Laman

Rabu, 02 November 2011

BUDAK-BUDAK PASAL

Busuk, kotor, penipu, penjilat, tikus berdasi, pencuri, dan masih banyak istilah lain yang segunung dan sedanau dengannya (silakan cari sendiri), merupakan sebagian kecil dari beberapa term yang begitu populer di kalangan masyarakat, ketika menghubungkan sikap dan perilaku penegak hukum kita sebagai komando lapangan proses penegakan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengingat sikap dan perilaku koruptif ekspansif, eksploitatif, subversif dan masif yang diperagakan oleh para penguasa (eksekutif, legislatif, yudikatif) dewasa ini, mungkin hanya mereka yang berada dalam posisi sebangun dan seruang dengan perilaku koruptif tersebutlah yang jarang (kalaupun ia, hanyalah retorika sempalan) atau mungkin tidak pernah mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan yang bernada hujatan dan kecaman terhadap para penguasa yang telah menjarah kedaulatan rakyat tersebut.
Pertanyaan yang kemudian lahir adalah “Atas dasar apa mereka bersikap dan berperilaku seperti itu?, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab lahir, tumbuh dan berkembangnya sikap dan perilaku seperti itu?, dan apakah ada manusia Indonesia yang tidak pernah terjerembab dalam sikap dan perilaku seperti itu?”. Pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh setiap individu, sebelum terlalu jauh mengklaim, menghujat,menghakimi, menghukumi dan menyalahkan indivudu yang lain.
Pertanyaan inilah yang membuat penulis tidak mau terlalu terburu-buru beromantisme dengan pernyataan yang bernada hujatan dan kecaman kepada mereka (penguasa) yang melakukan tindak pidana korupsi, sebab penulis merasa tidak ada jaminan bahwa manusia seperti saya, kamu, dia, kalian dan mereka tidak pernah tersentuh yang namanya perilaku korup. Meski sikap dan perilaku tersebut berbeda dalam tingkatan skala dan kadarnya, namanya korupsi tetap saja korupsi. Hanya saja, cukup ironis memang, jika kemudian kita mengkoparasikan sikap dan perilaku koruptif yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan sikap dan perilaku koruftif yang dilakukan oleh para penegak hukum kita. Mereka yang seharusnya menjadi oase keadilan justru mengering dan menanduskan keadilan tersebut.
Apakah sama korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para penguasa khususnya penegak hukum sama dan serupa dengan perilaku KKN yang diperagakan oleh penjual sayur dan tukang ojek yang mencari sesuap nasi untuk anak istrinya?. Dalil yang selama ini menjadi apologi entah itu mereka (penguasa) maupun kita sebagai rakyat adalah “tidak ada manusia yang luput dari kekhilafan, dosa dan salah” . Sebuah pembenaran yang sangat miskin pemahaman tentang nilai fitrawi manusia. Apakah sama penguasa misalnya Menteri, hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang keluar rumah dan lupa mengancing resleting celananya, dengan penjual sayur yang kepasar kemudian lupa mengancing resleting celananya?.
Analogi sederhana dalam proposisi diatas memaksa akal kita untuk membenarkan pernyataan yang bernada hujatan dan kecaman kepada mereka (penguasa, khususnya penegak hukum) yangmemang selama ini telah menjadikan hukum dan lembaga penegak hukum sebatas laboratorium akumulasi citra dan popularitas untuk melepaskan dahaga hasrat untuk dimuliakan dan diagungkan melalui tumpukan material.
Geneologi sikap dan perilaku Korup.
Apakah setiap manusia Indonesia yang dilahirkan kedunia ini memang dalam keadaan dan membawa bibit sikap dan perilaku yang korup?. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka ada baiknya kita melakukan pendefinisian awal menganai sikap dan perilaku korup tersebut, dalam rangka mengurangi prasangka atau penilaian subyektif?
Korupsi secara implisit adalah sikap dan perilaku, dimana individu atau kelompok mengambil hak yang bukan menjadi haknya, entah itu dalam hal yang bersifat material maupun non material. Dan menurut kaca mata akal manusia awam, korupsi kadangkala disinonimkan dengan pencuri.
Berdasarkan definisi sederhana di atas, maka sikap dan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme ternyata usianya seiring dan sejalan dengan usia sejarah peradaban manusia.
Mereka (para penegak hukum) yang selama ini mendapatkan pernyataan yang bernada hujatan, pada mulanya sama seperti aku, kamu, dia, kita, kalian dan mereka. Kita semua lahir dari rahim seorang ibu, meski secara esensial ibu kita berbeda, tetapi tidak bisa dinafikan bahwa secara substansial tidaklah berbeda.
Apakah ada seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan seorang anak dengan harapan, agar kelak anaknya menjadi pencuri, penipu, penjilat, tikus berdasi, murtad, tidak bermoral dan lain-lain?, apakah mereka tidak punya harapan kepada anak mereka, agar kelak menjadi manusia yang berbakti kepada “Rahim” (manifestasi sifat Ar-Rahman Dan Ar-Rahimnya Tuhan/ pengasih dan penyayang) yang telah memberikan wujud kepada mereka?, apakah memang aku, kamu dan kalian merasa berbeda secara fitrawi ketika dilahirkan ke dunia (asal kata dhani dalam bahasa arab yang artinya hina dan rendah)?
T I D A K,.,.,.,.,!. Tidak satupun bayi manusia yang lahir kedunia ini dengan nafsu ingin menguasai, menyakiti, berkhianat, berpretensi serta cenderung kepada atensi meniduri fitrawi kemanusiaannya. Mereka (para penegak hukum) juga mula-mula dilahirkan dan dibesarkan sebagai anak yang pastinya diajarkan kebajikan, keadilan dan kebenaran.
Sejarah setiap manusia selalu sama, dalam hal ini lahir dan besar bukan dibawah ayunan kasih sang raja rimba, tetapi ibu yang melimpahinya kasih dan sayang. Tidak ada ibu yang mengajari anak-anaknya, jika kelak menjadi jaksa, hakim, pengacara dan polisi, maka biasakanlah dengan kegiatan suap menyuap, korupsi, kolusi dan nepotisme serta berkawan dengan mafia. Mereka, kalian, kita dan aku dalam cotetan tinta sejarah asuhan manusia, di besarkan dengan oase petuah moral dan etika yang sama (kejujuran, kebenaran, beranian, dan tanggung jawab).
Memang sebuah ironi ketika mereka dewasa, kekuatan didikan moral tersebut dikalahkan oleh kenyataan paradoksal. Lingkungan pekerjaan dari berbagai klan profesi menyuguhkan realitas yang jauh berbeda, dibingkai oleh sistem yang korup dan mungkar. Begitu sedemikian hingga, kemudian membuat penegak hukum kita, dibesarkan tidak hanya oleh didikan ibunya, tetapi juga oleh lingkungan korup dimana karirnya berkembang. Lingkungan itu telah lama memelihara bisa beracun dari birokrasi kawanan ular. Ditambah lagi budaya atasan selalu benar dengan segala firmannya turut menjadi kredo yang tidak bisa dibantah dalam teori birokrasi, sehingga anekdot tentang “ saya yan paling lama disini, maka saya yang lebih tahu, mau naik pangkat, ikuti dan turuti perintah saya” mendapatkan legitimasinya.
Tapi jangan terburu-buru untuk mengatakan bahwa hanya lingkunganlah yang memberikan kontribusi akut terhadap lahirnya budak-budak pasal tersebut. Kepribadian (mental dan spritual) para penegak hukum itu sendiri juga turut andil dalam mengafirmasi dan membentuk perangai korup yang eksploitatif tersebut (Kana minal kafirin). Kepribadian tempe-tahu yang terlalu gampang menyerah dan mengalah pada arsenal kepribadian intel (indomie-telur) yang serba pragmatis, lebih mengutamakan prestise, jabatan dan kuasa ketimbang harga diri dan prinsip. 
Suatu kepribadian gigantik material yang tidak akan pernah puas dengan apa yang ada, sebab pandangan dunia material selalu disesaki oleh rutinitas hasrat kepemilikan dan penguasaan berlebih-lebihan. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab obyek material memang selalu berubah-ubah (tidak kekal), sehingga setiap runag dan waktu tertentu selalu muncul materi baru yang lebih, untuk menggantikan yang lama, ditambah lagi manusianya yang tidak pernah puas dengan materi yang ada (hari ini korupsi motor dinas, besok korupsi mobil dinas).
Lahirnya Budak-Budak Pasal
Aib penegak hukum tumbuh dan berkembang bukan karena pengkhianatan, karena biasanya orang yang berkhianat dulunya baik atau jahat, sehingga perkembangan waktu selanjutnya menjadi tidak baik atau jahat, tetapi lebih karena mereka sejak dibangku sekolah dan kuliahh telah terbiasa mengalah dengan teori dan pengajaran yang koruptif dari guru dan dosennya, sedangkan guru dan dosennya telah terbiasa menerima dan mengalah terhadp sistem pendidikan yang korup.
Dosen dengan antusiasnya memberikan materi ajaran dengan proposisi yang seolah menjadi sebuah aksioma dalam sivitas akademik ilmu hukum. Proposisi yang sudah lumrah kita dengar adalah bahwa “semua orang itu, kedudukannya sama di hadapan hukum, dan seorang tidak bisa dinyatakan bersalah, sebelum diputuskan oleh pengadilan”. Dua proposisi yang menggantung keadilan setinggi-tingginya agar tidak tersentuh oleh kaum mustadafin, dan proposisi yang menempelkan keadilan dijepitan penguasa dan kaum berpunya.
Sesungguhnya interpretasi dari dua proposisi diataslah yang merupakan kausa lahirnya Budak-budak pasal.
Proposisi pertama menegaskan bahwa semua orang entah itu koruptor (pencuri uang rakyat), pencuri ayam, pembunuh aktivis, dan pembunuh majikan penyiksa, semua sama kedudukannya dihadapan hukum yagni sama-sama pencuri dan sama-sama pembunuh. Artinya bahwa antara koruptor dan pencuri ayam, serta antara pembunuh aktifis dan pembunuh majikan penyiksa, sama-sama dikenakan pasal HUHP yang sama dan kadang kala yang lebih memprihatinkan lagi bahwa ternyata pasal-pasal tersebut bisa diracing leh jaksa, hakim, dan pengacara, sehingga tuntutan yang dibebankan kepada para tersangka dan terdakwa bisa jadi berubah 180*, dimana koruptor dituntut dan divonis 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun penjara sedangkan pencuri ayam dituntut dan divonis 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun penjara. Adil bukan? Ya,.,kan,.kedudukannya sama dihadapan hukum.
Proposisi kedua menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dinyatakan salah (koruptot dan pencuri ayam), sebelum diputuskan oleh pengadilan. Artinya bahwa sebelum diputuskan jangan dulu dinyatakan sebagai koruptor dan pencuri ayam. Sebelum diputuskan harus jelas dan lengkap dulu bukti hukumnya. Dengan logika yang seperti ini, maka pencuri ayam akan lebih gampang untuk dituntut dan divonis, karena barang buktinya sangat jelas (pencuri dan barang curian, yang dicuri, serta saksi pencurian). Nah bagaimana dengan para koruptor?. Jelas butuh waktu lama untuk menemukan bukti hukum yang memperkuat dakwaan, terlebih lagi jika bukti hukum tersebut telah dibumihanguskan. Belum lagi kongkalikong antara terpidana, jaksa, pengacara dan hakim dalam menemukan dan menjabarkan barang bukti yang didapat. Jadi penulis kira, cukup jelas dan tegas apa yang disampaikan oleh Clarence Darrow bahwa “keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di dalam ruang sidang, tetapi keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu”.
Hukum bagi para budak pasal adalah ketentuan yang sudah baku dan tidak bisa lagi ditawar meski dengan alasan keadilan dan nilai kemanusiaan. Tentu hal tersebut berbeda atau tidak berlaku bagi para pelaku kkejahatan HAM berat, dan korupsi, mungkin dan pasti bisa ditawar tergantung kepentingan siapa dan berapa “V”nya. Sebab mereka tahu betul siapa yang tersangkut perkara ini dan mereka yakin bahwa untuk menghadapi perkara ini tidak hanya membutuhkan pengetahuan. Akhirnya mau tidak mau dan suka tidak suka, kompromi merupakan cara yang paling bijak. Kompromi adalah watak umum yang ditanam di dalam keyakinan mereka, kalau keberanian, idealisme, kenekatan dan terobosan hanyalah perbuatan bunuh diri.
Jadi jangan heran, jika kemudian hukum tidak lagi menajdi lokomotif pertarungan gagasan dan moral keadilan, karena memang keadilan telah lama mengalami alienasi dan kehilangan spirit malakutnya (cita-cita dan impian).
Hukum dirangkai secara hierarki dalam urutan “pasal” dan dibingkai oleh prosedur yang kebal terhadap kritik. Asas pembuktian dan asas praduga tak bersalah selalu menjadi legitimasi ampuh untuk menyembunyikan kejahatan kawanan (korupsi, kolusi dan nepotisme), sehingga posisi tersangka, terdakwa, saksi dan korban amat gampang untuk dipertukarkan.
Para budak pasal tentunya sangat bahagia dengan posisi, situasi dan kondisi seperti ini. Sebab rekening gendut miliaran rupiah telah menjadi cita-cita besar dan terhebat mereka. Jadi jangan harap hukum dan keadilan menjalin cinta dengan mesra, dimana hukum sebagai pecinta telah menyelingkuhi sang kekasihnya (keadilan).
Bom perubahan dalam dunia hukum, hanya bisa meledak jika konsep dan konten teori dan praktis “Keadilan Ilahi”, menjadi mesin utama penggerak ledakan. Sebab keadilan hukum, ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan budaya hanya bisa bersemayam sebagaimana mestinya, jika dan hanya jika dilandasi oleh pengetahuan, keyakinan dan keimanan manusia terhadap keadilan ilahi.

Oleh: Subiran
(Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa FISIP UMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar