Laman

Rabu, 02 November 2011

Papua (Ironisme Daerah Kaya Raya)

Papua merupakan salah satu daerah Indonesia yang memiliki andil yang sangat determinan dalam menentukan pasokan besar-kecilnya devisa negara di sektor pertambangan. Hal ini bukanlah sesuatu yang tanpa alasan rasional, mengingat sumber devisa terbesar di republik ini berasal dari sektor migas dan pertambangan.
Papua yang sejak pemerintahan Soeharto telah kedatangan tamu dari perusahaan multi nasional (PT. Freport) berdasarkan legitimasi UU penanaman modal asing, telah menjadi daerah paling produktif di sektor pertambangan yang menghasilkan devisa negara yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya dibanding dengan daerah lain di kepulauan nusantara. Sehingga tidak salah jika kemudian negeri Papua dipuja-puja hasil perut buminya, karena aset kekayaannya memang luar biasa: tanah yang subur, kaya mineral, minyak bumi, tembaga, emas, besi, dan batu bara, hutan tropis yang lebat, iklim yang stabil, dan relief alam yang indah.
Sejak negeri tersebut di masuki oleh perusahaan asing (PT Freeport Indonesia) beberapa puluh tahun yang lalu, hasil perut bumi kawasan amazon Indonesia tersebut telah memberikan ratusan juta hingga miliaran dolar AS per tahun kepada perusahaan maupun Negara. Berton-ton emas yang dikeluarkan dari dalam tanahnya telah memberikan Indonesia kebanggaan sekaligus keistimewaan tersendiri baik ditinjau dari segi sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
Namun siapa akan menyangka bahwa bangsa sekaya tersebut ternyata punya berbagai penyakit ekosob (ekonomi, sosial, politik) yang sudah memasuki stadium akhir dengan maraknya berbagai konflik vertikal dan horizontal disatu sisi dan ketimpangan ekosob yang berimplikasi pada stigma, pola dan gaya hidup yang saling menegasikan disisi yang lain.
Daerah yang kaya raya SDA tersebut ternyata menyisakan kemiskinan kearifan SDM dalam mengurai segala sendi hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi pengaruh eksternal (pemerintah pusat dan dunia internasional) turut pula memberikan legitimasi dalam mereduksi nilai kearifan lokal Papua tersebut. Dua pengaruh inilah yang paling kental mempengaruhi paradigma berpikir stereotif diantara sesama warga pribumi untuk saling membantai, paling berpengaruh dalam mengobarkan api konflik laten yang bersifat horizontal, dan paling berkontribusi dalam melanggengkan ketimpangan ekosob (ekonomi, sosial dan politik) di bumi kepulauan Cendrawasi tersebut. Dua pengaruh ini pula yang kemudian secara konstan dan paralel mentransformasikan frustasi ekosob yang tadinya masih bersifat potensial (bisa dicegah) menemukan ruang dan waktu aktualitasnya secara membabibuta.
Wilayah yang diperjuangakan dengan susah payah melalui tragedi berdarah pembebasan Irian Barat dijaman Orede baru tersebut kini jatuh miskin oleh kerusakan dan krisis multidimensional yang meliputi sendi-sendi dasar kehidupan dan interaksi sosial: krisis otoritas, kepemimpinan, kepercayaan, krisis moralitas, dan seterusnya. Wilayah yang selain dimiskinkan oleh korforasi dan pemerintah pusat juga dimiskinkan oleh para penguasa setempat yang ironisnya ternyata adalah putra-putri pribumi bangsa sendiri.
Bukakankah sebuah keanehan yang menggelitik, ketika sebuah daerah yang telah banyak memberikan kekayaan devisa terhadap negara (pusat), justru disebut dan dikategorikan sebagai wilayah yang paling miskin dan tertinggal dibanding daerah lain di bumi pertiwi nusantara ini?. Dan bukankah sebuah pengkhianatan dan penghinaan terhadap saudara sebangsa sendiri ketika hampir sebagian penduduk negara Indonesia mengamini klaim tersebut?. Anehnya liputan dan wacana yang didapatkan dari media massa, selalu saja menempatkan Papua sebagai daerah yang diidentikkan dan disinonimkan dengan peradaban dunia klasik yang serba tertinggal. Ironisnya, catatan dan pengamatan yang dilakukan berbagai kalangan pengamat ekonomi, sosial dan politik justru membenarkan bahwa Papua tidak lebih sebagai daerah yang tertinggal dalam semua lini hidup dan kehidupan karena ketidakberdayaan sektor pendidikan oleh penduduknya. Bukankah wacana dan laku tersebut adalah sebuah kenaifan dan miskin solidaritas kebangsaan dan kenegaraan yang mendeklarasikan diri bersatu?
Mengapa miskin, tertinggal dan rawan konflik?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penyaksian kita melalui media massa telah menyuguhkan stigma untuk membenarkan bahwa peradaban Papua memang serba miskin dan tertinggal. Busung lapar dimana-mana, penduduk yang masih belum mengakomodasi kebutuhan sandang, pangan dan papan masih merajalela, anak usia didik yang belum mengenyam pendidikan masih menempati gudang kemiskinan ilmu, dan masih banyak ketertinggalan lainnya yang senantiasa menjadi komoditas totonan bagi hampir seantero pendududu Indonesia yang disuguhkan oleh media massa.
Ironis memang, bahwa fenomena yang menimpa Papua tersebut di atas justru tidak sebanding dan proporsi dengan besaran sumbangsih devisa negara yang telah diberikannya selama puluhan tahun. Porsi APBN yang menggunung hasil sumbangsihnya ternyata tidak lebih dari sekedar upeti daerah yang disumbangkan kepada pusat.
Setiap manusia Indonesia yang sehat dan baliq akalnya, tidak akan pernah menolak dan keberatan untuk memberikan pengakuan bahwa Papua yang merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam disatu sisi, dan akan merasa sakit hati dan empati dengan kondisi obyektif yang mereka alami dan rasakan, dimana kemiskinan dan ketertinggalan adalah kawan sekaligus lawan hidup dan kehidupan mereka sehari-hari. Manusia Indonesia yang menganggap Papua sebagai bagian dari hidup dan kehidupannya niscaya akan menganggap bahwa fenomena ini adalah sebuah aksiden kegilaan para penentu kebijakan tertinggi di republik ini.
Hanya manusia Indonesia yang bermental penjajah saja yang akan mengamini analisis para pengamat lintas keilmuan (ekosop) selama ini yang menganggap bahwa Papua miskin dan tertinggal karena SDM yang miskin ilmu penegtahuan?. Jikapun kenyataannya demikian, bukankah hal tersebut adalah kewajiban negara untuk memberikan akses tersebut?
Tidak perlu menjadi pakar atau pengamat ekosop (ekonomi, sosial dan politik) untuk menjustifikasi dan memeteraikan bahwa rakyat Papua Miskin dan Tertinggal bukan karena persoalan ketidakberdayaan Sumber daya manusia karena pedidikan, apalagi dengan alasan karena kemalasan. Mereka tertinggal lebih karena daya dan sumber daya ekonomi, politik, pendidikan dan sosialnya tidak diberikan oleh negara. Kesempatan pendidikan yang sangat minim dan ruang ekonomi yang sangat sempit disatu sisi, serta eksploitasi besar-besaran terhadap alam dan manusia Papua dalam domain komoditas politik penguasa merupakan salah satu dari sekian banyak alasan yang bisa dikemukakan atas ketertinggalan, konflik dan kemiskinan yang mereka ratapi.
Dan tidak perlu menjadi seorang akademisi dan politikus handal untuk membenarkan bahwa negaralah (pemerintah pusat dan daerah) yang paling bertanggungjawab atas fenomena ketimpangan kemanusiaan di atas, mengingat tidak pernah selesainya urusan mereka dengan masalah korupsi dan nepotisme. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh negara selama ini terhadap Papua sangat dikriminatif dan represif. Jikapun beberapa tahun yang lalu telah digulirkan UU utonomi khusus buat Papua, tidak lebih sebagai apologi politik untuk mengelabui pandangan dunia internasional dan nasional.
Jika kita ingin mengurai geneologi terkait persolan Papua, maka wacana pemerataan pembangunan tidak bisa dinafikan.
Kompresi (penekanan) peradaban yang didesain pemerintah pusat kepada Papua yang cenderung didiskreditkan, telah melahirkan begitu banyak kesalahan fungsi dan kerusakan dalam strata masyarakat di kepulauan cendrawasi tersebut. Kesalahan fungsi inilah yang melahirkan begitu tingginya tingkat frustrasi yang kemudian mengaktual dalam konflik di hampir semua wilayahnya mulai dari distrik sampai wali kota, baik untuk urusan perut maupun urusan kekuasaan kepala daerah. Pemerintah pusat termasuk pemerintah daerah Papua telah lupa bahwa disatu sisi, tiap kali pembangunan fisik di agendakan dalam rancang bangun program kerja kabinet pemerintah, mereka tidak pernah mengetengahkan desain pemerataan pembangunan yang lebih komprehensip agar ketimpangan dan kecemburuan ekosob bisa diminimalisir. Sementara disisi yang lain, pembangunan pola relasi kebangsaan yang meliputi pembangunan suprastruktur masyarakat dalam menerima kemajuan peradaban yang ada, justru semakin hari semakin tenggelam begitu saja dalam etalase hasrat penyakit kawanan penguasa (KKN) kita.
Developmentalisme yang dijalankan oleh pemerintahan pusat baik jaman orde Orde Baru, reformasi maupun post-reformasi ternyata hanya menghasilkan nasionalisme untuk pragmatisme kapital (ekonomi, sosial dan politik) yang mengakibatkan adanya ketimpangan antar kelas sosial yang sangat jauh.
Tragedi konflik pemboikotan dan pemogokan massal yang dilakukakan oleh para karyawan PT. Freefort dengan pihak manajemen, penembakan oknum yang tidak dikenal terhadap Politisi, bentrok antara warga terkait pemilu kepala daerah kabapaten Puncak Jaya beberapa waktu lalu, serta teriakan suara pembebasan OPM yang melenting sampai hari ini yang kita dengar dan saksikan di media massa, bisa jadi adalah sebuah tuntutan dan tekanan terhadap penentu kebijakan tertinggi dengan landasan teori di atas.
Sentimen agama, suku dan antar golongan yang tumbuh dan mengaktual menjadi konflik berdarah dan kenaifan para pemimpin agama, pemerintahan, dan tokoh masyarakat, menyebabkan cerita untuk melawan rezim yang membodohi berubah menjadi sebuah perang suci untuk membela identitas dan kearifan lokal.
Jika sampai hari ini, pemerintah pusat dan daerah Papua, masih juga mempertahankan egosentris hasrat kekuasaan dan jabatan yang berlebih-lebihan, maka warna politik Papua saat ini dan yang akan datang akan selalu diwarna konflik vertikal dan horizontal. Jika pemerintah sama sekali tidak tersentuh hati dan akalnya oleh kebenaran dan keadilan, dan masih saja asyik bermain di atas kepentingan partai untuk melegalkan pengeksploitasian terhadap Alam dan manusia Papua, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti, warga Papua bisa menjadi lautan darah tanpa jeda.
Kemiskinan, konflik dan ketertinggalan rakyat Papua bisa saja teratasi jika hal tersebut diatas dilawan dalam dua pendekatan. Pertama, melawan kemiskinan dan ketertinggalan dengan memberikan akses terhadap pendidiakan yang berkeadilan, akses terhadap kesempatan kerja, akses terhadap layanan publik dan akses terhadap informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Kedua, Melawan kemiskinan dengan menerapkan pemberdayaan ekonomi yang menguntungkan rakyat. Hal inipun tidak akan terpenuhi jika political will dari penguasa masih dalam lokus setengah hati.
Masalah yang terus menghujani Papua, tidak akan pernah menemui titik pemecahan komprehensip, jika pemerintah pusat dan daerah masih juga membangun persekongkolan politik untuk menjadikan Alam dan manusia Papua sebagai komuditas politik untuk menerjemahkan kepentingan politik mereka dalam rangka menumpuk rupiah dan jabatan.
Oleh: Subiran
(Mahasiswa Jurusan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta, kader HI (Human Illumination) dan HMI Cab. Kolaka-Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar