari, kita dapatkan politisi termasuk dari partai yang berbasis agama sekalipun, justru hanya menjadi stempel kebijakan dan keputusan politik yang dibuat oleh penguasa baik dari Senayan maupun dari Istana. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah, jangankan mewadahi dan mengakomodir kepentingan politik keadilan lintas klan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan agama, menjadi wadah dan mengakomodir gagasan dan pemikirannya sendiri saja masih berada dalam domain sengketa kepentingan pribadi dan golongannya. Jangankan menjadi Imam dalam ranah politik, menjadi makmum saja masih kehilangan orientasi.
Sesungguhnya, tatanan politik bisa menemui titik pijak idealnya, bisa melaju berdasarkan rel nilai etis dan estetisnya, dan bisa menjadi acuan dan motor penggerak sampainya kepada cita-cita berbangsa dan bernegaranya, itu sangat tergantung oleh hadir atau tidaknya sosok Muadzin politik yang bukan hanya bisa menyeru dengan ucapan tetapi juga menyeru dengan perbuatan.

Hadir atau tidaknya sosok Muadzin dalam politik sangat didukung oleh sistem pemerintahan yang solid, pemikiran yang terbuka, kritis, cerdas dan jiwa kepemimpinan yang kuat khususnya dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Dan hadirnya sosok muadzin politik yang baik akan memancing adrenalin politik pejabat tinggi negara khususnya Presiden untuk memposisikan diri sebagai imamnya. Sebab biasanya, muadzin selalu hadir terlebih dahulu dibanding imam. Seketika itu muadzin telah selesai menyeru para makmum untuk beribadah, maka seketika itu imam siap-siap memimpin ibadah. 

Perlu ditegaskan, bahwa Seorang Muadzin dan Imam politik, mengharuskan dirinya memiliki pikiran, perkataan dan perbuatan yang melebihi kualitas dan kapasitas rata-rata dari entitas politik lainnya.
“Politik tanpa Muadzin dan Imam ibarat agama tanpa tauhid”.
Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar