Laman

Jumat, 30 Desember 2011

INDONESIA+ASEAN: Hati-Hati dengan politik negara maju!!!

Meski terkesan kurang seksi untuk diketengahkan di tengah gelombang panasnya suhu politik dunia internasional dewasa ini, di tengah maraknya korupsi yang dilakukan secara berjamaah oleh para penguasa di setiap bangsa dan negara dunia, di tengah kepusingan dan kegelisahan para pengamat politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain dalam menganalisis, memetakan dan mengidentifikasi kausa prima dari berbagai problem kebangsaan dan kenegaraan di dunia, ditengah keapatisan dan keilfilan politik kaum inteleqtual, serta ditengah desah nafas penderitaan masyarakat negera dunia ketiga, tulisan ini mencoba untuk mengurai benang kusut kausa prima tersebut dengan seruan moral dan inteleqtual untuk kembali mengurai secara implisit geneologi teori dan praktek politik negara maju yang dikomandoi oleh Amerika Serikat terhadap negara dunia ketiga pada umumnya dan Indonesia+ASEAN khususnya, yang nantinya bisa menjadi titik tolak analisis dekonstruksi dan rekonstruksi politik tersebut. Sehingga kita mampu memetakan dan menentukan wacana, sikap dan respon terhadap ideologi tersebut.
Bung karno pernah berkata bahwa: “Masalah bangsa Asia harus diselesaikan oleh Bangsa Asia dan dengan cara-cara Asia. Asian Problems to be solved by themselves in Asian ways”.(Bung Karno, Konferensi Maphilindo di Manila 1963).
Pernyataan Bung Karno di atas lebih untuk menegaskan bahwa imperialisme negara barat (maju) terhadap negara berkembang seperti ASIA tidak akan pernah berhenti. Sehingga apapun yang dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang patut untuk diwaspadai, apalagi turut memberikan kontribusi pada negara maju dalam mengurusi persoalan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti ASEAN.
Sejak Indonesia mampu menghadapi krisis di tahun 2008-2009, negara-negara barat begitu mengagumi perkembangan ekonomi Indonesia yang sangat pesat, sehingga tidak jarang mereka mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi jembatan perekonomian Asia.
Perkembangan Indonesia saat ini membuat negara-negara barat baik Amerika maupun Uni Eropa semakin yakin untuk meningkatkan investasinya ke Indonesia. Mengingat Indonesia terkenal dimata dunia ineternasional sebagai negara yang berhasil dalam bidang ekonomi dan kaya sumber daya alam.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diiringi iklim demokrasi yang baik serta berjalannya penegakan hukum dan keamanan pun menjadi argumentasi retorik untuk menghujani Indonesia dengan pujian bertubi-tubi, seolah Indonesia adalah negara adidaya di Asean. Atas perkembangan inilah, negara-negara maju di barat memiliki niatan untuk meningkatkan komitmen kerja samanya dengan Indonesia di bidang perekonomian. Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian marak tren kunjungan kenegaraan ke Indonesia hanya untuk memberikan sematan tanda kemapanan perekonomian, ditambah lagi, belum genap setahun Indonesia menjadi pemimpin negara kawasan ASEAN, sudah banyak pernyataan yang bernada memuji keberhasilan Indonesia dalam memimpin negara kawasan tersebut.
Bukankah fenomena seperti ini mengafirmasi adanya politik U di balik politik B.
Politik Ada Udang dibalik Batu.
Meski terkesan stereotif, kita patut untuk mencurigai wacana dan laku politik negara maju khususnya AS dan sekutunya beberapa dekade terakhir ini terhadap ASIA secara Umum dan ASEAN+INDONESIA secara khusus, mengingat AS dan JERMAN sedang getol-getolnya mendekati wilayah ASEAN+INDONESIA dalam persoalan politik dan ekonomi. Hal ini dideteksi ketika presiden AS Barack obama turut hadir dan berpartisipasi secara penuh dalam forum KKT ASEAN yang diselenggarakan beberapa waktu lalu di Bali.
Politik U dibalik B yang paling patut untuk diwaspadai negara berkembang seperti Indonesia adalah interpretasi negara maju dalam menjalankan teori politik Harold laswell tentang “ politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”.
Proposisi “Siapa mendapatkan apa” telah mereka tegaskan maknanya menjadi “siapa yang memiliki kapital (ekonomi, sosial, politik ilmu pengetahuan dan teknologi), maka dialah yang berhak mendapatkan apa saja yang diinginkan meski harus menghalalkan segala cara. Fenomena maraknya negara maju mendekati negara berkembang dalam persoalan ekonomi dan politik merupakan salah satu dari cara bagaimana mendapatkan dan menguasai sumber daya yang dimiliki negara berkembang. Sehingga tidak jarang kita mendengar pujian hangat bernada persahabatan menghujani negara berkembang seperti kawasan ASEAN+INDONESIA. Yang pada akhirnya membuat negara berkembang menjadi mabuk kepayang atas pujian tersebut yang pada tahap selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk perjanjian kerja sama ekonomi dan politik. 
Politik yang seperti ini ibarat mengikuti logika politik orang dewasa terhadap anak kecil. Bahwa sudah menjadi hal lumrah jika orang dewasa menginginkan sesuatu dari anak kecil, maka hal yang paling sering dilakukan adalah memuji dan mengiming-imingkan imbalan kepada anak kecil tersebut agar melakukan dan menuruti kemauan orang dewasa. Hal inilah yang dilakukan oleh negara maju terhadap negara berkembang dalam hal kepentingan sumber daya.
Proposisi selanjutnya “kapan dan bagaimana” mereka tegaskan maknanya menjadi “kapan saja dan bagaimana saja” politik harus dijalankan dengan kebutuhan kekuasaan, prestice, dan sumber daya. Artinya politik negara maju memiliki pretensi untuk mengaktualkan kepentingannya di negara berkembang dengan tidak ada batasan waktu, tempat dan cara. Sehingga yang terjadi kemudian adalah lahir kembalinya konsep elitisme politik. Dimana negara maju menjadi tuan bagi negara berkembang dalam kancah percaturan politik global. Logika tuan terhadap budak adalah despotik dan eksploitatif. Artinya selama waktu dan tempat masih menyediakan sumber daya, maka cara eksploitatif akan dan mutlak mengikuti arahan waktu dan tempat tersebut. Ibarat seorang majikan yang setiap waktu dan tempat akan selalu menjadikan budaknya menjalankan kepentingannya.
Sikap dan sifat eliteisme dalam domain politik internasional seperti inilah yang telah mendorong negara maju yang dikomandoi oleh Amereka Serikat merasa diri memiliki status ekosob (ekonomi, sosial dan politik) yang lebih tinggi daripada manusia-manusia dinegara lain khususnya Negara dunia ketiga. Sehingga bisa dan layak melakukan apa saja, termasuk menjadikan Negara dunia ketiga sebagai sapi perah.
Elitisme politik AS telah membangkitkan kembali budaya pagan dalam sistem feodal dan yang lebih ekstrimnya lagi adalah memungkinkan terpeliharanya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sejak dahulu menjadi parasit mematikan yang para pendahulu mereka mati-matian untuk membumi hanguskannya. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat neo-hibrida postmodernisme yang diusungnya sendiri. Yang tentunya disisi lain dalam kapasitas politik Negara berkembang yang masih dalam tahap konsolidasi dan transisi pasca revolusi, tentu akan mengalami kepunahan sikap dan sifat demokratis untuk membendung kekuatan politik yang begitu mencengkram tersebut.
Dinamika percaturan politik global dewasa ini jelas dan tegas memperlihatkan kepada kita sebagai masyarakat Negara dunia ketiga bahwa kecenderungan elitisme politik yang dipraktekkan oleh AS begitu tercermin kuat dalam setiap kebijakan luar negerinya. Ekspansi dan agresi baik dengan atau tanpa militer terhadap Negara dunia ketiga adalah salah satu dari sekian banyak watak dan perangai politik yang sangat sarat penjajahan yang orientasinya jelas berkaitan dengan sumber daya dan hegemoni ideologi.
Indonesia+ASEAN telah menjadi target dari politik yangh diuraikan diatas. Hal yang perlu menjadi atensi kita bersama adalah terkait persoalan penempatan pangkalan militer AS di Darwin Australia serta masalah Papua yang sampai hari ini belum juga menemui titik terang. Ada indikasi bahwa politik yang dipakai oleh AS adalah Politik mengamankan zona ekonomi pasifik selatan yang pintu gerbangnya adalah Papua dan berandanya adalah Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dari tangan raksasa ekonomi Asia (China). Itulah sebabnya mengapa AS sangat khawatir dan ingin terlibat langsung untuk berkontribusi dalam pertemuan KTT Asean yang diselenggaran di Bali beberapa waktu yang lalu.
Hal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak konsepsi politik elitisme yang dicoba untuk dipraktekkan AS ditengah resesi ekonomi dunia yang melanda Zona Eropa dan Amerika dilain pihak serta menguatnya ekonomi Asia timur dan tenggara dipihak lain.
Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu, harus ada penegasan bahwa masyarakat dunia, harus menolak setiap tindak-tanduk ideologi eksploitatif politik yang merupakan sumber dari kepincangan, ketimpangan dan penyimpangan ekonomi dan politik yang ada dalam masyarakat dunia dewasa ini.
Harus ada penegasan dari Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia bahwa Hukum baku kebangsaan dan kenegaraan didunia adalah “penjajahan dengan segala tekstur dan konturnya diatas dunia harus dihapuskan”. Rakyat dan politikus dinegara-negara dunia ketiga harus meluruskan saf pemikiran, ucapan dan tindakan bahwa dalam konteks sistem politik demokrasi, negara dunia ketiga merupakan pemilik sah Re-publiknya masing-masing, dalam arti bahwa mereka merupakan elemen nukleus dari bangsa dan negara, sedangkan negara maju tidak lebih sebagai aksesoris relasi antar peradaban. 
Jika negara maju menginginkan atau membutuhkan sumber daya, maka mereka harus rela menjadi pelayan. Sebab entitas politik yang membutuhkan harus tunduk dan patuh terhadap pemberi kebutuhan. Karena mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut negaranya jelas difasilitasi oleh sumber daya dari negara berkembang. Artinya, guna menerjemahkan keinginan, kepentingan, kebutuhan dan cita-cita masyarakatnya, negara maju harus bersikap kooperatif kepada negara berkembang. Dengan demikian, negara maju harus mengerti bahwa posisinya yang tidak memiliki sumber daya alam, tidak lebih dari seorang pelayan atau budak sedangkan negara dunia ketiga adalah pemilik sah kedaulatan kebangsaan dan kenegaraannya alis majikan.
Dengan dasar inilah, maka negara maju tidak diperbolehkan menganggap diri sebagai elite dari negara berkembang, sebab hal tersebut merupakan penyimpangan gender politik. Sebaliknya negara berkembang juga tidak diperbolehkan menyerakhan kepemilikan kedaulatan kebangsaan dan kenegaraan dengan mengamini kredo elitisme tersebut, sebab sikap dan sifat seperti itu seruang dan sebangun dengan penyimpangan gender (jenis kelamin) politik.
Dibalik deskripsi di atas, kita tidak akan mungkin bisa menentukan sikap termasuk penegasan dan penjelasan tentang implikasi politik yang diadopsi dan dijalankan oleh negara maju seperti Amerika Serikat terhadap negara berkembang seperti ASEAN+INDONESIA, jika tidak ada landasan pengetahuan kita, tentang kausa prima lahir dan berkembangnya ideologi politik yang mendasari politik negara adidaya tersebut.

Oleh: Subiran
Pemerhati Politik FISIF Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar